MASIH TENTANGMU- Rasa Penasaran Hujan menyisakan gerimis. Makin malam, hawa kian dingin. Gama menarik resleting jaketnya hingga tertutup rapat. Di sesapnya kopi di atas meja kafe.Setelah mandi dan berganti pakaian di rumah orang tuanya, Gama memang langsung bertemu Saga. Mereka berdua menemui supplier yang biasa bekerjasama dengan perusahaan. Gama tak sabar ingin tahu dalang di balik semua kekacauan ini. Ternyata benar dugaannya. Meski pihak supplier tidak mau bicara terus terang, tapi dari arah percakapan, Gama sudah bisa menebak siapa yang ada dibalik semua ini. "Kita pulang dulu, Ga. Besok saja kita ketemuan di kantor papa," kata Gama setelah menghabiskan kopi di cangkir."Kamu mau pulang ke mana?""Ke mertua. Dea pasti nungguin. Aku tadi bilang langsung ke sana, tapi aku nggak sempet bilang kalau kamu nelepon dan kita ketemuan.""Okelah, mulai sekarang kamu harus hati-hati. Besok siang kutunggu di kantor. Banyuaji jadi datang kapan?""Dia masih sibuk. Mungkin akhir pekan ini b
Setelah dua hari yang lalu rekan-rekan Dea heboh tentang kehamilan dan pernikahan diam-diamnya. Hari ini mereka kembali dibuat terkejut dengan mobil keluaran terbaru yang dikendarai Dea.Padahal Dea sudah memilih parkiran yang paling pinggir, supaya tidak menjadi pusat perhatian. Tapi kenyataannya mereka tetap heboh juga. Hanya Hani yang tenang, karena dia sudah tahu tentang hadiah mahal itu.Dea menanggapi ucapan rekan-rekannya dengan senyuman. Tidak banyak menjawab keingintahuan mereka.Alita yang datang telat, ikut kaget dengan perbincangan hangat yang tengah berlangsung pagi sebelum jam kerja di mulai. Dia tadi sempat melihat mobil baru di parkiran. Dipikir punya Pak Nathan. Tapi bukankah kepala divisinya sedang keluar kota. Lalu milik siapa. Setelah masuk ke ruangan baru tahu kalau mobil itu milik Dea."Yeay, mobil baru ya, Mbak Dea," ujar si centil. Gadis umur dua puluh lima tahun yang tidak berpihak pada siapapun. Berdiri tepat di antara meja kerja Dea dan Alita.Senyum menghi
MASIH TENTANGMU- Siapa perempuan itu?"Sayang, beneran ini?" tanya Gama dengan tatapan tajam."Iya. Aku ingat. Mamanya dokter Angkasa bermana Rosy dan beliau dokter kandungan."Gama meraih lengan istrinya. "Kita cari dokter lain saja."Dea menggenggam dan menahan erat lengan itu, lalu menggeleng pelan. Memberi isyarat dengan bahasa matanya supaya Gama yang berdiri kembali duduk. Di sekeliling mereka banyak antrian wanita-wanita hamil yang tengah menunggu giliran pemeriksaan. Akhirnya Gama akur. Sebenarnya dia tidak ingin ada kaitan apapun dengan keluarga dokter itu. Walaupun sang kakek pernah dirawat oleh dokter Angkasa beberapa waktu yang lalu."Pemeriksaan bulan depan kita cari dokter lain." Gama berkata lirih.Dea mengangguk. Tidak ingin berdebat yang akan didengarkan oleh pasien lain. Saat menunggu Gama gelisah, tidak sabar menanti giliran dan mereka segera meninggalkan rumah sakit. Harusnya Dea menyetujui usulnya untuk periksa di praktek pribadi dokter kandungan saja. Tapi te
"Pemeriksaan bulan depan, kita pindah saja ke dokter lain," ujar Gama ketika dalam perjalanan mengantarkan Dea pulang."Dokter Rosy tadi sebenarnya enak juga diajak konsultasi, Mas.""Dokter Amalia enak juga, kan?""Tapi dia masih cuti.""Dua bulan lagi cutinya pasti sudah selesai." Gama keukeh. Tidak akan membiarkan istrinya kembali periksa ke mamanya dokter Angkasa.Mobil masuk ke halaman rumah Dea. Mereka berdua turun, karena Gama akan ke kantor mengendarai mobilnya sendiri. "Mas, nggak masuk rumah dulu!""Nggak, Sayang. Ini sudah ditunggui di kantor," jawab Gama seraya mengecup kening istrinya. Kemudian membuka pintu mobilnya sendiri. Setelah membunyikan klakson, mobil bergerak meninggalkan rumah Dea.Saat masuk rumah, Dea langsung disambut sang mama. "Bagaimana hasilnya?" Bu Wetty sudah tak sabar ingin mendengar hasil pemeriksaan. Padahal baru tadi pagi juga Dea memberitahu sang mama kalau tengah hamil.Dea mengeluarkan amplop dari dalam tas. Bu Wetty mengeluarkan kertas dan has
MASIH TENTANGMU- Terungkap Sekeliling Alita serasa gelap seketika. Apa yang dilihat hanya kelam meski jelas suasana di sana terang benderang, sejuk, dan wangi aroma vanilla. Namun setelah menerima kabar itu seolah menjadi neraka.Berarti Gama menikah tak lama setelah mereka putus pertunangan. Alita memandang meja kosong di depannya. Hari ini Dea tidak masuk kerja. Dia tidak tahu alasannya apa. Mungkinkah .... Gigi Alita mengatup rapat. Persepsinya mulai bekerja. Apa mungkin Gama rujuk dengan Dea? Namun sisi hatinya yang lain menyangkal. Tidak mungkin. Selama yang ia tahu, Gama sedingin itu pada Dea. Lagipula Dea juga tengah dekat dengan dokter Angkasa.Tapi bukankah dengan siapapun Gama menunjukkan sikap dingin? Hanya pada putrinya lelaki itu bisa berubah menjadi lelaki paling penyayang. Isi hatinya menjadi misteri.Alita meremas rambutnya sambil menunduk di meja. Pikirannya penuh oleh prasangka, hatinya sesak oleh kecewa, cemburu, dan luka.Siapa perempuan yang bisa menaklukkan pr
Tak ada perdebatan. Mereka bercanda hingga lewat jam sepuluh malam sampai kafe tutup dan hanya mereka bertiga di sana. Malam itu Banyuaji akan menginap di rumah Gama. Gama sendiri sudah bilang pada Dea tadi sore kalau akan pulang ke rumahnya. Sebab banyak yang harus dibahas dengan Banyuaji. Kebetulan besok hari Sabtu dan mereka libur kerja. "Alita ngirim pesan." Gama menunjukkan ponsel pada sepupunya.[Oh, rupanya kamu diam-diam sudah menikah. Kupastikan kamu nggak akan bahagia.]"Luar biasa, dia mengancammu," kata Banyuaji."Jawab saja kalau kamu memang udah nikah. Dia harus terima kenyataan." Saga yang bicara."Aku nggak pernah membalas pesannya. Sekali saja belum pernah." Gama meletakkan ponselnya di atas meja."Dia akan terus menterormu.""Kalau kujawab malah menjadi-jadi nanti.""Secepatnya kamu minta Dea untuk resign saja. Bahaya, apalagi Dea lagi hamil," saran Saga."Ya."***L***Kamar itu berantakan setelah Alita memporak-porandakannya. Bantal, guling, sprei, buku, bahkan sk
MASIH TENTANGMU- Tumbang Kemarahan itu meluap dalam dada, sampai Alita membeku tidak bersuara apa-apa. Tubuhnya memanas karena darahnya mendidih. Inilah puncak kemarahannya. Namun saat itu ia tidak bisa berbuat apapun. Ini kantor, jika ia mengamuk hanya menambah rasa malunya. Tentu rekan-rekan sekantor sudah tahu kenyataan yang sebenarnya. Ada Hani yang siap pasang badan untuk Dea dan menjelaskan pada mereka. Atau mungkin Hani sudah menjelaskan semuanya.Dia tidak mungkin izin pulang. Terpaksa melakukan pekerjaannya dalam diam. Tangannya gemetar menahan amarah. Pekerjaan yang harus diselesaikan saat itu menjadi kalang kabut. Berapa kali harus dibenahi, harus direvisi ulang. Raganya serasa tak bertenaga. Limbung tapi terpaksa harus tetap duduk dengan tegak. Matanya terasa panas karena menahan diri agar tidak menangis. Sialan, dia kecolongan. Perempuan yang hari-hari duduk di depan meja kerjanya ternyata sudah kembali pada Gama. Bahkan sekarang sudah hamil. Hancur lebur hati Alita.
Dokter Rosy mengambil termo gun di atas meja dan mengecek suhu tubuh putranya. "Sa, kita ke klinik saja. Suhu badanmu 40° ini." Wanita itu tergesa keluar kamar untuk memanggil sopirnya. Dia tidak akan kuat memapah dokter Angkasa sendirian. Sedangkan sang suami sudah berangkat ke rumah sakit lebih pagi karena ada pasien darurat.Saat dipapah keluar kamar, dokter Angkasa tidak menolak. Tubuhnya memang butuh perawatan. Sebagai seorang dokter, dia paham kondisi fisiknya. Tak ada drama penolakan atau apapun. Memang lebih baik segera mendapatkan penanganan medis. Meskipun seorang dokter, kalau sudah tumbang begini mana bisa ia mengobati dirinya sendiri.Dia harus kembali sehat demi pasiennya yang rata-rata para orang tua."Ada apa, Tante." Dokter Farhana kaget saat melihat dokter Angkasa yang berbaring di brankar di dorong masuk ke kamar perawatan. Ruang VIP di klinik itu."Angkasa demam sejak tadi malam, Na. Sekarang panasnya masih 40°. Tante khawatir dia kena typus atau malah DBD. Kamu pe