"Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua.
"Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini." Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya." Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi. "Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak akan menyebarkan identitasmu. Cukup kembalikan hp ibu, dan semua masalah selesai." Ucap Bu Rini penuh penekanan. Bu Rini lalu menatap kami satu per satu, seolah-olah berusaha mencari jawaban di antara wajah-wajah yang tertunduk. Pak Amin menambahkan, "Bapak juga berharap kalian semua bisa berkontribusi untuk menyelesaikan masalah ini. Jika ada di antara kalian yang tahu sesuatu, bapak mohon agar kalian segera melaporkannya." Rasa cemas mengisi ruangan, dan detak jantungku terasa semakin cepat. Mungkinkah ada dari teman-temanku di kelas ini yang berani melakukan hal itu. Bu Rini dan Pak Amin berbalik meninggalkan kelas, meninggalkan kami dengan ribuan pertanyaan. Ketika pintu ditutup, suara bisik-bisik mulai menggema di seluruh kelas, menambah suasana yang sudah tegang ini. Beberapa menit berlalu, Bu Eti, guru kimia, masuk kelas, dan pelajaran berjalan seperti biasa. Aku yang kini sudah menyadari bahwa aku memiliki kemampuan membaca pikiran hanya dengan menatap mata mereka, merasa mungkin ini saat yang tepat untuk menggunakan kemampuanku demi mencari tahu siapa pelaku pencurian itu. Selama pelajaran berlangsung, satu per satu, aku mulai memperhatikan mata teman-temanku. Setiap ada kesempatan, aku curi pandang ke mata mereka, hingga semua siswa di kelas sudah kubaca pikirannya, kecuali Bobi. Aku masih ragu untuk menoleh ke arah Bobi. Tapi dari semua mata yang telah kubaca, tak satu pun dari mereka adalah pelakunya. Tapi jika pelakunya bukan di sini, bagaimana aku bisa menemukannya? Apa aku harus menatap mata setiap siswa di sekolah ini? Ada ribuan siswa di sini, hampir mustahil jika aku harus menatap mereka semua satu per satu. "Thomas!" Teriakan keras Bu Eti membuyarkan lamunanku, menyentakku kembali ke kenyataan. "Dari tadi Ibu lihat kamu celingak-celinguk, tidak fokus sama sekali," suara Bu Eti menggelegar, penuh teguran. "Saya... saya memperhatikan kok, Bu," jawabku terbata-bata, berusaha terdengar meyakinkan meski dalam hati gelisah. "Oh ya? Berdiri kamu!" perintahnya dengan tegas. Aku berdiri dengan gugup. Tiba-tiba semua perhatian di kelas tertuju padaku. Rasanya seolah-olah waktu melambat. Bu Eti menyilangkan tangan di dadanya, lalu berjalan mendekat. "Sekarang jawab pertanyaan ini! Apa rumus kimia dari asam sulfat?" Badanku gemetar. Dari tadi aku memang tidak memperhatikan apa yang dijelaskan oleh Bu Eti. Aku sibuk membaca pikiran teman-temanku. Aku menunduk, bingung harus menjawab apa. Otakku kosong. "Katanya memperhatikan. Ayo jawab!" suara Bu Eti memotong keheningan, terdengar kesal. "Jangan menunduk! Lihat wajah ibu!" ucap Bu Eti dengan nada meninggi. Aku tersentak, mencoba mengangkat wajahku dan menatap mata Bu Eti dengan ragu. Namun seketika itu juga, seolah-olah pikiran Bu Eti terbuka di depanku, dan jawaban atas pertanyaannya terlintas begitu saja di kepalaku. "Asam sulfat... rumusnya H2SO4," jawabku dengan terbata-bata. Kata-kataku keluar begitu saja, seolah aku tahu jawabannya, padahal kenyataannya, aku hanya membaca apa yang ada dalam pikiran Bu Eti. Aku baru sadar ternyata ketika Bu Eti memberi pertanyaan padaku, otomatis ia akan memikirkan jawabannya juga. Napasku masih berat, dan keringat mulai membasahi pelipisku. Bu Eti memandangku, sedikit terkejut, tapi ia merasa belum cukup. "Jelaskan proses elektrolisis air menggunakan asam sulfat sebagai katalis." ucap Bu Eti lagi. Jantungku kembali berdetak kencang. Aku tahu aku tak punya pilihan lain. Aku harus menatap matanya lagi. Aku fokuskan pandanganku, dan seperti sebelumnya, pikirannya terbuka lebar. Jawaban itu ada di sana, menunggu untuk dibaca. "Elektrolisis air menghasilkan gas hidrogen di katoda dan gas oksigen di anoda. Asam sulfat bertindak sebagai katalis untuk meningkatkan daya hantar listrik," jawabku, kali ini sedikit lebih mantap, meskipun masih ada getaran dalam suaraku. Kelas jadi makin hening, beberapa siswa nampaknya terkejut dengan jawabanku. Aku yang dikenal tidak terlalu pandai dalam pelajaran kimia, kini tiba-tiba tampil dengan jawaban yang meyakinkan. Tapi tatapan Bu Eti belum berubah. "Pertanyaan terakhir, Thomas. Jelaskan hukum Lavoisier tentang massa dalam reaksi kimia." Aku menarik napas dalam-dalam. Sekarang, aku mulai merasa lebih percaya diri. Selama aku bisa menatap matanya, jawabannya pasti akan muncul. Mataku fokus pada tatapan Bu Eti, dan lagi, pikirannya memberi jawaban untukku. "Hukum kekekalan massa," kataku, suaraku lebih tegas. "Lavoisier menyatakan bahwa massa zat sebelum dan sesudah reaksi kimia selalu sama. Tidak ada yang hilang, hanya berubah bentuk." "Jawabanmu benar semua." Bu Eti akhirnya mengangguk, sedikit lebih puas. "Tapi meskipun kamu sudah menguasai pelajaran ini, kamu tidak boleh celingak-celinguk dan tidak fokus. Kamu harus tetap mendengarkan penjelasan guru dengan serius," katanya dengan nada peringatan. Aku mengangguk cepat, merasa lega. "Iya, Bu. Saya minta maaf. Tidak akan saya ulangi lagi." "Kamu boleh duduk kembali." Bu Eti tersenyum tipis sebelum melangkah kembali ke depan kelas. Aku duduk, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Rasanya aneh, campuran antara kelegaan dan kebingungan. Apakah ini termasuk curang atau tidak? Entahlah. Sementara itu, Bu Eti melanjutkan penjelasannya, suaranya kembali memenuhi ruangan. Selang beberapa waktu berlalu, bel istirahat berbunyi, memecah konsentrasi semua orang. Bu Eti mengakhiri pelajarannya, membereskan buku dan barang-barangnya. "Baik anak-anak. Semoga apa yang ibu jelaskan bisa kalian pahami sepenuhnya. Jangan lupa baca-baca lagi di rumah." ucap Bu Eti menutup pelajarannya, lalu pergi meninggalkan kelas. Semua orang mulai meninggalkan kursinya dan pergi keluar kelas. Bobi berjalan melewatiku. Dia satu-satunya orang di kelas ini yang pikirannya belum sempat kubaca. Aku harus memastikan apakah Bobi pelaku pencurian itu atau bukan. Aku berpura-pura tidak sengaja menoleh, dan tepat saat itu, mata kami bertemu. Bobi tersenyum tipis dan sinis, lalu berpaling. Tapi saat itu juga, pikirannya tiba-tiba terbuka di hadapanku. Aku mulai melihat apa yang ada dalam benaknya. Namun apa yang kulihat membuat dadaku tersentak kaget, napasku tertahan. Aku tertegun. Benarkah ia akan melakukannya?"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku. Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu. Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima. Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak d
Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku
"Tedi?" Ucapku sedikit kaget, "Kenapa belum pulang?" Tanyaku."Aku tahu bagaimana rasanya berada dalam keterpurukan. Saat di mana kita butuh seseorang yang memberi dukungan dan semangat." Ucap Tedi dengan wajah meyakinkan, "Aku juga akan mengantar Nina ke ruang kepala sekolah." Tambah Tedi.Wajah Nina mulai berbinar. Meskipun ketakutan itu masih ada, setidaknya ada cahaya kecil di tengah kegelapan yang melingkupinya. “Terima kasih teman-teman. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian tidak ada di sini.” Kami pun memutuskan untuk pergi bersama menuju ruang kepala sekolah. Langkah kami berat, setiap detik terasa seolah dunia berputar lebih lambat. Di sepanjang lorong, aku bisa merasakan tatapan teman-teman yang lain yang menyadari bahwa kami sedang menuju suatu tempat penting.Setibanya di ruang kepala sekolah, Bu Rini sudah berada di sana, menunggu dengan wajah yang tampak serius. Ketika ia melihat kami berempat datang, ekspresi heran melintas di wajahnya. Sementara Pak Kepala
Aku mencoba memandang wajah pria itu, namun topi yang dipakainya menutupi sebagian besar wajahnya. Dia kemudian mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum."Pak Dodo...?" tanyaku ragu, tapi aku mulai mengenali sosoknya. Dia adalah Pak Dodo, petugas kebersihan dan penjaga gudang sekolah."Hehe, iya, ini saya," jawab Pak Dodo, suaranya penuh keakraban."Ih, kirain siapa! Kenapa topinya sampai nutupin wajah? Jadinya susah lihat mukanya," protesku setengah bercanda. Pak Dodo terkekeh kecil, "Biar bikin penasaran. Hehe..." jawabnya."Ini, tadi Bu Rini nitipin ini buat kalian. Katanya ketinggalan di ruang kepala sekolah." Aku melihat lebih dekat, dan benar saja, itu anting milik Nina—anting yang tadi dipegang Bu Rini. Nina pun tampak sedikit terkejut. "Oh, iya. Terima kasih, Pak Dodo," ucap Nina sambil mengambil anting itu.Pak Dodo tersenyum lebar, "Iya, sama-sama," katanya sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan kami.Setelah itu, kami pun berpisah, pulang ke rumah masing-mas
Nenek kemudian beranjak meninggalkanku. Sementara aku berkutat dengan kebingungan yang tiba-tiba."Nenek!" Panggilku."Ya Thomas.." Jawab nenek tanpa menolehku."Boleh aku tanya sesuatu?" ucapku kemudian."Ya, kau mau tanya apa?" Jawab nenek."Siapa orangtuaku? Di mana mereka?" Ucapku serius."Pertanyaan ini sudah sering kau tanyakan, dan nenek sudah sering menjawabnya. Nenek sudah tua. Nenek sudah lupa. Yang nenek tahu, nenek mengurusmu dari kecil. semenjak kau bayi." Jawab Nenek. Jawabannya masih sama.Namun kali ini aku mulai meragukan jawaban itu. Namun sebelum aku menanyakan lebih lanjut, nenek sudah meninggalkanku, mungkin masuk ke kamarnya. Aku terdiam dalam kebimbangan dalam identitasku, dalam masa laluku. Siapa aku sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini kembali menggeliat meminta jawaban. Ku lihat hari sudah malam. Aku masuk ke kamarku, terbaring di atas kasur.Ku pejamkan mata, mencoba mengistirahatkan semua pikiranku. Namun beberapa detik kemudian seolah-olah aku terjun
“Bu, tas dan sepatu ini nenek saya yang membelikannya,” jawabku dengan suara bergetar. Aku merasa sedikit kesal, apa maksud dari pertanyaan ini? Bu Rini menggelengkan kepala, tampaknya tak percaya. “Tas dan sepatu seperti itu pasti mahal. Kami khawatir kamu melakukan sesuatu yang tidak benar untuk mendapatkannya.” Kata-kata Bu Rini bagaikan pukulan keras. Apa yang ia pikirkan? Benarkah ia mencurigaiku yang mengambil hp dan uangnya untuk membeli tas dan sepatu ini? Aku merasa marah, tapi di saat yang sama tak berdaya. Aku tahu situasi ini bisa bertambah buruk jika aku tak bisa menjelaskan dengan baik.“Bu, nenek saya mendapat uang dari hasil menjual sayuran di pasar. Dia panen lebih banyak dari biasanya dan mendapat uang lebih. Itu sebabnya dia membelikan saya tas dan sepatu baru,” jelasku, mencoba menahan emosi.Bapak Kepala Sekolah yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kami hanya ingin memastikan tidak ada hal yang mencurigakan, jadi kami perlu tahu dari mana uang itu berasal
Pak Udin beranjak menuju tempat parkir yang tak jauh dari tempat kami berpapasan. Aku melihat Pak Udin lalu menaiki motornya. Ketika ia memasangkan helm ke kepalanya, kulihat kacamatanya bergoyang seakan mau jatuh. Dan benar saja, kacamatanya terlepas dan jatuh ke tanah. Pak Udin terlihat sedikit kaget dan kesal, karena ia sudah mencoba berhati-hati saat memasang helm di kepalanya agar kacamata yang ia pakai tidak jatuh, tapi akhirnya jatuh juga.Saat Pak Udin hendak mengambil kacamatanya, aku segera bergegas menghampirinya, merasa ini kesempatan bagus untuk bisa menatap matanya dan membaca pikirannya untuk menggali lebih dalam apa yang ada di pikirannya. Aku harus mendapatkan informasi sebanyak mungkin."Biar saya ambilkan, Pak," kataku, setengah berlari menghampirinya, kemudian langsung memungut kacamata itu sebelum Pak Udin sempat membungkuk. "Oh, iya, terima kasih, Thomas," ucap Pak Udin dengan nada sedikit terkejut. Wajahnya tampak senang, meskipun terlihat ada sedikit rasa cangg
Tapi malam ini, rasa penasaran itu semakin kuat. Aku sudah tak bisa lagi menahannya. Aku harus mencari petunjuk tentang orang tuaku. Rahasia yang selama ini mungkin selalu disembunyikan.Pelan-pelan, aku mulai mencuri-curi pandang ke mata nenek. Pertama kali aku menatapnya, aku hanya bisa merasakan kasih sayang yang dalam. Nenek benar-benar menyayangiku, itu terasa jelas dalam setiap pikirannya. Hatiku sedikit tenang. Setidaknya, aku tahu nenek tulus menyayangiku. Tapi kemudian, ketika aku menatapnya lagi, sesuatu yang lain muncul. "Aku sangat menyayangimu, seperti cucuku sendiri. Bahkan, kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri."Aku tertegun. Apa maksudnya? Seperti cucu sendiri? Itu artinya aku bukan cucu asli? Jantungku berdetak kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja kubaca. Aku menatap nenek, berharap kata-kata itu hanya salah tangkap, tapi pikirannya kembali mengulang kalimat yang sama.“Ada apa, Nak? Kok diam saja?” tanya nenek, menyadari aku mendadak terdiam dengan tat
Jantungku terasa sesak. Aku tak percaya dia tega menuduhku. Apa salahku padanya? Aku tahu Bobi suka membuli dan menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini keterlaluan."Bobi! Apa maksudmu?" tanyaku, menahan amarah yang terus memuncak. "Aku tahu kau tak suka padaku. Kau boleh saja membuliku, kau boleh saja menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini sudah kelewatan! Aku tak bisa terima!" Nafasku memburu, dadaku naik turun.Pak Udin kemudian angkat bicara, suaranya datar, "Kemarin aku masih mempercayaimu, Thomas, bahwa kau bukan pelakunya. Tapi setelah ada saksi yang melihatmu, aku terpaksa mengubah pendapatku.""Bobi!" teriakku dengan nada menantang, "Kalau aku memang pencurinya, mana buktinya? Kau tak bisa asal menuduh tanpa bukti." Bu Rini mencoba menenangkan suasana, "Bobi, apa kau punya bukti?" Bobi tampak gelisah, lalu menjawab dengan suara yang tak terlalu mantap, "Aku… aku tidak punya bukti." Bobi lalu menoleh ke arah Pak Udin. Bobi lalu berkata lagi, "Tapi aku melihatnya sendiri, so
Tapi malam ini, rasa penasaran itu semakin kuat. Aku sudah tak bisa lagi menahannya. Aku harus mencari petunjuk tentang orang tuaku. Rahasia yang selama ini mungkin selalu disembunyikan.Pelan-pelan, aku mulai mencuri-curi pandang ke mata nenek. Pertama kali aku menatapnya, aku hanya bisa merasakan kasih sayang yang dalam. Nenek benar-benar menyayangiku, itu terasa jelas dalam setiap pikirannya. Hatiku sedikit tenang. Setidaknya, aku tahu nenek tulus menyayangiku. Tapi kemudian, ketika aku menatapnya lagi, sesuatu yang lain muncul. "Aku sangat menyayangimu, seperti cucuku sendiri. Bahkan, kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri."Aku tertegun. Apa maksudnya? Seperti cucu sendiri? Itu artinya aku bukan cucu asli? Jantungku berdetak kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja kubaca. Aku menatap nenek, berharap kata-kata itu hanya salah tangkap, tapi pikirannya kembali mengulang kalimat yang sama.“Ada apa, Nak? Kok diam saja?” tanya nenek, menyadari aku mendadak terdiam dengan tat
Pak Udin beranjak menuju tempat parkir yang tak jauh dari tempat kami berpapasan. Aku melihat Pak Udin lalu menaiki motornya. Ketika ia memasangkan helm ke kepalanya, kulihat kacamatanya bergoyang seakan mau jatuh. Dan benar saja, kacamatanya terlepas dan jatuh ke tanah. Pak Udin terlihat sedikit kaget dan kesal, karena ia sudah mencoba berhati-hati saat memasang helm di kepalanya agar kacamata yang ia pakai tidak jatuh, tapi akhirnya jatuh juga.Saat Pak Udin hendak mengambil kacamatanya, aku segera bergegas menghampirinya, merasa ini kesempatan bagus untuk bisa menatap matanya dan membaca pikirannya untuk menggali lebih dalam apa yang ada di pikirannya. Aku harus mendapatkan informasi sebanyak mungkin."Biar saya ambilkan, Pak," kataku, setengah berlari menghampirinya, kemudian langsung memungut kacamata itu sebelum Pak Udin sempat membungkuk. "Oh, iya, terima kasih, Thomas," ucap Pak Udin dengan nada sedikit terkejut. Wajahnya tampak senang, meskipun terlihat ada sedikit rasa cangg
“Bu, tas dan sepatu ini nenek saya yang membelikannya,” jawabku dengan suara bergetar. Aku merasa sedikit kesal, apa maksud dari pertanyaan ini? Bu Rini menggelengkan kepala, tampaknya tak percaya. “Tas dan sepatu seperti itu pasti mahal. Kami khawatir kamu melakukan sesuatu yang tidak benar untuk mendapatkannya.” Kata-kata Bu Rini bagaikan pukulan keras. Apa yang ia pikirkan? Benarkah ia mencurigaiku yang mengambil hp dan uangnya untuk membeli tas dan sepatu ini? Aku merasa marah, tapi di saat yang sama tak berdaya. Aku tahu situasi ini bisa bertambah buruk jika aku tak bisa menjelaskan dengan baik.“Bu, nenek saya mendapat uang dari hasil menjual sayuran di pasar. Dia panen lebih banyak dari biasanya dan mendapat uang lebih. Itu sebabnya dia membelikan saya tas dan sepatu baru,” jelasku, mencoba menahan emosi.Bapak Kepala Sekolah yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kami hanya ingin memastikan tidak ada hal yang mencurigakan, jadi kami perlu tahu dari mana uang itu berasal
Nenek kemudian beranjak meninggalkanku. Sementara aku berkutat dengan kebingungan yang tiba-tiba."Nenek!" Panggilku."Ya Thomas.." Jawab nenek tanpa menolehku."Boleh aku tanya sesuatu?" ucapku kemudian."Ya, kau mau tanya apa?" Jawab nenek."Siapa orangtuaku? Di mana mereka?" Ucapku serius."Pertanyaan ini sudah sering kau tanyakan, dan nenek sudah sering menjawabnya. Nenek sudah tua. Nenek sudah lupa. Yang nenek tahu, nenek mengurusmu dari kecil. semenjak kau bayi." Jawab Nenek. Jawabannya masih sama.Namun kali ini aku mulai meragukan jawaban itu. Namun sebelum aku menanyakan lebih lanjut, nenek sudah meninggalkanku, mungkin masuk ke kamarnya. Aku terdiam dalam kebimbangan dalam identitasku, dalam masa laluku. Siapa aku sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini kembali menggeliat meminta jawaban. Ku lihat hari sudah malam. Aku masuk ke kamarku, terbaring di atas kasur.Ku pejamkan mata, mencoba mengistirahatkan semua pikiranku. Namun beberapa detik kemudian seolah-olah aku terjun
Aku mencoba memandang wajah pria itu, namun topi yang dipakainya menutupi sebagian besar wajahnya. Dia kemudian mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum."Pak Dodo...?" tanyaku ragu, tapi aku mulai mengenali sosoknya. Dia adalah Pak Dodo, petugas kebersihan dan penjaga gudang sekolah."Hehe, iya, ini saya," jawab Pak Dodo, suaranya penuh keakraban."Ih, kirain siapa! Kenapa topinya sampai nutupin wajah? Jadinya susah lihat mukanya," protesku setengah bercanda. Pak Dodo terkekeh kecil, "Biar bikin penasaran. Hehe..." jawabnya."Ini, tadi Bu Rini nitipin ini buat kalian. Katanya ketinggalan di ruang kepala sekolah." Aku melihat lebih dekat, dan benar saja, itu anting milik Nina—anting yang tadi dipegang Bu Rini. Nina pun tampak sedikit terkejut. "Oh, iya. Terima kasih, Pak Dodo," ucap Nina sambil mengambil anting itu.Pak Dodo tersenyum lebar, "Iya, sama-sama," katanya sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan kami.Setelah itu, kami pun berpisah, pulang ke rumah masing-mas
"Tedi?" Ucapku sedikit kaget, "Kenapa belum pulang?" Tanyaku."Aku tahu bagaimana rasanya berada dalam keterpurukan. Saat di mana kita butuh seseorang yang memberi dukungan dan semangat." Ucap Tedi dengan wajah meyakinkan, "Aku juga akan mengantar Nina ke ruang kepala sekolah." Tambah Tedi.Wajah Nina mulai berbinar. Meskipun ketakutan itu masih ada, setidaknya ada cahaya kecil di tengah kegelapan yang melingkupinya. “Terima kasih teman-teman. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian tidak ada di sini.” Kami pun memutuskan untuk pergi bersama menuju ruang kepala sekolah. Langkah kami berat, setiap detik terasa seolah dunia berputar lebih lambat. Di sepanjang lorong, aku bisa merasakan tatapan teman-teman yang lain yang menyadari bahwa kami sedang menuju suatu tempat penting.Setibanya di ruang kepala sekolah, Bu Rini sudah berada di sana, menunggu dengan wajah yang tampak serius. Ketika ia melihat kami berempat datang, ekspresi heran melintas di wajahnya. Sementara Pak Kepala
Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku
"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku. Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu. Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima. Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak d