Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."
Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka. Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku. Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai." Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matanya penuh kebencian yang tidak kupahami. Aku terdiam. Padahal aku sangat suka kucing. Tapi, seumur hidupku, setiap kucing yang kutemui pasti menjauh, seolah aku membawa sesuatu yang menakutkan. Apa salahku? Mengapa mereka seolah membenciku? Apa mereka merasakan ada yang aneh dengan tubuhku ini? Ataukah mereka merasa mataku yang belang, biru dan hijau, meniru milik mereka? Aku tak tahu. Senja perlahan berubah menjadi malam ketika aku akhirnya tiba di rumah. Hari ini benar-benar menguras tenaga dan pikiranku. Tanpa banyak berpikir, aku melangkah ke kamar, membawa semua lelah dalam tubuhku. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, dan begitu punggungku menyentuh permukaan lembut itu, setiap otot dalam tubuhku menyerah, luruh dalam keletihan. "Thomas? Kau sudah pulang?" Suara nenek tiba-tiba terdengar dari balik pintu kamarku. "Ya, Nek. Hari ini benar-benar melelahkan. Aku mau istirahat dulu," jawabku lemah, suaraku nyaris tenggelam oleh rasa letih yang menelan seluruh kesadaranku. Nenek masih berkata sesuatu, tapi kata-katanya perlahan menjadi kabur. Kelelahan sudah menguasai diriku sepenuhnya, membawaku ke ambang antara sadar dan tidur. Dalam hitungan detik, mataku terpejam, dan aku tenggelam ke dalam kegelapan, terhanyut dalam tidur yang dalam. *** Kring!!! Bunyi nyaring alarm dari ponselku memecah kesunyian, membawaku kembali ke dunia nyata. Kubuka mata perlahan, jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku bangkit dan keluar kamar, mataku mencari nenek di sekitar rumah. Namun, tampaknya ia sudah berangkat ke pasar pagi sekali, seperti biasa. Aku menarik napas dalam-dalam. Lalu memulai rutinitas pagiku, dan bersiap berangkat ke sekolah. Di kelas, suasana dipenuhi oleh kebisingan. Suara tawa bercampur dengan obrolan ringan. Badanku terasa remuk. Setiap inci tubuhku pegal, bekas peristiwa kemarin masih terasa jelas. Aku duduk di kursiku, mencoba mengabaikan rasa sakit. Mataku menangkap Bobi dan kawan-kawannya yang baru saja masuk. Mereka tidak menoleh ke arahku, hanya berjalan lurus menuju tempat duduk mereka di belakang. Bagus. Semoga mereka tak pernah menggangguku lagi. Lalu, mataku tertuju pada kursi Tedi yang masih kosong. Dia belum datang. Beberapa menit kemudian, Tedi muncul, berjalan pelan menuju tempat duduknya. Aku segera menghampirinya. “Tedi, bagaimana kabarmu? Sudah merasa lebih baik?” tanyaku, mencoba memastikan keadaannya. Tedi mengangguk dengan senyum tipis. “Aku baik. Sudah jauh lebih baik.” Tatapannya tampak lebih tenang, dan untuk pertama kalinya sejak kemarin, aku melihat semangat hidupnya kembali muncul di matanya. “Kemarin, saat aku pulang, orangtuaku menemukan kertas di kamarku. Kertas yang kutulis sebelum pergi,” ucap Tedi pelan, suaranya berat dengan kenangan pahit. Aku menatap dalam matanya, dan seketika itu, gambaran jelas muncul dalam kepalaku—kejadian yang Tedi ceritakan seolah aku melihatnya sendiri. Ketika Tedi pulang, orangtua Tedi langsung menyambutnya dengan amarah bercampur ketakutan. Ibunya menggenggam secarik kertas yang ditulis Tedi. Isinya: Jangan mencariku! Aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Kemarin, Tedi menulisnya dan menyimpan kertas itu di atas meja di kamarnya sebelum ia berangkat sekolah, dan dia tahu bahwa orangtuanya akan menemukan kertas itu pada sore hari saat mereka pulang kerja ketika mengecek ke kamar Tedi. “Apa maksud semua ini, Tedi?” Ayahnya menatapnya tajam, kemarahan tertahan di suaranya. “Kau mau bunuh diri?” Ibunya menimpali, penuh kegeraman. “Ya, aku memang ingin bunuh diri. Aku muak dengan hidupku, dengan kalian. Aku sudah melompat dari jembatan untuk mengakhiri semuanya, tapi seseorang menyelamatkanku. Dia menasihatiku untuk bertahan, meski aku sudah kehilangan harapan. Dia bilang masih ada yang menyayangiku, termasuk kalian... Walaupun aku ragu, tapi aku percaya padanya,” Tedi mengucapkannya penuh emosi, lalu bergegas masuk ke kamarnya, meninggalkan kedua orangtuanya yang hanya bisa saling bertatapan, bingung dan keheranan. Pagi ini, sebelum Tedi berangkat sekolah, ibunya tiba-tiba memanggilnya dari dapur. “Tedi, sini, sarapan dulu,” suaranya terdengar lembut. Biasanya, mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi kini seperti ada yang berbeda. Di meja makan sudah tersaji roti tawar dengan selai dan segelas susu hangat. Tedi duduk, menatap kedua orangtuanya yang sudah menunggu di seberang meja. “Tedi, bagaimana kabarmu, nak?” tanya ibunya dengan suara lembut, tak seperti hari-hari sebelumnya. “Baik,” jawab Tedi singkat. Ibunya menarik napas dalam, lalu berkata, “Ibu dan ayah sudah berdiskusi semalam. Mungkin selama ini kami terlalu sibuk dan kurang memedulikanmu. Kami terlalu sering bertengkar, tanpa memikirkan bagaimana perasaanmu. Kami minta maaf untuk itu, dan mulai hari ini, kami berjanji akan lebih peduli padamu.” Hati Tedi bergetar mendengar ucapan itu, tapi ia mencoba menyembunyikan perasaannya. Tanpa berkata-kata, Tedi bangkit, menyalami tangan kedua orangtuanya dengan penuh hormat—hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. “Aku berangkat sekolah dulu,” ucapnya pelan, mengambil tasnya dan melangkah keluar, meninggalkan orangtuanya yang masih terdiam, terharu dengan perubahan sikapnya. "Kriiiing" Bel tanda masuk sekolah berbunyi. membuyarkan pikiranku yang sedang menyelam jauh ke dalam pikiran Tedi. Aku beranjak ke kursiku. Suasana menjadi hening. Kami semua terdiam sejenak, menunggu guru yang seharusnya masuk untuk memulai pelajaran. Namun, ketika pintu kelas terbuka, bukan sosok guru yang dijadwal yang masuk, melainkan Bu Rini, guru matematika kami, diiringi langkah tegas Bapak Kepala Sekolah, Bapak Amin. Keberadaan mereka berdua di depan kelas menimbulkan gelombang kekhawatiran di antara kami. Bu Rini dan Pak Amin berdiri di depan kami dengan wajah yang serius, aura kekhawatiran menggelayuti setiap kata yang akan mereka ucapkan. "Anak-anak," suara Pak Amin bergetar, menunjukkan ketegangan yang mendalam. Pak Amin menatap kelas dengan serius, dan suaranya bergetar saat ia melanjutkan, "Ada sesuatu yang sangat mendesak yang terjadi, dan kami ingin kalian semua mendengarkan dengan seksama." Bu Rini menambahkan, "Ini bukan hanya tentang kalian sebagai siswa, tetapi juga tentang kepercayaan di sekolah ini, dan kami mencurigai salah satu dari kalian terlibat." Kelas terdiam, napas tertahan. Rasa cemas menjalar di antara kami, satu pertanyaan mengganggu pikiranku, apa sebenarnya yang telah terjadi?"Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak
"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku. Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu. Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima. Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak d
Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku
"Tedi?" Ucapku sedikit kaget, "Kenapa belum pulang?" Tanyaku."Aku tahu bagaimana rasanya berada dalam keterpurukan. Saat di mana kita butuh seseorang yang memberi dukungan dan semangat." Ucap Tedi dengan wajah meyakinkan, "Aku juga akan mengantar Nina ke ruang kepala sekolah." Tambah Tedi.Wajah Nina mulai berbinar. Meskipun ketakutan itu masih ada, setidaknya ada cahaya kecil di tengah kegelapan yang melingkupinya. “Terima kasih teman-teman. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian tidak ada di sini.” Kami pun memutuskan untuk pergi bersama menuju ruang kepala sekolah. Langkah kami berat, setiap detik terasa seolah dunia berputar lebih lambat. Di sepanjang lorong, aku bisa merasakan tatapan teman-teman yang lain yang menyadari bahwa kami sedang menuju suatu tempat penting.Setibanya di ruang kepala sekolah, Bu Rini sudah berada di sana, menunggu dengan wajah yang tampak serius. Ketika ia melihat kami berempat datang, ekspresi heran melintas di wajahnya. Sementara Pak Kepala
Aku mencoba memandang wajah pria itu, namun topi yang dipakainya menutupi sebagian besar wajahnya. Dia kemudian mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum."Pak Dodo...?" tanyaku ragu, tapi aku mulai mengenali sosoknya. Dia adalah Pak Dodo, petugas kebersihan dan penjaga gudang sekolah."Hehe, iya, ini saya," jawab Pak Dodo, suaranya penuh keakraban."Ih, kirain siapa! Kenapa topinya sampai nutupin wajah? Jadinya susah lihat mukanya," protesku setengah bercanda. Pak Dodo terkekeh kecil, "Biar bikin penasaran. Hehe..." jawabnya."Ini, tadi Bu Rini nitipin ini buat kalian. Katanya ketinggalan di ruang kepala sekolah." Aku melihat lebih dekat, dan benar saja, itu anting milik Nina—anting yang tadi dipegang Bu Rini. Nina pun tampak sedikit terkejut. "Oh, iya. Terima kasih, Pak Dodo," ucap Nina sambil mengambil anting itu.Pak Dodo tersenyum lebar, "Iya, sama-sama," katanya sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan kami.Setelah itu, kami pun berpisah, pulang ke rumah masing-mas
Nenek kemudian beranjak meninggalkanku. Sementara aku berkutat dengan kebingungan yang tiba-tiba."Nenek!" Panggilku."Ya Thomas.." Jawab nenek tanpa menolehku."Boleh aku tanya sesuatu?" ucapku kemudian."Ya, kau mau tanya apa?" Jawab nenek."Siapa orangtuaku? Di mana mereka?" Ucapku serius."Pertanyaan ini sudah sering kau tanyakan, dan nenek sudah sering menjawabnya. Nenek sudah tua. Nenek sudah lupa. Yang nenek tahu, nenek mengurusmu dari kecil. semenjak kau bayi." Jawab Nenek. Jawabannya masih sama.Namun kali ini aku mulai meragukan jawaban itu. Namun sebelum aku menanyakan lebih lanjut, nenek sudah meninggalkanku, mungkin masuk ke kamarnya. Aku terdiam dalam kebimbangan dalam identitasku, dalam masa laluku. Siapa aku sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini kembali menggeliat meminta jawaban. Ku lihat hari sudah malam. Aku masuk ke kamarku, terbaring di atas kasur.Ku pejamkan mata, mencoba mengistirahatkan semua pikiranku. Namun beberapa detik kemudian seolah-olah aku terjun
“Bu, tas dan sepatu ini nenek saya yang membelikannya,” jawabku dengan suara bergetar. Aku merasa sedikit kesal, apa maksud dari pertanyaan ini? Bu Rini menggelengkan kepala, tampaknya tak percaya. “Tas dan sepatu seperti itu pasti mahal. Kami khawatir kamu melakukan sesuatu yang tidak benar untuk mendapatkannya.” Kata-kata Bu Rini bagaikan pukulan keras. Apa yang ia pikirkan? Benarkah ia mencurigaiku yang mengambil hp dan uangnya untuk membeli tas dan sepatu ini? Aku merasa marah, tapi di saat yang sama tak berdaya. Aku tahu situasi ini bisa bertambah buruk jika aku tak bisa menjelaskan dengan baik.“Bu, nenek saya mendapat uang dari hasil menjual sayuran di pasar. Dia panen lebih banyak dari biasanya dan mendapat uang lebih. Itu sebabnya dia membelikan saya tas dan sepatu baru,” jelasku, mencoba menahan emosi.Bapak Kepala Sekolah yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kami hanya ingin memastikan tidak ada hal yang mencurigakan, jadi kami perlu tahu dari mana uang itu berasal
Pak Udin beranjak menuju tempat parkir yang tak jauh dari tempat kami berpapasan. Aku melihat Pak Udin lalu menaiki motornya. Ketika ia memasangkan helm ke kepalanya, kulihat kacamatanya bergoyang seakan mau jatuh. Dan benar saja, kacamatanya terlepas dan jatuh ke tanah. Pak Udin terlihat sedikit kaget dan kesal, karena ia sudah mencoba berhati-hati saat memasang helm di kepalanya agar kacamata yang ia pakai tidak jatuh, tapi akhirnya jatuh juga.Saat Pak Udin hendak mengambil kacamatanya, aku segera bergegas menghampirinya, merasa ini kesempatan bagus untuk bisa menatap matanya dan membaca pikirannya untuk menggali lebih dalam apa yang ada di pikirannya. Aku harus mendapatkan informasi sebanyak mungkin."Biar saya ambilkan, Pak," kataku, setengah berlari menghampirinya, kemudian langsung memungut kacamata itu sebelum Pak Udin sempat membungkuk. "Oh, iya, terima kasih, Thomas," ucap Pak Udin dengan nada sedikit terkejut. Wajahnya tampak senang, meskipun terlihat ada sedikit rasa cangg
Aku mendengar suara langkah nenek dari dapur. Langkah nenek terhenti mendadak. Di bawah pencahayaan ruang tamu, aku bisa melihat tubuhnya menegang. Ia mengenakan celemek lusuh dengan sedikit noda kuah di ujungnya. Tapi yang paling menarik perhatianku adalah kacamata hitam yang terus ia kenakan—bahkan di dalam rumah.Aku menahan napas. Nenek memandangi kami satu per satu, meski matanya tersembunyi di balik kacamata hitam itu. Nina, Rossi, dan Tedi, yang tadi masih tertawa, kini ku lihat mereka semua diam. Mereka pasti merasakan perubahan atmosfer yang mendadak ini."Thomas..." suara nenek terdengar datar, tapi ada ketegangan di baliknya. "Siapa mereka?"Aku menelan ludah. Aku tahu nenek pasti akan bereaksi seperti ini."Teman-teman sekolahku, Nek." jawabku pelan.Nenek diam. Matanya masih tersembunyi di balik kacamata itu, membuatku tidak bisa membaca ekspresinya. Tapi dari bibirnya yang sedikit mengerut dan cara jemarinya meremas celemek, aku tahu ia tidak menyukai ini."Tumben kamu b
Aku terdiam beberapa saat. Seolah tenggelam dalam lamunan. Aku masih tak percaya akhirnya akan ada teman yang main ke rumahku. Ku lirik ke dapur. Nenek sedang asik memasak. Aku belum memberi tahu nya tentang teman-temanku yang akan datang ke sini. Tapi nanti saja ah memberi tahunya pas mereka datang.Tiba-tiba ponselku berdering lagi.“Halo?” suaraku terdengar agak pelan.“Thomas! Aku sama Tedi dan Rossi udah sampai jalan yang tadi kamu kasih tahu. Tapi rumah kamu tuh di sebelah mana sih? Kita udah muter-muter dari tadi.”“Kalian di mana sekarang?” tanyaku.“Di depan warung kelontong yang catnya warna biru”Aku langsung paham lokasi yang dimaksud.“Yaudah, tunggu di situ. Aku jemput sekarang.”Tanpa pikir panjang, aku keluar rumah. Udara siang masih panas. Aku jalan cepat ke ujung gang.Begitu sampai di pinggir jalan, aku langsung melihat mereka bertiga duduk di atas motor masing-masing. Nina melambaikan tangan heboh, sementara Rossi duduk manis di belakang Tedi. Tedi malah nyender sa
Aku tertegun beberapa saat. Ku rasakan tubuhku agak lengket perpaduan keringat dan hujan yang tadi membasahiku. Akhirnya aku memilih menurut perkataan nenek. Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kepala penuh pikiranku sendiri.Air dingin menyentuh kulitku membuatku sedikit menggigil.Ku rasakan air mengalir membasahi tubuhku, menyapu keringat, debu, dan sisa hujan yang menempel di kulit. Tapi air itu tak bisa membilas semua keresahan yang berkecamuk di kepalaku. Suara dari kamar kosong. Nenek yang muncul tiba-tiba. Kacamata hitam. Semua hal itu berputar-putar bagai pusaran air yang tak mau berhenti. Aku mencoba menenangkan diriku. Mungkin aku cuma terlalu capek. Terlalu paranoid. Tapi di dalam hati kecilku, aku tahu—ada sesuatu di rumah ini yang tidak aku ketahui, dan aku harus mencari tahu.Saat air mengalir membasahi wajahku, aku mencoba mengosongkan pikiran. Tapi gagal. Semua kembali berputar seperti film yang diputar ulang di kepala.Selesai mandi, aku mengeringkan rambutku yang
Aku mendapati nenek berdiri di ambang pintu. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Nenek memakai kacamata hitam. Aku mengerutkan kening. Seingatku, aku belum pernah melihat nenek memakai kacamata hitam. Buat apa nenek memakai kacamata hitam? Dari mana ia mendapatkannya? Apa nenek sengaja membelinya? "Thomas? Kok sudah pulang?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. Aku masih menatapnya, berusaha mencerna situasi ini. "Sekolah hari ini diliburkan. Jadi aku pulang lebih cepat." Nenek mengangguk pelan. Tapi aku masih merasa ada yang aneh. Kenapa nenek masih memakai kacamata hitam di dalam rumah? Apakah nenek sudah tahu kalau aku bisa membaca pikiran? Apakah dia sedang berusaha menghalangi matanya dariku. Aku mencoba menepis pikiranku dan bertanya dengan nada biasa, "Nenek dari mana?" "Tadi habis dari warung," jawabnya cepat. "Sekalian jalan-jalan sekedar melihat-lihat keadaan sekitar." Aku memperhatikan nenek lebih saksama. Pakaiannya rapi, tidak ada tanda-tanda kehujanan atau basah, padah
Aku berjalan menyusuri trotoar, langkahku sedikit tergesa. Langit yang tadi terlihat cerah kini mendadak dipenuhi awan kelabu, sebuah pertanda bahwa hujan akan segera turun. Benar saja, beberapa saat kemudian, rintik-rintik hujan mulai berjatuhan membasahi kepala, pundak dan tubuhku. Aku mempercepat langkah, bahkan mulai berlari kecil agar cepat sampai ke rumah.Pikiranku masih dipenuhi kejadian yang tadi ku alami. Bobi yang tiba-tiba datang meminta maaf. Riko dan Jejen yang terlihat masih ragu-ragu untuk mengakui kesalahan mereka. Tedi yang bersikeras mengingatkanku untuk tidak terlalu percaya pada Bobi. Dan kucing hitam itu… tatapannya yang misterius dan tajam masih terasa seolah menembus pikiranku. Semua itu bercampur menjadi satu, membuatku semakin ingin segera sampai di rumah, ku ingin menenangkan diri.Biasanya, jam segini aku masih berada di sekolah, dan sore hari baru pulang. Nenek pasti akan terkejut melihatku pulang lebih cepat hari ini. Aku membayangkan ekspresi herannya sa
Seekor kucing hitam menatapku tajam. Matanya berkilat, pupilnya sedikit menyempit seolah sedang meneliti sesuatu yang mencurigakan. Aku mengernyit. Ada sesuatu yang aneh. Biasanya, setiap kucing yang melihatku akan langsung berlari menjauh sambil mendesis penuh kemarahan. Tapi kucing ini… tidak. Ia tidak berlari, tidak mendesis, hanya diam dan menatapku lekat-lekat seakan penuh dengan tanya.Rasa penasaran menjalar di benakku. Aku menatap balik kucing itu, mempertanyakan sesuatu yang tak bisa kuutarakan dengan kata-kata. Lalu, sebuah pikiran terbersit—apakah aku juga bisa membaca pikiran kucing? Sejauh ini, aku hanya pernah membaca pikiran manusia, karena manusia memiliki bahasa yang bisa kutangkap dalam bentuk kata dan kalimat di dalam benak mereka. Tapi hewan? Mereka tidak memiliki bahasa seperti manusia.Aku memfokuskan pandanganku pada mata kucing itu, mencoba masuk ke dalam pikirannya seperti yang biasa kulakukan pada manusia.Dunia di sekitarku tiba-tiba bergetar. Ada sensasi an
Aku terbelalak kaget. Bobi tersungkur, dan sosok yang menyerangnya kini berada di atasnya, mencengkeram kerah bajunya dengan penuh emosi."Kau pikir kau bisa menjahili kami lagi?!" teriak orang itu, suaranya penuh amarah.Riko dan Jejen berusaha menarik orang itu, namun Ia berhasil menepis tangan Riko dan Jejen. Aku masih terlalu terkejut untuk bereaksi, tetapi saat aku melihat wajah orang itu dengan jelas, dadaku langsung terasa sesak.Itu Tedi.Tedi, yang selama ini terlihat lemah dan hanya selalu bisa pasrah ketika dijahili oleh mereka bertiga tanpa bisa sedikitpun melawan, kini berada di atas Bobi dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala, rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat kerah baju Bobi seakan ingin meremukkannya. Entah apa yang merasukinya hingga ia sampai bisa bersikap seperti itu. "Tedi, berhenti!" suaraku serak, tapi aku tidak bergerak. Kakiku seperti tertanam di tanah, sementara mataku terpaku pada apa yang sedang terjadi di hadapanku.Namun, Tedi tidak
Aku menatap mata Bobi tajam, mencoba membaca semua ekspresi wajahnya. Aku ingin tahu apakah semua ini hanya karena dia merasa berhutang budi setelah aku membelanya di depan kepala sekolah. Aku mengepalkan tangan, menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di dadaku."Apakah permintaan maafmu ini hanya karena aku membelamu di depan Pak Amin?" suaraku terdengar dingin, penuh keraguan. "Kalau itu alasannya, kau tidak perlu meminta maaf padaku seperti ini. Kau tidak usah merasa berhutang budi padaku. Lupakan saja semua yang terjadi di ruang kepala sekolah."Bobi mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya dipenuhi kesombongan kini terlihat penuh dengan sesuatu yang sulit kuartikan—penyesalan? Kesedihan? Kebingungan?"Awalnya... iya, mau tidak mau aku harus mengakuinya." jawabnya lirih, hampir berbisik. "Aku merasa bersalah karena kau sudah menolongku, padahal aku nggak pernah berhenti menjahati dan mempermalukanmu. Aku pikir, paling tidak, aku harus mengucapkan terima kasih atau minta maaf."
Pak Amin berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi serius, tatapannya tajam menusuk, seolah tak ingin ada alasan ataupun perdebatan."Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya dalam dan tegas, membuat ketiga anak itu refleks menegakkan tubuh.Bobi menelan ludah, mencoba menjawab, tapi Pak Amin sudah lebih dulu melanjutkan, "Bukankah tadi sudah diumumkan bahwa sekolah akan mengadakan rapat tertutup. Seharusnya kalian semua sudah meninggalkan area sekolah sejak tadi."Riko dan Jejen saling pandang, lalu buru-buru berdiri. Jejen menggaruk tengkuknya, berusaha mencari alasan, tapi tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.Pak Amin mengalihkan pandangannya ke Bobi, ekspresinya semakin dalam. "Dan kau, Bobi, bukankah tadi bapak menyuruhmu memberikan surat panggilan kepada orangtuamu?"Bobi menunduk, lalu ia berbicara dengan suaranya yang nyaris tak terdengar. "Iya Pak."Pak Amin membuang napas, lalu ia berucap, "Pastikan orangtuamu datang besok. Jangan sampai surat itu tidak kau berikan