Share

Bab 13

Marvin berpamitan kepada kedua mertuanya, “Ayah, Ibu, aku permisi. Jika ada sesuatu yang kalian butuhkan, silahkan hubungi aku.” Dia mendekati dan memeluk Axel, “Kau besok sudah balik ke asrama lagi, saudaraku. Jaga dirimu baik-baik, segeralah menjadi profesor!”

Kemudian, dia mendekat ke Russel dan ingin mengajak bersalaman, tapi Russel melengos. “Russel, jika sikapku tadi sangat berlebihan dan membuatmu kesal, maafkan aku. Bagaimanapun, kau tetap iparku. Jangan pernah takut terhadap Keluarga Harvard! Jika kau butuh jatah minyak mentah lagi, silakan bilang padaku!”

Marvin menggenggam tangan istrinya, lalu segera mengajaknya beranjak. Dia pun berjalan tenang penuh wibawa sampai keluar villa. Hari sangat gelap, dan ketika mereka berada di dalam mobil, saat dalam perjalanan menuju Kediaman Rock, hujan pun turun dengan deras.

Di dalam mobil, Gennifer bersandar di pundak suaminya dan berkata, “Aku harap, tidak terjadi apa-apa denganmu nantinya, sayang.” Hingga saat ini, Gennifer masih dihantui keresahan.

“Jangan khawatir, istriku! Aku tidak takut lagi dengan Keluarga Harvard. Asal kau tahu, sebelum aku berani bicara seperti tadi kepada Raymond, semua sudah aku pikirkan dan aku rencanakan dengan penuh perhitungan.”

“Sangat beresiko jika berurusan dengan mereka.”

“Tapi itu dulu. Di saat mereka berada pada nomor satu. Sekarang, kau saksikan, Gennifer, bisnis keluarga kita akan lepas dari pengaruh Harvard. Aku sudah berani mengambil tindakan.”

“Kau, dari dulu semenjak kita kenal, selalu bikin kejutan, Marvin.”

Pertama kali mereka kenal adalah saat masih SMA, ketika umur mereka sekitar tujuh belas tahun. Di Chemisland, jika ingin menjadi orang terpandang dan kaya, orang tersebut harus menguasai sains, seperti kimia, fisika, biologi, teknik, matematika, dengan segala turunannya, serta apapun yang terkait dengan itu.

Pada tahun ajaran tersebut, pria yang paling dominan dan sangat dibanggakan dalam hal sains adalah Marvin Rock. Di Chemisland, jika orang tersebut belum menjadi ilmuwan ataupun insinyur, belum dikatakan hebat meskipun orang tersebut kaya.

Keluarga Harvard dan Keluarga Wilmer yang begitu besar dan bisa berjaya karena pendidikan semua anggota keluarganya minimal S2 Sains atau Engineering, sebagian besar bergelar doktor. Intinya, tidak ada yang dibanggakan selain harta, kecuali intelektualnya dalam wawasan ilmu alam.

Marvin, adalah sebuah alasan, kenapa Gennifer begitu jatuh cinta. Pada masanya, Marvin diprediksi banyak orang akan sangat sukses jika dinilai berdasarkan kemampuan, prestasi, serta jiwa kepemimpinannya. Tidak ada yang meragukan kelebihannya dalam persoalan engineering dan sains.

Tingkat kecerdasan Marvin setara profesor di saat dia baru pertama kali masuk kuliah. Ketika studi berlangsung, semua orang dibuat tercengang dengan semua kebolehannya. Dia hafal di luar kepala semua unsur kimia dengan semua penjelasannya. Dia juga paham semua rumus dan teori sains, apapun itu, dari perkara Hukum Newton yang paling dasar, hingga pembahasan anti-matter dan kosmos.

Gennifer sangat kagum terhadapMarvin tidak hanya dari ilmu dan skill semata, tapi keberaniannya, dari dulu Marvin memang dikenal berani, dan puncaknya adalah ketika dia sangat lantang di hadapan Putra Harvard.

“Aku sayang sama kamu, suamiku,” lirihnya seraya mengelus lengan Marvin.

Ketika telah sampai di halaman kediaman Keluarga Rock yang indah dan temaram, Marvin dan Gennifer turun dari mobil, lalu berlarian menghindari hujan. Pakaian mereka basah sedikit.

Harven Rockwell membukakan pintu, “Langsung masuk saja, Kak,” ucapnya agak tergopoh-gopoh.

Beberapa saat ada pembicaraan dengan semua anggota Rock, namun karena ingin segera istirahat, Marvin segera mengajak istrinya naik ke lantai dua, menuju kamarnya.

Di awal pernikahan, Gennifer tinggal di rumah mewah ini dan sangat betah dengan semua fasilitas yang lengkap. Jika dibandingkan dengan Villa Winston, ya cukup jauh beda, mungkin halaman kediaman Rock punya taman yang sangat luas, itu saja.

Setelah mandi dan memakai piyama bagus berwarna abu-abu, sejenak Marvin berdiri menghadap jendela, menyaksikan kebun belakang rumah. “Sebuah pemandangan yang tidak pernah aku lihat selama di penjara,” gumamnya lalu mengembuskan napas panjang.

Gennifer, sudah rapi dan wangi dari tadi dengan lingerie hitam tipis nan elegan. Malam ini, dia akan menjadi pelayan bagi suaminya. “Sayang, bisakah kau jelaskan padaku bagaimana cara kau menyalurkan hasrat laki-lakimu selama di penjara?” tanyanya seraya menyugar rambut hitamnya yang panjang ke belakang, hingga ada belahan di tengahnya.

Gennifer punya bulu mata yang lentik, alis yang indah melengkung, hidung mancung, dagu yang tirus, bibir merah nan seksi, dan wajah yang melankolis, layaknya wajah wanita Italia atau Spanyol pada umumnya. Lekuk tubuhnya tidak usah ditanya, sungguh menawan.

Marvin membalik badannya, lalu menjawab, “Ada belasan orang di dalam satu kamar sel. Aku pernah melihat kepala kamar menindih salah seorang pria yang wajahnya jelek untuk melepaskan nafsunya.” Marvin tersenyum geli mengingat-ingat peristiwa menjijikkan itu.

“Mereka bermain pedang?” tanya Gennifer membekap mulut.

“Hanya pedang si kepala kamar yang bermain, pedang itu ingin masuk ke sarung, tapi si korban berontak. Si korban rela tidak makan satu hari agar lobang mataharinya tetap aman dan utuh.” Lalu, Marvin tertawa ringan dan matanya agak menyipit.

Gennifer tersenyum sembari menggeleng heran. “Kau, bagaimana?”

Kemudian, Marvin berjalan alon mendekat kasur. “Aku tidak pernah ikut campur urusan mereka dan aku tidak pernah terpikir untuk melakukan hal menjijikkan seperti itu. LGBT ibarat kotoran. Lebih baik aku tidak makan dua hari daripada melakukannya.”

“Aku sangat percaya padamu, suamiku. Lantas, bagaimana kau melampiaskan nafsumu?”

Marvin duduk di atas ranjang pas di samping istrinya, lalu berkata mesra, “Aku sering mengkhayalimu sebelum tidur. Jadi aku sering bermimpi denganmu. Jika basah, aku pasti bersyukur.”

“Selebihnya?” Gennifer menaikkan salah satu alisnya ke atas sambil tersenyum miring. Matanya sangat menggoda. Dalam keadaan seperti ini, Marvin sangat tidak kuasa.

Marvin menatap istrinya lurus-lurus lalu menjawab malu, “Hm. Apa yang akan aku jawab sudah ada di dalam kepalamu, sayang.” Marvin membuang pandanganya dan berkata, “Sebaiknya, kita tidak usah membicarakan hal yang bahkan anak remaja saja tahu.”

Gennifer kembali menyisir rambutnya, kemudian membasahi bibirnya dengan juluran lidah seksinya. Bagi Marvin, kata sempurna layak tersemat buat istrinya. Kecantikan dan keanggunannya sudah diakui oleh banyak orang di Gloriston.

Semenjak remaja Gennifer memang punya pesona dan daya pikat luar biasa. Meskipun banyak tawaran dari pria tampan dan terpandang bahkan seantero Chemisland, hatinya hanya untuk Marvin, dan tidak akan pernah berpaling.

Marvin kembali menatap istrinya dan berkata, “Terimakasih, Gennifer. Kau tiap pekan selalu membesukku dan memberikan perhatian padaku. Tidak ada orang yang sangat perhatian, selain dirimu.”

Gennifer tersenyum manis dan menjawab, “Karena aku cinta sama kau, Marvin Rock. Apapun, akan aku berikan untukmu.”

Marvin memusatkan pandangannya ke bibir istrinya yang basah.....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erwin Imperial
ok dan sangat mengharukan serta patut ditiru
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status