Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.
Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi. "Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul. "Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya. Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku dipenuhi suara-suara asing. Suara yang bukan milikku. "Aku sudah nggak kuat lagi. Aku akan mengakhiri semuanya hari ini," suara itu bergema dalam pikiranku—suara Tedi. Kata-kata itu menghantamku seperti petir di siang bolong, membuat jantungku berdegup kencang. Aku baru menyadari bahwa rambut dan baju Tedi basah. Saat aku kembali menatap matanya, ku lihat bayangan yang terjadi tadi sebelum pulang, ku lihat Tedi disiram sebotol air oleh Bobi. Bobi memang selalu usil pada kami. “Tedi, kamu baik-baik aja kan?” tanyaku, meski di dalam hati aku tahu jawabannya tidak. Tedi menoleh, tetapi tatapannya kosong, penuh dengan keputusasaan. “Aku… Aku nggak apa-apa,” ucapnya datar. Namun aku tahu, itu bohong. Tatapan matanya kembali bertemu dengan mataku, dan sekali lagi pikiranku terisi dengan suara-suara yang tak kumengerti. "Aku akan ke jembatan itu... Biar semua selesai hari ini." Hatiku tersentak. Suara-suara ini... apa mungkin aku benar-benar bisa membaca pikiran Tedi? Ini tidak masuk akal. Aku menggeleng, berusaha menepis apa yang baru saja terjadi. Ini pasti hanya halusinasi—mungkin karena kepalaku yang masih pusing. Tapi bagaimana kalau ini benar? Bagaimana kalau Tedi sungguh berniat mengakhiri hidupnya? Aku tak bisa diam saja. Kalau besok ada kabar buruk tentang Tedi, aku pasti akan menyesal seumur hidup karena tidak berbuat apa-apa. Kegelisahan menyergapku. Aku memutuskan untuk mengikuti Tedi diam-diam, berharap bisa membuktikan bahwa semua ini hanya imajinasiku. Tapi baru saja aku melangkah, perutku mendadak melilit. Rasa mulas yang tak tertahankan menyerang. Sial! Di saat seperti ini pula aku harus ke toilet! Aku terjebak antara mengikuti Tedi atau menuruti panggilan alam ini. Tapi perutku sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Dengan tergesa-gesa, aku lari menuju toilet. Setelah selesai, aku keluar dengan perasaan panik. Tedi sudah tidak ada. Dia menghilang. Aku berlari ke sana kemari, mencari Tedi di setiap sudut sekolah, tapi dia benar-benar lenyap. Ingatanku kembali pada suara di kepalaku tadi. Jembatan. Tedi akan ke jembatan yang tidak jauh dari sini. Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju jembatan itu. Sambil berlari, aku dihantui pikiran, apakah harus kuberitahukan ini pada orang lain? Apa yang harus kukatakan? Kalau aku bilang aku bisa membaca pikirannya, mereka pasti akan menganggapku gila. Lagipula, aku sendiri masih bingung dengan semua ini. Namun, aku tahu satu hal: tidak ada waktu lagi. Jika semua pikiran Tedi itu benar, Tedi mungkin sudah berada di jembatan itu sekarang... bersiap-siap untuk melompat. Aku berlari sekuat tenaga, napasku tersengal-sengal, hatiku berdebar kencang. Takut semuanya terlambat. Ketika aku sampai di jembatan, pemandangan itu menghantamku—Tedi berdiri di tepi, seolah siap melepaskan segalanya. Tubuhnya tampak rapuh, begitu kecil dibandingkan dunia yang luas di sekelilingnya. Waktu serasa melambat. Dalam sepersekian detik, aku melihat tubuhnya melayang di udara. "Tedi!" jeritanku menggema di udara, dan entah bagaimana, jari-jariku berhasil mencengkeram tangannya yang dingin, hanya beberapa inci dari kematian. “Tedi, jangan!” teriakku dengan napas tercekik, memegang tangannya erat, seolah hidupnya bergantung pada genggaman itu. "Lepaskan aku, Thomas! Biarkan aku pergi!" Tedi menjerit, suaranya pecah oleh kemarahan dan putus asa. Tangannya bergetar hebat, berusaha melepaskan diri dari genggamanku. Dia menatapku dengan tatapan penuh kebencian, seolah aku penghalang bagi akhir yang ia idamkan. "Apa yang kau lakukan di sini? Pergi! Ini hidupku! Jangan ikut campur!" Tedi mengguncangkan tubuhnya semakin kuat, membuat tubuhku ikut terguncang. Tanganku yang lain berpegangan erat pada pagar besi jembatan, sementara tubuhku tertarik oleh beban beratnya. Jantungku berdetak tak keruan. Sementara Tedi terus berontak, setiap guncangannya mengancam akan melepaskan kami berdua ke dalam jurang. “Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan, Tedi!” teriakku, suaraku nyaris pecah oleh emosi. "Hidupmu lebih berharga dari ini! Kamu mungkin merasa sendirian, tapi aku peduli. Ada banyak orang yang peduli padamu, Tedi!" “Kamu nggak ngerti apa-apa!” Tedi balas berteriak, tangisnya mulai pecah di tengah guncangan tubuhnya. “Kamu nggak tahu betapa sakitnya! Aku nggak punya siapa-siapa. Ini satu-satunya jalan keluar bagiku!” “Aku ngerti lebih dari yang kamu kira!” kataku, suaraku tersendat oleh emosi yang mulai menguasai. “Aku juga dibuli, Tedi! Aku tahu rasanya! Rambut pirang ini, kulitku yang berbeda. Mataku yang berbeda warna. Semua itu jadi alasan mereka untuk menjadikanku bahan ejekan. Tapi aku tidak putus asa." Tanganku semakin erat mencengkeram tangannya, saat tubuhnya mulai goyah lagi. Aku menariknya sedikit lebih dekat. "Kamu nggak paham, Thomas!" Tedi berteriak, matanya kini basah dengan air mata yang mengalir deras. "Aku nggak bisa lagi! Orangtuaku... mereka selalu bertengkar. Setiap hari aku mendengar mereka menjerit satu sama lain. Dan aku... aku cuma jadi pelampiasan! Mereka nggak peduli sama aku! Aku nggak berarti apa-apa di rumah. Sementara di sekolah, aku cuma jadi sasaran bully. Aku muak! Semua ini nggak ada gunanya lagi!” Aku merasakan perih yang mendalam dalam suaranya, tapi aku tidak bisa menyerah. Aku harus melawan demi dirinya, meski ia sudah kehilangan harapan. “Kau pikir hidupku mudah?” Aku berteriak balik, suaraku pecah oleh kemarahan dan kesedihan yang menumpuk. “Setidaknya, kau tahu siapa orangtuamu, meski mereka bertengkar. Aku bahkan tidak tahu siapa orangtuaku! Aku ditinggalkan saat masih bayi. Aku tidak tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati, bahkan di mana mereka berada—aku nggak tahu apa-apa soal mereka! Jadi, jangan bicara soal kesepian seolah-olah kau satu-satunya yang merasakannya!” Tedi terdiam, air matanya mengalir deras. Pegangan tanganku mulai melemah, tenagaku sudah terkuras habis menahan bobot tubuhnya. Tangan Tedi hampir terlepas dari genggamanku, ia siap terjun ke aliran deras sungai yang menunggu di bawah jembatan. Badanku mulai bergeser, tertarik oleh berat Tedi yang melayang layang di tepi jembatan. Dalam detik-detik yang mengerikan itu, hatiku bergetar dalam kebimbangan: akankah aku bisa menyelamatkan Tedi, atau akankah aku terpaksa melepaskannya agar tidak ikut terjatuh? Atau mungkin, kami berdua akan terhempas ke dalam arus yang menanti di bawah sana.Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen
Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta
Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan
"Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak
"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak dudu
"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak dudu
"Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak
Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan
Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta
Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen
Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di