Keanehan mulai terjadi pada tubuh Vela. Selain debar jantung yang meningkat drastis, rasa gerah juga menyerang tubuhnya. Perempuan itu kini bergerak-gerak gelisah. Sesekali, desah lirih berembus dari mulutnya.
“Ada apa, Vela?” tanya Ares sok perhatian.
“Ridan! Tolong aku! Ridan, Ridan!” teriak Vela yang tidak tahu harus meminta bantuan dengan cara apa. Ia bahkan tidak sempat berpikir untuk menjelaskan keadaan. Perempuan itu terlalu sibuk meronta-ronta, menghalangi Ares untuk merenggut kesuciannya.Sementara itu, pria yang mendengar namanya sontak terbelalak. “Vela?” gumam Ridan yang langsung merasakan adanya bahaya. Secepat angin yang berembus, ia menghampiri sumber suara.Begitu melihat sahabatnya sedang terdesak dalam keadaan setengah telanjang, tangan Ridan langsung terkepal erat. Tanpa membuang waktu, pria itu menarik Ares dari atas Vela.“Kurang ajar kau!” Buk! Sebuah pukulan pun mendarat pada rahang si pria bejat. Ares seketika terhuyung-huyung dan jatuh ke lantai. Bukannya merasa sakit atau bersalah, pria itu malah tertawa.“Aku sudah memasukimu, Vela. Aku berhasil merebutnya,” seru pria licik
Begitu membuka mata, Vela langsung disambut oleh sahabatnya. Alih-alih menjawab sapaan, perempuan itu hanya diam sembari bertanya-tanya. “Kenapa ada Ridan?” pikirnya heran.Tiba-tiba, bayangan wajah Ridan saat sedang menggarapnya melintas cepat. Sontak saja, Vela terbelalak dan beranjak dari tidur.
“Apakah kamu diam-diam mencintaiku?” tanya Vela sukses membuat sahabatnya terbelalak. Setelah satu kedipan tegas, desah tawa pun terlepas dari mulut Ridan.“Kenapa kamu bertanya begitu? Kamu mabuk, ya?” timpal sang pria sembari menggeleng-geleng tak habis pikir. “Pertanyaanmu konyol, Vel.”“Lalu kenapa kamu meminta hal semacam itu? Bukankah selama ini kita sepemikiran? Kita hanya akan melakukan seks dengan orang yang kita cinta setelah menikah?” tanya Vela yang meragukan sahabatnya.“Ya ... karena kondisi sekarang berbeda, Vel,” timpal pria itu sukses menyipitkan mata Vela. Memang tidak mudah untuk menyembunyikan getar suara dari perempuan yang telah lama mengenalnya.“Kamu gugup,” tuduh si pengamat sembari meruncingkan telunjuknya.“Enggak,” sanggah Ridan cepat.“Bohong!”“Enggak!”Cup! Tiba-tiba, Vela mendaratkan ciuman singkat pada bibir sahabatn
“M-Mama?” desah Vela dengan pelupuk yang terasa panas. Ia benar-benar tidak mengerti alasan sang ibu sangat marah kepadanya.“Tega kamu, Vela. Mama dan Papa selalu percaya sama kamu. Tapi sekarang, kamu malah bikin kami kecewa,” ucap Nyonya Aster dengan suara bergetar. Deru napasnya yang memanas semakin membuat Vela terluka.“Mama sabar dulu. Ini ada apa? Aku benar-benar enggak mengerti,” bujuk sang putri dengan suara pelan. Tangan kurusnya tampak ragu untuk menyentuh sang ibu.“Kamu jangan pura-pura bodoh, Vela. Ares sudah menceritakan semuanya,” sahut Nyonya Aster sukses membekukan kebingungan putrinya.“Ares?” gumam Vela keheranan.Tiba-tiba, seorang pria muncul dari pintu ruang tamu. Dengan senyum sok lugu, laki-laki itu menyapa, “Maaf Vela, aku terpaksa menceritakan semuanya.”Darah
“Jawab, Vela! Apa benar, kamu hamil?” tanya Nyonya Aster dengan bola mata bergetar hebat. Kedua tangannya terkepal erat di atas pangkuan.Perempuan yang tidak pernah berbohong kepada sang ibu pun sontak menunduk. Ia tidak mampu bertatapan langsung, takut jika kebohongannya terkuak sebelum sempat dilancarkan.Sadar akan kekhawatiran Vela, Eridan langsung mengambil tindakan. Dengan santai, ia menyelipkan tangannya ke balik jemari si perempuan. Setelah menggenggam erat dan memberikan satu anggukan, pria itu menghadap calon mertuanya tanpa keraguan.“Ya, Vela sedang mengandung anak kami,” ujar pria yang tidak kenal takut. Bisa-bisanya ia mengakui sesuatu yang mampu menimbulkan bencana. Orang tua mana yang tidak histeris jika mengetahui putrinya hamil di luar nikah?Napas Nyonya Aster kini menderu. Matanya sudah kembali dipenuhi guratan merah. Sambil membuang muka, ia berusaha meredakan emosi. Tangannya terus bergerak me
Vela dan Eridan kompak tertawa datar. Mereka tidak menyangka bahwa kakak kelas yang terkenal judes itu bisa berpikir sangat maju."Cece ini ada-ada saja. Enggak mungkin kami pura-pura. Sahabat naik ke pelaminan itu hal yang biasa," tutur Eridan yang pandai bersilat lidah."Kalau begitu, lakukan yang tadi kuminta," celetuk Celine dengan tangan terlipat di depan dada. Gesturnya seperti menantang.“T-tapi, apa pose berciuman enggak terlalu vulgar untuk dijadikan foto prewedding?” timpal Vela sontak mengundang keheranan. Bahkan, si calon suami terkejut mendengar keluguannya. Detik itu juga, Eridan sadar bahwa ia harus maju melindungi kebohongan.“Sudahlah, Sayang. Enggak perlu malu. Kamu kan mahir melakukannya,” ledek Eridan mendobrak kekakuan. Tangannya kini sudah tidak ragu menyentuh tubuh langsing Vela. Ia mulai bisa menguasai keadaan.“Sebenarnya, tujuanku hanya ingin mencairkan keteg
“Hebat sekali!” seru Ares lantang. “Ternyata … seorang pria tega meninggalkan kekasihnya untuk menikah dengan perempuan lain,” hasutnya seraya menggelengkan kepala.“Hentikan omong kosongmu, Ares! Eridan sudah enggak ada hubungan lagi dengan Cassie,” sahut Vela dengan suara bergetar. Pria di sebelahnya pun tergerak untuk memegang tangannya, mengisyaratkan sang istri untuk mengendalikan emosi.“Tega kamu, Eri!” ujar Cassie menyebutkan panggilan akrabnya untuk Eridan. Wanita yang berdiri di hadapan panggung pelaminan itu semakin terisak. Telunjuknya teracung dengan penuh kegeraman.“Sejak dulu, aku memang sudah curiga pada kalian. Setiap kita jalan, kamu selalu menyebut nama Vela. Setiap kita berbincang, selalu perempuan itu yang kamu ceritakan. Dan sekarang, kamu menikahinya?”Tiba-tiba, mempelai pria tertunduk dan mendengus. Begitu ke
“Ridan ...,” panggil Vela ketika baru keluar dari kamar mandi. Perempuan itu agak ragu menunjukkan tubuhnya yang hanya terbalut pakaian tipis. “Menurut kamu, bagus enggak?”Mata sang suami pun membulat. Pupilnya melebar, sementara detak jantungnya meningkat cepat. Posisinya tidak lagi bersandar pada bantal, melainkan duduk tegak agar pemandangan di depannya terlihat lebih jelas.“Buset! Kenapa kamu pakai kantong buah?” ledek pria yang tidak berkedip itu. Ucapannya memang bertentangan dengan kata hati.“Kok kantong buah, sih?” protes Vela dengan alis berkerut.“Kamu pernah beli buah, kan? Longan atau jeruk kecil? Yang biasa digantung. Kantongnya juga berjaring-jaring seperti itu. Warnanya sama pula … merah,” celetuk Eridan sambil mengangkat kedua tangannya untuk membingkai keindahan yang enggan diakuinya. Ia malah menyamakan pakaian me
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar