Beranda / Sci-Fi / Mata Ajaib Pembaca Pikiran / Bab 13: Apa Yang Merasukimu Bobi?

Share

Bab 13: Apa Yang Merasukimu Bobi?

Penulis: kafhaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-28 22:24:26

Tapi malam ini, rasa penasaran itu semakin kuat. Aku sudah tak bisa lagi menahannya. Aku harus mencari petunjuk tentang orang tuaku. Rahasia yang selama ini mungkin selalu disembunyikan.

Pelan-pelan, aku mulai mencuri-curi pandang ke mata nenek. Pertama kali aku menatapnya, aku hanya bisa merasakan kasih sayang yang dalam. Nenek benar-benar menyayangiku, itu terasa jelas dalam setiap pikirannya. Hatiku sedikit tenang. Setidaknya, aku tahu nenek tulus menyayangiku. Tapi kemudian, ketika aku menatapnya lagi, sesuatu yang lain muncul. "Aku sangat menyayangimu, seperti cucuku sendiri. Bahkan, kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri."

Aku tertegun. Apa maksudnya? Seperti cucu sendiri? Itu artinya aku bukan cucu asli? Jantungku berdetak kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja kubaca. Aku menatap nenek, berharap kata-kata itu hanya salah tangkap, tapi pikirannya kembali mengulang kalimat yang sama.

“Ada apa, Nak? Kok diam saja?” tanya nenek, menyadari aku mendadak terdiam dengan tat
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 14: Menjadi Kambing Hitam

    Jantungku terasa sesak. Aku tak percaya dia tega menuduhku. Apa salahku padanya? Aku tahu Bobi suka membuli dan menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini keterlaluan."Bobi! Apa maksudmu?" tanyaku, menahan amarah yang terus memuncak. "Aku tahu kau tak suka padaku. Kau boleh saja membuliku, kau boleh saja menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini sudah kelewatan! Aku tak bisa terima!" Nafasku memburu, dadaku naik turun.Pak Udin kemudian angkat bicara, suaranya datar, "Kemarin aku masih mempercayaimu, Thomas, bahwa kau bukan pelakunya. Tapi setelah ada saksi yang melihatmu, aku terpaksa mengubah pendapatku.""Bobi!" teriakku dengan nada menantang, "Kalau aku memang pencurinya, mana buktinya? Kau tak bisa asal menuduh tanpa bukti." Bu Rini mencoba menenangkan suasana, "Bobi, apa kau punya bukti?" Bobi tampak gelisah, lalu menjawab dengan suara yang tak terlalu mantap, "Aku… aku tidak punya bukti." Bobi lalu menoleh ke arah Pak Udin. Bobi lalu berkata lagi, "Tapi aku melihatnya sendiri, so

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 1: Aku Bisa Membaca Matamu

    Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 2: Kau Tak Sendiri

    Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 3: Melawan Bobi

    Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 4: Tedi Sudah Lebih Baik

    Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 5: Pencuri Di Sekolah

    "Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 6: Anting Nina

    "Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku. Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu. Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima. Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak d

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 7: Di Antara Tuduhan dan Dukungan

    Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18

Bab terbaru

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 14: Menjadi Kambing Hitam

    Jantungku terasa sesak. Aku tak percaya dia tega menuduhku. Apa salahku padanya? Aku tahu Bobi suka membuli dan menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini keterlaluan."Bobi! Apa maksudmu?" tanyaku, menahan amarah yang terus memuncak. "Aku tahu kau tak suka padaku. Kau boleh saja membuliku, kau boleh saja menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini sudah kelewatan! Aku tak bisa terima!" Nafasku memburu, dadaku naik turun.Pak Udin kemudian angkat bicara, suaranya datar, "Kemarin aku masih mempercayaimu, Thomas, bahwa kau bukan pelakunya. Tapi setelah ada saksi yang melihatmu, aku terpaksa mengubah pendapatku.""Bobi!" teriakku dengan nada menantang, "Kalau aku memang pencurinya, mana buktinya? Kau tak bisa asal menuduh tanpa bukti." Bu Rini mencoba menenangkan suasana, "Bobi, apa kau punya bukti?" Bobi tampak gelisah, lalu menjawab dengan suara yang tak terlalu mantap, "Aku… aku tidak punya bukti." Bobi lalu menoleh ke arah Pak Udin. Bobi lalu berkata lagi, "Tapi aku melihatnya sendiri, so

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 13: Apa Yang Merasukimu Bobi?

    Tapi malam ini, rasa penasaran itu semakin kuat. Aku sudah tak bisa lagi menahannya. Aku harus mencari petunjuk tentang orang tuaku. Rahasia yang selama ini mungkin selalu disembunyikan.Pelan-pelan, aku mulai mencuri-curi pandang ke mata nenek. Pertama kali aku menatapnya, aku hanya bisa merasakan kasih sayang yang dalam. Nenek benar-benar menyayangiku, itu terasa jelas dalam setiap pikirannya. Hatiku sedikit tenang. Setidaknya, aku tahu nenek tulus menyayangiku. Tapi kemudian, ketika aku menatapnya lagi, sesuatu yang lain muncul. "Aku sangat menyayangimu, seperti cucuku sendiri. Bahkan, kau sudah kuanggap seperti anakku sendiri."Aku tertegun. Apa maksudnya? Seperti cucu sendiri? Itu artinya aku bukan cucu asli? Jantungku berdetak kencang, tak percaya dengan apa yang baru saja kubaca. Aku menatap nenek, berharap kata-kata itu hanya salah tangkap, tapi pikirannya kembali mengulang kalimat yang sama.“Ada apa, Nak? Kok diam saja?” tanya nenek, menyadari aku mendadak terdiam dengan tat

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 12: Bagaimana Cara Mengungkapnya?

    Pak Udin beranjak menuju tempat parkir yang tak jauh dari tempat kami berpapasan. Aku melihat Pak Udin lalu menaiki motornya. Ketika ia memasangkan helm ke kepalanya, kulihat kacamatanya bergoyang seakan mau jatuh. Dan benar saja, kacamatanya terlepas dan jatuh ke tanah. Pak Udin terlihat sedikit kaget dan kesal, karena ia sudah mencoba berhati-hati saat memasang helm di kepalanya agar kacamata yang ia pakai tidak jatuh, tapi akhirnya jatuh juga.Saat Pak Udin hendak mengambil kacamatanya, aku segera bergegas menghampirinya, merasa ini kesempatan bagus untuk bisa menatap matanya dan membaca pikirannya untuk menggali lebih dalam apa yang ada di pikirannya. Aku harus mendapatkan informasi sebanyak mungkin."Biar saya ambilkan, Pak," kataku, setengah berlari menghampirinya, kemudian langsung memungut kacamata itu sebelum Pak Udin sempat membungkuk. "Oh, iya, terima kasih, Thomas," ucap Pak Udin dengan nada sedikit terkejut. Wajahnya tampak senang, meskipun terlihat ada sedikit rasa cangg

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 11: Rahasia Pak Udin

    “Bu, tas dan sepatu ini nenek saya yang membelikannya,” jawabku dengan suara bergetar. Aku merasa sedikit kesal, apa maksud dari pertanyaan ini? Bu Rini menggelengkan kepala, tampaknya tak percaya. “Tas dan sepatu seperti itu pasti mahal. Kami khawatir kamu melakukan sesuatu yang tidak benar untuk mendapatkannya.” Kata-kata Bu Rini bagaikan pukulan keras. Apa yang ia pikirkan? Benarkah ia mencurigaiku yang mengambil hp dan uangnya untuk membeli tas dan sepatu ini? Aku merasa marah, tapi di saat yang sama tak berdaya. Aku tahu situasi ini bisa bertambah buruk jika aku tak bisa menjelaskan dengan baik.“Bu, nenek saya mendapat uang dari hasil menjual sayuran di pasar. Dia panen lebih banyak dari biasanya dan mendapat uang lebih. Itu sebabnya dia membelikan saya tas dan sepatu baru,” jelasku, mencoba menahan emosi.Bapak Kepala Sekolah yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kami hanya ingin memastikan tidak ada hal yang mencurigakan, jadi kami perlu tahu dari mana uang itu berasal

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 10: Kecurigaan Baru

    Nenek kemudian beranjak meninggalkanku. Sementara aku berkutat dengan kebingungan yang tiba-tiba."Nenek!" Panggilku."Ya Thomas.." Jawab nenek tanpa menolehku."Boleh aku tanya sesuatu?" ucapku kemudian."Ya, kau mau tanya apa?" Jawab nenek."Siapa orangtuaku? Di mana mereka?" Ucapku serius."Pertanyaan ini sudah sering kau tanyakan, dan nenek sudah sering menjawabnya. Nenek sudah tua. Nenek sudah lupa. Yang nenek tahu, nenek mengurusmu dari kecil. semenjak kau bayi." Jawab Nenek. Jawabannya masih sama.Namun kali ini aku mulai meragukan jawaban itu. Namun sebelum aku menanyakan lebih lanjut, nenek sudah meninggalkanku, mungkin masuk ke kamarnya. Aku terdiam dalam kebimbangan dalam identitasku, dalam masa laluku. Siapa aku sebenarnya? Pertanyaan-pertanyaan itu kini kembali menggeliat meminta jawaban. Ku lihat hari sudah malam. Aku masuk ke kamarku, terbaring di atas kasur.Ku pejamkan mata, mencoba mengistirahatkan semua pikiranku. Namun beberapa detik kemudian seolah-olah aku terjun

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 9: Hadiah Dari Nenek

    Aku mencoba memandang wajah pria itu, namun topi yang dipakainya menutupi sebagian besar wajahnya. Dia kemudian mendongak, menatapku sejenak, lalu tersenyum."Pak Dodo...?" tanyaku ragu, tapi aku mulai mengenali sosoknya. Dia adalah Pak Dodo, petugas kebersihan dan penjaga gudang sekolah."Hehe, iya, ini saya," jawab Pak Dodo, suaranya penuh keakraban."Ih, kirain siapa! Kenapa topinya sampai nutupin wajah? Jadinya susah lihat mukanya," protesku setengah bercanda. Pak Dodo terkekeh kecil, "Biar bikin penasaran. Hehe..." jawabnya."Ini, tadi Bu Rini nitipin ini buat kalian. Katanya ketinggalan di ruang kepala sekolah." Aku melihat lebih dekat, dan benar saja, itu anting milik Nina—anting yang tadi dipegang Bu Rini. Nina pun tampak sedikit terkejut. "Oh, iya. Terima kasih, Pak Dodo," ucap Nina sambil mengambil anting itu.Pak Dodo tersenyum lebar, "Iya, sama-sama," katanya sebelum berbalik dan berjalan menjauh meninggalkan kami.Setelah itu, kami pun berpisah, pulang ke rumah masing-mas

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 8: Akhirnya Mereka Percaya

    "Tedi?" Ucapku sedikit kaget, "Kenapa belum pulang?" Tanyaku."Aku tahu bagaimana rasanya berada dalam keterpurukan. Saat di mana kita butuh seseorang yang memberi dukungan dan semangat." Ucap Tedi dengan wajah meyakinkan, "Aku juga akan mengantar Nina ke ruang kepala sekolah." Tambah Tedi.Wajah Nina mulai berbinar. Meskipun ketakutan itu masih ada, setidaknya ada cahaya kecil di tengah kegelapan yang melingkupinya. “Terima kasih teman-teman. Aku... aku tidak tahu harus bagaimana jika kalian tidak ada di sini.” Kami pun memutuskan untuk pergi bersama menuju ruang kepala sekolah. Langkah kami berat, setiap detik terasa seolah dunia berputar lebih lambat. Di sepanjang lorong, aku bisa merasakan tatapan teman-teman yang lain yang menyadari bahwa kami sedang menuju suatu tempat penting.Setibanya di ruang kepala sekolah, Bu Rini sudah berada di sana, menunggu dengan wajah yang tampak serius. Ketika ia melihat kami berempat datang, ekspresi heran melintas di wajahnya. Sementara Pak Kepala

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 7: Di Antara Tuduhan dan Dukungan

    Nina tak kuasa lagi menahan tangisnya. Ia sesegukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Entah ini apakah tangis penyesalan dan perasaan bersalah, atau malah sebaliknya ia merasa tertekan dan merasa dituduh atas apa yang dia tidak lakukan. Pak Luki, lalu bertanya lagi, nadanya kali ini lebih hati-hati seolah ingin agar Nina tidak merasa tertekan, “Nina, apakah kau ada hubungannya dengan hilangnya HP dan uang Bu Rini?” tanya Pak Luki lagi. Nina lalu menatap Pak Luki, dengan menahan isak tangisnya, ia lalu berkata, “Tidak, Pak. Aku sama sekali tidak tahu. Aku bukan pelakunya. Aku tak tahu kenapa antingku bisa sampai ada di kolong meja Bu Rini,” jawab Nina, air mata mulai mengalir di pipinya. “Tapi kemarin, ketika HP dan uang Bu Rini hilang, apa kau ke ruang guru?” tanya Pak Luki dengan nada khawatir. “Aku... aku kemarin sore memang ke ruang guru, Pak. Tapi aku ke mejanya Pak Udin, hanya untuk menyimpan tugas yang harus dikumpulkan. Waktu itu tanpa sengaja pulpenku jatuh. Aku

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 6: Anting Nina

    "Lihat saja! Akan ku ganti kursimu dengan kursi yang sudah rapuh sehingga nanti kau akan terjatuh dan satu kelas akan menertawakanmu. haha.." suara Bobi menggema di kepalaku. Astaga Bobi! Dalam situasi seperti ini saja, kau sempat sempatnya terpikir hal seperti itu. Aku keluar kelas, pura-pura ke toilet, tapi sebenarnya aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di dekat halaman belakang sekolah, mataku tertuju pada kelas yang mulai sepi. Bobi masuk ke dalam kelas dengan membawa sebuah kursi, tanpa menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ketika Bobi selesai dan beranjak pergi ke kantin, aku segera bergerak. Aku masuk ke dalam kelas dengan cepat. Tanpa berpikir panjang, aku menukarkan kursi yang rapuh itu dengan kursi milik Bobi. Aku tahu, ketika Bobi duduk di kursi itu nanti, dia akan mendapatkan apa yang seharusnya dia terima. Ketika bel berbunyi, semua siswa masuk ke kelas dan kembali ke tempat duduk mereka, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. Aku tidak d

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status