Vela terduduk lesu di kursi dekat meja rias milik sepupunya. Dengan kepala tertunduk dan bahu terkulai, perempuan itu hanya mampu menatap lantai. Tanpa sadar, setetes air mata bergulir menuruni pipinya.
“Vela ... kok menangis?” tanya Ridan yang baru saja menekuk lutut di hadapan sang sahabat. Dengan ibu jari, ia menghapus jejak kesedihan di wajah muram itu.
“Maafkan aku, Ridan. Aku sudah menyeret kamu ke dalam masalah besar,” tutur Vela lirih.
“Masalah besar apa, sih? Kamu tenang saja. Setelah ini, Oma Stela mau mengajak kita bicara, kan? Kita jelaskan yang sebenarnya,” hibur Ridan seraya mengangkat sudut bibirnya.
“Mereka enggak bakal percaya, Ridan, termasuk Oma,” gumam Vela dengan suara serak. Ujung dagu wanita itu kini mulai berkedut menahan kekhawatiran. “Kalau Oma memaksa kita menikah, bagaimana?”
“Ya, kita langsung atur tanggal,” celetuk sang pria santai. Tawa singkat pun terlepas bersamaan dengan isakan.
“Jangan bercanda, deh! Ini tuh lagi serius. Kita kan, sama-sama mau menikah dengan orang yang kita cinta. Kalau kita berdua menikah, Cassie bagaimana? Pangeran impianku bagaimana?” ucap Vela sembari menahan panas kerongkongannya.
“Kok, kamu malah membahas Cassie lagi? Dia sudah aku buang dari hidupku, seperti bagaimana dia melempar cincin pemberianku ke semak-semak. Jadi mulai sekarang, jangan sebut nama dia lagi. Mengerti?” pinta Ridan sambil menaikkan kedua alisnya. Sang sahabat pun mengangguk kecil.
“Terus, solusinya apa?” tanya perempuan yang sudah berhenti menangis.
“Solusi apa?” balas sang pria dengan raut bingung.
“Masalah ini. Kalau mereka mengira kita benar-benar melakukan itu,” ujar Vela seraya menghindar dari tatapan pria di hadapannya.
“Suruh saja mereka melakukan tes keperawanan,” jawab Ridan sambil menggoyang-goyangkan dua jari di depan ekspresi usilnya. Sang wanita pun mengernyit.
“Ih, Ridan, jangan jorok deh!” celetuk Vela sembari menghentikan gerak jari sahabatnya.
“Apanya yang jorok? Kan, memang begitu cara mendeteksinya,” gurau sang pria sambil mencoba lepas dari genggaman sahabatnya.
“Iya, tahu, tapi enggak perlu diperagakan juga. Lagipula, itu melanggar hak asasi wanita, tahu?” timpal Vela yang tidak membiarkan jemari Ridan lolos dari cengkeramannya. Tawa puas laki-laki itu pun terdengar.
“Makanya, kamu enggak usah berpikiran yang macam-macam. Sekarang mumpung lagi di depan cermin, kita perbaiki make up kamu,” tutur Ridan sembari berdiri dan memutar arah duduk sahabatnya. Selang tiga detik, perempuan itu sudah duduk menghadap meja rias.
“Gila! Banyak banget make up-nya. Ini apa saja, Vel?” tanya Ridan yang sibuk memperhatikan berbagai jenis kosmetik milik Sagita. “Selagi menunggu, mau aku rias enggak?” tawar laki-laki itu kemudian. Sebuah kuas tebal terayun-ayun di tangannya.
“Memangnya, kamu bisa?” timpal Vela meragukan.
“Ya, bisa. Sekarang kamu duduk yang tegak. Aku mulai dari rambut dulu,” ujar Ridan seraya mengambil sisir.
Tanpa mempertimbangkan helaian rambut yang kusut, laki-laki itu menarik sisir dengan tenaga penuh. Kepala sang wanita sampai mendongak mengimbangi tarikannya.
“Akh, Ridan! Sakit! Pelan-pelan, dong,” omel Vela sambil menggosok-gosok kulit kepalanya yang berdenyut.
“Hehe, maaf. Terlalu bersemangat. Lagian, rambut kamu tebal, sih,” timpal Ridan dengan telapak tangan sudah merapat memohon ampun.
“Bagus dong, itu artinya subur. Ayo, lanjut!” pinta Vela sambil kembali duduk tegak.
“Siap!” Dengan hati-hati, Eridan melanjutkan tugasnya.
“Nah, begitu dong! Yang lembut. Kan, enak jadinya,” puji perempuan yang terus memperhatikan gerak sahabatnya lewat cermin.
Tanpa kedua orang itu ketahui, wajah seorang wanita yang mendengarkan dari luar sedang meringis. Setelah bergidik jijik, ia pun pergi menjauhi pintu yang tadi hendak diketuknya.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” gumam Tante Helena sambil berjalan cepat. Wanita itu ingin segera menyampaikan kabar kepada yang lain. “Bikin malu keluarga saja.”
***
“Coba lihat! Bagus, kan?” tanya Ridan begitu selesai mengoleskan lipstik milik Vela. Wanita itu bersikeras tidak mau menyentuh kosmetik di atas meja rias. Satu-satunya benda yang ia pinjam hanyalah sisir.
“Akhirnya ya, setelah tiga kali percobaan. Hasilnya cukup bagus,” canda perempuan yang sesungguhnya puas dengan bayangan di cermin.
“Ngomong-ngomong, sudah jam berapa ini, Vel? Pestanya selesai kapan, ya?” tanya Ridan seraya memeriksa jam tangannya.
“Kenapa? Kamu sudah lapar?” terka Vela akurat. Sang pria sontak memegang perut dan mengangguk.
“Mau aku ambilkan makanan? Kita makan di sini saja. Aku juga lapar, sih,” bisik Vela seraya ikut menggosok perut.
Ceklek! Kedua orang dalam ruangan itu pun kompak menoleh ke arah pintu. Detik berikutnya, tampang kesal Oma Stela langsung menjawab keterkejutan mereka. Sontak saja, Vela beranjak dari kursi rias.
“Oma ...” ucap perempuan yang tidak tahu harus menjelaskan dari mana.
“Kamu keluar dari kamar ini, Vela!” perintah sang nenek sambil duduk di kursi yang masih hangat. Mata cucunya itu pun membulat.
“Aku keluar?”
“Oma mau bicara empat mata dengan laki-laki ini,” jelas sang wanita tua dengan tegas.
“Tapi Oma, Ridan enggak salah apa-apa. Kami berdua enggak pernah tidur bareng, Oma.“
“Jangan melawan perintah, Vela!” hardik sang nenek sukses membungkam mulut cucunya.
“Oma ….”
“Ayo Vela, keluar dari sini,” ajak Tante Claudia sembari memegangi pundak keponakannya. “Kamu tunggu saja di bawah bersama sepupumu yang lain.”
Dengan tatapan melekat pada Eridan, Vela akhirnya melangkah menuju pintu. Perasaannya tak nyaman. Firasat buruk telah tertanam dalam hatinya. Begitu wajah laki-laki itu menghilang dari pandangan, Vela hanya mampu mengembuskan napas gelisah.
“Kita beri tepuk tangan untuk primadona malam ini,” seru Virgo ketika Vela menampakkan diri di hadapannya. Semua orang yang duduk santai di ruangan itu pun menuruti aba-aba. Keadaan seketika menjadi riuh.
“Hebat banget kamu, Vel,” sindir Orion yang sedang duduk di samping istrinya. “Aku saja baru berani bikin anak setelah menikah,” ujarnya seraya mengelus perut buncit si ibu hamil.
“Iya, benar-benar luar biasa, bikin malu saja. Nama besar keluarga Tjahyadi bisa tercoreng kalau dibiarkan terus,” celetuk Sagita sembari membuang muka.
Mendengar segala cacian yang ditujukan padanya, Vela pun mendengus kesal. “Kalian percaya dengan Ares? Dia itu cuma iri sama Ridan,” terangnya tak terima.
“Oh, begitu? Berarti, Mama aku iri sama kamu?” timpal Virgo yang telah melipat tangan di depan dada. Sang tertuduh pun tersentak.
“Maksudnya?” tanya Vela tak mengerti.
“Mama tadi enggak sengaja mendengar kelakuan kalian di kamar,” jelas anak Tante Helena singkat.
“Dengar? Dengar apa? Aku dan Ridan enggak melakukan apa-apa,” seru Vela yakin.
“Ck, kamu masih mau mengelak juga. Sudahlah, aku malas bicara sama pembohong,” tutur Virgo sembari mengangkat ponselnya ke depan wajah.
Detik berikutnya, tidak ada lagi yang memperhatikan Vela. Semua orang sibuk mengabaikan perempuan yang menurut mereka tidak punya harga diri. Sekalipun wanita itu masih bergeming mengharapkan pengertian, tidak ada kepercayaan yang berhasil ia dapat.
“Ck, seharusnya aku enggak usah datang ke sini,” gumam Vela seraya mencari tempat yang lebih tenang baginya. Ia sadar, tidak ada cara untuk mengubah anggapan orang-orang berpikiran sempit seperti sepupu-sepupunya.
Beberapa menit berselang, perempuan itu sudah melamun di tepi kolam renang. Tatapannya mengambang di permukaan air yang memantulkan langit malam. Sesekali, terdengar desah napas tak berdaya.
“Vela,” panggil seorang pria yang tiba-tiba sudah berdiri di balik punggungnya. Sang wanita pun mendongak.
“Hm? Ridan? Kamu sudah selesai bicara dengan Oma?” tanya Vela sembari berdiri.
Alih-alih menjawab, sang pria malah meraih tangan sahabatnya. Kebingungan sontak terlukis jelas pada alis Vela.
“Ridan?”
Senyum laki-laki itu pun semakin mempertebal keheranan. “Kamu percaya sama aku, kan?” tanya Eridan dengan penuh keseriusan. Mata si wanita kini berkedip tegang. Baru kali ini ia tidak bisa membaca raut wajah sahabatnya.
“Ya, tentu saja percaya. Memangnya ada apa, Ridan?” desah Vela yang terlalu cemas untuk menerka-nerka.
“Kalau begitu …” ucap sang pria seraya mulai menekuk sebelah kaki dan merendahkan badan, “Vela Tjahyadi, menikahlah denganku.”
Vela membeku di hadapan Ridan yang berlutut memegangi tangannya. Dengan tampang minim senyum, sulit untuk memastikan apakah pria itu bercanda atau tidak. Namun dengan cincin bermata satu yang berkilauan di tangannya, lamaran itu tentu bukan main-main.“K-kenapa kamu tiba-tiba melamarku? Kamu dipaksa Oma?” tanya Vela dengan canggung. Tanpa diduga, Eridan menggeleng santai.
“Sekarang, kamu tahu caranya berciuman,” ujar sang pria dengan senyum usilnya. Mendengar gurauan itu, pelupuk Vela akhirnya kembali berkedip.“Apa yang baru saja kamu lakukan? Kamu menciumku? Itu ciuman pertamaku, Ridan,” omel perempuan itu seraya menutupi mulut dengan tangan. Sangat disayangkan, bibir merah yang selalu dijaganya sudah tidak lagi suci. Sahabat terdekatnya telah menghancurkan fantasi indah Vela tentang ciuman p
“Karena aku cuma mau kasih keperawananku untuk laki-laki yang aku cinta. Prinsip itu masih sama, Ridan,” desah Vela mengharapkan pengertian. Sahabatnya pun terdiam sejenak.“Kamu melamarku … mengajak aku menikah bukan demi seks, kan? Hm?” tanya Vela dengan suara pelan. Selang keheningan sesaat, si calon suami akhirnya menghela napas panjang.
Keanehan mulai terjadi pada tubuh Vela. Selain debar jantung yang meningkat drastis, rasa gerah juga menyerang tubuhnya. Perempuan itu kini bergerak-gerak gelisah. Sesekali, desah lirih berembus dari mulutnya.“Ada apa, Vela?” tanya Ares sok perhatian.
“Ridan! Tolong aku! Ridan, Ridan!” teriak Vela yang tidak tahu harus meminta bantuan dengan cara apa. Ia bahkan tidak sempat berpikir untuk menjelaskan keadaan. Perempuan itu terlalu sibuk meronta-ronta, menghalangi Ares untuk merenggut kesuciannya.Sementara itu, pria yang mendengar namanya sontak terbelalak. “Vela?” gumam Ridan yang langsung merasakan adanya bahaya. Secepat angin yang berembus, ia menghampiri sumber suara.Begitu melihat sahabatnya sedang terdesak dalam keadaan setengah telanjang, tangan Ridan langsung terkepal erat. Tanpa membuang waktu, pria itu menarik Ares dari atas Vela.“Kurang ajar kau!” Buk! Sebuah pukulan pun mendarat pada rahang si pria bejat. Ares seketika terhuyung-huyung dan jatuh ke lantai. Bukannya merasa sakit atau bersalah, pria itu malah tertawa.“Aku sudah memasukimu, Vela. Aku berhasil merebutnya,” seru pria licik
Begitu membuka mata, Vela langsung disambut oleh sahabatnya. Alih-alih menjawab sapaan, perempuan itu hanya diam sembari bertanya-tanya. “Kenapa ada Ridan?” pikirnya heran.Tiba-tiba, bayangan wajah Ridan saat sedang menggarapnya melintas cepat. Sontak saja, Vela terbelalak dan beranjak dari tidur.
“Apakah kamu diam-diam mencintaiku?” tanya Vela sukses membuat sahabatnya terbelalak. Setelah satu kedipan tegas, desah tawa pun terlepas dari mulut Ridan.“Kenapa kamu bertanya begitu? Kamu mabuk, ya?” timpal sang pria sembari menggeleng-geleng tak habis pikir. “Pertanyaanmu konyol, Vel.”“Lalu kenapa kamu meminta hal semacam itu? Bukankah selama ini kita sepemikiran? Kita hanya akan melakukan seks dengan orang yang kita cinta setelah menikah?” tanya Vela yang meragukan sahabatnya.“Ya ... karena kondisi sekarang berbeda, Vel,” timpal pria itu sukses menyipitkan mata Vela. Memang tidak mudah untuk menyembunyikan getar suara dari perempuan yang telah lama mengenalnya.“Kamu gugup,” tuduh si pengamat sembari meruncingkan telunjuknya.“Enggak,” sanggah Ridan cepat.“Bohong!”“Enggak!”Cup! Tiba-tiba, Vela mendaratkan ciuman singkat pada bibir sahabatn
“M-Mama?” desah Vela dengan pelupuk yang terasa panas. Ia benar-benar tidak mengerti alasan sang ibu sangat marah kepadanya.“Tega kamu, Vela. Mama dan Papa selalu percaya sama kamu. Tapi sekarang, kamu malah bikin kami kecewa,” ucap Nyonya Aster dengan suara bergetar. Deru napasnya yang memanas semakin membuat Vela terluka.“Mama sabar dulu. Ini ada apa? Aku benar-benar enggak mengerti,” bujuk sang putri dengan suara pelan. Tangan kurusnya tampak ragu untuk menyentuh sang ibu.“Kamu jangan pura-pura bodoh, Vela. Ares sudah menceritakan semuanya,” sahut Nyonya Aster sukses membekukan kebingungan putrinya.“Ares?” gumam Vela keheranan.Tiba-tiba, seorang pria muncul dari pintu ruang tamu. Dengan senyum sok lugu, laki-laki itu menyapa, “Maaf Vela, aku terpaksa menceritakan semuanya.”Darah
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar