Anyelir mengerjapkan mata guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina. Begitu matanya terbuka sempurna, hal pertama yang mampu gadis itu tangkap adalah langit-langit ruangan berwarna putih susu.
Ini di mana? Sudah jelas ini bukan kamarnya ataupun kamar Damian."Sudah sadar, Anye?"Begitu mendengar suara si duda tampan, Anyelir hendak menoleh tapi kepalanya malah terserang nyeri. Gadis itu memilih memejamkan mata lagi guna meredakan pening yang menghinggapi kepala. Lehernya terasa kaku dan tegang. Tubuhnya juga terasa remuk redam. Jangan tanyakan perutnya yang bergejolak tak mengenakkan serta tenggorokannya yang kering."Kenapa?"Pertanyaan dengan nada khawatir itu membuat Anyelir membuka kelopak mata. Begitu menemukan keberadaan Damian di depannya, gadis itu mengernyit bingung."Kamu di rumah sakit, kemarin kamu pingsan di pemakaman papa kamu," jawab Damian meski gadis itu tidak bertanya.Sejenak, gadis itu tertegun. Jadi, kematian Papa memang nyata, ya? Padahal hati kecil Anyelir berharap itu semua hanya mimpi buruk.Seketika, mata Anyelir memanas lagi. Seolah memang tidak pernah lelah dan cukup menangisi kepergian sang papa untuk kesekian kalinya."Jangan nangis lagi dong! Mata kamu udah semengerikan itu dan masih mau bikin lebih serem juga?" tegur Damian begitu menyadari mata berkaca-kaca gadis itu.Anyelir menggeleng lemah. Gadis itu mati-matian mencoba menahan tangisnya biar tidak lagi pecah. Dia harus berusaha menguatkan diri. Dia tidak mau terus-terusan cengeng begini. Lagian, siapa yang bakal meredakan tangisnya seperti ketika sang papa masih ada?"Enggak nangis kok, Om." Anyelir menyahut serak.Sehabis berbicara, gadis itu memegangi lehernya. Tenggorokannya terasa sakit dan kering. Damian yang sadar akan hal itu, segera menyodorkan air putih yang tergeletak di gelas atas nakas.Menaikkan ranjang Anyelir hingga setengah duduk, Damian juga membantu gadis itu minum dengan perlahan. Begitu selesai, pria itu duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Anyelir."Kamu ini, bikin khawatir aja! Dari kemarin malah nggak bangun-bangun. Lagian dari lusa belum makan kan? Wajar aja nggak ada tenaga gitu," omel Damian sambil bersedekap dada.Anyelir tersenyum geli melihat raut kesal Damian. Bukannya takut, kok dia merasa lucu ya?"Aku nggak papa kok, Om. Cuma nggak makan dua hari, bukan nggak napas. Nggak usah khawatir pokoknya," jawab Anyelir santai membuat Damian melotot tidak terima."Kamu ini! Bisa-bisanya bilang gitu, nggak tau apa kalau aku khawatir beneran?" kesal Damian yang dibalas Anyelir dengan kekehan.Tapi, kekehan gadis itu harus terhenti saat pening lagi-lagi menghinggapi kepala. Gadis itu memejamkan matanya sambil memijat kening. Damian kontan panik dan berdiri guna hendak memanggil dokter. Tapi, tangan Anyelir segera menahan lengan duda tampan itu."Kenapa? Biarin saya keluar bentar, mau panggil Dokter," ucap Damian mencoba melepaskan cekalan tangan Anyelir di lengan.Gadis itu menggeleng masih dengan mata terpejam."Di sini aja, temenin aku."Mendengar suara bergetar Anyelir, Damian jadi merasa tidak tega dan akhirnya memilih duduk kembali. Tiba-tiba, gadis itu menarik lengan Damian dan menyelipkannya di bawah kepala sebagai bantal."Biasanya ... Papa begini kalau aku lagi sakit," cerita Anyelir lirih.Damian menghela napas berat. Tidak tahu harua membalas kalimat gadis itu dengan kalimat macam apa. Pria itu menarik tangannya dari bawah kepala Anyelir.Baru saja gadis itu akan protes, suara Damian lebih dulu menginterupsi."Kalau gitu ...," Damian meletakkan tangannya di puncak kepala Anyelir dengan gerakan mengusap lembut. "Aku nggak mau jadi Papa kamu, aku mau jadi Damian."Anyelir yang tidak mengerti dengan ucapan pria itu, mengernyit bingung. Damian tersenyum geli. Sudah ia duga. Anyelir terlalu anak kecil untuk mengerti kalimat pria dewasa sepertinya."Kalau Papa kamu suka bikin tangan jadi bantal, aku lebih milih buat ngusap kepala kamu pakai tangan." Damian memperjelas yang masih ditanggapi Anyelir dengan wajah bingung.Duda tampan itu mendengkus sebal. Susah memang ngomong sama anak kecil!"Yaudahlah, nggak jadi.""Nggak jadi apa memangnya, Om?" tanya Anyelir makin tidak mengerti."Tauk ah! Mau ngambek dulu," jawab Damian makin kesal."Ngambek kenapa emangnya, Om?" tanya Anyelir makin mengundang emosi."Udah ah, mau beli mie instan di kantin rumah sakit dulu!" kesal Damian akhirnya memilih berdiri."Eh ... mau juga dong!" sahut Anyelir semangat.Damian tersenyum miring. "Mau apa emangnya, Om?" tanya pria itu lebih tepatnya mempraktikan gaya bicara Anyelir.Gadis itu mendengkus sebal. Dasar duda tukang copas! Untung ganteng, eh.***Anyelir yang tengah sibuk bermain game My Talking Angela di ponselnya, seketika menghentikan permainan begitu mencium bau khas mie instan. Gadis itu menoleh pada pintu ruangan dan menemukan Damian tengah menenteng dua cup p*p mie rasa soto ayam."Waaah ... mie!" pekik Anyelir senang.Seolah dengan melihat makanan instan itu saja, segala jenis sakit yang menghinggapi tubuhnya terangkat seketika. Bagi Anyelir, mie instan memang moodboster terbaik!Damian terkekeh geli melihat wajah antusias gadis yang kerap ia katai anak kecil itu. Melihat mie seolah baru saja melihat keajaiban dunia saja.Menyodorkan satu cup pada gadis itu, Anyelir malah menggeleng tegas."Aku yang pilih!" putus gadis itu sambil memberi kode agar Damian mendekat."Cap cip cup kembang kuncup ... pilih yang mana yang mau di cup~ nah, ini! Aku yang ini aja," jawab gadis itu sambil menuju salah satu cup mie setelah membaca mantra entah apa.Damian melongo bingung tapi membiarkan saja gadis itu bertindak sesuka hati. Padahal di mata Damian kedua mie itu sama saja.Melihat mie yang di mata Anyelir belum mengembang sempurna, gadis itu meletakkan kembali makanan tersebut di atas nakas. Damian yang melihat itu hanya mengangkat bahu acuh.Semingguan ini tinggal bersama gadis itu membuat Damian tahu apa saja kebiasaannya. Seperti dia yang bakal lapar pukul 3 malam, gadis itu yang gemar jatuh dan jatuh, Anyelir yang suka makan mie (kelewat) mengembang, gadis itu yang suka pakai baju berwarna pink dan biru muda, atau Anyelir yang suka memelihara kucing."Kapan aku bisa pulang, Om?" tanya Anyelir di sela menunggu mienya."Belum bisa! Anemia kamu kambuh, maag juga, belum lagi itu dehidrasi kamu parah mana kena gejala tifus. Kalau kaya penyakit gitu jangan miskin niat buat berobat dong," sahut Damian mengabsen penyakit yang diidapnya.Anyelir mengerjap tidak percaya. Bisa sebanyak itu, ya? Kalau kata Ima, lebih banyak dari cintaku pada Suho."Nah kan kamu aja kaget," komentar Damian melihat raut tidak percaya Anyelir."Makannya sekarang istirahat dan makan yang rajin, biar bisa cepet pulang ke rumah. Kamu juga masih lemes banget itu sebenernya," perintah Damian panjang lebar.Anyelir cengengesan. "Nggak papa kok lama-lama di sini, biar bisa lebih lama sama Om Duda," goda Anyelir yang dibalas Damian dengan putaran bola mata malas."Lah terus di rumah kamu nggak ketemu aku juga gitu?" tanya Damian tidak habis pikir."Ya enggak ketemu lah," jawab Anyelir santai."Kamu pulang ke rumahku, Anyelir. Bukan ke rumahmu," perjelas Damian membuat Anyelir melotot kaget."Tapi aku mau pulang, Om," jawab Anyelir dengan wajah memelas."Di rumah kamu emang mau ketemu siapa?" tanya Damian tidak habis pikir."Dolly," jawab Anyelir jujur."Siapa Dolly?" tanya Damian heran. Tumben sekali mendengar ada anggota keluarga Pak Ardi bernama demikian."Kucing betinaku, Om. Udah lama nggak liat, kasihan loh kalau aku nggak segera jemput."Damian mendengkus sebal. Ternyata cuma kucing."Cuma kucing toh, aku kira saudara kamu yang terlupakan," jawab Damian asal."Dia Mamaku, Om! Jangan ngeremehin kayak gitu!" tegur Anyelir tegas."Bodoamat!" kesal Damian sambil menyeruput kuah terakhir mie instannya."Enak aja bodoamat! Setelah pulang dari sini pokoknya Om Duda harus nganter aku ke rumah. Aku mau jemput Mama Dolly," putus Anyelir final."Malesss! Aku nggak kenal Dolly.""Nggak boleh gitu ish, Om! Lagian panggil dia Dek Dolly!" kesal Anyelir sekalian mengoreksi panggilan yang layak untuk Mamanya.Damian memutar bola mata malas. "Mie kamu nggak mau dimakan?" tanya Damian mengalihkan topik."Eh iya, lupa!"Berikutnya, gadis itu tidak berkicau lagi. Damian tersenyum lega. Mie memang media paling ampuh untuk membuat gadis itu berhenti mengoceh.Anyelir memandangi Damian yang tengah mempersiapkan kepulangannya dalam diam. Sejenak, gadis itu tersenyum lega. Beruntung karena dipertemukan dengan orang sebaik duda tampan itu. Meski lumayan ketus dan galak pada Anyelir, pria itu selalu siaga satu kala ia membutuhkan atau menginginkan sesuatu."Ayo kita pulang, Anye." Damian mengajak sambil mendorong sebuah kursi roda ke depan gadis itu.Anyelir yang melihat benda itu, menggeleng keras."Aku nggak mau naik ini, dikira aku patah tulang apa? Pokoknya gamau," tolak gadis itu sambil bersedekap dada dan memalingkan wajah. Khas anak kecil yang ngambek karena tidak dibelikan mainan impiannya.Damian memutar bola mata malas. "Emang kamu kuat jalan sampai mobil saya di luar?" tanya Damian yang dibalas Anyelir dengan gelengan.Dia tidak cukup punya tenaga meski hanya untuk berbicara dengan nada lantang. Apalagi berjalan sampai parkiran. Tubuhnya juga masih terasa lemas dan tidak bertenaga."Yaudah makannya, ayok naik ini aja!" titah Damian sa
Damian mengendarai mobilnya memasuki gerbang rumah. Setelah melewati banyak macam bujukan juga paksaan, akhirnya Anyelir mau ikut pulang dengannya ke sini lagi. Awalnya, gadis pendek itu keukeuh ingin tetap tinggal di rumahnya sendiri. Tapi, Damian tidak setuju. Karena di pertemuan terakhir ia dan Pak Ardi, pria itu menitipkan Anyelir padanya. Dia tidak mungkin juga tega membiarkan gadis ceroboh itu tinggal sendiri tanpa pengawasan.Tapi, Anyelir tetaplah Anyelir. Gadis itu selalu punya banyak macam cara untuk merepotkan Damian. Gadis itu bilang tetap bakal tinggal di rumahnya dan segera mencari pekerjaan untuk bertahan hidup sendiri. Kalau saja Damian tidak mengancam bakal memotong leher kucing betina kesayangannya, mungkin sekarang pria itu tidak bisa membawa Anyelir ke rumah ini lagi berikut kucingnya."Waaah ... Mama Dolly lapar, ya? Ayok kita cari makanan di kulkasnya Om Duda, di sana ada banyak snack loh, aku yang suka masukin ke freezer." Anyelir berucap sambil mengelus kepala
Damian baru saja membuka pintu kamarnya saat menemukan Anyelir tengah berlari hanya dengan berbalut handuk merah muda di lantai bawah. Dengan tidak pakai malunya, gadis itu mengenakan handuk pendek sambil mengejar kucingnya yang dari sependengar Damian, tidak mau mandi dan kabur di guyuran air pertama.Damian mungkin akan bersikap abai jika pakaian yang dikenakan gadis itu cukup sopan. Tapi, handuk dengan tinggi setengah paha juga hanya mampu menutup dada itu bukan hal yang sopan untuk gadis 19 tahun loh. Dia juga tahu gadis itu tepos. Tapi tidak usah pamer-pamer juga lah. Dikira Damian bakal peduli apa?"Anyeee ... setidaknya sana mandi dulu kamunya, urusan kucing biar belakangan!" tegur Damian mulai kesal sendiri melihat gadis itu yang tidak berhenti berlari.Anyelir menghentikan langkahnya. Tangannya berkacak pinggang berikutnya melenggang menaiki tangga lagi guna ke kamar mandi."Dasar Mama Dolly! Disuruh mandi kok nggak mau?! Kayaknya mau ngikut kakaknya yang bau," dumel gadis itu
"Kamu ngapain lagi, Anyeeee?" tanya Damian tidak mengerti begitu membuka pintu rumah.Gadis itu tidak apa-apa. Hanya saja, kewarasannya yang sangat apa-apa. Damian sudah capek-capek khawatir bahkan sampai terburu-buru pulang ke rumah, tapi gadis itu rupanya capek berperang dengan kebodohannya."Ish ... Mama Dolly tuh, Om!" adu Anyelir hampir menangis.Gadis itu masih sibuk terduduk di lantai ruang tengah dengan cat air yang tumpah di pakaian juga beberapa bagian lantai rumah. Damian berkacak pinggang. Matanya menyorot Anyelir menghakimi."Bersihkan sekarang atau leher Mamamu itu kugorok pakai gergaji?!" ancam Damian membuat gadis itu segera berdiri."Jangan gitu dong, Om! Bukan salah Mama Dolly kok, aku yang tadi mau warnain bulu dia pakai cat air warna biru, tapi dia nyakar terus lari. Terus pas ngejar dia aku kesadung habis itu kena beginian. Pokoknya jangan potong lehernya Mama Dolly! Aku bersihin sekarang kok," cerita sekaligus bujuk Anyelir dengan mata sudah hampir menangis.Damia
Setelah mengerahkan beberapa suruhannya, Damian mengetahui keberadaan Anyelir. Kemudian, pria itu bergegas keluar guna mencari keberadaan gadis itu secepatnya.Kalau dia tahu panggilan yang dilakukan Anyelir beberapa kali adalah bentuk permintaan tolong gadis itu, mungkin Damian tidak bakal mengabaikannya. Sekarang, dia juga merasa bersalah karena sempat merasa ingin gadis itu segera dewasa dan tinggal sendiri saja.Begitu sampai di sebuah hutan juga depan sebuah gubuk tua, Damian menepikan mobilnya. Pria itu keluar dengan mengendap-endap agar tidak ketahuan karena suara langkah kakinya.Menurut informasi, Anyelir berada di sana. Entah dengan alasan apa orang itu malah menculik gadis itu. Sejenak, Damian menahan gemelatuk giginya begitu berbagai bayangan hal buruk berputar di kepala. Kalau sampai terjadi sesuatu pada gadis itu, Damian tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.Dia sudah diamanahkan untuk menjaga Anyelir oleh Almarhum Pak Ardi. Bagaimana bisa pria itu lalai dalam menjag
Anyelir terheran-heran begitu melihat orang yang katanya 'sahabat Damian' malah diseret beberapa pria berbadan kekar yang ia ketahui orang suruhan duda tampan itu. Gadis pendek yang merasa kasihan itu kontan berjalan mendekat ke arah orang yang tadi membawanya ke sini."Lah Om, kok Om babak belur gini? Kenapa? Kasihan loh, bentar kuaduin ke Om Duda dulu, biar Om bisa dianter ke rumah sakit, dia kan temennya Om," ucap Anyelir sambil mendekat pada pria yang babak belur karena ulah Damian itu.Pria malang itu kontan menjauhkan tubuh dari Anyelir dengan wajah takut. Apalagu begitu melirik pada Damian, duda tampan itu tampak menyorot garang."Om ... itu temenmu mau dikemanain? Ayok kita obatin!" tanya sekaligus ajak Anyelir iba.Damian menyorot gadis bodoh itu datar. Tapi, tidak berniat mengeluarkan suara. Dia antara bersyukur sekaligus kesal karena Anyelir yang tampak tidak trauma sama sekali sehabis diculik orang itu. Bukannya tidak senang gadis itu baik-baik saja sih, tapi maksudnya, kas
Entah kepala sinting macam apa yang membawanya ke sini. Tapi, detik ini Damian sudah duduk di sebuah bar club dengan gelas wine yang sudah kosong sehabis diteguknya.Ini adalah kali kedua pria itu menginjakkan kaki di tempat terlarang tersebut. Pertama kali, ketika kabar kematian istrinya sampai padanya dan meruntuhkan akal sehat pria itu. Kedua, adalah hari ini. Ketika Damian merasa rumah bukan lagi tempat menenangkan juga mengurus perusahaan merupakan hal yang membuatnya merasa keberatan.Bisa dibilang, duda tampan itu sedang dalam keadaan lelah-lelahnya. Tapi, karena bingung mengungkapkannya dengan cara apa dan kepada siapa, pria itu akhirnya melampiaskan segala kekesalannya pada tempat terkutuk ini.Padahal, almarhun ayah dan ibunya dulu selalu mengingatkan pria itu untuk tidak pernah menyentuh barang-barang terlarang seperti minuman keras apalagi narkoba. Tapi, Damian mengecewakan mereka. Pria itu mengecewakan keduanya juga dirinya sendiri."ARGH ... DUNIA YANG MENYEBALKAN!" maki
Damian terbangun dengan sekujur tubuh terasa remuk redam. Matanya baru saja terbuka saat kilasan kejadian semalam malah membayang di benaknya. Seketika, pria itu bangkit dari berbaring dan menatap sekeliling."Aku ngapain semalam?!" tanya pria itu panik apalagi begitu menemukan tubuhnya yang tidak mengenakan sehelai benang pun. Duda tampan itu segera bangkit berdiri kemudian memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Berikutnya, Damian mulai berlari mencari Anyelir di segala sudut kamar.Tapi, pria itu tidak berhasil menemukan apapun selain bercak darah di seprei Anyelir. Berlari lagi menuju luar kamar, Damian bertanya pada Bi Wati juga satpam rumah sekaligus meminta mereka membantu mencari perempuan itu di setiap penjuru ruangan."Bibi nggak tau, Tuan. Semalam habis isya dan sholat soalnya langsung kembali ke kamar terus tidur," jelas Bi Wati sehabis ditanyai Damian di dapur. Pria itu kini berlari menuju pos satpam dan segera bertanya pada Pak Herman. Tapi, jawaban pria itu pun
Hingga pukul 8 malam, Anyelir tidak tampak ingin keluar dari kamarnya. Perempuan itu entah tengah melakukan apa di dalam. Damian memilih membiarkan saja. Terlalu terbiasa dengan gaya ngambek ala Anyelir. Perempuan itu bahkan kembali ke kamar sebelah---markas ngambeknya.“Dam, si Anye mana? Masak kita makan malemnya nggak sama dia sih? Istri ngambek itu ya dibujuk, bukan malah balik didiemin!” Lisa memberi wejangan.Damian mendengkus kesal. “Istri yang hobinya ngambek tiap hari itu ya didiemin, bukan malah dibujuk terus. Ntar malah makin ngelunjak. Kapan berpikir dewasanya coba?” balas pria itu santai.Lisa memberengut sebal. “Emang bener kata si Anye, susah ngomong sama orang jelek.” Lisa menghujat kemudian memilih berlalu dari hadapan pria yang masih setia rebahan sambil nonton TV di ruang tengah itu.Di sisi lain, Anyelir terbangun dari tidurnya karena merasakan perut yang keroncongan. Setelah selesai sholat magrib, ia tidak sengaja ketiduran dan sekarang terjaga lagi karena lapar.
Anyelir masih berdiam diri di posisinya sampai kantor terdengar sepi. Mungkin semuanya tengah pergi makan siang ke kantin. Salahkan Anyelir yang tidak keluar dan berharap Damian memanggilnya. Hingga sekarang dia tidak tahu harus pulang naik apa.Dia lupa membawa uang. Sedangkan di tasnya, hanya ada ponsel dan robekan beberapa alamat penting yang suaminya siapkan semisal Anyelir ingin naik kendaraan biar tidak tersesat. Tapi, perempuan itu bertekad tidak akan menelepon Damian sampai pria itu menyadari sendiri kesalahannya.Beberapa lama menunggu, akhirnya, sebuah suara derap langkah kaki terdengar memasuki ruangan. Anyelir tersenyum sumringah. Damian menjemputnya. Pria itu tidak benar-benar melupakannya."Anye! Kamu di sini?"Suara Lisa seketika meruntuhkan harapan Anyelir. Perempuan itu cemberut lagi. Dia kira yang menjemputnya suami jeleknya."Kok bukan Om Damian yang jemput aku?" tanya Anyelir tidak bisa menyembunyikan nada merajuknya. Kepala perempuan itu menyembul dari kolong meja
Anyelir baru saja kembali dari pasar bersama Bi Wati saat menemukan seorang perempuan cantik duduk di ruang tengah. Perempuan kerempeng itu kontan mendekat dan memandang orang cantik di rumahnya curiga."Siapa---""Eh, Nak Lisa dateng, toh. Kapan nyampe sininya?" tanya Bi Wati memotong kalimat Anyelir.Perempuan itu tersenyum senang begitu menemukan keberadaan Bi Wati. Mengabaikan Anyelir, perempuan itu bangkit dan menyalami punggung tangan sang pembantu."Baru aja beberapa menit lalu, Bi. Kata Pak Satpam lagi nggak ada orang di rumah, si Damian kerja, Bi Wati ke pasar, jadi disuruh nunggu di sini dulu."Melihat interaksi kedua perempuan itu, Anyelir mengernyit tidak mengerti. Dia siapa? "Oh iya, kenalin, dia istrinya Damian. Namanya Anyelir." Anyelir tersenyum canggung begitu perempuan di depannya tersenyum hangat padanya. Perempuan bernama Lisa itu mendekat dan memeluk Anyelir erat."Waaah ... ini yang namanya Anyelir? Salam kenal, ya, Anye! Aku Lisa, sepupunya Damian."Anyelir me
Damian pulang dengan menenteng lima bungkus ayam geprek pesanan Anyelir. Beberapa kali, di perjalanan, pria itu mendecak tidak habis pikir. Sebanyak ini, apa bisa habis? Mengingat perut kecil juga porsi makan Anyelir yang sedikit, Damian jadi ragu.Begitu hendak menaiki tangga, suara Bi Wati yang memanggil dari arah dapur, menghentikan langkahnya. Pria itu menoleh penasaran begitu melihat raut khawatir sang pembantu."Sudah pulang, Tuan?" tanya Bi Wati berbasa-basi. Damian mengangguk."Kalau gitu, tolong bujuk Nak Anyelir biar mau makan siang, ya? Bibi udah bujuk dari tadi siang, tapi sampai sore ini dia nggak mau bukain pintu kamarnya." Bi Wati menjelaskan yang dibalas Damian dengan kernyitan dahi."Dia belum makan siang?" tanya pria galak itu sambil melirik jam tangan.Sudah pukul 4:39 sore. Bisa-bisanya perempuan itu tidak lapar. Setidaknya, menganggur dan rebahan di rumah juga butuh tenaga. Bahkan, Damian merasa lebih cepat lapar ketika berada di rumah daripada sibuk bekerja di ka
Pagi ini, keadaan Anyelir sudah lebih baik dari semalam. Awalnya, Damian tidak ingin berangkat bekerja karena mengkhawatirkan kondisi perempuan yang biasanya rewel itu. Tapi, paksaan Anyelir membuat pria itu akhirnya sudah rapi dan duduk di meja makan pukul 7 tepat."Kan sudah kubilang, kamu belum terlalu sehat. Ngapain masak segala? Kan udah ada Bi Wati juga," kesal Damian sambil mulai menyendokkan nasi dengan lauk kedelai hitam rebus, sambal limau, juga tahu tempe gorengnya.Anyelir mengangkat bahu acuh. Ikut menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan lahap."Emangnya kenapa? Om mau ngehalangin aku jadi istri yang baik sampai mana lagi? Lagian aku baru bisa masak aja udah dimarahin. Apalagi mau belajar beresin rumah dengan bener?" jawab Anyelir sambil merengut sebal.Damian menghela napas pasrah. "Yasudahlah, terserah kamu aja." "Oh iya, Om. Ini." Anyelir menyodorkan amplop putih kepada sang suami. "Ini apa?" tanya Damian tidak mengerti."Surat pengunduran diriku dari kantor Pak Bagas.
Anyelir masih terus memeluk lengan Damian bahkan saat tertidur. Hal itu membuat benak Damian menghangat dengan perasaan campur aduk. Antara kesal dengan dirinya sendiri, pada istrinya, juga merasa menyesal dan bersalah karena membuat istrinya seperti ini.Jam sudah menunjukkan pukul 12. Tapi, pria itu bahkan tidak mampu terlelap dan memilih memandangi wajah damai Anyelir. Setelah kehujanan juga mengetahui istrinya yang takut angin, kepalanya tidak berhenti dihujam rasa bersalah.Anyelir juga demam dan mengeluh pusing. Panas di pipinya bahkan terasa menyengat di lengan Damian yang perempuan itu peluk erat. Seolah begitu takut ia bakal pergi dan meninggalkannya sendiri.Dia sendiri sangat tahu Anyelir gampang sakit. Tapi, kenapa ia malah mempertahankan egonya dan membiarkan perempuan itu pulang sendiri tadi."Om ...." Anyelir meracau begitu Damian bergerak membenarkan letak duduknya."Pengen pulang."Lagi lagi, Anyelir meracau sambil mengeratkan pelukannya pada lengan Damian dengan mata
Anyelir menghela napas berat. Tangannya memangku dagu dengan mata setengah mengantuk. Sesekali, perempuan itu juga bakal menghentak-hentakkan kaki meski Damian tidak peduli.Setelah menyeretnya dan bilang Anyelir tidak boleh bekerja di kantor Bagas lagi, pria itu sudah tidak mengajaknya bicara bahkan mungkin tidak mau meliriknya sama sekali. Jangan lupakan sikap acuh tak acuhnya yang sedari tadi terus mengabaikan Anyelir dan lebih memilih fokus pada pekerjaannya. Oh ayolah, ini sudah pukul 8 malam. Dan Damian dengan tidak tahu waktunya masih bekerja di saat karyawannya yang lain ia izinkan untuk pulang. Anyelir yang lagi-lagi merasakan perutnya lapar dan berbunyi keroncongan, hanya mendengkus sebal.Setidaknya jika memang sedang marah padanya, pria itu tidak marah pada perutnya. Lain kali, ingatkan Anyelir untuk makan siang lebih banyak dari sesendok bubur ayam agar suaminya tidak terlihat seperti tengah menyiksanya begini."Apa masalahmu, Om? Ini udah jam 8 malam dan kamu nggak mau
Selama duduk di kursi kerjanya, Bagas menyadari bahwa editor cantiknya tersebut lebih banyak diam bahkan sesekali gagal fokus. Tak hanya itu, perempuan itu bahkan berkali-kali mengerjap-ngerjap terkejut, sebelum kemudian kembali menyibukkan diri pada naskah yang tengah berjuang untuk ia selesaikan.Lupakan masalah kalimat Damian sebelum Anyelir masuk ke kantor! Bisa jadi, suaminya hanya sedang iseng mengerjainya dan berlaku sok cemburu, kan? Lagian ... sejak kapan Damian bakal mengenal istilah itu jika berhubungan dengan perempuan menjengkelkan sepertinya?Lagipula, cemburu itu kan tanda cinta. Hal itu Anyelir pelajari dari novel-novel romantis yang kerap ia baca. Sebagai mantan murid sastra Indonesia, Anyelir sudah cukup banyak membaca berbagai jenis novel tentu saja. Dan hal itu membuat Anyelir mengerti banyak hal tanpa turun tangan langsung mencari pengalaman."Kamu kayaknya aneh banget sih, Nye, dari tadi. Kenapa? Apa kemarin kamu ngelakuin lagi apa yang kusuruh?" tanya Bagas mema
Sudah tiga hari semenjak Anyelir bekerja di kantor penerbitan buku mayor Bagas. Dan selama itu pula, Damian merasa istrinya jauh berbeda. Perempuan itu lebih banyak mengabaikannya bahkan tidak lagi suka mengganggunya.Bukan karena Damian merasa kesepian dan suka diganggu sih. Tapi, maksudnya terasa aneh saja. Satu hari tanpa omelan atau rengekan manja Anyelir itu rasanya aneh sekali. Begitu sepi dan terlalu monoton.Seperti malam ini."Nye ... kamu nggak laper?" tanya Damian sambil menusuk sebuah pentol berlumur saus di meja dengan garpu."Enggak, Om. Tadi sore sudah makan bakso beranak sama Pak Bagas. Aku makan dua mangkuk loh!" tolak sekaligus cerita Anyelir tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi."Dih, dasar rakus! Perut karet!" ejek Damian yang anehnya malah tidak ditanggapi Anyelir."Emang sih, Om. Kata Pak Bagas juga gitu." Bahkan, perempuan itu mengalah dan mengiyakan ejekannya."Tumben kamu nggak nyemil jam segini," komentar Damian lagi.Sepertinya, menonton Anyelir m