Beranda / Sci-Fi / Mata Ajaib Pembaca Pikiran / Bab 4: Tedi Sudah Lebih Baik

Share

Bab 4: Tedi Sudah Lebih Baik

Penulis: kafhaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-23 17:38:37

Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."

Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.

Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.

Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."

Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matanya penuh kebencian yang tidak kupahami.

Aku terdiam. Padahal aku sangat suka kucing. Tapi, seumur hidupku, setiap kucing yang kutemui pasti menjauh, seolah aku membawa sesuatu yang menakutkan. Apa salahku? Mengapa mereka seolah membenciku? Apa mereka merasakan ada yang aneh dengan tubuhku ini? Ataukah mereka merasa mataku yang belang, biru dan hijau, meniru milik mereka? Aku tak tahu.

Senja perlahan berubah menjadi malam ketika aku akhirnya tiba di rumah. Hari ini benar-benar menguras tenaga dan pikiranku. Tanpa banyak berpikir, aku melangkah ke kamar, membawa semua lelah dalam tubuhku.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, dan begitu punggungku menyentuh permukaan lembut itu, setiap otot dalam tubuhku menyerah, luruh dalam keletihan.

"Thomas? Kau sudah pulang?" Suara nenek tiba-tiba terdengar dari balik pintu kamarku.

"Ya, Nek. Hari ini benar-benar melelahkan. Aku mau istirahat dulu," jawabku lemah, suaraku nyaris tenggelam oleh rasa letih yang menelan seluruh kesadaranku.

Nenek masih berkata sesuatu, tapi kata-katanya perlahan menjadi kabur. Kelelahan sudah menguasai diriku sepenuhnya, membawaku ke ambang antara sadar dan tidur. Dalam hitungan detik, mataku terpejam, dan aku tenggelam ke dalam kegelapan, terhanyut dalam tidur yang dalam.

***

Kring!!! Bunyi nyaring alarm dari ponselku memecah kesunyian, membawaku kembali ke dunia nyata. Kubuka mata perlahan, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku bangkit dan keluar kamar, mataku mencari nenek di sekitar rumah. Namun, tampaknya ia sudah berangkat ke pasar pagi sekali, seperti biasa.

Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu memulai rutinitas pagiku, dan bersiap berangkat ke sekolah.

Di kelas, suasana dipenuhi oleh kebisingan. Suara tawa bercampur dengan obrolan ringan.

Badanku terasa remuk. Setiap inci tubuhku pegal, bekas peristiwa kemarin masih terasa jelas. Aku duduk di kursiku, mencoba mengabaikan rasa sakit. Mataku menangkap Bobi dan kawan-kawannya yang baru saja masuk. Mereka tidak menoleh ke arahku, hanya berjalan lurus menuju tempat duduk mereka di belakang. Bagus. Semoga mereka tak pernah menggangguku lagi.

Lalu, mataku tertuju pada kursi Tedi yang masih kosong. Dia belum datang. Beberapa menit kemudian, Tedi muncul, berjalan pelan menuju tempat duduknya. Aku segera menghampirinya.

“Tedi, bagaimana kabarmu? Sudah merasa lebih baik?” tanyaku, mencoba memastikan keadaannya.

Tedi mengangguk dengan senyum tipis. “Aku baik. Sudah jauh lebih baik.” Tatapannya tampak lebih tenang, dan untuk pertama kalinya sejak kemarin, aku melihat semangat hidupnya kembali muncul di matanya.

“Kemarin, saat aku pulang, orangtuaku menemukan kertas di kamarku. Kertas yang kutulis sebelum pergi,” ucap Tedi pelan, suaranya berat dengan kenangan pahit.

Aku menatap dalam matanya, dan seketika itu, gambaran jelas muncul dalam kepalaku—kejadian yang Tedi ceritakan seolah aku melihatnya sendiri.

Ketika Tedi pulang, orangtua Tedi langsung menyambutnya dengan amarah bercampur ketakutan. Ibunya menggenggam secarik kertas yang ditulis Tedi. Isinya: Jangan mencariku! Aku sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Kemarin, Tedi menulisnya dan menyimpan kertas itu di atas meja di kamarnya sebelum ia berangkat sekolah, dan dia tahu bahwa orangtuanya akan menemukan kertas itu pada sore hari saat mereka pulang kerja ketika mengecek ke kamar Tedi.

“Apa maksud semua ini, Tedi?” Ayahnya menatapnya tajam, kemarahan tertahan di suaranya.

“Kau mau bunuh diri?” Ibunya menimpali, penuh kegeraman.

“Ya, aku memang ingin bunuh diri. Aku muak dengan hidupku, dengan kalian. Aku sudah melompat dari jembatan untuk mengakhiri semuanya, tapi seseorang menyelamatkanku. Dia menasihatiku untuk bertahan, meski aku sudah kehilangan harapan. Dia bilang masih ada yang menyayangiku, termasuk kalian... Walaupun aku ragu, tapi aku percaya padanya,” Tedi mengucapkannya penuh emosi, lalu bergegas masuk ke kamarnya, meninggalkan kedua orangtuanya yang hanya bisa saling bertatapan, bingung dan keheranan.

Pagi ini, sebelum Tedi berangkat sekolah, ibunya tiba-tiba memanggilnya dari dapur. “Tedi, sini, sarapan dulu,” suaranya terdengar lembut.

Biasanya, mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi kini seperti ada yang berbeda. Di meja makan sudah tersaji roti tawar dengan selai dan segelas susu hangat. Tedi duduk, menatap kedua orangtuanya yang sudah menunggu di seberang meja.

“Tedi, bagaimana kabarmu, nak?” tanya ibunya dengan suara lembut, tak seperti hari-hari sebelumnya.

“Baik,” jawab Tedi singkat.

Ibunya menarik napas dalam, lalu berkata, “Ibu dan ayah sudah berdiskusi semalam. Mungkin selama ini kami terlalu sibuk dan kurang memedulikanmu. Kami terlalu sering bertengkar, tanpa memikirkan bagaimana perasaanmu. Kami minta maaf untuk itu, dan mulai hari ini, kami berjanji akan lebih peduli padamu.”

Hati Tedi bergetar mendengar ucapan itu, tapi ia mencoba menyembunyikan perasaannya. Tanpa berkata-kata, Tedi bangkit, menyalami tangan kedua orangtuanya dengan penuh hormat—hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.

“Aku berangkat sekolah dulu,” ucapnya pelan, mengambil tasnya dan melangkah keluar, meninggalkan orangtuanya yang masih terdiam, terharu dengan perubahan sikapnya.

"Kriiiing"

Bel tanda masuk sekolah berbunyi. membuyarkan pikiranku yang sedang menyelam jauh ke dalam pikiran Tedi. Aku beranjak ke kursiku.

Suasana menjadi hening. Kami semua terdiam sejenak, menunggu guru yang seharusnya masuk untuk memulai pelajaran. Namun, ketika pintu kelas terbuka, bukan sosok guru yang dijadwal yang masuk, melainkan Bu Rini, guru matematika kami, diiringi langkah tegas Bapak Kepala Sekolah, Bapak Amin. Keberadaan mereka berdua di depan kelas menimbulkan gelombang kekhawatiran di antara kami.

Bu Rini dan Pak Amin berdiri di depan kami dengan wajah yang serius, aura kekhawatiran menggelayuti setiap kata yang akan mereka ucapkan. "Anak-anak," suara Pak Amin bergetar, menunjukkan ketegangan yang mendalam.

Pak Amin menatap kelas dengan serius, dan suaranya bergetar saat ia melanjutkan, "Ada sesuatu yang sangat mendesak yang terjadi, dan kami ingin kalian semua mendengarkan dengan seksama."

Bu Rini menambahkan, "Ini bukan hanya tentang kalian sebagai siswa, tetapi juga tentang kepercayaan di sekolah ini, dan kami mencurigai salah satu dari kalian terlibat."

Kelas terdiam, napas tertahan. Rasa cemas menjalar di antara kami, satu pertanyaan mengganggu pikiranku, apa sebenarnya yang telah terjadi?

Bab terkait

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 5: Pencuri Di Sekolah

    "Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Anting Nina

    "Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak dudu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 1: Aku Bisa Membaca Matamu

    Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 2: Kau Tak Sendiri

    Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 3: Melawan Bobi

    Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23

Bab terbaru

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Anting Nina

    "Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak dudu

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 5: Pencuri Di Sekolah

    "Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 4: Tedi Sudah Lebih Baik

    Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 3: Melawan Bobi

    Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 2: Kau Tak Sendiri

    Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 1: Aku Bisa Membaca Matamu

    Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status