Kerja sama pun terjadi. Zuldan selalu menyisikan waktunya di sela-sela kesibukannya di kantor BIN untuk melakukan penyelidikan diam-diam bersama Rumi. Karena Rumi memegang peranan penting sebagai informan atas orang-orang yang terlibat perjudian itu.
Meski begitu Rumi tetap memilih menutup mulut rapat-rapat tentang Soebahir dan Siswo Barac yang juga ikut terlibat di dalamnya dari Zuldan. Sebab itu bisa menjadi bom waktu bagi Zuldan jika mengetahuinya. Untuk itu Soebahir dan Siswo Barac adalah misi terakhirnya jika sudah berhasil mengungkap penjahat-penjahat lainnya.
“Sudah sampai mana penyelidikan tentang laki-laki bertopeng itu?” tanya Rumi memulai pembicaraan di dalam mobil. Mata dan jari-jarinya tengah disibukkan dengan layar laptop.
“Masih nihil,” jawab Zuldan
Seorang laki-laki tua yang dipenuhi dengan berewok putih yang merupakan seorang bartender terlihat tengah meracik sebuah minuman alkohol. Berkali-kali tatapannya melirik ke arah tiga laki-laki yang baru saja memasuki ruangan. Dia juga melirik pada satu orang laki-laki berkacamata yang tengah duduk di kursi merah tengah merangkul seorang perempuan dan satunya lagi duduk membelakangi kerumunan orang berjas hitam. Membuat bibirnya menyunggingkan senyum tipis, seolah-olah mengenal orang-orang tersebut.“Duduklah dengan tenang. Jangan merekam pembicaraanku dan jangan melempar pandangan ke arahku saat berbicara. Itu adalah kode etik jika kalian membutuhkan informasi dariku,” ujar laki-laki tua tersebut kepada tiga orang laki-laki yang duduk di hadapannya. Sebab dia sudah mencium aroma uang dalam sebuah tas hitam milik mereka.R
“Ah, sialan banget itu perempuan. Jadi merinding sampai sekarang,” gerutu Rumi kesal.“Aku kira, selain jago di meja judi kamu juga jago soal perempuan, Rum. Tapi ternyata nggak,” kelakar Zuldan.“Dia itu cuma jago masalah tampang. Tapi dia phobia sama perempuan. Hahaha.” Suara Dego mengekor turut mengolok dari belakang.“Bangke banget mulut lo,” umpat Rumi.Zuldan tertawa.Dego kemudian melepas sebuah alat penyadap suara yang terpasang di kera belakang bajunya, yang sejak tadi digunakan untuk merekam pembicaraan orang-orang berjas hitam yang duduk di kursi belakang
Hingga pada suatu garis waktu yang merangkak maju, kegigihan Zuldan dalam mengungkap sebuah kasus perjudian yang tak kunjung menemukan jalan itu mengantarkan logikanya pada satu jawaban, alasan kenapa orang-orang selalu bungkam, alasan kenapa atasannya tak memberinya izin untuk menyelidiki, alasan kenapa banyak kepolisian tak pernah mengungkap kasus itu ke publik dan alasan kenapa kasus pembunuhan Jenderal Qomar tak menemukan titik terang sampai sekarang.Ya, Zuldan menemukan satu jawabannya, jika ada orang berkuasa yang menjadi dalang di baliknya, yang menopang dan membuat skenario orang-orang untuk bungkam dengan sengaja.“Orang-orang BIN dan anggota kepolisian itu juga berengsek. Mereka bekerja sama mengkambinghitamkan aku sebagai pembunuh. Bukankah seharusnya Mas merasa janggal dengan rekan-rekan Mas di sana?”
Lalu pada suatu garis yang merangkak maju lainnya, kehidupan tenang Gerta terusik. Tampak dua orang berjaket hitam tiba-tiba datang ke perpustkaan Lareta menemui Opung yang tengah sibuk merapikan buku-buku di rak buku.“Selamat datang!” sapa Opung kepada dua orang tersebut. Namun, rautnya tegang tatkala menoleh dan mendapati wajah beringas kedua orang tersebut. “Sedang mencari buku apa?” tanyanya mencoba berbasa-basi.“Apa benar Bapak bernama Hernawan Sinto?” tanya salah seorang dari mereka.Opung mengangguk ragu-ragu. “Iya benar, itu saya. Ada keperluan apa, ya?”“Kedatangan kami ke sini bukan untuk mencari buku, melainkan untuk bertanya.”
Tanpa alas kaki Gerta berlari melewati beberapa gang sempit dengan napas tersengal-sengal. Keringat bercucuran dari kening hingga lehernya. Katakutan masih tergambar jelas di wajahnya dan membuat kepalanya pening. Dia bahkan sempat tersungkur beberapa kali karena pusing. Membuat kedua siku dan lututnya terluka.“Nggak … aku nggak boleh pingsan di sini. Aku ... harus bertahan sampai tempatnya,” lirih Gerta terbatah-batah.Di ujung gang sempit Gerta kemudian menemukan sebuah jalan untuk penyeberangan. Dia langsung bergegas menyeberangi jalan tersebut dengan gontai dan masuk ke dalam gang sempit lagi. Sampai di sana dia langsung menggedor-gedor sebuah pintu sekuat tenaganya.Pintu terbuka dna menampilkan Frans yang terkejut. “Gerta? Ada apa Gerta?”
Kedai Lareta tampak tak seperti biasanya. Jika biasanya ada lampu yang menyalah, kini tampak gelap gulita seperti tak berpenghuni. Sudah beberapa hari Rumi tak melihat Gerta muncul di perpustakaan tersebut. Membuat perasaan rindunya menjadi tanda tanya besar.“Apa … terjadi sesuatu ya? Kenapa Gerta nggak pernah muncul?” tanya Rumi yang terus celingukan di balik kotak pos.Rumi kemudian melempar pandangan ke bilik merah yang diam-diam sudah dia pasangkan kamera pengintai di sudut luarnya. Lalu ada sebuah CCTV berikutnya yang berada di ujung jalan. CCTV itu sengaja dia pasangkan itu guna untuk mengetahui segala aktivitas Gerta, termasuk jika terjadi sesuatu yang buruk.Rumi kemudian merahi sebuah smartphone
Di sebuah apartemen lantai dua belas, Rumi berjalan menuju pintu bernomor tujuh puluh enam yang terletak di sudut kanan bangunan. Usai memastikan alamat yang dia tuju benar, dia melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam saku di depan sebuah pintu ruangan.Terdengar suara telapak sepatu hak tinggi menggema di koridor, tetapi Rumi tak mengindahkan. Pandangannya terus terfokus pada pintu di hadapannya untuk mengetuk.“Rumi?”Belum sampai Rumi mengetuk pintu di hadapannya, sebuah suara membuatnya spontan menoleh ke suara berasal. Dia mendapati seorang perempuan memakai kaftan satin biru tua lengan pendek berpadu sepatu teplek putih berdiri menatap ke arahnya. Tampak tangan perempuan tersebut bergelayut sebuah bingkisan seperti bahan belanjaan dan bunga lavender.
Rumi melepaskan pelukan dan memandang wajah pucat Gerta. “Gerta, kalau kamu benar-benar merasakan sakit, kamu harus meminum obat. Kamu akan melukai diri kamu sendiri kalau membiarkan rasa sakit itu nggak terobati.” Rumi meraih botol obat itu dan mengambil dua butir obat. Lalu meletakkannya di telapak tangan Gerta.Gerta hanya memandangi dua butir obat di tangannya.Rumi meraih minuman di atas meja. “Minumlah. Aku nggak mau melihat kamu kesakitan,” pintanya.Meski ragu-ragu, Gerta akhirnya menurut. Terlebih memandang wajah Rumi yang mengkhawatirkannya. Dia kemudian menelan dua butir obat tersebut dan meneguk minuman yang disodorkan Rumi.Rumi tersenyum lega. Dia kemudian beranjak duduk di samping Gerta dan membawa kepala
Sesampainya di rumah, Rumi langsung disambut ceria Gerta dan Ira yang sudah menantikan makanan yang dibawanya.“Akhirnya datang juga.” Ira langsung mengambil bingkisan itu di tangan Rumi. “Mis udah buatkan kamu kopi. Masuk, masuk,” ucapnya hangat menyambut kepulangan Rumi.Gerta langsung memeluk Rumi. “Lama banget sih kamu pulangnya?”Rumi tersenyum. “Antri beli waffle pesanan kamu.”“Makasih ya.” Gerta tersenyum manja.“Sama-sama.”“Yok, kita makan bareng-bareng sambil nonton TV. Ada acara bagus banget.” Gerta langsung merangkul lengan Rumi dan menggiringnya ke sofa.
Rumi tampak gelisah di sepanjang jalan pulang usai membeli dua wadah gelato pesanan Gerta dan Ira. Dia masih tak berhenti memikirkan, siapa dari orang-orang ibu kota yang berani mengusiknya lagi. Terlebih sampai memasang wajahnya ke khalayak umum dengan embel-embel seorang buronan.Berkali-kali Rumi mengembuskan napas sesal memandangi portal berita di ponselnya yang memang terang-terangan menampilkan wajah aslinya. Jika dulu dia bisa bersembunyi di balik sosok Mas Ganteng, kini sudah tidak bisa lagi.Jika benar orang-orang berengsek di ibu kota itu masih tersisa, bearti kejahatan itu juga masih belum selesai. Mau tidak mau pasti akan menyerat Rumi dan rekan-rekannya pada masalah baru.Sebuah panggilan dari Gerta masuk ke layar ponsel, membuat Rumi langsung mengangkatnya. “Iya,&rdquo
Setelah dipastikan Gerta hamil, dengan senang hati Rumi menawarkan diri mengurus urusan dapur dengan dibantu Ira. Menyiapkan makanan untuk istri yang sedang hamil memberikan rasa senang dan kepuasan dalam diri Rumi. Terlebih dia bisa memastikan makanan-makanan yang dikonsumsi istri dan anaknya adalah makanan yang sehat.“Itu tumis dulu bawang putihnya. Jangan dimasukkan dulu potongan sayurnya.” Ira hanya bersedekap di sebelah Rumi, tampak seperti seorang pemandu.Rumi mengikuti arahan Ira dengan gerakan pelan menumis bawang putih. “Udah belum ini?”“Belum. Belum juga semenit numisnya. Tunggu sampai bawang putihnya layu kecoklatan.”Gerta yang turun tangga dengan langkah pelan agar tak menimbulkan suara kemud
Sepekan menikmati musim dingin di Kanada, kini Gerta telah kembali ke Wina yang masih berlangsung musim panas. Perempuan yang sejak pagi sudah sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan itu tampak pucat, tak seperti biasanya. Sejak bangun tadi dia merasakan pening dan sempat muntah.“Gerta, kamu kenapa?” Ira datang menatap wajah pucat Gerta.Gerta menggeleng. “Nggak papa, Mis. Mungkin kecapekan aja setalah dari Kanada. Karena di sana lagi musim dingin.”“Rumi! Rumi!” panggil Ira.“Mis, aku nggak papa. Jangan bangunin dia, dia juga pasti kecapekan,” larang Gerta memelas.Ira mengembuskan napas berat. “Ya udah, kalau begitu biarkan Mis yang masak. Ka
Sebuah kedai kopi tampak indah oleh bunga-bunga rustic di sepanjang pintu masuk yang membantang karpet merah. Di dalam ruangan dipenuhi orang-orang berpakaian formal yang sudah siap menyambut acara. Tampak beberapa barista di balik meja panjang menunjukkan kemampuannya berseni di dalam cangkir kopi. Membuat banyak pasang mata menatap penuh kagum.Ya, pembukaan kedai kopi milik Dego digelar bersamaan dengan pesta pernikahannya. Beberapa rekan seprofesi yang datang ada yang sekalian menjaring kerja sama. Tidak ketinggalan juga Boni dan Kris yang lagi-lagi tampak gagah dengan setelan jas mahal.“Ini adalah kali kedua gue bisa memakai jas mahal ini di acara pernikahan.” Kris membenarkan letak dasinya.
Satu bulan kemudian Rumi menepati janjinya untuk berkunjung ke Kanada mengunjungi keponakannya. Kedatangannya bersama Gerta disambut begitu hangat oleh Vania, terlebih Kian yang sudah lama menantikan kedatangan omnya.“Om Rumi!” seru Kian yang langsung berlari memeluk Rumi.“Halo, Kian. Apa kabar kamu?” Rumi balas memeluk keponakannya itu.“Baik, dong. Om Rumi janji akan nginap di sini ‘kan?” tanya Kian yang langsung menagih lagi janjinya.Rumi mengangguk. “Iya.”“Berapa lama?” Kedua mata Kian berbinar senang.Rumi tampak berpikir. “Mmm … seminggu?”
Semburat cahaya orange yang menyeruak masuk di balik gorden putih yang tersibak separuh membuat Rumi membuka mata. Kedua tangannya masih merengkuh tubuh polos di balik selimut putih yang masih terjaga begitu nyaman. Wangi rambut panjang tergerai dan tubuh polos beraroma mawar itu begitu memabukkannya. Membuatnya tak pernah berhenti mencumbu.Rumi bergerak mengecupi pundak polos itu seraya menyibak rambut panjang tergerai itu. Setelahnya mengecupi sepanjang leher dan daun telinga mungil itu hingga membuat pemilik tubuh polos itu menggeliat.Gerta membalikkan tubuh dan mendapati Rumi mengecupi wajahnya menggoda. “Kamu udah bangun?”“Udah dari tadi. Mangkannya aku bangunin kamu.” Rumi menenggelamkan kepalanya di ceruk leher untuk mencumbu.
Esok paginya kegiatan-kegiatan romantis menjadi pemanis kegiatan pengantin baru mereka. Gerta tampak manis mengenakan mini dress putih berpadu slippers. Sementara Rumi tampak kece dengan kaus hitam berpadu cargo pants cokelat dan sneakers. Mereka tampak satu meja menikmati hidangan Viennese breakfast yang berisi roti gulung, croissant, mentega, selai homemade
Gerta mengangguk pelan.“Aku akan melakukannya pelan-palan, karena aku tahu ini adalah pertama kalinya buat kita berdua,” lirih Rumi.Gerta kembali mengangguk.“Kalau sakit, kamu bilang.”Gerta menelan ludah. “Kamu bisa lakukan semau kamu.”Rumi tersenyum. “I love you.”“I love you too.”Rumi kemudian memosisikan kepemilikannya pada lembah kenikmatan itu. Kedua tangannya memenjara kedua tangan Gerta di atas kepala. Setelahnya bergerak pelan menerobos masuk.“Ehm.” Gerta mengerang terpejam.