“Hebat sekali!” seru Ares lantang. “Ternyata … seorang pria tega meninggalkan kekasihnya untuk menikah dengan perempuan lain,” hasutnya seraya menggelengkan kepala.
“Hentikan omong kosongmu, Ares! Eridan sudah enggak ada hubungan lagi dengan Cassie,” sahut Vela dengan suara bergetar. Pria di sebelahnya pun tergerak untuk memegang tangannya, mengisyaratkan sang istri untuk mengendalikan emosi.
“Tega kamu, Eri!” ujar Cassie menyebutkan panggilan akrabnya untuk Eridan. Wanita yang berdiri di hadapan panggung pelaminan itu semakin terisak. Telunjuknya teracung dengan penuh kegeraman.
“Sejak dulu, aku memang sudah curiga pada kalian. Setiap kita jalan, kamu selalu menyebut nama Vela. Setiap kita berbincang, selalu perempuan itu yang kamu ceritakan. Dan sekarang, kamu menikahinya?”
Tiba-tiba, mempelai pria tertunduk dan mendengus. Begitu ke
“Ridan ...,” panggil Vela ketika baru keluar dari kamar mandi. Perempuan itu agak ragu menunjukkan tubuhnya yang hanya terbalut pakaian tipis. “Menurut kamu, bagus enggak?”Mata sang suami pun membulat. Pupilnya melebar, sementara detak jantungnya meningkat cepat. Posisinya tidak lagi bersandar pada bantal, melainkan duduk tegak agar pemandangan di depannya terlihat lebih jelas.“Buset! Kenapa kamu pakai kantong buah?” ledek pria yang tidak berkedip itu. Ucapannya memang bertentangan dengan kata hati.“Kok kantong buah, sih?” protes Vela dengan alis berkerut.“Kamu pernah beli buah, kan? Longan atau jeruk kecil? Yang biasa digantung. Kantongnya juga berjaring-jaring seperti itu. Warnanya sama pula … merah,” celetuk Eridan sambil mengangkat kedua tangannya untuk membingkai keindahan yang enggan diakuinya. Ia malah menyamakan pakaian me
“Jangan bercanda, Ridan!” seru Vela semakin panik.“Akh! Vela!” erang sang pria tidak main-main. Tangannya telah kembali terkepal di samping kepala sang istri. “Kamu jangan menghancurkan masa depanku!”“Lagian … siapa suruh punya barang besar begitu?” timpal Vela asal. Ia tidak bisa lagi berpikir jernih. “Cepat keluarkan!”“Makanya, kamu kasih jalan!”“Bagaimana caranya?” tanya perempuan yang bernapas tersengal-sengal itu.“Relaks!”“Enggak bisa!”“Coba atur napas! Tarik, lalu embuskan!”“Kamu pikir aku mau melahirkan?” omel Vela. “Enggak bisa, Ridan.”“Harus bisa! Kalau enggak, kita bakal terus seperti ini,” desak Eridan dengan tatapan
“Kamu kenapa, sih? Masih belum puas sama yang semalam?” tanya Vela dengan kerut alis yang begitu menakutkan. Perempuan itu sangat terusik oleh kelakuan pria yang masih bersandar di tubuhnya.“M-maaf, Vel. Aku … enggak sadar,” jelas Eridan sembari beranjak dari “bantalnya”. Dengan ekspresi yang masih beku, pria itu merapatkan kedua telapak tangannya sebagai wujud permohonan ampun.“Enggak sadar?” selidik perempuan yang ikut duduk sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. Kali ini, ia merasa tidak aman tanpa busana.“Y-ya. Tadi, aku bermimpi. Aku enggak tahu kalau tanganku ternyata bergerak sendiri,” jelas Eridan tidak ingin sang istri salah sangka.“Memangnya, apa yang kamu mimpikan?” tanya Vela dengan kepala sedikit mendongak.“Ah … itu … aku bermimpi lagi membuat adonan pempek. Iya, lagi bikin pempek,” bohong Eridan berusaha menghindari kemarahan sang istri. Akan tetapi, kerut alis perempuan itu ma
“Apakah itu bus tur kita?” bisik Vela yang membungkuk di belakang Eridan. Mereka berdua sedang mengintip dari balik sebatang pohon dekat parkiran.“Sepertinya begitu,” sahut laki-laki sambil tetap fokus mengamati keadaan di dalam bus.“Tapi, apakah tur bulan madu biasanya menggunakan bus dan ramai-ramai seperti itu?” tanya Vela meragukan. Pria di depannya pun mengangkat bahu.“Aku juga tidak tahu, Vel,” jawab Eridan singkat.“Jadi, kita harus bagaimana sekarang? Pihak hotel enggak mau memberitahukan identitas si pemesan. Aku yakin, ini pasti rencana Ares,” tuduh perempuan yang begitu yakin. Nama Ares sudah sangat buruk di matanya. “Apa kita pulang saja? Enggak perlu ikut tur itu?”“Apa kamu enggak tertarik ikut tur itu?” tanya Eridan tanpa disangka. Pikirannya ternyata berbeda dengan sang istri.
Tiba-tiba, Eridan menempatkan tangannya di pundak Vela. Perempuan itu pun tersentak dan hampir saja berteriak. “Ridan!” tegurnya dengan suara pelan. Kerut alis Vela telah melukiskan keterkejutan sekaligus ketakutan.“Ih, kok kaget, sih? Aku cuma mau mengajak kamu kabur. Kita naik ke mercusuar saja, yuk! Mumpung masih buka,” ajak sang pria seraya menunjuk bangunan setinggi 65 meter di belakang mereka.Si perempuan otomatis mendongak memeriksa puncak yang dicat dengan warna merah. Dari atas sana, pembunuhan yang diceritakan sang pemandu pasti terlihat jelas. Spontan saja, Vela menggeleng untuk mengusir pemikiran aneh dalam otaknya.“Enggak mau? Pemandangan di puncak mercusuar enggak kalah indah dibandingkan dengan pemandangan dari Menumbing, loh. Di sana, kamu pasti merasa seperti Rapunzel,” bujuk Eridan sembari memasang tampang memikat.“Rapunzel? Serius?&rdqu
“Kamu enggak sanggup melihat Cassie sama Ares?” terka Vela mengungkapkan prihatin. Sebelah sudut bibir Ridan sontak terangkat walau berat.“Tadi, ya … aku marah. Bagaimana mungkin, dia bisa menemukan penggantiku secepat ini, dan itu Ares? Padahal, kemarin dia masih mengamuk di pernikahan kita,” ujar Eridan jujur. Tatapannya menerawang pilu. Selang keheningan sejenak, lengkung bibir yang lebih ringan tertuju pada Vela.“Tapi, begitu aku keluar dari mercusuar dan menginjak tanah, tiba-tiba saja, aku sadar kalau Cassie itu masa lalu aku, sedangkan masa depanku ada di sini,” ucap sang pria dengan nada yang berbeda. Ia terdengar sehangat sentuhan jemarinya. “Untuk apa aku berlari mengejar masa lalu, sementara masa depanku selalu ada di sampingku?”Alih-alih terenyuh, Vela malah mendesah tak senang. “Ridan, kalau kamu masih mencintai Cassie, kamu seharusnya memperjuangkan dia. Masa depanmu masih bisa diubah, tapi hatimu sepertinya sudah m
Begitu Vela mengambil napas, Eridan dapat melihat getar bibir merah yang baru saja memanjakan hasrat. Kini, sang pria mengerti alasan Vela menuduhnya gugup, yaitu untuk meredakan ketegangan dalam dirinya sendiri.Tiba-tiba, sang wanita meraih tangan sang suami. Dengan lembut, dipandunya telapak besar Eridan untuk menemui bukit kembar.“Ini yang kamu lihat dalam mimpi, kan?” tanya Vela sambil menekan jemari sang pria agar masuk ke kulitnya lebih dalam. “Lakukanlah! Aku enggak bakal marah.”Glek!Eridan kesulitan menelan ludah. Ia tidak tahu jika Vela memiliki pesona yang mematikan. Ketika perempuan itu membiarkan tangannya mandiri, pria itu malah mematung. Haruskah ia memenuhi egonya, atau menyadarkan logika yang mulai terkikis? Eridan tidak mampu berpikir.“Apakah sesulit itu melupakan Cassie?” tanya Vela salah paham. Ia mengira bahwa suaminya
“Bagaimana ini, Ridan? Aku belum hamil,” ujar Vela begitu keluar dari kamar mandi. Pria yang menunggunya di kasur pun ikut mengerutkan alis. Ia sendiri bingung dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan rencana.“Kalau Mama tahu, kita harus bilang apa?” desah Vela sambil mengenakan pakaian.“Apa kita mengaku saja? Kita jelaskan semuanya kepada Mama,” usul Eridan tak yakin.“Berarti, kita harus siap menghadapi kekecewaan Mama, dong?” timpal wanita yang merasa bersalah karena telah berdusta.“Ya, mau bagaimana lagi? Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Kita enggak bisa menyembunyikan kebohongan selamanya, Vel,” tutur Eridan bijak. Sang istri pun mengakui kebenaran dari perkataannya. Wanita itu kini menatap langit-langit dan menghela napas berat. Malam nanti, ia harus mengungkapkan fakta kepada sang ibu.***“Sst, Ridan … coba lihat celanaku. Tembus, enggak?” bisik Ve
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar