Share

Bab 6: Anting Nina

Author: kafhaya
last update Last Updated: 2025-01-17 18:32:24

"Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku.

Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu.

Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan.

Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima.

Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak duduk dulu dan berpura-pura menghapus papan tulis.

Bobi melangkah menuju kursinya. Dia duduk tanpa ragu, dan seketika terdengar suara “brak!” yang menggema di seluruh ruangan. Kursi itu ambruk, dan dia terjatuh dengan keras di lantai. Semua orang menoleh padanya, dan seketika tawa meledak di dalam kelas.

Aku lalu duduk ke kursiku menahan senyum, sementara teman-teman sekelas tertawa terbahak-bahak melihat Bobi yang terjatuh dengan wajah terkejut dan penuh malu. Wajahnya yang biasanya dipenuhi dengan rasa percaya diri kini berubah menjadi merah padam, seakan darah yang mengalir di wajahnya tak mampu menutupi rasa malu yang mendalam.

Di dalam hati, ada rasa puas yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Akhirnya, Bobi merasakan hal yang dia coba lakukan padaku—rasa malu di hadapan teman-teman sekelas. Namun, meskipun ada kepuasan kecil di dalam diriku, ada bagian lain dari diriku yang merasa tak nyaman. Mungkinkah aku sama jahatnya dengan Bobi?

Pak Luki, guru biologi masuk ke kelas, melihat ke arah Bobi yang masih terduduk, “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan senyum tertahan. Bobi mencoba berdiri, wajahnya merah. Pak Luki lalu berkata, “Bobi, ambil kursi lain dari belakang,” Pak Luki lalu memulai pelajarannya.

Pak Luki berdiri di depan kelas dengan wajah penuh semangat, berusaha menghidupkan suasana dengan penjelasan materi pelajaran yang mendetail.

Tiba-tiba, ketukan keras terdengar dari arah pintu kelas, memecah perhatian semua orang. Pintu terbuka lebar, dan di sana berdiri Bu Rini, dengan ekspresi serius yang langsung menarik perhatian semua siswa.

Bu Rini melangkah masuk dengan wajah serius. Meskipun langkahnya tenang, aura yang dibawanya membuat suasana kelas menjadi mencekam. Dengan gerakan mantap, dia berjalan menghampiri Pak Luki yang sedang mengajar.

“Pak Luki, bolehkah saya meminta waktu sebentar?” ujarnya, suaranya mengandung nada tegas namun penuh rasa ingin tahu. Semua siswa menahan napas, merasa ada sesuatu yang tidak biasa terjadi.

“Silakan, Bu Rini,” jawab Pak Luki, menghentikan penjelasannya.

“Ibu menemukan sebuah anting di kolong meja ibu,” kata Bu Rini sambil mengeluarkan sebuah anting dari sakunya. Anting itu berkilau mencuri perhatian semua murid. Saat Bu Rini mengangkatnya ke udara, suasana hening. Semua murid tertegun, menatap anting itu seolah-olah itu adalah benda langka.

Mata Bu Rini menyusuri setiap wajah kami, seolah mencari seseorang yang ia tahu sebagai pemilik anting itu. Beberapa siswa saling berbisik, saling bertukar pandang, cemas dengan situasi yang tiba-tiba membingungkan ini.

"Nina, antingmu ke mana? Biasanya kau selalu memakainya. Kok sekarang tumben tidak pakai anting?” Tanya Bu Rini, suara sinisnya menggema di dalam ruangan.

“Oh... anu, Bu. Antingku... ada di rumah. Hari ini aku memang tidak memakainya,” jawab Nina, suaranya bergetar dan wajahnya pucat.

Aku merasakan ketegangan yang meningkat di antara kami. Semua mata kini tertuju pada Nina. Wajahnya yang biasanya ceria kini dipenuhi ketakutan, seolah dia sedang berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar anting yang hilang.

“Kalau aku tidak salah, seingatku, anting yang ada di tanganku ini mirip, bahkan sama persis modelnya dengan yang kau sering pakai. Jangan-jangan ini antingmu yang jatuh di ruang guru,” ucap Bu Rini, penekanan di akhir kalimatnya membuat suasana semakin mencekam.

Nina terdiam. Matanya mulai basah, dan wajahnya seolah ingin menangis.

“Bu, anting model seperti itu kan banyak dijual di toko emas. Jangan asal menuduh dong, Bu,” ucap Rossi, teman sebangku Nina. Ia tidak terima jika Bu Rini mulai mencurigai Nina sebagai pelaku pencurian itu. Suara Rossi bergetar, mencerminkan kepanikan yang ada di dalam hatinya.

“Ibu tidak sedang menuduh siapapun. Ibu hanya heran kenapa anting ini bisa ada di kolong meja ibu. Itu saja,” ucap Bu Rini, suara tegasnya menambah ketegangan di ruangan. Pandangan setiap siswa saling berpindah, mengamati reaksi satu sama lain.

“Iya, tapi kata-kata ibu seolah Nina adalah yang mengambil HP dan uang ibu, dan antingnya terjatuh di sana,” balas Rossi yang terus membela sahabatnya, suaranya penuh keberanian meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang mendera.

“Kenapa kau sepertinya gugup, Nina?” ucap Bu Rini sambil memandang Nina yang sejak tadi terdiam, wajahnya gelisah, menahan gejolak di dadanya. Mata Nina berbinar, dan air matanya siap untuk mengalir.

“Dia pasti kaget dan takut, takut dituduh sebagai pencuri yang sedang ibu cari,” jawab Rossi, berusaha melindungi Nina dengan segenap hatinya. “Kami berdua tidak tahu apapun tentang hilangnya uang dan hp ibu.”

“Tapi mengapa kamu terus membela Nina, Rossi? Apa jangan-jangan kamu tahu sesuatu?” ucap Bu Rini, berbalik memojokkan Rossi dengan tatapan tajam.

“Apa? Ibu jangan menuduh sembarangan!” jawab Rossi, suaranya mulai meninggi, tidak mau menyerah dalam pembelaan terhadap sahabatnya.

“Nina, nanti sore setelah jam pulang, ibu tunggu di ruangan kepala sekolah. Ibu mau penjelasanmu,” ucap Bu Rini sambil meninggalkan ruangan kelas. Suasana terasa berat saat Bu Rini melangkah pergi, meninggalkan ketegangan yang melingkupi kami.

Setelah Bu Rini pergi, suasana kelas semakin sunyi. Semua siswa terdiam, memikirkan situasi yang baru saja terjadi.

"Nina, apakah anting tadi milikmu?" ucap Pak Luki memecah keheningan.

Nina hanya terisak, matanya memandang sekelilingnya dengan ketakutan. Namun tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

Karena tak juga mendapat jawaban, Pak Luki kembali bertanya dengan nada yang lebih serius dari sebelumnya, "Nina, jawab dengan jujur. Apakah anting tadi itu punyamu?"

Dengan napas berat, Nina akhirnya mengangguk pelan. "Iya, Pak. Itu anting saya." suaranya terbata bata terpotong oleh isak yang mencekik di tenggorokannya.

Seketika, semua orang tersentak. Suasana kelas menjadi mencekam, bisikan penasaran mulai menggema di antara kami. Tatapan tajam Pak Luki menyelidik, dan wajah Nina semakin memucat. Apakah ini berarti Nina adalah pelaku pencurian itu?

Related chapters

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 7: Di Antara Tuduhan dan Dukungan

    Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku

    Last Updated : 2025-01-18
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 8: Akhirnya Mereka Percaya

    "Tedi?" Ucapku sedikit kaget, "Kenapa belum pulang?" Tanyaku."Aku tahu bagaimana rasanya berada dalam keterpurukan. Saat di mana kita butuh seseorang yang memberi dukungan dan semangat." Ucap Tedi dengan wajah meyakinkan, "Aku juga akan mengantar Nina ke ruang kepala sekolah." Tambah Tedi.Wajah Nina mulai berbinar. Meskipun ketakutan itu masih ada, setidaknya ada cahaya kecil di tengah kegelapan yang melingkupinya. “Terima kasih teman-teman. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian tidak ada di sini.” Kami pun memutuskan untuk pergi bersama menuju ruang kepala sekolah. Langkah kami berat, setiap detik terasa seolah dunia berputar lebih lambat. Di sepanjang lorong, aku bisa merasakan tatapan teman-teman yang lain yang menyadari bahwa kami sedang menuju suatu tempat penting.Setibanya di ruang kepala sekolah, Bu Rini sudah berada di sana, menunggu dengan wajah yang tampak serius. Ketika ia melihat kami berempat datang, ekspresi heran melintas di wajahnya. Sementara Pak Kepala

    Last Updated : 2025-01-19
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 9: Hadiah Dari Nenek

    Aku mencoba memandang wajah pria itu, namun topi yang dipakainya menutupi sebagian besar wajahnya. Dia kemudian mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum."Pak Dodo...?" tanyaku ragu, tapi aku mulai mengenali sosoknya. Dia adalah Pak Dodo, petugas kebersihan dan penjaga gudang sekolah."Hehe, iya, ini saya," jawab Pak Dodo, suaranya penuh keakraban."Ih, kirain siapa! Kenapa topinya sampai nutupin wajah? Jadinya susah lihat mukanya," protesku setengah bercanda. Pak Dodo terkekeh kecil, "Biar bikin penasaran. Hehe..." jawabnya."Ini, tadi Bu Rini nitipin ini buat kalian. Katanya ketinggalan di ruang kepala sekolah." Aku melihat lebih dekat, dan benar saja, itu anting milik Nina—anting yang tadi dipegang Bu Rini. Nina pun tampak sedikit terkejut. "Oh, iya. Terima kasih, Pak Dodo," ucap Nina sambil mengambil anting itu.Pak Dodo tersenyum lebar, "Iya, sama-sama," katanya sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan kami.Setelah itu, kami pun berpisah, pulang ke rumah masing-mas

    Last Updated : 2025-01-21
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 10: Kecurigaan Baru

    Nenek kemudian beranjak meninggalkanku. Sementara aku berkutat dengan kebingungan yang tiba-tiba."Nenek!" Panggilku."Ya Thomas.." Jawab nenek tanpa menolehku."Boleh aku tanya sesuatu?" ucapku kemudian."Ya, kau mau tanya apa?" Jawab nenek."Siapa orangtuaku? Di mana mereka?" Ucapku serius."Pertanyaan ini sudah sering kau tanyakan, dan nenek sudah sering menjawabnya. Nenek sudah tua. Nenek sudah lupa. Yang nenek tahu, nenek mengurusmu dari kecil. semenjak kau bayi." Jawab Nenek. Jawabannya masih sama.Namun kali ini aku mulai meragukan jawaban itu. Namun sebelum aku menanyakan lebih lanjut, nenek sudah meninggalkanku, mungkin masuk ke kamarnya. Aku terdiam dalam kebimbangan dalam identitasku, dalam masa laluku. Siapa aku sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini kembali menggeliat meminta jawaban. Ku lihat hari sudah malam. Aku masuk ke kamarku, terbaring di atas kasur.Ku pejamkan mata, mencoba mengistirahatkan semua pikiranku. Namun beberapa detik kemudian seolah-olah aku terjun

    Last Updated : 2025-01-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 11: Rahasia Pak Udin

    “Bu, tas dan sepatu ini nenek saya yang membelikannya,” jawabku dengan suara bergetar. Aku merasa sedikit kesal, apa maksud dari pertanyaan ini? Bu Rini menggelengkan kepala, tampaknya tak percaya. “Tas dan sepatu seperti itu pasti mahal. Kami khawatir kamu melakukan sesuatu yang tidak benar untuk mendapatkannya.” Kata-kata Bu Rini bagaikan pukulan keras. Apa yang ia pikirkan? Benarkah ia mencurigaiku yang mengambil hp dan uangnya untuk membeli tas dan sepatu ini? Aku merasa marah, tapi di saat yang sama tak berdaya. Aku tahu situasi ini bisa bertambah buruk jika aku tak bisa menjelaskan dengan baik.“Bu, nenek saya mendapat uang dari hasil menjual sayuran di pasar. Dia panen lebih banyak dari biasanya dan mendapat uang lebih. Itu sebabnya dia membelikan saya tas dan sepatu baru,” jelasku, mencoba menahan emosi.Bapak Kepala Sekolah yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kami hanya ingin memastikan tidak ada hal yang mencurigakan, jadi kami perlu tahu dari mana uang itu berasal

    Last Updated : 2025-01-24
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 12: Bagaimana Cara Mengungkapnya?

    Pak Udin beranjak menuju tempat parkir yang tak jauh dari tempat kami berpapasan. Aku melihat Pak Udin lalu menaiki motornya. Ketika ia memasangkan helm ke kepalanya, kulihat kacamatanya bergoyang seakan mau jatuh. Dan benar saja, kacamatanya terlepas dan jatuh ke tanah. Pak Udin terlihat sedikit kaget dan kesal, karena ia sudah mencoba berhati-hati saat memasang helm di kepalanya agar kacamata yang ia pakai tidak jatuh, tapi akhirnya jatuh juga.Saat Pak Udin hendak mengambil kacamatanya, aku segera bergegas menghampirinya, merasa ini kesempatan bagus untuk bisa menatap matanya dan membaca pikirannya untuk menggali lebih dalam apa yang ada di pikirannya. Aku harus mendapatkan informasi sebanyak mungkin."Biar saya ambilkan, Pak," kataku, setengah berlari menghampirinya, kemudian langsung memungut kacamata itu sebelum Pak Udin sempat membungkuk. "Oh, iya, terima kasih, Thomas," ucap Pak Udin dengan nada sedikit terkejut. Wajahnya tampak senang, meskipun terlihat ada sedikit rasa cangg

    Last Updated : 2025-01-27
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 13: Apa Yang Merasukimu Bobi?

    Tapi malam ini, rasa penasaran itu semakin kuat. Aku sudah tak bisa lagi menahannya. Aku harus mencari petunjuk tentang orang tuaku. Rahasia yang selama ini mungkin selalu disembunyikan.Pelan-pelan, aku mulai mencuri-curi pandang ke mata nenek. Pertama kali aku menatapnya, aku hanya bisa merasakan kasih sayang yang dalam. Nenek benar-benar menyayangiku, itu terasa jelas dalam setiap pikirannya. Hatiku sedikit tenang. Setidaknya, aku tahu nenek tulus menyayangiku. Tapi kemudian, ketika aku menatapnya lagi, sesuatu yang lain muncul. "Aku sangat menyayangimu, seperti cucuku sendiri. Bahkan, kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri."Aku tertegun. Apa maksudnya? Seperti cucu sendiri? Itu artinya aku bukan cucu asli? Jantungku berdetak kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja kubaca. Aku menatap nenek, berharap kata-kata itu hanya salah tangkap, tapi pikirannya kembali mengulang kalimat yang sama.“Ada apa, Nak? Kok diam saja?” tanya nenek, menyadari aku mendadak terdiam dengan tat

    Last Updated : 2025-01-28
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 14: Menjadi Kambing Hitam

    Jantungku terasa sesak. Aku tak percaya dia tega menuduhku. Apa salahku padanya? Aku tahu Bobi suka membuli dan menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini keterlaluan."Bobi! Apa maksudmu?" tanyaku, menahan amarah yang terus memuncak. "Aku tahu kau tak suka padaku. Kau boleh saja membuliku, kau boleh saja menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini sudah kelewatan! Aku tak bisa terima!" Nafasku memburu, dadaku naik turun.Pak Udin kemudian angkat bicara, suaranya datar, "Kemarin aku masih mempercayaimu, Thomas, bahwa kau bukan pelakunya. Tapi setelah ada saksi yang melihatmu, aku terpaksa mengubah pendapatku.""Bobi!" teriakku dengan nada menantang, "Kalau aku memang pencurinya, mana buktinya? Kau tak bisa asal menuduh tanpa bukti." Bu Rini mencoba menenangkan suasana, "Bobi, apa kau punya bukti?" Bobi tampak gelisah, lalu menjawab dengan suara yang tak terlalu mantap, "Aku… aku tidak punya bukti." Bobi lalu menoleh ke arah Pak Udin. Bobi lalu berkata lagi, "Tapi aku melihatnya sendiri, so

    Last Updated : 2025-01-29

Latest chapter

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 22: Amarah Tedi

    Aku terbelalak kaget. Bobi tersungkur, dan sosok yang menyerangnya kini berada di atasnya, mencengkeram kerah bajunya dengan penuh emosi."Kau pikir kau bisa menjahili kami lagi?!" teriak orang itu, suaranya penuh amarah.Riko dan Jejen berusaha menarik orang itu, namun Ia berhasil menepis tangan Riko dan Jejen. Aku masih terlalu terkejut untuk bereaksi, tetapi saat aku melihat wajah orang itu dengan jelas, dadaku langsung terasa sesak.Itu Tedi.Tedi, yang selama ini terlihat lemah dan hanya selalu bisa pasrah ketika dijahili oleh mereka bertiga tanpa bisa sedikitpun melawan, kini berada di atas Bobi dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala, rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat kerah baju Bobi seakan ingin meremukkannya. Entah apa yang merasukinya hingga ia sampai bisa bersikap seperti itu. "Tedi, berhenti!" suaraku serak, tapi aku tidak bergerak. Kakiku seperti tertanam di tanah, sementara mataku terpaku pada apa yang sedang terjadi di hadapanku.Namun, Tedi tidak

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 21: Bisakah Kita Berteman?

    Aku menatap mata Bobi tajam, mencoba membaca semua ekspresi wajahnya. Aku ingin tahu apakah semua ini hanya karena dia merasa berhutang budi setelah aku membelanya di depan kepala sekolah. Aku mengepalkan tangan, menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di dadaku."Apakah permintaan maafmu ini hanya karena aku membelamu di depan Pak Amin?" suaraku terdengar dingin, penuh keraguan. "Kalau itu alasannya, kau tidak perlu meminta maaf padaku seperti ini. Kau tidak usah merasa berhutang budi padaku. Lupakan saja semua yang terjadi di ruang kepala sekolah."Bobi mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya dipenuhi kesombongan kini terlihat penuh dengan sesuatu yang sulit kuartikan—penyesalan? Kesedihan? Kebingungan?"Awalnya... iya, mau tidak mau aku harus mengakuinya." jawabnya lirih, hampir berbisik. "Aku merasa bersalah karena kau sudah menolongku, padahal aku nggak pernah berhenti menjahati dan mempermalukanmu. Aku pikir, paling tidak, aku harus mengucapkan terima kasih atau minta maaf."

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 20: Pergolakan Hati

    Pak Amin berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi serius, tatapannya tajam menusuk, seolah tak ingin ada alasan ataupun perdebatan."Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya dalam dan tegas, membuat ketiga anak itu refleks menegakkan tubuh.Bobi menelan ludah, mencoba menjawab, tapi Pak Amin sudah lebih dulu melanjutkan, "Bukankah tadi sudah diumumkan bahwa sekolah akan mengadakan rapat tertutup. Seharusnya kalian semua sudah meninggalkan area sekolah sejak tadi."Riko dan Jejen saling pandang, lalu buru-buru berdiri. Jejen menggaruk tengkuknya, berusaha mencari alasan, tapi tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.Pak Amin mengalihkan pandangannya ke Bobi, ekspresinya semakin dalam. "Dan kau, Bobi, bukankah tadi bapak menyuruhmu memberikan surat panggilan kepada orangtuamu?"Bobi menunduk, lalu ia berbicara dengan suaranya yang nyaris tak terdengar. "Iya Pak."Pak Amin membuang napas, lalu ia berucap, "Pastikan orangtuamu datang besok. Jangan sampai surat itu tidak kau berikan

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 19: Benarkah Ia Akan Berubah?

    Aku fokuskan mataku menatap mata Bobi, mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya dari pikirannya, apa sebenarnya yang sedang ia lakukan di sini.Beberapa saat pikirannya mulai terbuka di hadapanku. Gambaran kejadian sebelumnya muncul seperti rekaman yang diputar ulang di dalam kepalaku.Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Bobi mencari Riko dan Jejen, dan mengajak mereka ke taman belakang sekolah, Bobi duduk berhadapan dengan Riko dan Jejen. Suasana di antara mereka terasa tegang, berbeda dari biasanya. Biasanya, mereka bertiga bercanda, menyusun rencana untuk menjahiliku. Tapi kali ini, Bobi datang dengan niat berbeda."Ada hal yang ingin aku katakan." Ucap Bobi dengan nada dan wajah serius. Riko dan Jejen saling bertatapan satu sama lain, lalu menoleh ke arah Bobi dengan ekspresi penasaran."Aku tahu kalian pasti nggak bakal suka dengar ini," Bobi memulai, suaranya terdengar sedikit ragu. "Tapi, aku putuskan mulai hari ini kita harus berhenti menjaili Thomas."Riko yang seda

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 18: Nasib Pak Udin dan Bobi

    Pagi ini, sesuatu terasa sangat berbeda. Sekolah yang biasanya riuh kini terasa sunyi. Tak ada bel masuk, tak ada guru di depan kelas, hanya sekelompok staf yang berbisik dengan wajah serius.Lalu, suara dari pengeras suara menggema ke seluruh penjuru sekolah."Perhatian untuk seluruh siswa. Hari ini, sekolah akan diliburkan karena akan diadakan rapat khusus. Semua siswa diminta segera pulang dan meninggalkan area sekolah."Bisik-bisik langsung memenuhi udara. Beberapa siswa tampak begitu senang karena bisa pulang lebih awal, sementara yang lain terlihat heran dan bingung. Aku melangkah menuju gerbang bersama mereka, tetapi pikiranku masih terganggu oleh kejadian tadi malam.Aku menghela napas, mencoba menepis pikiran itu. Tapi sebelum aku bisa benar-benar keluar dari gerbang sekolah, suara lain menghentikanku."Thomas."Aku menoleh. Pak Kepala Sekolah berdiri di ambang pintu kantornya, menatapku dengan sorot mata sulit ditebak."Ikut saya ke ruangan," katanya pelan, tapi tegas.Jantu

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 17: Kamar Yang Selalu Dikunci

    Mataku terbuka dengan tiba-tiba, dan aku merasakan sensasi tidak nyaman yang seolah menggelitik. Rasa ingin buang air kecil yang tak tertahankan lagi memaksaku untuk segera bangun dari tidurku. Ini mungkin akibat dari kegembiraan kami sore itu, ketika aku, Tedi, Nina, dan Rossi memborong es teh manis dari penjual langganan kami untuk merayakan kemenangan kami dalam mengungkap kasus pencurian yang dilakukan oleh Pak Udin.Kami telah meminum es teh manis itu hingga perut kami kembung, dan sekarang aku harus membayar harga untuk itu. Sejak pulang sekolah hingga sebelum tidur, aku telah bolak-balik ke kamar kecil. Padahal harusnya sekarang sudah kembali normal, tapi nyatanya sekarangpun, rasa tidak nyaman itu kembali datang, membangunkanku dari tidur yang nyenyak.Bayanganku melayang ke sore tadi, ketika kami memborong es teh manis untuk merayakan kemenangan kami dalam mengungkap kasus pencurian yang dilakukan oleh Pak Udin."Makasih teman-teman, berkat bantuan kalian, aku bisa lepas dari

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 16: Akhirnya Terungkap

    Kami semua terdiam tanpa satu katapun.Orang itu Pak Dodo. Ia sedikit celingukan, sampai matanya tertuju pada benda yang ia cari. Sapu lidi dan pengki yang berada tak jauh dari kami. Sambil meraih benda-benda itu, ia lalu berkata, "Semoga rencananya berhasil ya." Dengan senyum yang ramah tapi penuh misteri, Pak Dodo beranjak meninggalkan kami. Apakah ia tadi mendengar semua yang kami bicarakan?***Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru mendekati kelas. Pintu terbuka dengan cepat—itu Tedi, Nina, dan Rossi. Tedi, dengan senyum kemenangan yang lebar di wajahnya, langsung menghampiriku. Saat aku menatap matanya, pikirannya seketika terbuka bagiku. Aku bisa melihat apa yang terjadi di ruang guru—rencana untuk mengungkap Pak Udin berhasil.Tadi ketika bel masuk berbunyi, Tedi, Nina, dan Rossi menuju ruang guru sambil membawa buku LKS. Mereka menjalankan rencana yang sudah kami sepakati bersama. Aku tidak bisa ikut karena sudah disuruh pulang untuk memberikan surat undangan orang t

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 15: Sebuah Rencana

    Tidak. Tadi aku sudah sepakat dengan diriku sendiri kalau aku tidak akan mengungkap rahasiaku. Kemampuanku membaca pikiran. Tidak boleh ada yang tahu. Setidaknya untuk saat ini.Ku dengar bel istirahat baru saja berbunyi. Suasana di sekitar mulai hiruk-pikuk. Para siswa berhamburan menuju kantin, dan aku hanya berdiri terpaku di koridor. Mataku menangkap sosok Bobi yang keluar dari ruang kepala sekolah dan berlari terburu-buru ke arah kelas. Apa yang dia pikirkan sekarang? Penyesalan? Ketakutan?Beberapa saat kemudian aku melihat Tedi, Rossi, dan Nina berjalan mendekat. Mereka bertiga memandangku dengan sorot mata penuh tanya, seakan ingin tahu apa yang baru saja terjadi di ruang kepala sekolah. Tedi, yang pertama kali berbicara."Ada apa, Thomas?" tanya Tedi, matanya menyipit heran ketika melihat surat yang kupegang erat. "Surat apa itu?" Rossi ikut bertanya, mendekat. "Surat pemanggilan orang tua?" Suara Nina bergetar dengan nada terkejut. Aku menarik napas panjang, mencoba menahan

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 14: Menjadi Kambing Hitam

    Jantungku terasa sesak. Aku tak percaya dia tega menuduhku. Apa salahku padanya? Aku tahu Bobi suka membuli dan menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini keterlaluan."Bobi! Apa maksudmu?" tanyaku, menahan amarah yang terus memuncak. "Aku tahu kau tak suka padaku. Kau boleh saja membuliku, kau boleh saja menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini sudah kelewatan! Aku tak bisa terima!" Nafasku memburu, dadaku naik turun.Pak Udin kemudian angkat bicara, suaranya datar, "Kemarin aku masih mempercayaimu, Thomas, bahwa kau bukan pelakunya. Tapi setelah ada saksi yang melihatmu, aku terpaksa mengubah pendapatku.""Bobi!" teriakku dengan nada menantang, "Kalau aku memang pencurinya, mana buktinya? Kau tak bisa asal menuduh tanpa bukti." Bu Rini mencoba menenangkan suasana, "Bobi, apa kau punya bukti?" Bobi tampak gelisah, lalu menjawab dengan suara yang tak terlalu mantap, "Aku… aku tidak punya bukti." Bobi lalu menoleh ke arah Pak Udin. Bobi lalu berkata lagi, "Tapi aku melihatnya sendiri, so

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status