Beranda / Sci-Fi / Mata Ajaib Pembaca Pikiran / Bab 2: Kau Tak Sendiri

Share

Bab 2: Kau Tak Sendiri

Penulis: kafhaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-22 23:44:33

Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.

“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”

Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.

Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan penuh kelelahan. Kami berdua terbaring di pinggir jembatan. Sambil menatap langit, aku lalu berkata. “Tedi,” bisikku, suaraku parau oleh emosi, “hidup ini memang berat, tapi setiap detik yang kita jalani itu berharga. Tolong, percayalah padaku. Jangan akhiri semuanya seperti ini.”

Tedi terdiam. Perlahan, air mata mengalir dari sudut matanya melewati telinganya, lalu menetes ke tanah. Wajahnya berperang antara putus asa dan keinginan untuk tetap bertahan. “Thomas, aku nggak tahu kalau aku bisa bertahan,” isaknya lirih. “Pikiranku sudah gelap. Aku nggak tahu harus apa lagi. Aku sudah capek. Capek banget.”

Jantungku tersentak mendengar kata-katanya. Aku mengerti rasa itu, rasa putus asa yang membuat dunia tampak kelam. “Aku juga pernah ada di titik terendah, Tedi." suaraku pecah oleh kenangan masa lalu yang menyakitkan.

“Aku pernah berpikir, apa gunanya hidup kalau semua hanya rasa sakit? Aku juga pernah ingin menyerah. Tapi, saat itu aku bertanya pada diriku... kalau aku mengakhiri hidup, apakah itu benar-benar akan menyelesaikan semuanya? Atau hanya akan meninggalkan luka yang lebih dalam bagi mereka yang masih peduli padaku?”

Tedi menggigit bibirnya, suaranya bergetar. “Tapi siapa yang peduli, Thomas? Siapa? Nggak ada yang peduli sama aku. Orang tuaku, mereka nggak peduli. Mereka cuma saling menyakiti dan aku selalu jadi korban.”

Isakannya memecah hatiku. Aku mengulurkan tangan, menyentuh pundaknya dengan lembut, mencoba menyampaikan apa yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.

“Tedi, dengar aku. Aku peduli. Aku benar-benar peduli padamu. Teman-temanmu, meski mereka nggak selalu menunjukkannya, mereka peduli. Guru-gurumu juga peduli. Dan aku yakin, jauh di lubuk hati orangtuamu, mereka juga sayang padamu. Kadang mereka hanya tersesat dalam masalah mereka sendiri. Tapi mereka masih orangtuamu. Aku yakin, mereka mencintaimu, meski cara mereka tidak selalu benar.”

Tedi menoleh pelan, matanya berkaca-kaca, penuh keraguan, namun ada secercah harapan yang mulai muncul. “Kau pikir begitu? Kau benar-benar yakin?” suaranya terdengar putus asa, seolah mencari pegangan di tengah lautan kepedihan.

“Ya, Tedi,” kataku dengan penuh keyakinan. “Aku yakin. Jangan biarkan perasaan ini membutakanmu dari semua yang masih bisa kamu raih. Hidupmu punya arti, dan kau bisa melewati semua ini. Jangan ambil jalan yang salah hanya karena kau merasa tidak ada jalan lain. Ingat! Selalu ada pilihan, selalu ada harapan.”

Dia terdiam sejenak, merenung dalam keheningan yang terasa begitu tegang. Perlahan, ia menganggukkan kepalanya, air mata mengalir semakin deras. “Baiklah,” bisiknya, suaranya pecah oleh emosi yang tak tertahankan. “Aku akan mencoba. Meski aku tak yakin bisa."

Tedi bangkit perlahan, debu yang menempel di bajunya ia tepuk-tepuk dengan tangan gemetar. Wajahnya masih kusut, seolah ada beban yang tak bisa ia lepaskan sepenuhnya, tapi aku bisa melihat sesuatu yang berbeda di matanya—sebutir harapan kecil, setipis benang, namun cukup untuk mengikatnya kembali ke dunia ini.

"Aku mau pulang." suaranya terdengar parau, nyaris tak berdaya, seolah pertempuran dalam dirinya masih belum benar-benar usai.

Aku segera ikut berdiri, mencoba menatapnya dengan penuh keyakinan. "Biar kuantar. Aku nggak bisa membiarkanmu begitu saja. Aku takut kau berubah pikiran lagi. Aku harus pastikan kau sampai rumah dengan selamat." ucapku tegas, nada suaraku memantulkan keteguhan yang aku sendiri kadang ragu aku miliki.

Tedi memandangku dengan mata setengah terpejam, penuh kelelahan. “Nggak usah! Rencanaku tadi udah gagal gara-gara kau. Semua kata-katamu, entah kenapa, sedikitnya memberiku alasan untuk tetap bertahan. Meski aku nggak tahu pasti apakah semuanya benar.” Ia meniup bajunya yang penuh debu, seolah mencoba menyingkirkan beban hidup yang masih melekat padanya.

Wajahnya tetap murung, namun di balik kemuraman itu, aku bisa melihat—ada secercah sinar, sangat tipis, tapi nyata. Sebuah cahaya yang mungkin bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar jika diberi waktu dan kesempatan.

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menyampaikan kepedulianku dalam kata-kata yang sederhana tapi penuh makna. "Baiklah, aku percaya padamu. Tapi kau harus kuat, Tedi. Aku ingin besok masih melihatmu di sekolah, oke?" Ucapku, sambil mengulurkan kelingkingku, mengajaknya berjanji seperti yang biasa dilakukan anak-anak kecil ketika berjanji.

Tedi menatap kelingkingku, lalu tersenyum samar, sebuah senyum yang lebih mirip seringai getir.

"Janji?” tanyaku lagi, suaraku serak penuh harap. Tapi Tedi hanya berbalik, punggungnya menyapa pandanganku. Senyumnya yang tipis tadi seakan hanyut oleh angin sore yang dingin. Namun, meski ia tak mengucapkan sepatah kata pun, aku tahu—sesuatu di dalam dirinya telah berubah.

Ia melangkah perlahan, tubuhnya tampak lelah, seolah ia membawa beban yang tak terlihat di pundaknya. Tapi kali ini, langkahnya tak lagi mengarah ke tepi jurang. Rumahnya tak jauh dari sini, seperti aku, dia juga selalu berjalan kaki ke sekolah. Tapi hari ini langkah kami berbeda; jalan yang kami ambil berlawanan arah, tapi takdir kami baru saja berpotongan di tempat yang sama—di jembatan ini, tempat yang sempat menjadi saksi keputusasaannya.

Aku berdiri di sana, menatap punggungnya semakin menjauh dan menghilang. Dadaku sesak oleh campuran emosi—lega, takut, cemas. Apakah dia benar-benar akan baik-baik saja? Apakah besok aku masih akan melihatnya di sekolah?

Tiba-tiba, kurasakan sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang, membuatku tersentak kaget.

Jantungku berdegup kencang, tubuhku membeku. Aku tidak mendengar ada siapa pun datang. Perlahan, dengan napas tertahan, dan pikiran yang penuh tanya, aku menoleh ke belakang.

Aku terkejut ketika ku lihat siapa yang sudah ada di hadapanku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 3: Melawan Bobi

    Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 4: Tedi Sudah Lebih Baik

    Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 5: Pencuri Di Sekolah

    "Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 6: Anting Nina

    "Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku. Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu. Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima. Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 7: Di Antara Tuduhan dan Dukungan

    Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 8: Akhirnya Mereka Percaya

    "Tedi?" Ucapku sedikit kaget, "Kenapa belum pulang?" Tanyaku."Aku tahu bagaimana rasanya berada dalam keterpurukan. Saat di mana kita butuh seseorang yang memberi dukungan dan semangat." Ucap Tedi dengan wajah meyakinkan, "Aku juga akan mengantar Nina ke ruang kepala sekolah." Tambah Tedi.Wajah Nina mulai berbinar. Meskipun ketakutan itu masih ada, setidaknya ada cahaya kecil di tengah kegelapan yang melingkupinya. “Terima kasih teman-teman. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian tidak ada di sini.” Kami pun memutuskan untuk pergi bersama menuju ruang kepala sekolah. Langkah kami berat, setiap detik terasa seolah dunia berputar lebih lambat. Di sepanjang lorong, aku bisa merasakan tatapan teman-teman yang lain yang menyadari bahwa kami sedang menuju suatu tempat penting.Setibanya di ruang kepala sekolah, Bu Rini sudah berada di sana, menunggu dengan wajah yang tampak serius. Ketika ia melihat kami berempat datang, ekspresi heran melintas di wajahnya. Sementara Pak Kepala

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 9: Hadiah Dari Nenek

    Aku mencoba memandang wajah pria itu, namun topi yang dipakainya menutupi sebagian besar wajahnya. Dia kemudian mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum."Pak Dodo...?" tanyaku ragu, tapi aku mulai mengenali sosoknya. Dia adalah Pak Dodo, petugas kebersihan dan penjaga gudang sekolah."Hehe, iya, ini saya," jawab Pak Dodo, suaranya penuh keakraban."Ih, kirain siapa! Kenapa topinya sampai nutupin wajah? Jadinya susah lihat mukanya," protesku setengah bercanda. Pak Dodo terkekeh kecil, "Biar bikin penasaran. Hehe..." jawabnya."Ini, tadi Bu Rini nitipin ini buat kalian. Katanya ketinggalan di ruang kepala sekolah." Aku melihat lebih dekat, dan benar saja, itu anting milik Nina—anting yang tadi dipegang Bu Rini. Nina pun tampak sedikit terkejut. "Oh, iya. Terima kasih, Pak Dodo," ucap Nina sambil mengambil anting itu.Pak Dodo tersenyum lebar, "Iya, sama-sama," katanya sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan kami.Setelah itu, kami pun berpisah, pulang ke rumah masing-mas

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 10: Kecurigaan Baru

    Nenek kemudian beranjak meninggalkanku. Sementara aku berkutat dengan kebingungan yang tiba-tiba."Nenek!" Panggilku."Ya Thomas.." Jawab nenek tanpa menolehku."Boleh aku tanya sesuatu?" ucapku kemudian."Ya, kau mau tanya apa?" Jawab nenek."Siapa orangtuaku? Di mana mereka?" Ucapku serius."Pertanyaan ini sudah sering kau tanyakan, dan nenek sudah sering menjawabnya. Nenek sudah tua. Nenek sudah lupa. Yang nenek tahu, nenek mengurusmu dari kecil. semenjak kau bayi." Jawab Nenek. Jawabannya masih sama.Namun kali ini aku mulai meragukan jawaban itu. Namun sebelum aku menanyakan lebih lanjut, nenek sudah meninggalkanku, mungkin masuk ke kamarnya. Aku terdiam dalam kebimbangan dalam identitasku, dalam masa laluku. Siapa aku sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini kembali menggeliat meminta jawaban. Ku lihat hari sudah malam. Aku masuk ke kamarku, terbaring di atas kasur.Ku pejamkan mata, mencoba mengistirahatkan semua pikiranku. Namun beberapa detik kemudian seolah-olah aku terjun

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-22

Bab terbaru

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 28: Antara Tedi dan Nina

    Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 27: Perasaan yang Tersembunyi

    Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 26: Ada Apa Dengan Rumahku?

    Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 25: Jelaskan Padaku Nek!

    Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 24: Apakah Aku Berhalusinasi Lagi?

    Aku berjalan menyusuri trotoar, langkahku sedikit tergesa. Langit yang tadi terlihat cerah kini mendadak dipenuhi awan kelabu, sebuah pertanda bahwa hujan akan segera turun. Benar saja, beberapa saat kemudian, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi kepala, pundak dan tubuhku. Aku mempercepat langkah, bahkan mulai berlari kecil agar cepat sampai ke rumah.Pikiranku masih dipenuhi kejadian yang tadi ku alami. Bobi yang tiba-tiba datang meminta maaf. Riko dan Jejen yang terlihat masih ragu-ragu untuk mengakui kesalahan mereka. Tedi yang bersikeras mengingatkanku untuk tidak terlalu percaya pada Bobi. Dan kucing hitam itu… tatapannya yang misterius dan tajam masih terasa seolah menembus pikiranku. Semua itu bercampur menjadi satu, membuatku semakin ingin segera sampai di rumah, ku ingin menenangkan diri.Biasanya, jam segini aku masih berada di sekolah, dan sore hari baru pulang. Nenek pasti akan terkejut melihatku pulang lebih cepat hari ini. Aku membayangkan ekspresi herannya sa

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 23: Sebuah Tatapan Tajam

    Seekor kucing hitam menatapku tajam. Matanya berkilat, pupilnya sedikit menyempit seolah sedang meneliti sesuatu yang mencurigakan. Aku mengernyit. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, setiap kucing yang melihatku akan langsung berlari menjauh sambil mendesis penuh kemarahan. Tapi kucing ini… tidak. Ia tidak berlari, tidak mendesis, hanya diam dan menatapku lekat-lekat seakan penuh dengan tanya.Rasa penasaran menjalar di benakku. Aku menatap balik kucing itu, mempertanyakan sesuatu yang tak bisa kuutarakan dengan kata-kata. Lalu, sebuah pikiran terbersit—apakah aku juga bisa membaca pikiran kucing? Sejauh ini, aku hanya pernah membaca pikiran manusia, karena manusia memiliki bahasa yang bisa kutangkap dalam bentuk kata dan kalimat di dalam benak mereka. Tapi hewan? Mereka tidak memiliki bahasa seperti manusia.Aku memfokuskan pandanganku pada mata kucing itu, mencoba masuk ke dalam pikirannya seperti yang biasa kulakukan pada manusia.Dunia di sekitarku tiba-tiba bergetar. Ada sensasi an

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 22: Amarah Tedi

    Aku terbelalak kaget. Bobi tersungkur, dan sosok yang menyerangnya kini berada di atasnya, mencengkeram kerah bajunya dengan penuh emosi."Kau pikir kau bisa menjahili kami lagi?!" teriak orang itu, suaranya penuh amarah.Riko dan Jejen berusaha menarik orang itu, namun Ia berhasil menepis tangan Riko dan Jejen. Aku masih terlalu terkejut untuk bereaksi, tetapi saat aku melihat wajah orang itu dengan jelas, dadaku langsung terasa sesak.Itu Tedi.Tedi, yang selama ini terlihat lemah dan hanya selalu bisa pasrah ketika dijahili oleh mereka bertiga tanpa bisa sedikitpun melawan, kini berada di atas Bobi dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala, rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat kerah baju Bobi seakan ingin meremukkannya. Entah apa yang merasukinya hingga ia sampai bisa bersikap seperti itu. "Tedi, berhenti!" suaraku serak, tapi aku tidak bergerak. Kakiku seperti tertanam di tanah, sementara mataku terpaku pada apa yang sedang terjadi di hadapanku.Namun, Tedi tidak

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 21: Bisakah Kita Berteman?

    Aku menatap mata Bobi tajam, mencoba membaca semua ekspresi wajahnya. Aku ingin tahu apakah semua ini hanya karena dia merasa berhutang budi setelah aku membelanya di depan kepala sekolah. Aku mengepalkan tangan, menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di dadaku."Apakah permintaan maafmu ini hanya karena aku membelamu di depan Pak Amin?" suaraku terdengar dingin, penuh keraguan. "Kalau itu alasannya, kau tidak perlu meminta maaf padaku seperti ini. Kau tidak usah merasa berhutang budi padaku. Lupakan saja semua yang terjadi di ruang kepala sekolah."Bobi mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya dipenuhi kesombongan kini terlihat penuh dengan sesuatu yang sulit kuartikan—penyesalan? Kesedihan? Kebingungan?"Awalnya... iya, mau tidak mau aku harus mengakuinya." jawabnya lirih, hampir berbisik. "Aku merasa bersalah karena kau sudah menolongku, padahal aku nggak pernah berhenti menjahati dan mempermalukanmu. Aku pikir, paling tidak, aku harus mengucapkan terima kasih atau minta maaf."

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 20: Pergolakan Hati

    Pak Amin berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi serius, tatapannya tajam menusuk, seolah tak ingin ada alasan ataupun perdebatan."Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya dalam dan tegas, membuat ketiga anak itu refleks menegakkan tubuh.Bobi menelan ludah, mencoba menjawab, tapi Pak Amin sudah lebih dulu melanjutkan, "Bukankah tadi sudah diumumkan bahwa sekolah akan mengadakan rapat tertutup. Seharusnya kalian semua sudah meninggalkan area sekolah sejak tadi."Riko dan Jejen saling pandang, lalu buru-buru berdiri. Jejen menggaruk tengkuknya, berusaha mencari alasan, tapi tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.Pak Amin mengalihkan pandangannya ke Bobi, ekspresinya semakin dalam. "Dan kau, Bobi, bukankah tadi bapak menyuruhmu memberikan surat panggilan kepada orangtuamu?"Bobi menunduk, lalu ia berbicara dengan suaranya yang nyaris tak terdengar. "Iya Pak."Pak Amin membuang napas, lalu ia berucap, "Pastikan orangtuamu datang besok. Jangan sampai surat itu tidak kau berikan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status