Masih Tentangmu
- Luka"Dea, aku ngeliat Gama kemarin jalan dengan Alita," kata Hani pada Deandra yang tengah makan siang bersamanya di kantin kantor.Sebenarnya wanita itu tidak ingin memberitahu sahabatnya, hanya saja sudah dua kali ini Hani memergoki laki-laki itu jalan berdua dengan rekan kantor mereka.Dea menghentikan suapan dan menatap wanita di hadapannya dengan rona terkejut. Degup jantungnya berpacu kencang. "Di mana?""Makan malam di Joy Seafood."Kedua rekan itu saling berpandangan."Dua kali ini aku nggak sengaja melihat mereka jalan berdua. Yang pertama udah lama sekali. Aku lihat di dekat gerbang tol colomadu. Hanya ada mereka saja di dalam mobil." Kejujuran Hani memporak-porandakan perasaan Dea seketika itu. Selera makannya musnah sudah. Perut yang sejak pagi tadi belum terisi apa-apa, mendadak terasa penuh tapi perih di ulu hati.Hani sendiri terpaksa memberitahu, karena Alita merupakan teman sekantor mereka dan dekat juga dengan Deandra. Apa mungkin gadis itu menjalin hubungan dengan Gama?"Dea, aku curiga mereka punya hubungan spesial."Deandra yang biasa dipanggil Dea menelan saliva, kemudian menunduk. Memainkan sendok pada nasi yang masih separuh. "Nggak apa-apa, Han. Toh, aku dan Mas Gama juga sudah lama bercerai. Dia bebas mau jalan dan menikah dengan gadis mana saja. Hubungan kami hanya sekedar sebagai orang tua dari Antika.""Ya, aku tahu. Tapi apa harus dengan Alita? Kamu dan Alita berteman baik, 'kan?"Wanita dengan rambut sebawah pundak itu hanya mengangkat bahunya sejenak. Dia sudah tidak punya hak apapun untuk melarang atau mengizinkan Gama memilih dengan siapa ingin menjalin hubungan.Benarkah Gama memilih Alita? Bukankah Gama juga tahu kalau Alita adalah teman baiknya. Dan gadis itu juga tahu kalau Gama mantan suaminya.Memanglah sebelum Alita datang, antara dirinya dan Gama sudah menjadi mantan. Jadi untuk apa mempermasalahkan hal itu. Mereka berhak membuat keputusan untuk menjalin hubungan. Dea menghela nafas berat.Selama ini Alita tetap bersikap seperti biasanya kalau di kantor. Tapi sudah ada dua bulan terakhir ini, gadis itu memang jarang mengajak Dea kulineran di akhir pekan. Selalu pulang terburu-buru. Dipikir Dea karena neneknya Alita tengah sakit, makanya jarang mengajak jalan.Mungkin Hani benar, diam-diam antara Alita dan Gama memiliki hubungan. Dea menangis dalam batin. Serasa ada yang menggores perasaan yang selama ini masih utuh pada laki-laki yang menjadi cinta pertamanya."Kira-kira mereka kenal di mana? Apa kamu yang ngenalin?""Aku pernah mengajak Alita menjemput Antika di rumah Mas Gama. Sebelum kami pulang, Mas Gama ngajak makan malam di KFC depan perumahan. Itu yang aku ingat. Jika di lain hari mereka kenalan sendiri dan bertemu, aku nggak tahu."Wajah cantik Dea yang tadinya cerah, kini mendadak suram. Hani merasa bersalah, tapi ia harus memberitahu sahabatnya. Sebab Dea berteman baik dengan Alita. Mumpung dua hari ini Alita juga tidak masuk kerja.Justru Dea lebih sering bepergian bersama Alita daripada dengan dirinya. Maklum, mereka sama-sama single, sedangkan dirinya ibu dari dua anak yang lebih memilih langsung pulang daripada jalan-jalan ke mall."Dea, kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Hani khawatir melihat Dea terus diam sambil memperhatikan nasi di piring."Enggak." Dea mengangkat wajah dengan senyum dipaksakan. Hani makin tak enak hati. Dia tahu bagaimana perasaan Deandra pada Gama. Meski mereka sudah lama bercerai."Habiskan dulu makanmu. Setelah itu kita salat zhuhur sekalian istirahat di mushola," kata Hani."Sekarang saja, Han. Aku sudah kenyang.""Kamu tadi bilang kalau pagi nggak sempat sarapan. Maaf, harusnya aku cerita setelah kamu selesai makan," sesal Hani."Enggak apa-apa. Ayuk, kita ke mushola!" Dea berdiri sambil meraih tas tangannya di atas meja. Kemudian menarik pelan lengan sahabatnya. Hani mengikuti langkah Dea menuju musholla dengan bangunan terpisah yang berada di sebelah barat kantor. Dekat parkiran.Tempat itu sepi karena setiap hari Jum'at begini, karyawan pergi keluar untuk salat Jum'at sekalian makan siang di luar. Untuk para karyawati, sebagian juga rame-rame makan di luar dan hanya beberapa orang yang tetap di kantor dan memilih makan di kantin."Dea, maafkan aku ya. Harusnya aku nggak ceritakan hal itu ke kamu." Hani bicara sambil mengulurkan tangan, usai mereka salat.Dea tersenyum. "Nggak apa-apa, Han. Nggak usah merasa bersalah. Terima kasih karena kamu sudah ngasih tahu aku. Jika kamu diam saja, aku mana tahu." Wanita itu menunduk sejenak kemudian meneruskan bicara. "Lagian aku dan Mas Gama sudah nggak ada ikatan apa-apa. Dia berhak bersama dengan siapapun.""Kamu nggak ada alasan lagi untuk mempertahankan perasaanmu sama dia. Ayolah, buka lembaran baru untuk masa depanmu. Jangan harapkan yang nggak bisa lagi kamu dapatkan. Kamu dari keluarga terhormat, cantik, masih muda pula. Apa yang kamu harapkan dari Gama? Kalau mau berjuang, tentu sudah dia lakukan. Tapi buktinya dia juga diam saja. Common, Dea. Kamu sangat cantik dan baik, buka hati kamu untuk pria lain." Kadang Hani ikut geregetan melihat sahabatnya masih keukeh mempertahankan perasaannya pada seorang mantan. Hani tahu bagaimana sifat Gama. Meski katanya sekarang sudah jauh berubah.Dea menunduk dan meneteskan air mata. Sejenak menangis. Tanpa diingatkan oleh Hani pun, seharusnya dia sudah melakukan itu. Apa yang ditunggunya? Kebaikan Gama akhir-akhir ini justru memporak-porandakan perasaannya. Gama baik hanya demi anak mereka.Selama ini dia juga berpikir kalau pada akhirnya Gama mungkin akan menikah dengan perempuan lain, tapi ia tidak mengira sama sekali kalau Alita yang dipilih oleh Gama. Gadis yang dikenalkannya padanya belum lama ini."Apa yang membuatmu mempertahankan kesendirian dan perasaan pada Gama? Sedangkan perlakuannya juga nggak baik padamu selama kalian menikah."Dengan ujung jemari, Dea mengusap air mata lalu menarik napas dalam-dalam. "Selama kami menikah, dia memang lebih mengutamakan berkumpul dengan teman-temannya. Mengutamakan hobinya. Balapan, nongkrong di kafe, touring. Tapi belum pernah sekali saja dia main perempuan."Hening."Jika sekarang dia bersama Alita. Mungkin Alita perempuan yang membuatnya kembali jatuh cinta." Dea memandang Hani dengan senyum getir yang terbit di bibirnya yang sangat menarik. Tersapu lipstik warna nude.Hani merangkul sahabatnya. Tak sadar netranya juga ikut berkaca-kaca. "Move on, Dea. Kamu berhak bahagia. Banyak lho yang pengen deketin kamu. Mereka juga bukan orang sembarangan. Punya jabatan dan karir yang cemerlang."Dea mengangguk pelan. Semua bisa dikatakan, tapi belum tentu bisa dilakukan. Buktinya ia tetap bertahan dalam kesendirian setelah bercerai dari Gama. Menjauhi beberapa pria yang berusaha untuk serius dengannya."Sudah jam berapa ini? Yuk, kita kembali ke kantor!" Dea melepaskan mukena dan melipatnya. Memasukkan ke dalam tas kecil. Hani melakukan hal yang sama dan mereka kembali melangkah ke kantor."Besok libur, ajak Antik main ke rumah. Aku mau bikin kue besok," kata Hani sambil berjalan."Insyallah," jawab Dea sambil tersenyum.Baru saja duduk di belakang meja kerjanya, ponsel Dea berpendar. Ada pesan masuk dari Gama.[Besok pagi, aku jemput Antik jam delapan, De.] Terbaca dari jendela notifikasi.Hanya Gama yang memanggilnya dengan sebutan berbeda. De.Dea meletakkan kembali ponselnya di meja. Malas untuk membalas. Selama ini biasanya langsung dijawab dengan perasaan bahagia. Siapa tahu perubahan Gama yang peduli dengan anaknya, bisa memperbaiki hubungan mereka. Ternyata salah prediksinya. Hari ini dia justru tahu kalau Gama dekat dengan Alita.Tentu tak lama lagi, Gama akan mengenalkan Antika pada kekasihnya.Jika masih bersama, Dea bisa mengamuk, marah, atau memukuli Gama. Tapi sekarang, jarak yang memisahkan, status yang disandang, tak memberinya izin untuk melakukan hal bodoh itu. Ia bisa apa? Selain merasakan patah hati secara diam-diam.Cemburunya, sungguh perasaan yang tak lagi penting bagi Gama.[De.]Satu pesan kembali masuk. Dea hanya meliriknya sekilas di layar yang menyala. Hatinya terasa nelangsa dan perih.Kenapa Tuhan tidak mencabut saja rasa yang begitu menyiksanya? Kenapa dibiarkan tetap subur, sedangkan rasa milik yang di sana sudah mati, bahkan sudah berganti pemilik.Kenapa dia harus menyalahkan Tuhan? Seharusnya dia yang berusaha dulu untuk melupakan, baru Tuhan akan memberikan hasilnya. Tidak terus-terusan memupuknya hingga tetap berkembang.[Bisakah aku meneleponmu. Kamu sibuk, nggak?] Gama kembali mengirimkan pesan.Kali ini Dea meraih ponselnya dan mengetik balasan. Biasanya dengan senang hati, Dea akan menerima telepon dari Gama. Namun perihnya perasaan, membuatnya enggan untuk bicara.[Ya, besok Mas bisa jemput Antik jam delapan.] Terkirim dan Dea kembali meletakkan ponselnya di meja.[Oke.] Balas Gama.Dea menyalakan komputer dan mulai bekerja. Meski pikirannya kalang kabut. Telinganya bisa mendengarkan percakapan lirih teman sebelah yang meja kerja mereka hanya tersekat papan bercat putih.Alita yang tengah dibicarakan. "Aku dengar Lita ke Cemoro Sewu hari ini.""Sama pacarnya?" tanya yang lain dengan suara berbisik."Iya.""Kamu tahu siapa kekasihnya?""Enggak. Tapi kudengar mereka sudah tunangan.""Oh ya?""Sepertinya begitu. Lita kan tertutup banget soal relationship-nya."Tunangan?Dea kaget. Tangan yang memegang mouse tampak gemetar. Ternyata rekan-rekannya yang lain sudah banyak yang tahu meski samar-samar. Hani dan dirinya termasuk yang telat mengetahuinya.Padahal dibanding dengan rekan yang lain, Alita lebih dekat dengannya. Tapi dia orang yang ternyata tidak tahu apa-apa. Benarkah calonnya itu Gama? Seperti yang disangka Hani tadi. Makanya Alita tidak cerita apapun padanya?Kalau pun benar, apa masalahnya? Toh dirinya dan Gama sudah jadi mantan. Berhak menentukan pilihan dan jalan hidup masing-masing.***L***Antika sudah rapi dan cantik pagi itu. Dia duduk di teras rumah menunggu papanya datang menjemput. Ini hari yang menyenangkan baginya. Momen bersama sang papa selalu ia nantikan. Gama akan mengajaknya keliling kota, makan di restoran favoritnya, dan tentu saja shopping.Sebuah mobil warna hitam memasuki halaman rumah. Seorang pria tampan memakai kaus hitam dan celana jeans turun. Antika tersenyum ceria.Gama merentangkan kedua tangan untuk menyambut pelukan sang anak. "Maaf, lama ya nunggunya?""Hu um." Gadis kecil itu mengangguk.Dari dalam rumah muncul Dea membawakan ransel milik Antika. Sejenak memandang lelaki berahang kokoh yang terlihat baru merapikan cambang. Jika biasanya bahagia, kini perih yang terasa.Gama menggandeng putrinya dan menghampiri Dea. Menyerahkan sebuah paper bag berisi oleh-oleh dari Tawangmangu. Dea tahu kalau itu dari sana karena ia sudah hafal kemasannya. Berarti benar, antara Gama dan Alita memang punya hubungan. Sampai mereka liburan bersama dan tidak masuk kerja."Makasih," ucap Dea lirih sambil menerima paper bag dari Gama.Melihat Dea tidak bersemangat, Gama heran. Biasanya wanita itu selalu berbinar saat menyambutnya datang. Entah untuk menjemput atau mengantarkan Antika.Sikapnya juga datar saja saat melihat oleh-oleh dari Tawangmangu, tanpa bertanya apapun. Tak ada basa-basi seperti biasanya. Padahal Tawangmangu dulu menjadi tempat favorit mereka berdua untuk menghabiskan akhir pekan bersama. Banyak malam pernah mereka habiskan di sana.Sekarang ini, tempat itu juga menjadi destinasi berlibur antara Gama dan pasangan barunya. Perih hati Dea."Nanti sore Antika kuantar pulang," kata Gama sambil menerima ranselnya Antika."Ya.""De, kamu sakit?"Dea menggeleng.Gama termangu. Biasanya Dea akan mempersilakan masuk untuk bertemu dengan kedua orang tuanya lebih dulu atau sekedar menawari sarapan."Om dan tante di rumah?""Ada di belakang. Tadi Antika sudah pamitan.""Oh ... oke. Kalau gitu kami pergi dulu."Dea menunduk di depan Antika yang di gandeng papanya. "Jangan nakal, ya. Jangan minta macam-macam, mainan Antik sudah banyak di rumah.""Ya, Ma," jawab gadis kecil itu sambil tersenyum.Hanya pada Antika, Dea memandang dan melambaikan tangan. Membuat Gama tambah heran. Biasanya Dea akan bilang hati-hati, take care, atau bawa anak jangan ngebut. Namun kali ini mantan istrinya itu diam saja. Bahkan memandangnya pun tidak. Wajahnya terlihat sendu dan sembab. Ada apa dengan Deandra?Sampai di dalam mobil, Gama kembali memandang ke arah punggung Dea yang berbalik dan masuk ke dalam rumah. Bukankah biasanya akan menunggu sampai dia keluar pintu pagar?"Mama kenapa tampak sedih, Sayang?" tanya Gama pada Antika yang duduk di sebelahnya. Setelah mereka meninggalkan rumah besar mantan mertuanya."Enggak tahu, Pa. Tadi malam mama nangis di kamar.""Kenapa?" Dahi Gama mengernyit.Antika menggeleng. "Antik enggak tahu. Mama diam saja waktu Antik tanya."Next ....Selamat datang dikisahnya, Deandra, Gama, dan Alita.Tokoh Gama ini muncul di pertengahan cerbung WAKTU YANG HILANG.Masih Tentangmu- Hanya MantanOleh-oleh dari Gama diletakkan begitu saja di meja makan oleh Dea. "Untuk Mbak Sri, ya," kata Dea pada seorang wanita setengah baya yang menjadi ART di rumah orang tuanya. "Dari mana ini, Mbak?" Mbak Sri menghampiri meja dan melihat isi paper bag. "Siapa yang dari Tawangmangu?""Papanya Antik. Ambil semuanya, Mbak. Saya mau ke kamar." Gegas Deandra menuju tangga. Namun sebelum naik, ia melihat ke arah belakang rumah. Dari jendela kaca besar memperlihatkan papanya yang sedang melakukan senam ringan dan mamanya beryoga. Mereka memang orang-orang yang mementingkan menjaga kebugaran tubuh. Kesehatan nomer satu bagi Pak Dedi dan Bu Wetty.Apalagi setelah sekarang menikmati masa pensiun. Mereka memiliki banyak waktu luang untuk bersenam.Dea menaiki tangga ke kamarnya di lantai dua. Mengunci pintu lalu duduk di kursi dekat jendela.Semilirnya angin pagi menyejukkan permukaan kulit. Di atas sana, awan kelabu memayungi bumi. Pertengahan Oktober, musim penghujan
Masih Tentangmu- Deandra "Hai, Dea," sapa Alita yang melewati meja kerja Deandra Senin pagi itu. Gadis itu tersenyum sekilas pada Dea. Padahal biasanya mampir sejenak untuk ngobrol atau sekedar bertanya sudah sarapan apa belum.Dea pun hanya memandang sejenak, karena Alita langsung duduk di meja kerjanya. Jika empat hari yang lalu, sebelum gadis itu mengambil cuti, perasaan Dea masih biasa. Sekarang sangat berbeda.Kalau boleh meminta, dia tidak ingin bertemu gadis itu. Namun bukankah itu terlalu kekanak-kanakan? Jika menunjukkan kalau dia kuat, butuh mengorbankan perasaan dan berusaha terlihat baik-baik saja. Apa Dea bisa?Padahal semalaman dia sudah banyak merenung. Untuk apa cemburu, untuk apa marah. Toh itu hak mereka untuk bersama. Walaupun Alita sebenarnya tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama. Namun apa haknya untuk meminta Alita menjaga perasaannya. Dia siapa? Hanya mantan yang sudah dilupakan. Sekarang hanya perlu meyakinkan diri, bahwa semua pasti bisa dilewati. Segalany
MASIH TENTANGMU - Dua Perempuan "Dea, ternyata Alita sendirian. Cuman yang dipake mobilnya Gama," bisik Hani di telinga Dea.Dea hanya mengangguk tanpa kembali memandang ke arah Alita yang melangkah masuk pintu pagar. Gadis itu tampaknya juga tidak menyadari keberadaan Dea dan Hana yang berbaur dengan para pelayat yang berpakaian serba hitam, duduk di tenda depan rumah sebelah barat. Apalagi Dea dan Hani kali ini memakai jilbab. Sedangkan Alita mengenakan selendang panjang yang dikalungkan pada lehernya. Namun mereka sama-sama memakai kacamata hitam.Hampir semua karyawan yang datang meneteskan air mata. Mereka teringat sosok manager yang humble dan sangat perhatian pada karyawan. Lelaki berwajah oriental itu tiada dalam usia lima puluh lima tahun. Setelah sakit beberapa lama.Setelah mengucapkan bela sungkawa pada keluarga almarhum, Alita duduk bergabung dengan rekannya yang berada di sebelah timur rumah. Namun pada akhirnya ia melihat Dea dan Hani yang duduk di bawah tenda. Gadis
Alita tersenyum. Senyuman yang terlihat sinis bagi Hani. "Jadi, aku harus minta izin sama Dea. Gitu?"Hani menahan rasa yang nyaris meledak dalam dadanya. Perempuan di sampingnya ini memang tidak tahu bagaimana menjaga perasaan orang lain. Ingin rasanya mencakar dan mencabik-cabik wajah yang tak menunjukkan empati sama sekali."Setidaknya kamu bisa menjaga perasaan orang lain. Apalagi kamu tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama."Lagi-lagi Alita tersenyum sambil membuang pandang. "Tapi Gama sudah nggak ada perasaan lagi pada Dea. Gama hanya menganggap Dea sebagai ibu dari anaknya. Itu saja. Kalau dia sudah nggak mau kenapa Dea masih berharap. Salah siapa kalau begini? Bucin sendiri."Hani benar-benar harus mengontrol emosi. Wanita di depannya ini laiknya srigala berbulu domba. Padahal selama ini terlihat begitu manis dan lembut di depan Dea. "Kamu bisa ya ngomong seperti ini? Pada teman yang hampir setiap hari duduk makan bersamamu. Jalan dan curhat bersama. Jadi sikapmu yang terlihat
MASIH TENTANGMU - Move On, Dea"Antik sudah pulang apa belum?" tanya Gama memandang ke arah Dea."Aku belum tahu. Sejak pagi aku takziah. Mungkin malam nanti, Antik baru di antar oleh Mas Rizal. Maaf, Mas. Aku pulang dulu.""Tunggu!" tahan Gama saat Dea hendak melangkah."Bisa kita bicara sebentar."Apa yang hendak dibicarakan oleh Gama? Apa akan memberitahu tentang hubungannya dengan Alita? Degup jantung Dea terasa nyeri."Bicara apa?""Aku dan Alita ....""Aku sudah tahu," sahut Dea cepat sambil bersitatap dengan Gama. Lantas lebih dulu mengalihkan perhatian pada tempat lain."Apa yang kamu tahu?""Kalian sudah bertunangan dan akan menikah." Oh, rasanya sangat sakit mengatakannya.Hening. Yang terdengar hanya gemerisik dedaunan yang bergesekan karena tertiup angin. Sebenarnya Gama tidak ingin membicarakan hal itu. Tapi Dea pasti melihat mobilnya yang dipakai oleh Alita tadi. Gama menghela nafas panjang sambil memandang nisan kecil, di mana anak pertamanya telah tenang di sana. Te
Namun setelah Gama menikah dengan Alita, masih bisakah ia memperhatikan Antik seperti sekarang ini. Atau berubah lagi tidak peduli.Ini sudah malam. Kenapa Gama nekat datang?Dea ikut bangun dan menghampiri Mbak Sri. "Temani Antik turun, Mbak. Saya mau istirahat. Kepala saya agak pusing.""Njih, Mbak Dea. Ayo, Mbak Antik.""Yeay, Mbak Sri lupa ya. Mesti memanggilku apa?"Mbak Sri terkekeh. Wanita bertubuh subur itu mencubit gemas pipi majikan kecilnya. "Ya, Nona Antik."Antika tersenyum lebar. Dia ingin dipanggil seperti princess di film kartun kesukaannya. Kemudian memandang ke arah sang mama. "Mama, nggak ikut?""Nggak, Sayang.""Tapi ada Mbak Astrid juga, Mbak," kata Mbak Sri baru ingat. Ah, dia jadi pelupa sekarang. "Mbak Astrid ingin bertemu Mbak Dea tadi."Dea diam sesaat. Enggan rasanya turun dan bertemu mereka untuk saat ini. Tapi sudah didatangi, masa iya tidak ditemui. Dea bergerak ke meja riasnya. Mengambil jepit rambut dan mengikat asal saja rambut panjangnya.Akhirnya men
MASIH TENTANGMU - Cemburu Dea meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh di hadapannya. Bukan panggilan masuk, tapi sebuah pesan dari mamanya.[Dea, nanti sepulang kerja kamu mampir ke rumah sakit. Sita mau melahirkan. Sekarang baru bukaan lima, tapi tadi mama dikabari oleh budhemu kalau akan dilakukan tindakan SC.]Sita ini sepupunya Dea. Anak dari satu-satunya kakak perempuan sang mama. Dea segera mengetik pesan balasan. [Oke, Ma.]"Ada apa?" tanya Hani."Sepupuku mau lahiran. Mama memintaku mampir ke rumah sakit sepulang kerja nanti."Setelah Dea selesai membalas pesan, Hani mengajak sahabatnya itu kembali ke kantor. Di lobi mereka berpapasan dengan Alita yang hendak masuk ruangan juga. Sengaja Dea memperlambat jalan supaya Alita lebih dulu melangkah. Beberapa rekan heran melihat kerenggangan mereka. Namun sudah ada beberapa orang yang tahu duduk permasalahan. Namun mereka hanya berbisik sesama rekan, tidak ada yang menanyakan langsung pada Dea atau pun pada Hani. Yang tampak ken
"Mas, mau makan apa?" tanya Alita sambil memandang Gama yang duduk dan fokus pada ponselnya semenjak mereka datang tadi.Malam itu mereka makan malam di Restoran Wijaya Kusuma milik Bu Ariana. Mengambil tempat duduk paling tepi, agar bisa leluasa untuk ngobrol.Alita yang punya ide makan di sana biar sekalian bisa bertemu dan bicara dengan ibu kedua bagi Gama. Melihat Gama yang banyak berubah akhir-akhir ini membuat Alita khawatir. Tentunya ia tidak ingin malu jika gagal lagi. Apalagi Gama termasuk pria paket komplit. Kaya dan keturunan bangsawan.Saga dan Melati juga sudah tahu kalau ia bertunangan dengan Gama. Kalau gagal, mau ditaruh mana mukanya.Sejauh ini Gama juga belum tahu tentang masa lalunya. Jika pada akhirnya terbongkar, tak masalah. Yang penting mereka telah menikah."Mas," panggil Alita lagi karena Gama masih diam."Aku pesan nasi goreng saja," jawab Gama tanpa mengalihkan perhatian pada benda pipih di tangannya.Alita yang kesal langsung berdiri dan melangkah ke belaka
Paginya, Alita berkemas-kemas dibantu oleh Naufal. Sesekali mereka saling pandang dan melempar senyum. Rambut Alita terurai sebawah bahu dan masih setengah basah."Akhir pekan ini, kita lihat rumah di Grand Permata," kata Naufal menghampiri istrinya dan membantu mengunci travel bag."Kamu sudah tahu Grand Permata, kan?""Iya, aku pernah lewat sana.""Kamu suka nggak tempat itu?""Suka.""Ada juga di Singosari Residen. Tapi kejauhan kalau ke kantor. Di sana pemandangannya juga menarik. Bagaimana?""Aku ngikut saja. Mana yang terbaik buat kita.""Oke. Nanti kita lihat dua-duanya. Jadi kamu bisa membuat pilihan. Kalau di Singosari Residen memang lebih tenang tempatnya. Adem karena di kelilingi perbukitan. Cuman agak jauh dari kantor. Sebelum mendapatkan rumah, kita tinggal di kosanku sambil cari kontrakan rumah untuk sementara.""Ya." Alita tersenyum. Kemudian mengecek laci, memperhatikan gantungan baju, dan masuk ke kamar mandi untuk memastikan tidak ada barang mereka yang tertinggal.T
MASIH TENTANGMU- Hidup BaruJam dua ketika tamu sudah mulai senggang. Alita menghampiri Dea dan Melati yang duduk ngobrol, terpisah dari rombongan Pak Norman."Makasih banget kalian menyempatkan datang dari Jogja ke Surabaya," ucapnya sambil duduk di kursi depan dua wanita itu. Agak susah duduk karena memakai jarik yang sangat sempit. Makanya Dea membantu memegangi tangan Alita agar tidak terjengkang."Sama-sama," jawab Dea dan Melati hampir bersamaan."Setelah ini kamu dan suamimu tinggal di Malang?" tanya Melati."Iya. Kami berdua kerja di sana.""Kamu sudah lama pulang ke Surabaya?" tanya Melati lagi Dijawab anggukan kepala oleh Alita. Melati malah tidak tahu banyak tentang Alita, semenjak pakdhenya Alita masuk penjara. Apalagi setelah putus pertunangan dari Gama, Alita tidak pernah lagi datang ke kafenya. Dea sendiri tidak pernah membahas pertemuannya dengan Alita pada siapa-siapa. Kecuali pada sang suami, itu pun baru seminggu yang lalu. "Bentar aku mau ke toilet," pamit Melat
Jogjakarta, dua minggu kemudian."Undangan dari siapa, Mas?" Dea meraih undangan yang baru diletakkan oleh Gama di hadapannya. Dia membaca nama yang tertera. Tidak ada foto calon pengantin dalam undangan itu."Dari Alita?" Dea kaget. "Ya. Saga yang ngasih tadi. Seminggu lagi Lita nikah di Surabaya. Kata Saga, Naufal itu teman kuliah mereka dulu.""Calonnya dari Surabaya juga?"Gama mengangguk, tapi dia heran melihat wajah sang istri tampak bingung dan berulang kali memperhatikan undangan mewah kombinasi warna putih dan kuning keemasan di tangannya. "Sayang, kenapa?"Dea meletakkan undangan di atas meja riasnya."Mas, waktu aku hamil delapan bulan dan tinggal di apartemen. Sebenarnya aku bertemu dengan Alita yang tinggal di apartemen itu juga."Ganti Gama yang terkejut. "Beneran?"Dea mengangguk."Kenapa nggak cerita sama mas?""Karena Mas pasti langsung mengajakku pindah dan nggak boleh lagi bertemu dengan Lita. Waktu itu dia sudah berubah baik. Dia minta maaf padaku sambil nangis.
MASIH TENTANGMU- The Wedding Pagi yang cerah, suasana yang indah. Rumah Pak Handoyo begitu meriah. Senyum suami istri itu sangat sumringah. Menyambut tamu dari keluarga Naufal dan dari beberapa kerabat mereka sendiri yang di undang ke rumah. Tak ada yang ditutupi lagi kalau pernikahan Alita dengan Tony sudah selesai empat bulan yang lalu.Mereka mengerti dan tidak pernah bertanya secara detail.Tentang keguguran itu pun kerabat tidak ada yang tahu. ART saja yang tahu, tapi mereka juga tutup mulut. Tidak ada yang jadi 'lambe turah'. Sebab sadar karena di sana hanya bekerja dan digaji tidak murah. Pak Handoyo dan Bu Lany juga sangat baik sebagai majikan.Alita memakai gamis warna khaki dengan hiasan bordir di bagian kerah dan kancing depan. Memakai jilbab polos warna senada. Naufal memakai kemeja warna abu-abu. Acara dadakan yang membuat mereka tidak sempat menyelaraskan outfit untuk lamaran. Juga tidak ada backdrop. Namun tidak mengurangi kegembiraan hari itu.Orang tua Alita dan ke
Pagi-pagi sekali Gama bersama keluarganya sudah sampai di rumah Pak Norman. Ia juga sudah check out dari vila. Pagi ini bersama keluarga kecil Saga, mereka akan kembali ke Jogja. Liburan telah selesai dan besok waktunya kembali ke kantor.Pak Norman menciumi bocah-bocah satu per satu. Alangkah bahagianya. Di hari tua bisa memiliki cucu sebanyak itu. Termasuk anak-anak Gama direngkuh tak ubahnya seperti cucu sendiri. Gama adalah bagian dari Ariani. Perempuan yang memiliki tempat tersendiri di hatinya.Bu Rista dan Kartini juga menyempatkan menggendong si kembar yang sangat lucu. Juga si bayi Akhandra yang mencuri perhatiannya. Tiga hari ini menjadi momen yang sangat indah. Mereka berkumpul bersama dan membuat rumah besarnya sangat ramai."Kami pamit, Om, Tante." Gama mencium tangan Pak Norman dan Bu Rista. Diikuti oleh Dea. Juga berpamitan pada Akbar dan Tini.Saga dan Melati melakukan hal yang sama. Hingga mereka berpisah di halaman rumah. Dua mobil meninggalkan pekarangan disertai la
MASIH TENTANGMU- Janji yang Ditepati"Itu Saga." Naufal melihat teman lamanya."Iya. Tapi kita pergi saja." Alita berbalik dan melangkah cepat. Naufal pun menjajari langkahnya. Mereka menuruni eskalator dan Alita tak lagi menoleh ke belakang.Bukan hal mudah bertemu mereka lagi. Mungkin menjauh juga tidak mempengaruhi apapun. Dirinya bukan siapa-siapa dan bisa jadi sudah dilupakan. Justru kalau tiba-tiba ia muncul, mungkin akan merusak suasana. Sebab di sana pun juga ada Akbar bersama istrinya. Mereka sedang bahagia menikmati kebersamaan.Rupanya Gama juga membawa istri dan anaknya menyambut pergantian tahun di Malang. Keluarga Saga tinggal di Lawang. Mungkin mereka tadi tengah jalan-jalan. Kenapa bumi ini terasa sempit."Kita keluar saja dari Trans*art kalau gitu." Naufal memutuskan karena melihat Alita yang tidak nyaman dan terlihat cemas.Ia bisa memahaminya. Tentu bertemu mereka lagi adalah sesuatu yang tidak mudah setelah banyak peristiwa tertoreh dalam hubungan mereka."Kita m
Naufal dan Alita lantas makan tanpa percakapan. Makan dengan cepat agar sampai pantai tidak kesiangan. Butuh waktu dua jam untuk sampai di Balaikambang.Alita yang menghindari banyak orang dalam waktu empat bulan ini. Namun terasa nyaman saat bepergian bersama Naufal. Sebenarnya dialah teman laki-laki yang bisa diajak ngobrol enak sejak dulu. Sosok yang bisa dipercaya. Saking percayanya sampai mereka melakukan one night stand.Bromo. Sebenarnya di bulan Desember dan awal Januari begini, Bromo sedang indah-indahnya. Savana dengan rerumputan yang menghijau karena terguyur hujan, setelah kekeringan selama musim kemarau. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak percakapan. Sesekali mengulas apa yang dilihatnya di sepanjang perjalanan. Tentunya pemandangan yang menyejukkan mata.Dua jam kemudian mereka sudah menyusuri pantai dengan pesona pasir putih dan pemandangan air laut yang kebiruan. Suasana teduh karena mendung memayungi angkasa, meski hari sudah siang.Tahun baru, pengunjung mem
MASIH TENTANGMU- 71 Serius Alita belum bisa tidur meski sudah jam sebelas malam. Sebentar lagi pergantian tahun. Sejam lagi sudah tahun yang berbeda. Namun kehidupannya masih tetap sama.Ia ingat Naufal. Tidak mengira saja, ia bertemu lagi dengan Naufal di kota ini.Memang bisa saja mereka bertemu, karena sama-sama berasal dari Surabaya. Namun statusnya yang masih single membuat Alita seakan tak percaya. Apa sekali saja dia tidak pernah pacaran?Dan kata-kata Naufal tadi masih diingatnya. Laki-laki itu merasa sangat bersalah terhadap apa yang telah mereka lakukan dulu. Tidak hanya merasa bersalah, tapi juga ingin bertanggungjawab. Bertanggungjawab seperti apa? Hendak menikahinya? Padahal dirinya terlalu kotor. Memang Naufal yang pertama kali mengambil segalanya. Tapi bukan alasan itu yang membuat Alita tetap sendiri sampai saat ini. Naufal belum tahu sejahat apa dirinya selama sebelas tahun.Wanita melamun lalu menoleh saat ponselnya di nakas berpendar. Siapa yang menelpon malam-ma
Alita tersenyum getir. Naufal tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Memang di biodata itu tertulis belum menikah, padahal dirinya sudah janda. Sebab mau mengganti identitas, dia tidak punya akta perceraian."Kamu sudah menikah? Aku khawatir kalau sedang jalan sama suami orang." Alita memberanikan diri untuk bertanya.Naufal dengan cepat menggeleng. "Nggak usah khawatir. Kamu duduk dengan laki-laki yang masih jomblo." Senyum mengakhiri ucapannya.Di usia tiga puluh empat tahun, Naufal juga masih belum menikah? Dia bukan lelaki kurang pergaulan, bukan pria buruk rupa, karirnya juga mentereng. Tapi belum menikah."Kenapa belum nikah?" Alita mulai enjoy. Dulu pun mereka adalah sahabat yang sangat akrab dan biasa ngobrol tentang apapun."Kamu juga belum menikah? Kenapa?"Alita tersenyum getir."Karena perbuatanku waktu itu?" tanya Naufal dengan wajah sendu. Ada sesal dan rasa bersalah tampak di sana. Meski harus membongkar kisah lama, tapi ia mesti mengutarakannya. Sebab ia menyesalinya hing