Lengkung bibir Vela otomatis berubah datar. Ares merupakan orang yang paling ingin dihindarinya. Namun kini, perempuan itu tidak punya pilihan lain. Dirinya harus tetap sopan meski hatinya meminta pergi. Tanpa ia ketahui, Ridan juga sedang memasang tampang tak senang. Laki-laki itu sadar bahwa Ares bukanlah pria yang layak untuk sahabatnya.
“Ini cowok yang mau dijodohkan denganmu?” bisik Ridan yang masih terdengar oleh Ares. “Kok, bisa?”
“Hm, perkenalkan, saya Ares Wijaya, anak dari pendiri Wijaya Group,” ujar pria yang menyodorkan salam dengan bangga.
“Oh, orang kaya,” celetuk Ridan santai. Secepat kilat, Vela melotot ke arah sahabatnya agar pria itu lebih menjaga omongan.
“Ah, ya … saya Eridan,” tutur pria berpenampilan sederhana itu setelah membaca kode dari Vela. Dengan tegas, dijabatnya tangan yang masih terulur di depan.
“Oh, namanya dari rasi bintang juga, ya? Sama seperti Vela?” timpal Ares yang ingin terdengar pintar.
“Ya. Vela artinya layar kapal, sedangkan Eridan artinya sungai,” celetuk si pria sederhana dengan polosnya.
“Tidak perlu dijelaskan juga saya sudah tahu,” gumam Ares seraya mencibir. “Kerja apa?” tanyanya kemudian.
“Sebelumnya, saya kerja di bank,” jawab Ridan spontan.
“Sebelumnya?” sela si pria kaya dengan nada curiga. “Oke …. Manajer atau supervisor?”
“Teller,” jawab Ridan tersendat. Pria itu mulai terintimidasi oleh nada bicara yang terkesan meremehkan.
“Oh, teller. Kalau sekarang?” tanya Ares seperti sedang mencari kekurangan lawan.
“Sebentar lagi Ridan kerja di sekuritas impiannya,” potong Vela yang tidak ingin sahabatnya direndahkan.
“Sekuritas impian? Oh, memang cita-citanya, ya? Jadi manajer atau ….”
“Broker saham,” sahut Ridan dengan anggukan pelan. Ia seakan sedang meyakinkan diri sendiri akan impiannya.
“Broker saham? Memangnya, itu bisa menghasilkan banyak uang? Bukannya broker cuma mengurus pembukaan rekening orang lain?” selidik Ares seraya menggaruk kuping.
“Oh, enggak. Bukan cuma itu pekerjaan broker—“
“Kalian ke sini naik apa?” potong si pria sombong tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Sontak saja, mulut di hadapannya menganga tanpa kata. Eridan butuh waktu untuk mencerna perubahan informasi yang begitu mendadak.
“Mobil,” sahut si pria sederhana kebingungan. Ia tidak sadar bahwa Vela sudah menarik lengan kemejanya, mengirimkan sinyal untuk berhenti menanggapi Ares.
“Oh, ternyata punya mobil? Mobil apa? Saya suka koleksi mobil, loh,” ujar laki-laki yang tidak pernah lelah membanggakan hartanya.
“Bukan mobil saya, tapi—“
“Maksud kamu sebenarnya apa sih, Res? Kamu mau mempermalukan Ridan, ya?” sela Vela yang tidak tahan lagi membiarkan percakapan itu berlanjut. Ekspresi si pria angkuh pun mendadak beku.
“Enggak,” sanggah Ares tegas. “Aku cuma mau menyadarkan kamu saja kalau aku jauh lebih baik daripada laki-laki ini.” Helaan napas tak percaya dari Vela pun berembus.
“Come on, Ares. Aku menolak kamu bukan karena Ridan. Bukankah aku sudah pernah menjelaskan semuanya? Aku merasa kalau kita enggak cocok. Itu saja,” jelas perempuan yang mulai meninggikan suara.
“Really? Cuma itu? Ck, enggak masuk akal.”
“Enggak semua perempuan di dunia ini mau menikah karena harta, Res,” terang Vela yang hampir putus asa. Sulit untuk membuat pria keras kepala itu mengerti.
“Oh, karena itu kamu datang bersama cowok miskin ini? Untuk membuktikan kalau kamu memang enggak peduli dengan kemewahan? Ckck, kamu benar-benar gila, Vel. Asal kamu tahu, dilihat dari sisi mana pun, aku jauh lebih baik dari laki-laki ini,” ujar Ares berhasil membuat sang wanita naik pitam. Napas Vela kini mulai menderu. Kedua tangan kecilnya sudah terkepal seakan siap menghajar.
“Kamu enggak punya cermin, ya? Kok bisa bilang begitu? Ridan itu jauh lebih baik dari kamu. Dia lebih sopan, lebih mandiri, lebih ganteng, dan enggak sombong seperti kamu,” seru Vela di puncak suara. Perempuan itu tidak bisa lagi menahan emosi. Usapan tangan Ridan di pundaknya sudah tidak mampu meredam kekesalan.
“Vela, sudahlah. Jangan marah-marah! Aku enggak apa-apa, kok,” bisik Ridan berusaha menenangkan sahabatnya.
“Enggak bisa begitu, Ridan. Dia sudah merendahkan kamu. Meskipun sekarang dia lebih kaya, aku yakin kalau suatu saat nanti, kamu pasti bisa lebih sukses darinya. Jadi, dia enggak boleh menghina kamu,” timpal perempuan yang masih mengerutkan alis. Rasa dongkol masih mewarnai raut wajahnya.
“Iya, tapi jangan membuat malu diri kamu sendiri. Tamu-tamu mulai memperhatikan kamu, loh,” bujuk Ridan pelan.
“Wah, wah, wah! Aku jadi curiga. Kenapa kamu mati-matian membela orang ini? Kamu sudah kena guna-guna, ya? Atau jangan-jangan, kalian sudah tidur bareng? Karena itu kamu enggak bisa lepas dari dia?” celetuk Ares sukses memancing amukan Vela. Hanya dalam sekejap, tangan sang wanita sudah melekat pada kepala Ares. Seakan tidak mengenal ampun, ia menarik rambut pria itu ke segala arah. Keributan tidak lagi terhindarkan.
“Aduh ... Vela! Sakit! Jangan ditarik! Rambutku sensitif! Nanti kalau aku botak, bagaimana?” pekik Ares sembari bergerak mengikuti arah tarikan agar tidak terlalu sakit.
“Vela, berhenti, Vel! Kasihan dia,” bujuk Ridan yang kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana cara menghentikan serangan dari seorang perempuan.
“Makanya, jangan ngomong sembarangan! Punya mulut itu dijaga! Kamu pikir … aku cewek macam apa, hah? Seenaknya bilang aku tidur sama Ridan!”
“Memang kenyataannya begitu, kan? Kalau enggak, kenapa kamu lebih membela dia dibandingkan aku? Aaaah! Sakit … gila!”
Vela ternyata menambah kekuatannya. Mau tidak mau, Ares balas melawan. Tangannya mulai meraih rambut sang wanita dan menariknya tanpa ampun. Tampaknya, rasa sakit membuatnya lupa pada malu.
“Ares, jangan sakiti Vela! Dia perempuan,” seru Ridan mengingatkan.
“Biarkan saja, Ridan! Biar semua orang tahu kalau Ares itu pengecut. Beraninya cuma sama perempuan,” teriak Vela yang masih gigih melancarkan serangan meskipun rambutnya juga sudah berantakan.
“Ada apa ini?” seru Oma Stela lantang. Alih-alih menjawab, Vela dan Ares kompak melanjutkan pertikaian.
“Vela, berhenti! Jangan membuat malu!” hardik wanita tua itu lebih memekakkan telinga.
“Tapi, Oma … Ares dulu yang memulai! Dia sudah fitnah aku,” jelas Vela di sela desah napasnya.
“Berhenti!” teriak Oma Stela sekali lagi. Akan tetapi, kedua orang itu masih saling menarik rambut. Seakan kehabisan akal dan kesabaran, wanita tua itu langsung menghampiri pusat keributan.
Plak! Suara tamparan pun terdengar kencang. Mata Vela sontak membulat. Hanya dalam sekejap, ia melepaskan cengkeramannya dan berbalik menghadap sumber suara. Eridan kini sedang tertunduk dengan pipi kiri berwarna kemerahan.
“Oma? Kenapa menampar Ridan? Dia enggak salah apa-apa,” protes Vela sembari memeriksa wajah sahabatnya.
“Semua ini gara-gara dia,” ujar Oma Stela sambil mengacungkan telunjuk ke wajah si pria malang. “Kalau saja dia tidak datang, keributan ini tidak akan terjadi.”
“Bukan salah Ridan, Oma. Ares yang salah. Dia menuduh kami yang bukan-bukan. Ares sudah menghina aku, Oma,” terang Vela dengan nada suara memelas. Kali ini, ia benar-benar berharap sang nenek mau berpihak kepadanya.
“Aku enggak menuduh. Memang benar, kan? Kamu sudah tidur dengan laki-laki ini,” ucap Ares tanpa mempertimbangkan banyaknya telinga yang mendengar. Vela bahkan tersentak menangkap kata-kata yang tidak disaring itu.
“Enggak! Kami enggak pernah—“
“Cukup, Vela! Sekarang juga, kamu masuk! Masuk! Kita bicarakan setelah pesta selesai. Kamu ini, bikin malu saja,” ujar sang nenek tidak peduli dengan mata cucunya yang mulai berair.
“Tapi, Oma, aku enggak salah apa-apa. Semua itu fitnah,“ lirih Vela sia-sia. Si wanita tua tidak menggubris penjelasannya.
“Sagita, kamu antar mereka berdua ke kamarmu! Pastikan mereka tidak berbuat yang macam-macam,” perintah Oma Stela tegas. Tanpa melihat ke wajah yang mulai menangis jengkel, wanita tua itu melangkah kembali menuju kursinya.
Sementara itu, Ares diam-diam tertawa senang. Ia merasa menang karena berhasil menghasut orang-orang.
Saat ini, hanya ada satu mata yang kasihan pada Vela, yaitu Eridan. Selain pria itu, orang-orang menghunuskan tatapan sinis pada si wanita malang. Bahkan, Sagita pun menampakkan ekspresi jijik sejak dari langkah pertamanya mengantarkan para tertuduh ke kamar.
“Vela … Vela …. Aku benar-benar tidak menyangka ternyata kamu seperti ini. Padahal, kamu sudah beruntung dijodohkan dengan orang sesukses Ares. Eh, kamu malah menolak karena laki-laki ini,” sindir Sagita seraya menaikkan satu sudut bibirnya.
“Itu enggak benar, Git,” desah Vela lirih. Ia sudah lelah menghadapi pandangan orang-orang yang tidak percaya padanya.
“Ck, munafik. Sudahlah, kalian berdua tunggu saja di sini. Aku tidak akan mengawasi kalian. Lagipula, kalian sudah pernah melakukannya, kan?” tutur perempuan sinis itu sembari membalikkan badan lalu membanting pintu, meninggalkan Vela dan Eridan yang saling menatap dalam kebingungan. Bagaimana mereka mampu meluruskan anggapan orang-orang yang sudah telanjur percaya pada bualan Ares?
Vela terduduk lesu di kursi dekat meja rias milik sepupunya. Dengan kepala tertunduk dan bahu terkulai, perempuan itu hanya mampu menatap lantai. Tanpa sadar, setetes air mata bergulir menuruni pipinya.
Vela membeku di hadapan Ridan yang berlutut memegangi tangannya. Dengan tampang minim senyum, sulit untuk memastikan apakah pria itu bercanda atau tidak. Namun dengan cincin bermata satu yang berkilauan di tangannya, lamaran itu tentu bukan main-main.“K-kenapa kamu tiba-tiba melamarku? Kamu dipaksa Oma?” tanya Vela dengan canggung. Tanpa diduga, Eridan menggeleng santai.
“Sekarang, kamu tahu caranya berciuman,” ujar sang pria dengan senyum usilnya. Mendengar gurauan itu, pelupuk Vela akhirnya kembali berkedip.“Apa yang baru saja kamu lakukan? Kamu menciumku? Itu ciuman pertamaku, Ridan,” omel perempuan itu seraya menutupi mulut dengan tangan. Sangat disayangkan, bibir merah yang selalu dijaganya sudah tidak lagi suci. Sahabat terdekatnya telah menghancurkan fantasi indah Vela tentang ciuman p
“Karena aku cuma mau kasih keperawananku untuk laki-laki yang aku cinta. Prinsip itu masih sama, Ridan,” desah Vela mengharapkan pengertian. Sahabatnya pun terdiam sejenak.“Kamu melamarku … mengajak aku menikah bukan demi seks, kan? Hm?” tanya Vela dengan suara pelan. Selang keheningan sesaat, si calon suami akhirnya menghela napas panjang.
Keanehan mulai terjadi pada tubuh Vela. Selain debar jantung yang meningkat drastis, rasa gerah juga menyerang tubuhnya. Perempuan itu kini bergerak-gerak gelisah. Sesekali, desah lirih berembus dari mulutnya.“Ada apa, Vela?” tanya Ares sok perhatian.
“Ridan! Tolong aku! Ridan, Ridan!” teriak Vela yang tidak tahu harus meminta bantuan dengan cara apa. Ia bahkan tidak sempat berpikir untuk menjelaskan keadaan. Perempuan itu terlalu sibuk meronta-ronta, menghalangi Ares untuk merenggut kesuciannya.Sementara itu, pria yang mendengar namanya sontak terbelalak. “Vela?” gumam Ridan yang langsung merasakan adanya bahaya. Secepat angin yang berembus, ia menghampiri sumber suara.Begitu melihat sahabatnya sedang terdesak dalam keadaan setengah telanjang, tangan Ridan langsung terkepal erat. Tanpa membuang waktu, pria itu menarik Ares dari atas Vela.“Kurang ajar kau!” Buk! Sebuah pukulan pun mendarat pada rahang si pria bejat. Ares seketika terhuyung-huyung dan jatuh ke lantai. Bukannya merasa sakit atau bersalah, pria itu malah tertawa.“Aku sudah memasukimu, Vela. Aku berhasil merebutnya,” seru pria licik
Begitu membuka mata, Vela langsung disambut oleh sahabatnya. Alih-alih menjawab sapaan, perempuan itu hanya diam sembari bertanya-tanya. “Kenapa ada Ridan?” pikirnya heran.Tiba-tiba, bayangan wajah Ridan saat sedang menggarapnya melintas cepat. Sontak saja, Vela terbelalak dan beranjak dari tidur.
“Apakah kamu diam-diam mencintaiku?” tanya Vela sukses membuat sahabatnya terbelalak. Setelah satu kedipan tegas, desah tawa pun terlepas dari mulut Ridan.“Kenapa kamu bertanya begitu? Kamu mabuk, ya?” timpal sang pria sembari menggeleng-geleng tak habis pikir. “Pertanyaanmu konyol, Vel.”“Lalu kenapa kamu meminta hal semacam itu? Bukankah selama ini kita sepemikiran? Kita hanya akan melakukan seks dengan orang yang kita cinta setelah menikah?” tanya Vela yang meragukan sahabatnya.“Ya ... karena kondisi sekarang berbeda, Vel,” timpal pria itu sukses menyipitkan mata Vela. Memang tidak mudah untuk menyembunyikan getar suara dari perempuan yang telah lama mengenalnya.“Kamu gugup,” tuduh si pengamat sembari meruncingkan telunjuknya.“Enggak,” sanggah Ridan cepat.“Bohong!”“Enggak!”Cup! Tiba-tiba, Vela mendaratkan ciuman singkat pada bibir sahabatn
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar