Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.
Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi. "Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul. "Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya. Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku dipenuhi suara-suara asing. Suara yang bukan milikku. "Aku sudah nggak kuat lagi. Aku akan mengakhiri semuanya hari ini," suara itu bergema dalam pikiranku—suara Tedi. Kata-kata itu menghantamku seperti petir di siang bolong, membuat jantungku berdegup kencang. Aku baru menyadari bahwa rambut dan baju Tedi basah. Saat aku kembali menatap matanya, ku lihat bayangan yang terjadi tadi sebelum pulang, ku lihat Tedi disiram sebotol air oleh Bobi. Bobi memang selalu usil pada kami. “Tedi, kamu baik-baik aja kan?” tanyaku, meski di dalam hati aku tahu jawabannya tidak. Tedi menoleh, tetapi tatapannya kosong, penuh dengan keputusasaan. “Aku… Aku nggak apa-apa,” ucapnya datar. Namun aku tahu, itu bohong. Tatapan matanya kembali bertemu dengan mataku, dan sekali lagi pikiranku terisi dengan suara-suara yang tak kumengerti. "Aku akan ke jembatan itu... Biar semua selesai hari ini." Hatiku tersentak. Suara-suara ini... apa mungkin aku benar-benar bisa membaca pikiran Tedi? Ini tidak masuk akal. Aku menggeleng, berusaha menepis apa yang baru saja terjadi. Ini pasti hanya halusinasi—mungkin karena kepalaku yang masih pusing. Tapi bagaimana kalau ini benar? Bagaimana kalau Tedi sungguh berniat mengakhiri hidupnya? Aku tak bisa diam saja. Kalau besok ada kabar buruk tentang Tedi, aku pasti akan menyesal seumur hidup karena tidak berbuat apa-apa. Kegelisahan menyergapku. Aku memutuskan untuk mengikuti Tedi diam-diam, berharap bisa membuktikan bahwa semua ini hanya imajinasiku. Tapi baru saja aku melangkah, perutku mendadak melilit. Rasa mulas yang tak tertahankan menyerang. Sial! Di saat seperti ini pula aku harus ke toilet! Aku terjebak antara mengikuti Tedi atau menuruti panggilan alam ini. Tapi perutku sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Dengan tergesa-gesa, aku lari menuju toilet. Setelah selesai, aku keluar dengan perasaan panik. Tedi sudah tidak ada. Dia menghilang. Aku berlari ke sana kemari, mencari Tedi di setiap sudut sekolah, tapi dia benar-benar lenyap. Ingatanku kembali pada suara di kepalaku tadi. Jembatan. Tedi akan ke jembatan yang tidak jauh dari sini. Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju jembatan itu. Sambil berlari, aku dihantui pikiran, apakah harus kuberitahukan ini pada orang lain? Apa yang harus kukatakan? Kalau aku bilang aku bisa membaca pikirannya, mereka pasti akan menganggapku gila. Lagipula, aku sendiri masih bingung dengan semua ini. Namun, aku tahu satu hal: tidak ada waktu lagi. Jika semua pikiran Tedi itu benar, Tedi mungkin sudah berada di jembatan itu sekarang... bersiap-siap untuk melompat. Aku berlari sekuat tenaga, napasku tersengal-sengal, hatiku berdebar kencang. Takut semuanya terlambat. Ketika aku sampai di jembatan, pemandangan itu menghantamku—Tedi berdiri di tepi, seolah siap melepaskan segalanya. Tubuhnya tampak rapuh, begitu kecil dibandingkan dunia yang luas di sekelilingnya. Waktu serasa melambat. Dalam sepersekian detik, aku melihat tubuhnya melayang di udara. "Tedi!" jeritanku menggema di udara, dan entah bagaimana, jari-jariku berhasil mencengkeram tangannya yang dingin, hanya beberapa inci dari kematian. “Tedi, jangan!” teriakku dengan napas tercekik, memegang tangannya erat, seolah hidupnya bergantung pada genggaman itu. "Lepaskan aku, Thomas! Biarkan aku pergi!" Tedi menjerit, suaranya pecah oleh kemarahan dan putus asa. Tangannya bergetar hebat, berusaha melepaskan diri dari genggamanku. Dia menatapku dengan tatapan penuh kebencian, seolah aku penghalang bagi akhir yang ia idamkan. "Apa yang kau lakukan di sini? Pergi! Ini hidupku! Jangan ikut campur!" Tedi mengguncangkan tubuhnya semakin kuat, membuat tubuhku ikut terguncang. Tanganku yang lain berpegangan erat pada pagar besi jembatan, sementara tubuhku tertarik oleh beban beratnya. Jantungku berdetak tak keruan. Sementara Tedi terus berontak, setiap guncangannya mengancam akan melepaskan kami berdua ke dalam jurang. “Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan, Tedi!” teriakku, suaraku nyaris pecah oleh emosi. "Hidupmu lebih berharga dari ini! Kamu mungkin merasa sendirian, tapi aku peduli. Ada banyak orang yang peduli padamu, Tedi!" “Kamu nggak ngerti apa-apa!” Tedi balas berteriak, tangisnya mulai pecah di tengah guncangan tubuhnya. “Kamu nggak tahu betapa sakitnya! Aku nggak punya siapa-siapa. Ini satu-satunya jalan keluar bagiku!” “Aku ngerti lebih dari yang kamu kira!” kataku, suaraku tersendat oleh emosi yang mulai menguasai. “Aku juga dibuli, Tedi! Aku tahu rasanya! Rambut pirang ini, kulitku yang berbeda. Mataku yang berbeda warna. Semua itu jadi alasan mereka untuk menjadikanku bahan ejekan. Tapi aku tidak putus asa." Tanganku semakin erat mencengkeram tangannya, saat tubuhnya mulai goyah lagi. Aku menariknya sedikit lebih dekat. "Kamu nggak paham, Thomas!" Tedi berteriak, matanya kini basah dengan air mata yang mengalir deras. "Aku nggak bisa lagi! Orangtuaku... mereka selalu bertengkar. Setiap hari aku mendengar mereka menjerit satu sama lain. Dan aku... aku cuma jadi pelampiasan! Mereka nggak peduli sama aku! Aku nggak berarti apa-apa di rumah. Sementara di sekolah, aku cuma jadi sasaran bully. Aku muak! Semua ini nggak ada gunanya lagi!” Aku merasakan perih yang mendalam dalam suaranya, tapi aku tidak bisa menyerah. Aku harus melawan demi dirinya, meski ia sudah kehilangan harapan. “Kau pikir hidupku mudah?” Aku berteriak balik, suaraku pecah oleh kemarahan dan kesedihan yang menumpuk. “Setidaknya, kau tahu siapa orangtuamu, meski mereka bertengkar. Aku bahkan tidak tahu siapa orangtuaku! Aku ditinggalkan saat masih bayi. Aku tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati, bahkan di mana mereka berada—aku nggak tahu apa-apa soal mereka! Jadi, jangan bicara soal kesepian seolah-olah kau satu-satunya yang merasakannya!” Tedi terdiam, air matanya mengalir deras. Pegangan tanganku mulai melemah, tenagaku sudah terkuras habis menahan bobot tubuhnya. Tangan Tedi hampir terlepas dari genggamanku, ia siap terjun ke aliran deras sungai yang menunggu di bawah jembatan. Badanku mulai bergeser, tertarik oleh berat Tedi yang melayang layang di tepi jembatan. Dalam detik-detik yang mengerikan itu, hatiku bergetar dalam kebimbangan: akankah aku bisa menyelamatkan Tedi, atau akankah aku terpaksa melepaskannya agar tidak ikut terjatuh? Atau mungkin, kami berdua akan terhempas ke dalam arus yang menanti di bawah sana.Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen
Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta
Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan
"Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak
"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku. Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu. Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima. Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak d
Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku
"Tedi?" Ucapku sedikit kaget, "Kenapa belum pulang?" Tanyaku."Aku tahu bagaimana rasanya berada dalam keterpurukan. Saat di mana kita butuh seseorang yang memberi dukungan dan semangat." Ucap Tedi dengan wajah meyakinkan, "Aku juga akan mengantar Nina ke ruang kepala sekolah." Tambah Tedi.Wajah Nina mulai berbinar. Meskipun ketakutan itu masih ada, setidaknya ada cahaya kecil di tengah kegelapan yang melingkupinya. “Terima kasih teman-teman. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian tidak ada di sini.” Kami pun memutuskan untuk pergi bersama menuju ruang kepala sekolah. Langkah kami berat, setiap detik terasa seolah dunia berputar lebih lambat. Di sepanjang lorong, aku bisa merasakan tatapan teman-teman yang lain yang menyadari bahwa kami sedang menuju suatu tempat penting.Setibanya di ruang kepala sekolah, Bu Rini sudah berada di sana, menunggu dengan wajah yang tampak serius. Ketika ia melihat kami berempat datang, ekspresi heran melintas di wajahnya. Sementara Pak Kepala
Aku mencoba memandang wajah pria itu, namun topi yang dipakainya menutupi sebagian besar wajahnya. Dia kemudian mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum."Pak Dodo...?" tanyaku ragu, tapi aku mulai mengenali sosoknya. Dia adalah Pak Dodo, petugas kebersihan dan penjaga gudang sekolah."Hehe, iya, ini saya," jawab Pak Dodo, suaranya penuh keakraban."Ih, kirain siapa! Kenapa topinya sampai nutupin wajah? Jadinya susah lihat mukanya," protesku setengah bercanda. Pak Dodo terkekeh kecil, "Biar bikin penasaran. Hehe..." jawabnya."Ini, tadi Bu Rini nitipin ini buat kalian. Katanya ketinggalan di ruang kepala sekolah." Aku melihat lebih dekat, dan benar saja, itu anting milik Nina—anting yang tadi dipegang Bu Rini. Nina pun tampak sedikit terkejut. "Oh, iya. Terima kasih, Pak Dodo," ucap Nina sambil mengambil anting itu.Pak Dodo tersenyum lebar, "Iya, sama-sama," katanya sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan kami.Setelah itu, kami pun berpisah, pulang ke rumah masing-mas
Seekor kucing hitam menatapku tajam. Matanya berkilat, pupilnya sedikit menyempit seolah sedang meneliti sesuatu yang mencurigakan. Aku mengernyit. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, setiap kucing yang melihatku akan langsung berlari menjauh sambil mendesis penuh kemarahan. Tapi kucing ini… tidak. Ia tidak berlari, tidak mendesis, hanya diam dan menatapku lekat-lekat seakan penuh dengan tanya.Rasa penasaran menjalar di benakku. Aku menatap balik kucing itu, mempertanyakan sesuatu yang tak bisa kuutarakan dengan kata-kata. Lalu, sebuah pikiran terbersit—apakah aku juga bisa membaca pikiran kucing? Sejauh ini, aku hanya pernah membaca pikiran manusia, karena manusia memiliki bahasa yang bisa kutangkap dalam bentuk kata dan kalimat di dalam benak mereka. Tapi hewan? Mereka tidak memiliki bahasa seperti manusia.Aku memfokuskan pandanganku pada mata kucing itu, mencoba masuk ke dalam pikirannya seperti yang biasa kulakukan pada manusia.Dunia di sekitarku tiba-tiba bergetar. Ada sensasi an
Aku terbelalak kaget. Bobi tersungkur, dan sosok yang menyerangnya kini berada di atasnya, mencengkeram kerah bajunya dengan penuh emosi."Kau pikir kau bisa menjahili kami lagi?!" teriak orang itu, suaranya penuh amarah.Riko dan Jejen berusaha menarik orang itu, namun Ia berhasil menepis tangan Riko dan Jejen. Aku masih terlalu terkejut untuk bereaksi, tetapi saat aku melihat wajah orang itu dengan jelas, dadaku langsung terasa sesak.Itu Tedi.Tedi, yang selama ini terlihat lemah dan hanya selalu bisa pasrah ketika dijahili oleh mereka bertiga tanpa bisa sedikitpun melawan, kini berada di atas Bobi dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala, rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat kerah baju Bobi seakan ingin meremukkannya. Entah apa yang merasukinya hingga ia sampai bisa bersikap seperti itu. "Tedi, berhenti!" suaraku serak, tapi aku tidak bergerak. Kakiku seperti tertanam di tanah, sementara mataku terpaku pada apa yang sedang terjadi di hadapanku.Namun, Tedi tidak
Aku menatap mata Bobi tajam, mencoba membaca semua ekspresi wajahnya. Aku ingin tahu apakah semua ini hanya karena dia merasa berhutang budi setelah aku membelanya di depan kepala sekolah. Aku mengepalkan tangan, menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di dadaku."Apakah permintaan maafmu ini hanya karena aku membelamu di depan Pak Amin?" suaraku terdengar dingin, penuh keraguan. "Kalau itu alasannya, kau tidak perlu meminta maaf padaku seperti ini. Kau tidak usah merasa berhutang budi padaku. Lupakan saja semua yang terjadi di ruang kepala sekolah."Bobi mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya dipenuhi kesombongan kini terlihat penuh dengan sesuatu yang sulit kuartikan—penyesalan? Kesedihan? Kebingungan?"Awalnya... iya, mau tidak mau aku harus mengakuinya." jawabnya lirih, hampir berbisik. "Aku merasa bersalah karena kau sudah menolongku, padahal aku nggak pernah berhenti menjahati dan mempermalukanmu. Aku pikir, paling tidak, aku harus mengucapkan terima kasih atau minta maaf."
Pak Amin berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi serius, tatapannya tajam menusuk, seolah tak ingin ada alasan ataupun perdebatan."Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya dalam dan tegas, membuat ketiga anak itu refleks menegakkan tubuh.Bobi menelan ludah, mencoba menjawab, tapi Pak Amin sudah lebih dulu melanjutkan, "Bukankah tadi sudah diumumkan bahwa sekolah akan mengadakan rapat tertutup. Seharusnya kalian semua sudah meninggalkan area sekolah sejak tadi."Riko dan Jejen saling pandang, lalu buru-buru berdiri. Jejen menggaruk tengkuknya, berusaha mencari alasan, tapi tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.Pak Amin mengalihkan pandangannya ke Bobi, ekspresinya semakin dalam. "Dan kau, Bobi, bukankah tadi bapak menyuruhmu memberikan surat panggilan kepada orangtuamu?"Bobi menunduk, lalu ia berbicara dengan suaranya yang nyaris tak terdengar. "Iya Pak."Pak Amin membuang napas, lalu ia berucap, "Pastikan orangtuamu datang besok. Jangan sampai surat itu tidak kau berikan
Aku fokuskan mataku menatap mata Bobi, mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya dari pikirannya, apa sebenarnya yang sedang ia lakukan di sini.Beberapa saat pikirannya mulai terbuka di hadapanku. Gambaran kejadian sebelumnya muncul seperti rekaman yang diputar ulang di dalam kepalaku.Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Bobi mencari Riko dan Jejen, dan mengajak mereka ke taman belakang sekolah, Bobi duduk berhadapan dengan Riko dan Jejen. Suasana di antara mereka terasa tegang, berbeda dari biasanya. Biasanya, mereka bertiga bercanda, menyusun rencana untuk menjahiliku. Tapi kali ini, Bobi datang dengan niat berbeda."Ada hal yang ingin aku katakan." Ucap Bobi dengan nada dan wajah serius. Riko dan Jejen saling bertatapan satu sama lain, lalu menoleh ke arah Bobi dengan ekspresi penasaran."Aku tahu kalian pasti nggak bakal suka dengar ini," Bobi memulai, suaranya terdengar sedikit ragu. "Tapi, aku putuskan mulai hari ini kita harus berhenti menjaili Thomas."Riko yang seda
Pagi ini, sesuatu terasa sangat berbeda. Sekolah yang biasanya riuh kini terasa sunyi. Tak ada bel masuk, tak ada guru di depan kelas, hanya sekelompok staf yang berbisik dengan wajah serius.Lalu, suara dari pengeras suara menggema ke seluruh penjuru sekolah."Perhatian untuk seluruh siswa. Hari ini, sekolah akan diliburkan karena akan diadakan rapat khusus. Semua siswa diminta segera pulang dan meninggalkan area sekolah."Bisik-bisik langsung memenuhi udara. Beberapa siswa tampak begitu senang karena bisa pulang lebih awal, sementara yang lain terlihat heran dan bingung. Aku melangkah menuju gerbang bersama mereka, tetapi pikiranku masih terganggu oleh kejadian tadi malam.Aku menghela napas, mencoba menepis pikiran itu. Tapi sebelum aku bisa benar-benar keluar dari gerbang sekolah, suara lain menghentikanku."Thomas."Aku menoleh. Pak Kepala Sekolah berdiri di ambang pintu kantornya, menatapku dengan sorot mata sulit ditebak."Ikut saya ke ruangan," katanya pelan, tapi tegas.Jantu
Mataku terbuka dengan tiba-tiba, dan aku merasakan sensasi tidak nyaman yang seolah menggelitik. Rasa ingin buang air kecil yang tak tertahankan lagi memaksaku untuk segera bangun dari tidurku. Ini mungkin akibat dari kegembiraan kami sore itu, ketika aku, Tedi, Nina, dan Rossi memborong es teh manis dari penjual langganan kami untuk merayakan kemenangan kami dalam mengungkap kasus pencurian yang dilakukan oleh Pak Udin.Kami telah meminum es teh manis itu hingga perut kami kembung, dan sekarang aku harus membayar harga untuk itu. Sejak pulang sekolah hingga sebelum tidur, aku telah bolak-balik ke kamar kecil. Padahal harusnya sekarang sudah kembali normal, tapi nyatanya sekarangpun, rasa tidak nyaman itu kembali datang, membangunkanku dari tidur yang nyenyak.Bayanganku melayang ke sore tadi, ketika kami memborong es teh manis untuk merayakan kemenangan kami dalam mengungkap kasus pencurian yang dilakukan oleh Pak Udin."Makasih teman-teman, berkat bantuan kalian, aku bisa lepas dari
Kami semua terdiam tanpa satu katapun.Orang itu Pak Dodo. Ia sedikit celingukan, sampai matanya tertuju pada benda yang ia cari. Sapu lidi dan pengki yang berada tak jauh dari kami. Sambil meraih benda-benda itu, ia lalu berkata, "Semoga rencananya berhasil ya." Dengan senyum yang ramah tapi penuh misteri, Pak Dodo beranjak meninggalkan kami. Apakah ia tadi mendengar semua yang kami bicarakan?***Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru mendekati kelas. Pintu terbuka dengan cepat—itu Tedi, Nina, dan Rossi. Tedi, dengan senyum kemenangan yang lebar di wajahnya, langsung menghampiriku. Saat aku menatap matanya, pikirannya seketika terbuka bagiku. Aku bisa melihat apa yang terjadi di ruang guru—rencana untuk mengungkap Pak Udin berhasil.Tadi ketika bel masuk berbunyi, Tedi, Nina, dan Rossi menuju ruang guru sambil membawa buku LKS. Mereka menjalankan rencana yang sudah kami sepakati bersama. Aku tidak bisa ikut karena sudah disuruh pulang untuk memberikan surat undangan orang t
Tidak. Tadi aku sudah sepakat dengan diriku sendiri kalau aku tidak akan mengungkap rahasiaku. Kemampuanku membaca pikiran. Tidak boleh ada yang tahu. Setidaknya untuk saat ini.Ku dengar bel istirahat baru saja berbunyi. Suasana di sekitar mulai hiruk-pikuk. Para siswa berhamburan menuju kantin, dan aku hanya berdiri terpaku di koridor. Mataku menangkap sosok Bobi yang keluar dari ruang kepala sekolah dan berlari terburu-buru ke arah kelas. Apa yang dia pikirkan sekarang? Penyesalan? Ketakutan?Beberapa saat kemudian aku melihat Tedi, Rossi, dan Nina berjalan mendekat. Mereka bertiga memandangku dengan sorot mata penuh tanya, seakan ingin tahu apa yang baru saja terjadi di ruang kepala sekolah. Tedi, yang pertama kali berbicara."Ada apa, Thomas?" tanya Tedi, matanya menyipit heran ketika melihat surat yang kupegang erat. "Surat apa itu?" Rossi ikut bertanya, mendekat. "Surat pemanggilan orang tua?" Suara Nina bergetar dengan nada terkejut. Aku menarik napas panjang, mencoba menahan