MASIH TENTANGMU
- Dua Perempuan"Dea, ternyata Alita sendirian. Cuman yang dipake mobilnya Gama," bisik Hani di telinga Dea.Dea hanya mengangguk tanpa kembali memandang ke arah Alita yang melangkah masuk pintu pagar. Gadis itu tampaknya juga tidak menyadari keberadaan Dea dan Hana yang berbaur dengan para pelayat yang berpakaian serba hitam, duduk di tenda depan rumah sebelah barat. Apalagi Dea dan Hani kali ini memakai jilbab. Sedangkan Alita mengenakan selendang panjang yang dikalungkan pada lehernya. Namun mereka sama-sama memakai kacamata hitam.Hampir semua karyawan yang datang meneteskan air mata. Mereka teringat sosok manager yang humble dan sangat perhatian pada karyawan. Lelaki berwajah oriental itu tiada dalam usia lima puluh lima tahun. Setelah sakit beberapa lama.Setelah mengucapkan bela sungkawa pada keluarga almarhum, Alita duduk bergabung dengan rekannya yang berada di sebelah timur rumah. Namun pada akhirnya ia melihat Dea dan Hani yang duduk di bawah tenda. Gadis itu bisa melihat Hani yang menatap tajam ke arahnya, sedangkan Dea hanya menunduk diam."Alita itu nggak punya otak, Dea. Nggak punya perasaan." Hani geram sendiri."Ssttt, jangan ngomong gitu, Han. Biar saja. Aku sadar kok. Antara aku dan Mas Gama memang sudah nggak memiliki hubungan apa-apa lagi. Sakitku ini, pasti akan pulih dengan sendirinya.""Tapi tetap saja dia nggak ada otak. Dia tahu kan kalau Antik sempat demam. Buktinya nggak ngomong juga ke Gama. Basa-basi ngasih tahu juga nggak ada. Nggak tahu diri dia," sungut Hani meski dengan suara lirih.Dea menarik napas dalam-dalam sambil membenahi letak kacamata hitam yang dipakainya. Ia juga mengusap air matanya dengan tisu. Tentu saja tidak ada yang curiga, karena mereka memang tengah berduka."Kenapa dia make mobilnya Gama. Sengaja mau menunjukkan ke kamu agaknya. Telah siap terbuka dengan hubungan mereka." Hana terus mengomel sedangkan Dea tetap diam.Mungkin waktu Alita tahu kabar itu, dia sedang ada di rumah orang tua Gama. Bukankah keluarga Gama tengah berkumpul sekarang ini. Sebagai calon anggota keluarga, pasti Alita hadir di sana."Sudahlah, Han. Apa yang mau disalahkan. Toh, mereka juga sama-sama single. Biar saja.""Iya. Memang sama-sama masih single, tapi nggak punya empati. Kecuali awalnya memang Alita nggak tahu apa-apa. Nah, ini tahu semuanya. Dia jadi teman curhatmu, kan? Harusnya dia jujur. Entah apa tanggapanmu mestinya ngomong aja terus terang. Ini enggak. Malah keliatan sengaja mengejekmu." Hani emosi.Dia tahu betul bagaimana perasaan Dea. Dan sahabatnya itu tidak memiliki teman bicara selain pada dirinya. Bercerita kepada kedua orang tuanya tidak mungkin. Hubungan antara Gama dan keluarga Dea juga baru membaik akhir-akhir ini. Cerita sama Rizal juga lebih mustahil lagi. Kakaknya Dea memang marah pada Gama, ketika laki-laki itu mulai mengabaikan sang adik ketika mereka masih bersama.Terkadang Hani juga jengkel pada Dea. Kenapa masih saja mencintai lelaki seperti Gama. Apa karena memang cinta itu buta, lalu mata hati Dea juga tidak bisa lagi memfilternya.Namun sekesal apapun, Hani tetap menyediakan telinga untuk mendengar, memberikan bahu untuk bersandar, dan menyiapkan pembelaan untuk Deandra.Dea hanya butuh waktu dan perlahan semua akan kembali normal. Seperti waktu baru bercerai kala itu. Dunia Dea serasa runtuh meski ia sendiri yang memutuskan untuk berpisah. Dipikir, Gama akan memperjuangkannya dan berusaha untuk berubah. Nyatanya tidak. Justru dia mengamuk pada Dea karena nekat pergi darinya."Pokoknya kalau kamu punya uneg-uneg dan nggak mungkin cerita ke siapapun termasuk pada keluargamu, datanglah padaku. Aku siap menampung semua keluh kesahmu. Jangan disimpan sendiri. Aku nggak mau terjadi sesuatu denganmu. Kamu harus menjadi Deandra yang periang dan selalu percaya diri. Jadi ibu yang hebat buat Antik," bisik Hani yang disambut anggukan kepala oleh Dea.Menjelang sore, jenazah diberangkatkan dari rumah duka ke peristirahatan terakhir. Para karyawan sebagian mengiringi hingga ke pemakaman dan sebagian lagi langsung pulang.Tampak Alita mengajak beberapa rekannya yang tidak membawa kendaraan untuk naik ke mobil yang dikendarainya. Sementara Hani dan Dea juga langsung masuk ke mobil."Kamu nggak apa-apa nyetir sendiri?" tanya Hani setelah mereka duduk bersebelahan dalam mobil. Khawatir saja karena tengah kalut, Dea tidak bisa berkonsentrasi. Sedangkan Hani sendiri tidak bisa nyetir."Bisa."Jarak rumah ke pemakaman tidak seberapa jauh. Mobil para penggiring jenazah berjajar di sepanjang tepian jalan depan makam.Acara pemakaman berjalan khidmat. Semua orang menunduk untuk memanjatkan doa bagi salah satu orang penting di perusahaan.Kemudian mereka beriringan meninggalkan tempat pemakaman setelah selesai pengebumian. Yang masih tinggal di sana hanya keluarga almarhum."Kamu tunggu aku di mobil. Nanti aku susul!" kata Hani setelah mereka keluar pintu gapura makam."Kamu mau ke mana?""Sebentar saja. Kamu tunggu aku di mobil sampai aku nyamperin kamu lagi."Dea yang heran akhirnya melangkah ke arah mobilnya yang terparkir paling belakang sendiri, di sebelah utara. Sedangkan Hani melangkah ke arah selatan. Mencari salah satu kendaraan yang cukup ia kenal.Diketuknya kaca mobil samping kemudi."Ada apa?" tanya Alita sambil melepaskan kacamatanya."Bisa kita bicara sebentar. Kamu turun saja dulu. Kutunggu di sana!" Hani menunjuk sebuah pohon akasia yang mepet di pagar makam.Alita yang sudah bisa menerka dengan maksud ajakan Hani, segera turun dari mobil setelah pamitan pada beberapa rekan yang menumpang pada kendaraannya."Jadi tunanganmu itu mantan suaminya Dea?" Tak sabar Hani langsung bicara pada pokok permasalahan.Tanpa rona kaget, karena ia tahu pasti hal ini bakalan terungkap juga. Alita mengangguk. "Ya, kenapa?""Kamu tahu kalau Gama mantannya Dea?""Tahu. Memangnya kenapa? Masalah? Kan mereka sudah bercerai sebelum aku kenal Gama dan Dea." Alita tentu saja membela diri."Enggak. Nggak salah.""Lalu ...." Alita bicara dengan nada biasa. Dirinya tidak merasa bersalah karena memang kenal Gama ketika laki-laki itu sudah berstatus duda."Tapi kamu nggak punya adab. Kamu tahu kan kalau Dea pernah curhat padamu tentang perasaannya pada Gama. Setidaknya kamu kasih tahu dia kalau kamu dekat dengan Gama. Bahkan sekarang sudah tunangan. Kamu dan Dea kan deket. Sebagai teman kenapa kamu nggak bisa jaga perasaannya. Okelah, kamu berhak menjalin hubungan dengan Gama. Tapi tolonglah hargai sedikit saja perasaan temanmu. Kasih tahu sendiri dan bicara sebagai teman, bahwa kamu punya hubungan dengan Gama. Biar Dea tahu sendiri darimu daripada dari orang lain."Alita tersenyum. Senyuman yang terlihat sinis bagi Hani. "Jadi, aku harus minta izin sama Dea. Gitu?"Hani menahan rasa yang nyaris meledak dalam dadanya. Perempuan di sampingnya ini memang tidak tahu bagaimana menjaga perasaan orang lain. Ingin rasanya mencakar dan mencabik-cabik wajah yang tak menunjukkan empati sama sekali."Setidaknya kamu bisa menjaga perasaan orang lain. Apalagi kamu tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama."Lagi-lagi Alita tersenyum sambil membuang pandang. "Tapi Gama sudah nggak ada perasaan lagi pada Dea. Gama hanya menganggap Dea sebagai ibu dari anaknya. Itu saja. Kalau dia sudah nggak mau kenapa Dea masih berharap. Salah siapa kalau begini? Bucin sendiri."Hani benar-benar harus mengontrol emosi. Wanita di depannya ini laiknya srigala berbulu domba. Padahal selama ini terlihat begitu manis dan lembut di depan Dea. "Kamu bisa ya ngomong seperti ini? Pada teman yang hampir setiap hari duduk makan bersamamu. Jalan dan curhat bersama. Jadi sikapmu yang terlihat
MASIH TENTANGMU - Move On, Dea"Antik sudah pulang apa belum?" tanya Gama memandang ke arah Dea."Aku belum tahu. Sejak pagi aku takziah. Mungkin malam nanti, Antik baru di antar oleh Mas Rizal. Maaf, Mas. Aku pulang dulu.""Tunggu!" tahan Gama saat Dea hendak melangkah."Bisa kita bicara sebentar."Apa yang hendak dibicarakan oleh Gama? Apa akan memberitahu tentang hubungannya dengan Alita? Degup jantung Dea terasa nyeri."Bicara apa?""Aku dan Alita ....""Aku sudah tahu," sahut Dea cepat sambil bersitatap dengan Gama. Lantas lebih dulu mengalihkan perhatian pada tempat lain."Apa yang kamu tahu?""Kalian sudah bertunangan dan akan menikah." Oh, rasanya sangat sakit mengatakannya.Hening. Yang terdengar hanya gemerisik dedaunan yang bergesekan karena tertiup angin. Sebenarnya Gama tidak ingin membicarakan hal itu. Tapi Dea pasti melihat mobilnya yang dipakai oleh Alita tadi. Gama menghela nafas panjang sambil memandang nisan kecil, di mana anak pertamanya telah tenang di sana. Te
Namun setelah Gama menikah dengan Alita, masih bisakah ia memperhatikan Antik seperti sekarang ini. Atau berubah lagi tidak peduli.Ini sudah malam. Kenapa Gama nekat datang?Dea ikut bangun dan menghampiri Mbak Sri. "Temani Antik turun, Mbak. Saya mau istirahat. Kepala saya agak pusing.""Njih, Mbak Dea. Ayo, Mbak Antik.""Yeay, Mbak Sri lupa ya. Mesti memanggilku apa?"Mbak Sri terkekeh. Wanita bertubuh subur itu mencubit gemas pipi majikan kecilnya. "Ya, Nona Antik."Antika tersenyum lebar. Dia ingin dipanggil seperti princess di film kartun kesukaannya. Kemudian memandang ke arah sang mama. "Mama, nggak ikut?""Nggak, Sayang.""Tapi ada Mbak Astrid juga, Mbak," kata Mbak Sri baru ingat. Ah, dia jadi pelupa sekarang. "Mbak Astrid ingin bertemu Mbak Dea tadi."Dea diam sesaat. Enggan rasanya turun dan bertemu mereka untuk saat ini. Tapi sudah didatangi, masa iya tidak ditemui. Dea bergerak ke meja riasnya. Mengambil jepit rambut dan mengikat asal saja rambut panjangnya.Akhirnya men
MASIH TENTANGMU - Cemburu Dea meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh di hadapannya. Bukan panggilan masuk, tapi sebuah pesan dari mamanya.[Dea, nanti sepulang kerja kamu mampir ke rumah sakit. Sita mau melahirkan. Sekarang baru bukaan lima, tapi tadi mama dikabari oleh budhemu kalau akan dilakukan tindakan SC.]Sita ini sepupunya Dea. Anak dari satu-satunya kakak perempuan sang mama. Dea segera mengetik pesan balasan. [Oke, Ma.]"Ada apa?" tanya Hani."Sepupuku mau lahiran. Mama memintaku mampir ke rumah sakit sepulang kerja nanti."Setelah Dea selesai membalas pesan, Hani mengajak sahabatnya itu kembali ke kantor. Di lobi mereka berpapasan dengan Alita yang hendak masuk ruangan juga. Sengaja Dea memperlambat jalan supaya Alita lebih dulu melangkah. Beberapa rekan heran melihat kerenggangan mereka. Namun sudah ada beberapa orang yang tahu duduk permasalahan. Namun mereka hanya berbisik sesama rekan, tidak ada yang menanyakan langsung pada Dea atau pun pada Hani. Yang tampak ken
"Mas, mau makan apa?" tanya Alita sambil memandang Gama yang duduk dan fokus pada ponselnya semenjak mereka datang tadi.Malam itu mereka makan malam di Restoran Wijaya Kusuma milik Bu Ariana. Mengambil tempat duduk paling tepi, agar bisa leluasa untuk ngobrol.Alita yang punya ide makan di sana biar sekalian bisa bertemu dan bicara dengan ibu kedua bagi Gama. Melihat Gama yang banyak berubah akhir-akhir ini membuat Alita khawatir. Tentunya ia tidak ingin malu jika gagal lagi. Apalagi Gama termasuk pria paket komplit. Kaya dan keturunan bangsawan.Saga dan Melati juga sudah tahu kalau ia bertunangan dengan Gama. Kalau gagal, mau ditaruh mana mukanya.Sejauh ini Gama juga belum tahu tentang masa lalunya. Jika pada akhirnya terbongkar, tak masalah. Yang penting mereka telah menikah."Mas," panggil Alita lagi karena Gama masih diam."Aku pesan nasi goreng saja," jawab Gama tanpa mengalihkan perhatian pada benda pipih di tangannya.Alita yang kesal langsung berdiri dan melangkah ke belaka
MASIH TENTANGMU - Keresahan Gama "Makan dulu, Mas." Alita meletakkan nampan di hadapan Gama.Ada dua porsi nasi goreng dan dua gelas es teh manis. Karena lapar, Gama langsung melahapnya hingga tandas. "Minggu ini, papaku minta kita ke Surabaya, Mas.""Aku belum bisa kalau Minggu ini, aku masih ada urusan ke Jakarta.""Terus kapan?""Nanti kukasih tahu."Alita melanjutkan makan tanpa berselera. Sikap dingin Gama makin terasa. Memang awalnya dia hanya ingin mendapatkan Gama karena gagal dengan Saga. Namun jika kali ini gagal, musibah juga baginya. Apalagi keluarga besarnya sudah tahu kalau ia akan menikah dengan pria kaya keturunan ningrat. Teman-teman di grup alumni juga sudah pada tahu. Alita sendiri yang mengabari mereka kalau sudah bertunangan.Jujur saja, Gama juga bukan lelaki yang buruk. Meski sikap dinginnya tidak ketulungan. Namun di waktu tertentu, enak juga diajak bercanda dan bicara. Cukup menyenangkan. Dan momen seperti itu sungguh spesial dan ia rindukan. Momen langka b
Setelah pertengkaran malam itu, sebulan kemudian Dea dan Antika pulang. Hubungan jarak jauh yang dingin. Hingga suatu hari, Dea memutuskan untuk bercerai.Gama yang egois tidak mau merendahkan diri dan memohon agar Dea mau bertahan dengannya. Dea masih berharap kalau Gama akan berjuang untuk rumah tangga mereka, nyatanya Gama diam dengan sikap keras kepalanya.Dea yang masih cinta, lebih mempertahankan harga diri daripada merayu pada lelaki yang tak lagi peduli. Mengorbankan perasaan meski sangat tersiksa.Hubungan mereka berjarak. Gama yang kecewa enggan membangun komunikasi, selain tetap memenuhi tanggungjawab memberikan nafkah pada putrinya.Pada akhirnya Gama yang stres dan kalut, memutuskan pulang ke Indonesia. Bertemu pula dengan Saga yang membuatnya tambah cemburu karena perhatian beberapa orang terdekatnya beralih pada putra buleknya itu.Ancamannya yang ingin menggoda Melati hanya ancaman belaka. Mana pernah dia mendekati perempuan kecintaan Saga itu. Selain usil dengan membu
MASIH TENTANGMU- Hati Lelaki Mobil berhenti di depan pagar sekolahan Antika. Di sana juga sudah berjajar beberapa kendaraan yang mengantarkan anak-anak ke sekolah. Momen di pagi hari yang menyejukkan mata. Di sebuah Sekolah Dasar favorit tempat Antika belajar."Sayang, kita sudah sampai," ujar Gama sambil tersenyum. Namun Antika cemberut. Sama sekali tidak mau memandang sang papa. Wajahnya muram sambil menarik handle hendak membuka pintu mobil."Sebentar papa yang bukain, nanti Antik jatuh." Gama lekas turun dari mobil. Tapi Antika sudah berhasil turun sendiri meski dengan susah payah. Kemudian menyeret tasnya meninggalkan sang papa. "Sayang, nggak salim sama papa dulu." Gama melangkah lebar untuk mengejar gadis kecilnya yang tengah 'ngambek'.Antika menoleh sebentar untuk menunjukkan muka cemberutnya. Gama tersenyum lantas menghampiri. Mengulurkan tangan menunggu untuk disambut putrinya.Cukup lama tangannya tertahan di udara, tanpa memandang sang papa, Antika mencium tangan lanta
Paginya, Alita berkemas-kemas dibantu oleh Naufal. Sesekali mereka saling pandang dan melempar senyum. Rambut Alita terurai sebawah bahu dan masih setengah basah."Akhir pekan ini, kita lihat rumah di Grand Permata," kata Naufal menghampiri istrinya dan membantu mengunci travel bag."Kamu sudah tahu Grand Permata, kan?""Iya, aku pernah lewat sana.""Kamu suka nggak tempat itu?""Suka.""Ada juga di Singosari Residen. Tapi kejauhan kalau ke kantor. Di sana pemandangannya juga menarik. Bagaimana?""Aku ngikut saja. Mana yang terbaik buat kita.""Oke. Nanti kita lihat dua-duanya. Jadi kamu bisa membuat pilihan. Kalau di Singosari Residen memang lebih tenang tempatnya. Adem karena di kelilingi perbukitan. Cuman agak jauh dari kantor. Sebelum mendapatkan rumah, kita tinggal di kosanku sambil cari kontrakan rumah untuk sementara.""Ya." Alita tersenyum. Kemudian mengecek laci, memperhatikan gantungan baju, dan masuk ke kamar mandi untuk memastikan tidak ada barang mereka yang tertinggal.T
MASIH TENTANGMU- Hidup BaruJam dua ketika tamu sudah mulai senggang. Alita menghampiri Dea dan Melati yang duduk ngobrol, terpisah dari rombongan Pak Norman."Makasih banget kalian menyempatkan datang dari Jogja ke Surabaya," ucapnya sambil duduk di kursi depan dua wanita itu. Agak susah duduk karena memakai jarik yang sangat sempit. Makanya Dea membantu memegangi tangan Alita agar tidak terjengkang."Sama-sama," jawab Dea dan Melati hampir bersamaan."Setelah ini kamu dan suamimu tinggal di Malang?" tanya Melati."Iya. Kami berdua kerja di sana.""Kamu sudah lama pulang ke Surabaya?" tanya Melati lagi Dijawab anggukan kepala oleh Alita. Melati malah tidak tahu banyak tentang Alita, semenjak pakdhenya Alita masuk penjara. Apalagi setelah putus pertunangan dari Gama, Alita tidak pernah lagi datang ke kafenya. Dea sendiri tidak pernah membahas pertemuannya dengan Alita pada siapa-siapa. Kecuali pada sang suami, itu pun baru seminggu yang lalu. "Bentar aku mau ke toilet," pamit Melat
Jogjakarta, dua minggu kemudian."Undangan dari siapa, Mas?" Dea meraih undangan yang baru diletakkan oleh Gama di hadapannya. Dia membaca nama yang tertera. Tidak ada foto calon pengantin dalam undangan itu."Dari Alita?" Dea kaget. "Ya. Saga yang ngasih tadi. Seminggu lagi Lita nikah di Surabaya. Kata Saga, Naufal itu teman kuliah mereka dulu.""Calonnya dari Surabaya juga?"Gama mengangguk, tapi dia heran melihat wajah sang istri tampak bingung dan berulang kali memperhatikan undangan mewah kombinasi warna putih dan kuning keemasan di tangannya. "Sayang, kenapa?"Dea meletakkan undangan di atas meja riasnya."Mas, waktu aku hamil delapan bulan dan tinggal di apartemen. Sebenarnya aku bertemu dengan Alita yang tinggal di apartemen itu juga."Ganti Gama yang terkejut. "Beneran?"Dea mengangguk."Kenapa nggak cerita sama mas?""Karena Mas pasti langsung mengajakku pindah dan nggak boleh lagi bertemu dengan Lita. Waktu itu dia sudah berubah baik. Dia minta maaf padaku sambil nangis.
MASIH TENTANGMU- The Wedding Pagi yang cerah, suasana yang indah. Rumah Pak Handoyo begitu meriah. Senyum suami istri itu sangat sumringah. Menyambut tamu dari keluarga Naufal dan dari beberapa kerabat mereka sendiri yang di undang ke rumah. Tak ada yang ditutupi lagi kalau pernikahan Alita dengan Tony sudah selesai empat bulan yang lalu.Mereka mengerti dan tidak pernah bertanya secara detail.Tentang keguguran itu pun kerabat tidak ada yang tahu. ART saja yang tahu, tapi mereka juga tutup mulut. Tidak ada yang jadi 'lambe turah'. Sebab sadar karena di sana hanya bekerja dan digaji tidak murah. Pak Handoyo dan Bu Lany juga sangat baik sebagai majikan.Alita memakai gamis warna khaki dengan hiasan bordir di bagian kerah dan kancing depan. Memakai jilbab polos warna senada. Naufal memakai kemeja warna abu-abu. Acara dadakan yang membuat mereka tidak sempat menyelaraskan outfit untuk lamaran. Juga tidak ada backdrop. Namun tidak mengurangi kegembiraan hari itu.Orang tua Alita dan ke
Pagi-pagi sekali Gama bersama keluarganya sudah sampai di rumah Pak Norman. Ia juga sudah check out dari vila. Pagi ini bersama keluarga kecil Saga, mereka akan kembali ke Jogja. Liburan telah selesai dan besok waktunya kembali ke kantor.Pak Norman menciumi bocah-bocah satu per satu. Alangkah bahagianya. Di hari tua bisa memiliki cucu sebanyak itu. Termasuk anak-anak Gama direngkuh tak ubahnya seperti cucu sendiri. Gama adalah bagian dari Ariani. Perempuan yang memiliki tempat tersendiri di hatinya.Bu Rista dan Kartini juga menyempatkan menggendong si kembar yang sangat lucu. Juga si bayi Akhandra yang mencuri perhatiannya. Tiga hari ini menjadi momen yang sangat indah. Mereka berkumpul bersama dan membuat rumah besarnya sangat ramai."Kami pamit, Om, Tante." Gama mencium tangan Pak Norman dan Bu Rista. Diikuti oleh Dea. Juga berpamitan pada Akbar dan Tini.Saga dan Melati melakukan hal yang sama. Hingga mereka berpisah di halaman rumah. Dua mobil meninggalkan pekarangan disertai la
MASIH TENTANGMU- Janji yang Ditepati"Itu Saga." Naufal melihat teman lamanya."Iya. Tapi kita pergi saja." Alita berbalik dan melangkah cepat. Naufal pun menjajari langkahnya. Mereka menuruni eskalator dan Alita tak lagi menoleh ke belakang.Bukan hal mudah bertemu mereka lagi. Mungkin menjauh juga tidak mempengaruhi apapun. Dirinya bukan siapa-siapa dan bisa jadi sudah dilupakan. Justru kalau tiba-tiba ia muncul, mungkin akan merusak suasana. Sebab di sana pun juga ada Akbar bersama istrinya. Mereka sedang bahagia menikmati kebersamaan.Rupanya Gama juga membawa istri dan anaknya menyambut pergantian tahun di Malang. Keluarga Saga tinggal di Lawang. Mungkin mereka tadi tengah jalan-jalan. Kenapa bumi ini terasa sempit."Kita keluar saja dari Trans*art kalau gitu." Naufal memutuskan karena melihat Alita yang tidak nyaman dan terlihat cemas.Ia bisa memahaminya. Tentu bertemu mereka lagi adalah sesuatu yang tidak mudah setelah banyak peristiwa tertoreh dalam hubungan mereka."Kita m
Naufal dan Alita lantas makan tanpa percakapan. Makan dengan cepat agar sampai pantai tidak kesiangan. Butuh waktu dua jam untuk sampai di Balaikambang.Alita yang menghindari banyak orang dalam waktu empat bulan ini. Namun terasa nyaman saat bepergian bersama Naufal. Sebenarnya dialah teman laki-laki yang bisa diajak ngobrol enak sejak dulu. Sosok yang bisa dipercaya. Saking percayanya sampai mereka melakukan one night stand.Bromo. Sebenarnya di bulan Desember dan awal Januari begini, Bromo sedang indah-indahnya. Savana dengan rerumputan yang menghijau karena terguyur hujan, setelah kekeringan selama musim kemarau. Mereka melanjutkan perjalanan tanpa banyak percakapan. Sesekali mengulas apa yang dilihatnya di sepanjang perjalanan. Tentunya pemandangan yang menyejukkan mata.Dua jam kemudian mereka sudah menyusuri pantai dengan pesona pasir putih dan pemandangan air laut yang kebiruan. Suasana teduh karena mendung memayungi angkasa, meski hari sudah siang.Tahun baru, pengunjung mem
MASIH TENTANGMU- 71 Serius Alita belum bisa tidur meski sudah jam sebelas malam. Sebentar lagi pergantian tahun. Sejam lagi sudah tahun yang berbeda. Namun kehidupannya masih tetap sama.Ia ingat Naufal. Tidak mengira saja, ia bertemu lagi dengan Naufal di kota ini.Memang bisa saja mereka bertemu, karena sama-sama berasal dari Surabaya. Namun statusnya yang masih single membuat Alita seakan tak percaya. Apa sekali saja dia tidak pernah pacaran?Dan kata-kata Naufal tadi masih diingatnya. Laki-laki itu merasa sangat bersalah terhadap apa yang telah mereka lakukan dulu. Tidak hanya merasa bersalah, tapi juga ingin bertanggungjawab. Bertanggungjawab seperti apa? Hendak menikahinya? Padahal dirinya terlalu kotor. Memang Naufal yang pertama kali mengambil segalanya. Tapi bukan alasan itu yang membuat Alita tetap sendiri sampai saat ini. Naufal belum tahu sejahat apa dirinya selama sebelas tahun.Wanita melamun lalu menoleh saat ponselnya di nakas berpendar. Siapa yang menelpon malam-ma
Alita tersenyum getir. Naufal tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Memang di biodata itu tertulis belum menikah, padahal dirinya sudah janda. Sebab mau mengganti identitas, dia tidak punya akta perceraian."Kamu sudah menikah? Aku khawatir kalau sedang jalan sama suami orang." Alita memberanikan diri untuk bertanya.Naufal dengan cepat menggeleng. "Nggak usah khawatir. Kamu duduk dengan laki-laki yang masih jomblo." Senyum mengakhiri ucapannya.Di usia tiga puluh empat tahun, Naufal juga masih belum menikah? Dia bukan lelaki kurang pergaulan, bukan pria buruk rupa, karirnya juga mentereng. Tapi belum menikah."Kenapa belum nikah?" Alita mulai enjoy. Dulu pun mereka adalah sahabat yang sangat akrab dan biasa ngobrol tentang apapun."Kamu juga belum menikah? Kenapa?"Alita tersenyum getir."Karena perbuatanku waktu itu?" tanya Naufal dengan wajah sendu. Ada sesal dan rasa bersalah tampak di sana. Meski harus membongkar kisah lama, tapi ia mesti mengutarakannya. Sebab ia menyesalinya hing