Beranda / Sci-Fi / Mata Ajaib Pembaca Pikiran / Bab 19: Benarkah Ia Akan Berubah?

Share

Bab 19: Benarkah Ia Akan Berubah?

Penulis: kafhaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-10 21:09:26

Aku fokuskan mataku menatap mata Bobi, mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya dari pikirannya, apa sebenarnya yang sedang ia lakukan di sini.

Beberapa saat pikirannya mulai terbuka di hadapanku. Gambaran kejadian sebelumnya muncul seperti rekaman yang diputar ulang di dalam kepalaku.

Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Bobi mencari Riko dan Jejen, dan mengajak mereka ke taman belakang sekolah, Bobi duduk berhadapan dengan Riko dan Jejen. Suasana di antara mereka terasa tegang, berbeda dari biasanya. Biasanya, mereka bertiga bercanda, menyusun rencana untuk menjahiliku. Tapi kali ini, Bobi datang dengan niat berbeda.

"Ada hal yang ingin aku katakan." Ucap Bobi dengan nada dan wajah serius. Riko dan Jejen saling bertatapan satu sama lain, lalu menoleh ke arah Bobi dengan ekspresi penasaran.

"Aku tahu kalian pasti nggak bakal suka dengar ini," Bobi memulai, suaranya terdengar sedikit ragu. "Tapi, aku putuskan mulai hari ini kita harus berhenti menjaili Thomas."

Riko yang seda
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 20: Pergolakan Hati

    Pak Amin berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi serius, tatapannya tajam menusuk, seolah tak ingin ada alasan ataupun perdebatan."Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya dalam dan tegas, membuat ketiga anak itu refleks menegakkan tubuh.Bobi menelan ludah, mencoba menjawab, tapi Pak Amin sudah lebih dulu melanjutkan, "Bukankah tadi sudah diumumkan bahwa sekolah akan mengadakan rapat tertutup. Seharusnya kalian semua sudah meninggalkan area sekolah sejak tadi."Riko dan Jejen saling pandang, lalu buru-buru berdiri. Jejen menggaruk tengkuknya, berusaha mencari alasan, tapi tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.Pak Amin mengalihkan pandangannya ke Bobi, ekspresinya semakin dalam. "Dan kau, Bobi, bukankah tadi bapak menyuruhmu memberikan surat panggilan kepada orangtuamu?"Bobi menunduk, lalu ia berbicara dengan suaranya yang nyaris tak terdengar. "Iya Pak."Pak Amin membuang napas, lalu ia berucap, "Pastikan orangtuamu datang besok. Jangan sampai surat itu tidak kau berikan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 21: Bisakah Kita Berteman?

    Aku menatap mata Bobi tajam, mencoba membaca semua ekspresi wajahnya. Aku ingin tahu apakah semua ini hanya karena dia merasa berhutang budi setelah aku membelanya di depan kepala sekolah. Aku mengepalkan tangan, menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di dadaku."Apakah permintaan maafmu ini hanya karena aku membelamu di depan Pak Amin?" suaraku terdengar dingin, penuh keraguan. "Kalau itu alasannya, kau tidak perlu meminta maaf padaku seperti ini. Kau tidak usah merasa berhutang budi padaku. Lupakan saja semua yang terjadi di ruang kepala sekolah."Bobi mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya dipenuhi kesombongan kini terlihat penuh dengan sesuatu yang sulit kuartikan—penyesalan? Kesedihan? Kebingungan?"Awalnya... iya, mau tidak mau aku harus mengakuinya." jawabnya lirih, hampir berbisik. "Aku merasa bersalah karena kau sudah menolongku, padahal aku nggak pernah berhenti menjahati dan mempermalukanmu. Aku pikir, paling tidak, aku harus mengucapkan terima kasih atau minta maaf."

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-17
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 22: Amarah Tedi

    Aku terbelalak kaget. Bobi tersungkur, dan sosok yang menyerangnya kini berada di atasnya, mencengkeram kerah bajunya dengan penuh emosi."Kau pikir kau bisa menjahili kami lagi?!" teriak orang itu, suaranya penuh amarah.Riko dan Jejen berusaha menarik orang itu, namun Ia berhasil menepis tangan Riko dan Jejen. Aku masih terlalu terkejut untuk bereaksi, tetapi saat aku melihat wajah orang itu dengan jelas, dadaku langsung terasa sesak.Itu Tedi.Tedi, yang selama ini terlihat lemah dan hanya selalu bisa pasrah ketika dijahili oleh mereka bertiga tanpa bisa sedikitpun melawan, kini berada di atas Bobi dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala, rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat kerah baju Bobi seakan ingin meremukkannya. Entah apa yang merasukinya hingga ia sampai bisa bersikap seperti itu. "Tedi, berhenti!" suaraku serak, tapi aku tidak bergerak. Kakiku seperti tertanam di tanah, sementara mataku terpaku pada apa yang sedang terjadi di hadapanku.Namun, Tedi tidak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-19
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 1: Aku Bisa Membaca Matamu

    Bel pulang sekolah berdering, dan aku yang sejak jam pelajaran terakhir terbaring memejamkan mata di ruang UKS, akhirnya terbangun. Kepalaku masih terasa berat, mataku perih, dan penglihatanku kabur. Aku berkedip beberapa kali, berusaha memulihkan fokusku. Benda-benda di sekitarku mulai tampak jelas lagi. Syukurlah, pandanganku mulai normal kembali, meski sedikit buram. Tadinya ku kira aku akan menjadi buta selamanya.Dengan langkah lemah, aku berjalan keluar dari ruang UKS, menuju kelasku untuk mengambil tasku yang masih berada di sana. Tapi baru beberapa langkah, seseorang mendekatiku, membawa tas itu di tangannya. Tedi."Ini tasmu," katanya, sambil menyerahkan tas itu padaku. Wajahnya murung, seolah ada beban berat yang ia pikul."Terima kasih, Tedi," jawabku sambil mengamati raut wajahnya.Namun, saat mata kami bertemu, ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seperti ada aliran energi yang tak terlihat menghubungkan kami, lalu tiba-tiba, pikiranku di

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 2: Kau Tak Sendiri

    Pundakku terasa makin sakit, namun aku terus berusaha menggenggam tangan Tedi sekuat tenaga. Ku pandang dalam-dalam mata Tedi, mencoba menjangkau pikiran dan hatinya.“Hidup ini keras, Tedi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Jangan pernah berharap orang lain menjadi pahlawan bagimu. Jadilah pahlawan untuk dirimu sendiri! Hanya kau yang bisa mengubah hidupmu!”Aku merasakan tangannya berhenti bergetar, seolah untuk pertama kalinya ia mulai mendengarkan. Air mata masih mengalir di pipinya, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Entah itu kesedihan yang dalam, atau secercah harapan yang samar-samar.Seketika, keraguan tergambar jelas di mata Tedi. Dia terdiam, dan aku tahu inilah kesempatan satu-satunya untuk menariknya. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menarik tubuhnya ke atas. Kami terhempas di pinggir jembatan, napas kami terengah-engah, sementara dunia seakan berhenti berputar.Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara napas kami yang terdengar, berat dan pen

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 3: Melawan Bobi

    Dia Bobi. Entah kenapa dia bisa sampai ada di sini. Ku lihat Bobi tersenyum sinis. Di kiri dan kananku, Riko dan Jejen dengan cepat langsung memegangi tanganku erat. Di belakang Bobi, terlihat ada motor yang terparkir cukup jauh, mungkin agar suaranya tidak terdengar olehku."Halo, Bule kampung... hahahaa!" ledek Bobi dengan nada yang menyakitkan. Dia adalah teman sekelasku, orang yang tak pernah bosan mengganggu dan menjahiliku."Kok di kampung ada Bule ya? Ini kan di Bandung. Ini Indonesia Bro! Semua orang di sini berambut hitam. Kenapa kamu pirang?" lanjutnya, senyumnya sinis, menyebar rasa malu dan marah di dalam diriku.Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Riko dan Jejen, namun sia-sia. Tatapanku bertemu dengan mata Bobi, dan seketika itu semua pikiran dan niatnya membanjiri kepalaku. Suaranya menggema, mengisi setiap sudut pikiranku."Aku akan menghajarmu sampai puas. Lihat saja," ancamnya dalam batinku."Kau mau apa? Lepaskan aku!" suaraku bergetar, campuran antara keta

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 4: Tedi Sudah Lebih Baik

    Aku mendengar Bobi setengah berbisik pada teman-temannya, "Anak ini kayaknya kerasukan setan. Lebih baik kita pergi saja."Mereka semua lari terburu-buru menuju motor mereka. Suara mesin motor yang meraung memecah kesunyian, dan dalam hitungan detik, mereka pergi, meninggalkanku, berdiri sendiri di tengah keheningan. Syukurlah mereka tidak terpikir untuk mengeroyokku. Jika tidak, mungkin aku sudah babak belur dihajar mereka.Aku berjalan pulang dengan tubuh yang terasa berat, setiap langkah seperti menambah lelah yang mengendap di tubuhku.Di kejauhan, kulihat seekor kucing berjalan lambat, membelakangiku. Aku terdorong untuk mendekatinya. Dengan hati-hati, aku membungkuk, mengusap punggungnya, sambil berbisik pelan, "Hai."Namun, ketika kucing itu menoleh, tatapannya dingin. Dia memandangku beberapa detik yang terasa begitu lama, lalu tiba-tiba melompat mundur dengan mengeong keras, wajahnya penuh amarah. Kucing itu lari kencang menjauh dariku, sesekali menoleh ke arahku, sorot matan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 5: Pencuri Di Sekolah

    "Kemarin sore, saat ibu hendak pulang dari sekolah, Ibu kehilangan hp dan sejumlah uang yang ibu taruh di meja ibu di ruang guru, sesaat ketika ditinggal ke toilet." ucap Bu Rini. Pernyataan itu menghentakkan kami semua."Bukan niat ibu untuk menuduh siapa pun di antara kalian," lanjut Bu Rini, suaranya sedikit bergetar, "tetapi kelas terakhir yang bubar kemarin adalah kelas ini. Sementara siswa-siswa lain sudah pulang, hanya kalian yang masih berada di sini."Suasana di kelas menjadi tegang. Bu Rini melanjutkan, "Ibu sangat berharap, Ibu mohon, jika memang ada di antara kalian yang kemarin melakukan hal itu, tolong kembalikan hp ibu. Banyak data penting di dalamnya."Wajah Bu Rini memerah, air mata mulai menggenang di matanya, "Kalaupun uangnya sudah tidak ada lagi, tidak apa-apa. Ibu hanya minta hp ibu saja." Suaranya kini lebih lembut. Dia berusaha menahan emosi."Temui Ibu, atau Bapak Kepala Sekolah, secara pribadi tanpa ada yang tahu, dan kembalikan hp ibu. Kami berjanji tidak ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24

Bab terbaru

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 22: Amarah Tedi

    Aku terbelalak kaget. Bobi tersungkur, dan sosok yang menyerangnya kini berada di atasnya, mencengkeram kerah bajunya dengan penuh emosi."Kau pikir kau bisa menjahili kami lagi?!" teriak orang itu, suaranya penuh amarah.Riko dan Jejen berusaha menarik orang itu, namun Ia berhasil menepis tangan Riko dan Jejen. Aku masih terlalu terkejut untuk bereaksi, tetapi saat aku melihat wajah orang itu dengan jelas, dadaku langsung terasa sesak.Itu Tedi.Tedi, yang selama ini terlihat lemah dan hanya selalu bisa pasrah ketika dijahili oleh mereka bertiga tanpa bisa sedikitpun melawan, kini berada di atas Bobi dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala, rahangnya mengeras, dan tangannya mencengkeram erat kerah baju Bobi seakan ingin meremukkannya. Entah apa yang merasukinya hingga ia sampai bisa bersikap seperti itu. "Tedi, berhenti!" suaraku serak, tapi aku tidak bergerak. Kakiku seperti tertanam di tanah, sementara mataku terpaku pada apa yang sedang terjadi di hadapanku.Namun, Tedi tidak

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 21: Bisakah Kita Berteman?

    Aku menatap mata Bobi tajam, mencoba membaca semua ekspresi wajahnya. Aku ingin tahu apakah semua ini hanya karena dia merasa berhutang budi setelah aku membelanya di depan kepala sekolah. Aku mengepalkan tangan, menahan gejolak perasaan yang berkecamuk di dadaku."Apakah permintaan maafmu ini hanya karena aku membelamu di depan Pak Amin?" suaraku terdengar dingin, penuh keraguan. "Kalau itu alasannya, kau tidak perlu meminta maaf padaku seperti ini. Kau tidak usah merasa berhutang budi padaku. Lupakan saja semua yang terjadi di ruang kepala sekolah."Bobi mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya dipenuhi kesombongan kini terlihat penuh dengan sesuatu yang sulit kuartikan—penyesalan? Kesedihan? Kebingungan?"Awalnya... iya, mau tidak mau aku harus mengakuinya." jawabnya lirih, hampir berbisik. "Aku merasa bersalah karena kau sudah menolongku, padahal aku nggak pernah berhenti menjahati dan mempermalukanmu. Aku pikir, paling tidak, aku harus mengucapkan terima kasih atau minta maaf."

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 20: Pergolakan Hati

    Pak Amin berdiri di hadapan mereka dengan ekspresi serius, tatapannya tajam menusuk, seolah tak ingin ada alasan ataupun perdebatan."Apa yang kalian lakukan di sini?" suaranya dalam dan tegas, membuat ketiga anak itu refleks menegakkan tubuh.Bobi menelan ludah, mencoba menjawab, tapi Pak Amin sudah lebih dulu melanjutkan, "Bukankah tadi sudah diumumkan bahwa sekolah akan mengadakan rapat tertutup. Seharusnya kalian semua sudah meninggalkan area sekolah sejak tadi."Riko dan Jejen saling pandang, lalu buru-buru berdiri. Jejen menggaruk tengkuknya, berusaha mencari alasan, tapi tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.Pak Amin mengalihkan pandangannya ke Bobi, ekspresinya semakin dalam. "Dan kau, Bobi, bukankah tadi bapak menyuruhmu memberikan surat panggilan kepada orangtuamu?"Bobi menunduk, lalu ia berbicara dengan suaranya yang nyaris tak terdengar. "Iya Pak."Pak Amin membuang napas, lalu ia berucap, "Pastikan orangtuamu datang besok. Jangan sampai surat itu tidak kau berikan

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 19: Benarkah Ia Akan Berubah?

    Aku fokuskan mataku menatap mata Bobi, mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya dari pikirannya, apa sebenarnya yang sedang ia lakukan di sini.Beberapa saat pikirannya mulai terbuka di hadapanku. Gambaran kejadian sebelumnya muncul seperti rekaman yang diputar ulang di dalam kepalaku.Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Bobi mencari Riko dan Jejen, dan mengajak mereka ke taman belakang sekolah, Bobi duduk berhadapan dengan Riko dan Jejen. Suasana di antara mereka terasa tegang, berbeda dari biasanya. Biasanya, mereka bertiga bercanda, menyusun rencana untuk menjahiliku. Tapi kali ini, Bobi datang dengan niat berbeda."Ada hal yang ingin aku katakan." Ucap Bobi dengan nada dan wajah serius. Riko dan Jejen saling bertatapan satu sama lain, lalu menoleh ke arah Bobi dengan ekspresi penasaran."Aku tahu kalian pasti nggak bakal suka dengar ini," Bobi memulai, suaranya terdengar sedikit ragu. "Tapi, aku putuskan mulai hari ini kita harus berhenti menjaili Thomas."Riko yang seda

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 18: Nasib Pak Udin dan Bobi

    Pagi ini, sesuatu terasa sangat berbeda. Sekolah yang biasanya riuh kini terasa sunyi. Tak ada bel masuk, tak ada guru di depan kelas, hanya sekelompok staf yang berbisik dengan wajah serius.Lalu, suara dari pengeras suara menggema ke seluruh penjuru sekolah."Perhatian untuk seluruh siswa. Hari ini, sekolah akan diliburkan karena akan diadakan rapat khusus. Semua siswa diminta segera pulang dan meninggalkan area sekolah."Bisik-bisik langsung memenuhi udara. Beberapa siswa tampak begitu senang karena bisa pulang lebih awal, sementara yang lain terlihat heran dan bingung. Aku melangkah menuju gerbang bersama mereka, tetapi pikiranku masih terganggu oleh kejadian tadi malam.Aku menghela napas, mencoba menepis pikiran itu. Tapi sebelum aku bisa benar-benar keluar dari gerbang sekolah, suara lain menghentikanku."Thomas."Aku menoleh. Pak Kepala Sekolah berdiri di ambang pintu kantornya, menatapku dengan sorot mata sulit ditebak."Ikut saya ke ruangan," katanya pelan, tapi tegas.Jantu

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 17: Kamar Yang Selalu Dikunci

    Mataku terbuka dengan tiba-tiba, dan aku merasakan sensasi tidak nyaman yang seolah menggelitik. Rasa ingin buang air kecil yang tak tertahankan lagi memaksaku untuk segera bangun dari tidurku. Ini mungkin akibat dari kegembiraan kami sore itu, ketika aku, Tedi, Nina, dan Rossi memborong es teh manis dari penjual langganan kami untuk merayakan kemenangan kami dalam mengungkap kasus pencurian yang dilakukan oleh Pak Udin.Kami telah meminum es teh manis itu hingga perut kami kembung, dan sekarang aku harus membayar harga untuk itu. Sejak pulang sekolah hingga sebelum tidur, aku telah bolak-balik ke kamar kecil. Padahal harusnya sekarang sudah kembali normal, tapi nyatanya sekarangpun, rasa tidak nyaman itu kembali datang, membangunkanku dari tidur yang nyenyak.Bayanganku melayang ke sore tadi, ketika kami memborong es teh manis untuk merayakan kemenangan kami dalam mengungkap kasus pencurian yang dilakukan oleh Pak Udin."Makasih teman-teman, berkat bantuan kalian, aku bisa lepas dari

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 16: Akhirnya Terungkap

    Kami semua terdiam tanpa satu katapun.Orang itu Pak Dodo. Ia sedikit celingukan, sampai matanya tertuju pada benda yang ia cari. Sapu lidi dan pengki yang berada tak jauh dari kami. Sambil meraih benda-benda itu, ia lalu berkata, "Semoga rencananya berhasil ya." Dengan senyum yang ramah tapi penuh misteri, Pak Dodo beranjak meninggalkan kami. Apakah ia tadi mendengar semua yang kami bicarakan?***Terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru mendekati kelas. Pintu terbuka dengan cepat—itu Tedi, Nina, dan Rossi. Tedi, dengan senyum kemenangan yang lebar di wajahnya, langsung menghampiriku. Saat aku menatap matanya, pikirannya seketika terbuka bagiku. Aku bisa melihat apa yang terjadi di ruang guru—rencana untuk mengungkap Pak Udin berhasil.Tadi ketika bel masuk berbunyi, Tedi, Nina, dan Rossi menuju ruang guru sambil membawa buku LKS. Mereka menjalankan rencana yang sudah kami sepakati bersama. Aku tidak bisa ikut karena sudah disuruh pulang untuk memberikan surat undangan orang t

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 15: Sebuah Rencana

    Tidak. Tadi aku sudah sepakat dengan diriku sendiri kalau aku tidak akan mengungkap rahasiaku. Kemampuanku membaca pikiran. Tidak boleh ada yang tahu. Setidaknya untuk saat ini.Ku dengar bel istirahat baru saja berbunyi. Suasana di sekitar mulai hiruk-pikuk. Para siswa berhamburan menuju kantin, dan aku hanya berdiri terpaku di koridor. Mataku menangkap sosok Bobi yang keluar dari ruang kepala sekolah dan berlari terburu-buru ke arah kelas. Apa yang dia pikirkan sekarang? Penyesalan? Ketakutan?Beberapa saat kemudian aku melihat Tedi, Rossi, dan Nina berjalan mendekat. Mereka bertiga memandangku dengan sorot mata penuh tanya, seakan ingin tahu apa yang baru saja terjadi di ruang kepala sekolah. Tedi, yang pertama kali berbicara."Ada apa, Thomas?" tanya Tedi, matanya menyipit heran ketika melihat surat yang kupegang erat. "Surat apa itu?" Rossi ikut bertanya, mendekat. "Surat pemanggilan orang tua?" Suara Nina bergetar dengan nada terkejut. Aku menarik napas panjang, mencoba menahan

  • Mata Ajaib Pembaca Pikiran   Bab 14: Menjadi Kambing Hitam

    Jantungku terasa sesak. Aku tak percaya dia tega menuduhku. Apa salahku padanya? Aku tahu Bobi suka membuli dan menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini keterlaluan."Bobi! Apa maksudmu?" tanyaku, menahan amarah yang terus memuncak. "Aku tahu kau tak suka padaku. Kau boleh saja membuliku, kau boleh saja menjahiliku, tapi menuduhku mencuri? Ini sudah kelewatan! Aku tak bisa terima!" Nafasku memburu, dadaku naik turun.Pak Udin kemudian angkat bicara, suaranya datar, "Kemarin aku masih mempercayaimu, Thomas, bahwa kau bukan pelakunya. Tapi setelah ada saksi yang melihatmu, aku terpaksa mengubah pendapatku.""Bobi!" teriakku dengan nada menantang, "Kalau aku memang pencurinya, mana buktinya? Kau tak bisa asal menuduh tanpa bukti." Bu Rini mencoba menenangkan suasana, "Bobi, apa kau punya bukti?" Bobi tampak gelisah, lalu menjawab dengan suara yang tak terlalu mantap, "Aku… aku tidak punya bukti." Bobi lalu menoleh ke arah Pak Udin. Bobi lalu berkata lagi, "Tapi aku melihatnya sendiri, so

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status