Share

Anting Nina

Author: kafhaya
last update Last Updated: 2025-01-17 18:32:24

"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.

Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.

Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.

Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.

Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak duduk dulu dan berpura-pura menghapus papan tulis.

Bobi melangkah menuju kursinya. Dia duduk tanpa ragu, dan seketika terdengar suara “brak!” yang menggema di seluruh ruangan. Kursi itu ambruk, dan dia terjatuh dengan keras di lantai. Semua orang menoleh padanya, dan seketika tawa meledak di dalam kelas.

Aku lalu duduk ke kursiku menahan senyum, sementara teman-teman sekelas tertawa terbahak-bahak melihat Bobi yang terjatuh dengan wajah terkejut dan penuh malu. Wajahnya yang biasanya dipenuhi dengan rasa percaya diri kini berubah menjadi merah padam, seakan darah yang mengalir di wajahnya tak mampu menutupi rasa malu yang mendalam.

Di dalam hati, ada rasa puas yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Akhirnya, Bobi merasakan hal yang dia coba lakukan padaku—rasa malu di hadapan teman-teman sekelas. Namun, meskipun ada kepuasan kecil di dalam diriku, ada bagian lain dari diriku yang merasa tak nyaman. Mungkinkah aku sama jahatnya dengan Bobi?

Pak Luki, guru biologi masuk ke kelas, melihat ke arah Bobi yang masih terduduk, “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan senyum tertahan. Bobi mencoba berdiri, wajahnya merah. Pak Luki lalu berkata, “Bobi, ambil kursi lain dari belakang,” Pak Luki lalu memulai pelajarannya.

Pak Luki berdiri di depan kelas dengan wajah penuh semangat, berusaha menghidupkan suasana dengan penjelasan materi pelajaran yang mendetail.

Tiba-tiba, ketukan keras terdengar dari arah pintu kelas, memecah perhatian semua orang. Pintu terbuka lebar, dan di sana berdiri Bu Rini, dengan ekspresi serius yang langsung menarik perhatian semua siswa.

Bu Rini melangkah masuk dengan wajah serius. Meskipun langkahnya tenang, aura yang dibawanya membuat suasana kelas menjadi mencekam. Dengan gerakan mantap, dia berjalan menghampiri Pak Luki yang sedang mengajar.

“Pak Luki, bolehkah saya meminta waktu sebentar?” ujarnya, suaranya mengandung nada tegas namun penuh rasa ingin tahu. Semua siswa menahan napas, merasa ada sesuatu yang tidak biasa terjadi.

“Silakan, Bu Rini,” jawab Pak Luki, menghentikan penjelasannya.

“Ibu menemukan sebuah anting di kolong meja ibu,” kata Bu Rini sambil mengeluarkan sebuah anting dari sakunya. Anting itu berkilau mencuri perhatian semua murid. Saat Bu Rini mengangkatnya ke udara, suasana hening. Semua murid tertegun, menatap anting itu seolah-olah itu adalah benda langka.

Mata Bu Rini menyusuri setiap wajah kami, seolah mencari seseorang yang ia tahu sebagai pemilik anting itu. Beberapa siswa saling berbisik, saling bertukar pandang, cemas dengan situasi yang tiba-tiba membingungkan ini.

"Nina, antingmu ke mana? Biasanya kau selalu memakainya. Kok sekarang tumben tidak pakai anting?” Tanya Bu Rini, suara sinisnya menggema di dalam ruangan.

“Oh... anu, Bu. Antingku... ada di rumah. Hari ini aku memang tidak memakainya,” jawab Nina, suaranya bergetar dan wajahnya pucat.

Aku merasakan ketegangan yang meningkat di antara kami. Semua mata kini tertuju pada Nina. Wajahnya yang biasanya ceria kini dipenuhi ketakutan, seolah dia sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar anting yang hilang.

“Kalau aku tidak salah, seingatku, anting yang ada di tanganku ini mirip, bahkan sama persis modelnya dengan yang kau sering pakai. Jangan-jangan ini antingmu yang jatuh di ruang guru,” ucap Bu Rini, penekanan di akhir kalimatnya membuat suasana semakin mencekam.

Nina terdiam. Matanya mulai basah, dan wajahnya seolah ingin menangis.

“Bu, anting model seperti itu kan banyak dijual di toko emas. Jangan asal menuduh dong, Bu,” ucap Rossi, teman sebangku Nina. Ia tidak terima jika Bu Rini mulai mencurigai Nina sebagai pelaku pencurian itu. Suara Rossi bergetar, mencerminkan kepanikan yang ada di dalam hatinya.

“Ibu tidak sedang menuduh siapapun. Ibu hanya heran kenapa anting ini bisa ada di kolong meja ibu. Itu saja,” ucap Bu Rini, suara tegasnya menambah ketegangan di ruangan. Pandangan setiap siswa saling berpindah, mengamati reaksi satu sama lain.

“Iya, tapi kata-kata ibu seolah Nina adalah yang mengambil HP dan uang ibu, dan antingnya terjatuh di sana,” balas Rossi yang terus membela sahabatnya, suaranya penuh keberanian meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang mendera.

“Kenapa kau sepertinya gugup, Nina?” ucap Bu Rini sambil memandang Nina yang sejak tadi terdiam, wajahnya gelisah, menahan gejolak di dadanya. Mata Nina berbinar, dan air matanya siap untuk mengalir.

“Dia pasti kaget dan takut, takut dituduh sebagai pencuri yang sedang ibu cari,” jawab Rossi, berusaha melindungi Nina dengan segenap hatinya. “Kami berdua tidak tahu apapun tentang hilangnya uang dan hp ibu.”

“Tapi mengapa kamu terus membela Nina, Rossi? Apa jangan-jangan kamu tahu sesuatu?” ucap Bu Rini, berbalik memojokkan Rossi dengan tatapan tajam.

“Apa? Ibu jangan menuduh sembarangan!” jawab Rossi, suaranya mulai meninggi, tidak mau menyerah dalam pembelaan terhadap sahabatnya.

“Nina, nanti sore setelah jam pulang, ibu tunggu di ruangan kepala sekolah. Ibu mau penjelasanmu,” ucap Bu Rini sambil meninggalkan ruangan kelas. Suasana terasa berat saat Bu Rini melangkah pergi, meninggalkan ketegangan yang melingkupi kami.

Setelah Bu Rini pergi, suasana kelas semakin sunyi. Semua siswa terdiam, memikirkan situasi yang baru saja terjadi.

"Nina, apakah anting tadi milikmu?" ucap Pak Luki memecah keheningan.

Nina hanya terisak, matanya memandang sekelilingnya dengan ketakutan. Namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

Karena tak juga mendapat jawaban, Pak Luki kembali bertanya dengan nada yang lebih serius dari sebelumnya, "Nina, jawab dengan jujur. Apakah anting tadi itu punyamu?"

Dengan napas berat, Nina akhirnya mengangguk pelan. "Iya, Pak. Itu anting saya." suaranya terbata bata terpotong oleh isak yang mencekik di tenggorokannya.

Seketika, semua orang tersentak. Suasana kelas menjadi mencekam, bisikan penasaran mulai menggema di antara kami. Tatapan tajam Pak Luki menyelidik, dan wajah Nina semakin memucat. Apakah ini berarti Nina adalah pelaku pencurian itu?

Related chapters

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 1: Aku Bisa Membaca Matamu

    Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di

    Last Updated : 2024-10-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 2: Kau Tak Sendiri

    Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen

    Last Updated : 2024-10-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 3: Melawan Bobi

    Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta

    Last Updated : 2024-10-23
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 4: Tedi Sudah Lebih Baik

    Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan

    Last Updated : 2024-10-23
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 5: Pencuri Di Sekolah

    "Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak

    Last Updated : 2024-10-24

Latest chapter

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Anting Nina

    "Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak dudu

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 5: Pencuri Di Sekolah

    "Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 4: Tedi Sudah Lebih Baik

    Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 3: Melawan Bobi

    Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 2: Kau Tak Sendiri

    Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 1: Aku Bisa Membaca Matamu

    Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status