“Oma … Virgo datang!” sapa perempuan dengan perhiasan lengkap itu ceria. Berbeda dengan penyambutan terhadap Vela yang sangat tegang, senyum sang nenek kini malah terbentang lebar. Dengan penuh semangat, wanita tua itu menepuk-nepuk punggung cucu kesayangannya.
“Cucu Oma yang paling cantik ini selalu saja penuh kejutan. Terima kasih, ya, sudah datang,” ucap sang nenek sukses mengecilkan hati Vela. Perempuan malang itu kini menelan ludah dan tanpa sadar, melangkah mundur dari posisi semula. Ia sadar bahwa dirinya sudah terlupakan.
“Iya, dong. Ini acara ulang tahun Oma. Aku wajib datang, dan … bawa kado istimewa. Tada!” Virgo pun menunjukkan kotak kecil di tangannya. Mata keriput sang nenek sontak membulat dan bercahaya.
“Apa ini, Virgo? Jam tangan keluaran terbaru? Wah, bagus sekali! Terima kasih, Sayang,” seru Oma Stela seraya mengangkat jam tangan bertabur berlian itu lebih tinggi agar pantulan cahayanya terlihat lebih indah.
“Vela, are you okay?” bisik Ridan yang sudah berdiri di dekat sahabatnya. Kepala Vela yang semula tertunduk pun kembali tegak.
“Ah, ya,” angguk wanita itu sambil memaksakan senyum. Dengan gerak kepala kaku, ia pun menoleh ke arah sang nenek yang sibuk mendengarkan penjelasan Virgo tentang kado spesialnya.
“Hm, Oma …. Kami ke sana, ya. Mau menyapa yang lain,” tutur Vela dengan suara bergetar.
“Ya, ya,” sahut sang nenek dengan hanya melihat sekilas.
Setelah mengangguk kaku, cucu yang tidak dianggap itu melangkah gontai tanpa arah. Yang ia tahu, dirinya harus menjauh dari tontonan yang menyakitkan itu.
“Vel, kamu yakin, baik-baik saja?” tanya Ridan sembari menyentuh punggung yang tampak menyedihkan. Vela pun menghentikan langkah dan menoleh ke arah sahabatnya.
“Kamu lihat, kan? Itu baru Oma, belum yang lain. Kamu bisa bayangkan apa yang terjadi kalau aku datang sendirian. Miris. Pokoknya, setelah acara tiup lilin, kita langsung pulang. Oke?” jelas perempuan itu dengan senyum yang perlahan mulai pulih.
“Enggak makan, dong?” timpal Ridan sukses memancing tawa.
“Makan, dong. Kamu sudah lapar?” tanya Vela yang memang selalu perhatian kepada sahabatnya.
“Sedikit,” sahut sang pria seraya mengangkat telunjuk dan ibu jarinya.
“Kalau begitu,” ucap Vela sembari memutar kepala, menyisir kondisi sekitar, “kita makan kue saja, yuk! Sebelum tamu yang datang semakin ramai.”
Setelah anggukan setuju dari Ridan, kedua orang itu berjalan menuju sebuah meja panjang. Kue beraneka bentuk dan warna tersaji di sana.
“Eh, ada Vela ternyata,” sapa seorang wanita paruh baya dengan suara sedikit serak. Sontak saja, perempuan yang hendak mengambil kue, menoleh dengan tatapan tanya.
“Tante Helena … apa kabar?” balas Vela setelah melihat sosok yang memanggilnya.Detik berikutnya, ia sudah memutar badan.
“Baik. Ya, meskipun akhir-akhir ini sibuk. Acara ulang tahun seperti ini kan, butuh persiapan dan juga dana,” tutur wanita bergaun gemerlap itu menyindir.
“Hm … maaf ya, Tante, kalau aku enggak bantu apa-apa,” ucap perempuan yang merasa tak enak hati.
“Oh, santai saja. Sudah biasa, kan?”
Vela pun terdiam. Ia hanya bisa melirik ke arah Ridan yang menahan geram.
“Ngomong-ngomong, ini siapa? Pacar kamu?” tanya Tante Helena dengan telunjuk mengarah kepada pria di samping keponakannya.
“Eridan, Tante. Saya temannya Vela,” jawab laki-laki yang berinisiatif memperkenalkan diri. Tangannya dengan sopan menyodorkan salam.
“Teman?” selidik wanita yang menaikkan sebelah alis. Dengan ujung jemari, ia menyambut tangan sang pria.
“Iya, Tante,” sahut Vela membenarkan.
“Oh,” timpal Tante Helena dengan mata yang tak bisa lepas dari Ridan. “Baguslah,” gumamnya sebelum melangkah pergi.
Dari sudut mata, Vela dapat melihat laki-laki di sampingnya itu memiringkan kepala, menatap dengan penuh tanya. “Baguslah? Apa maksud dari ucapan itu? Positif atau negatif?” selidik Ridan.
“Sepertinya negatif,” jawab Vela yang sudah kembali menghadap meja. Tangannya kini mulai mengambil kue yang tadi belum sempat disentuhnya.
“Kenapa? Apa karena aku terlalu ganteng buat kamu?”
Tawa renyah si perempuan pun terdengar. “Justru sebaliknya. Kamu terlalu ‘biasa’. Mungkin menurut Tante Helena, kamu enggak memenuhi standar,” terang Vela sukses membangkitkan keheranan.
“Standar apa?”
“Standar kesuksesan. Itu tentang seberapa sempurna hidup seseorang. Menurut mereka, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi untuk bisa dikatakan sukses. Karier, reputasi, dan pasangan yang sebanding,” jelas Vela sembari berjalan menuju pojok ruangan. Di situ, tidak akan ada orang lain yang mendengarkan obrolan mereka.
“Coba kita ambil Virgo sebagai contoh. Dia desainer terkenal yang punya butik sendiri, sementara pacarnya sekarang pengusaha yang sudah mapan. Jadi, di mata keluarga besarku, dia sukses. Karena itu juga, dia menjadi kebanggaan Oma,” jabar perempuan itu sambil menjaga volume suaranya tetap rendah.
Tiba-tiba, Ridan menggeleng tegas. “Aku enggak mengerti. Apa gunanya menetapkan standar semacam itu?” tanya laki-laki yang mengerutkan alis. Vela pun mengangkat kedua bahu.
“Aku juga enggak mengerti dan enggak peduli,” ucap perempuan itu penuh dengan penekanan. “Karena standar itu, aku jadi diremehkan. Lulusan kampus terkenal, tapi masih belum dapat kerja? Sudah umur 26 tahun, tapi belum punya pacar? Bla bla bla …. Mereka itu enggak menghargai kerja keras aku untuk menjadi penulis yang hebat.”
Ridan kini mengangguk-angguk tanda mengerti. “Aku tahu. Kamu sudah sering cerita tentang itu,” timpalnya sebelum memasukkan sepotong tar buah ke dalam mulut. Sembari mengunyah, laki-laki itu mulai memperhatikan suasana pesta.
“Yang di sana itu, mereka sepupu kamu juga?” tanya Ridan ketika matanya menangkap gerombolan anak muda yang terlihat akrab.
“Ya. Orion, Leo, Sagita, Antlia, Caelum … sama pasangan masing-masing. Ditambah Virgo jadi lengkap,” sahut Vela menyebutkan nama semua sepupunya.
“Berarti, cuma adik kamu yang enggak hadir?” simpul Ridan cerdas.
“Yap! Anak Oma yang enggak datang juga cuma Papa,” jelas Vela singkat.
“Kupikir, cuma kamu yang enggak dianggap. Ternyata, Mama, Papa, dan adikmu juga?”
“Oh, enggak. Carina kan, guru piano yang punya banyak murid di Bangka, dan pacarnya sudah punya rumah sendiri. Jadi, dia termasuk memenuhi standar, sedangkan Papa … dia enggak tahu kalau aku diperlakukan seperti ini. Di depan Papa, mereka bersikap biasa saja kepadaku,” terang Vela dengan nada santai. Ia tampak sudah terbiasa menceritakan rahasianya kepada Ridan.
“Tapi, sejak kapan mereka seperti itu kepadamu? Perasaan, dulu ketika masih sekolah, kamu enggak pernah cerita tentang hal ini,” selidik Ridan penasaran.
“Ya memang, dulu waktu masih sekolah, aku termasuk cucu yang disayang. Aku kan, pintar,” ujar Vela memuji diri sendiri. Sudut bibir Ridan sontak naik karenanya.
“Cih, sombong,” celetuk laki-laki itu dengan nada bercanda. Tawa si perempuan pun terdengar sampai ketika memori kembali menciutkan keceriaannya.
“Aku baru ingat kalau dulu pernah dianggap. Semua mulai berubah sejak—“
“Negara api menyerang?” sela Ridan lagi-lagi meloloskan desah tawa Vela. Perempuan itu memang selalu bahagia setiap kali berada di dekat sahabatnya.
“Iya, sejak negara api menyerang,” timpal Vela membalas gurauan. Selang beberapa detik, barulah perempuan itu mengembalikan keseriusan.
“Dulu ketika kuliah selesai, kita dihadapkan pada kenyataan. Sejak itulah, penilaian standar dimulai dan aku langsung terjun payung di mata mereka. Apalagi, waktu aku menolak dijodohkan. Label anak sombong langsung tertempel di mukaku,” jabar Vela seraya memperagakan dengan tangan.
“Oh ya? Mana labelnya? Sini, biar aku lepas,” canda Ridan sembari mengangkat dagu sahabatnya dengan jemari. Seolah-olah sedang mencari, ia menggerakkan wajah Vela ke kiri dan ke kanan.
“Ih, Ridan! Kalau ada yang lihat, bisa salah sangka,” tegur sang wanita seraya menepis tangan yang masih menempel di bawah mulutnya.
“Oh, jadi ini laki-laki yang kamu pilih?” tanya seorang pria yang sedang mendekat. Spontan saja, Vela menoleh ke belakang. Begitu matanya menangkap sosok angkuh yang tersenyum sinis, spontan saja, helaan napas Vela terdengar sangat lelah. Hanya berselang tiga detik, sebuah senyum ia paksakan terbit.
“Ares, apa kabar?” sapa Vela seadanya.
“Ck, haruskah aku menjawab baik? Aku sedang berdiri di depan perempuan yang pernah menolakku,” jawab pria itu dingin.
Lengkung bibir Vela otomatis berubah datar. Ares merupakan orang yang paling ingin dihindarinya. Namun kini, perempuan itu tidak punya pilihan lain. Dirinya harus tetap sopan meski hatinya meminta pergi. Tanpa ia ketahui, Ridan juga sedang memasang tampang tak senang. Laki-laki itu sadar bahwa Ares bukanlah pria yang layak untuk sahabatnya.“Ini cowok yang mau dijodohkan denganmu?” bisik Ridan yang masih terdengar oleh Ares. “Kok, bisa?”&ldq
Vela terduduk lesu di kursi dekat meja rias milik sepupunya. Dengan kepala tertunduk dan bahu terkulai, perempuan itu hanya mampu menatap lantai. Tanpa sadar, setetes air mata bergulir menuruni pipinya.
Vela membeku di hadapan Ridan yang berlutut memegangi tangannya. Dengan tampang minim senyum, sulit untuk memastikan apakah pria itu bercanda atau tidak. Namun dengan cincin bermata satu yang berkilauan di tangannya, lamaran itu tentu bukan main-main.“K-kenapa kamu tiba-tiba melamarku? Kamu dipaksa Oma?” tanya Vela dengan canggung. Tanpa diduga, Eridan menggeleng santai.
“Sekarang, kamu tahu caranya berciuman,” ujar sang pria dengan senyum usilnya. Mendengar gurauan itu, pelupuk Vela akhirnya kembali berkedip.“Apa yang baru saja kamu lakukan? Kamu menciumku? Itu ciuman pertamaku, Ridan,” omel perempuan itu seraya menutupi mulut dengan tangan. Sangat disayangkan, bibir merah yang selalu dijaganya sudah tidak lagi suci. Sahabat terdekatnya telah menghancurkan fantasi indah Vela tentang ciuman p
“Karena aku cuma mau kasih keperawananku untuk laki-laki yang aku cinta. Prinsip itu masih sama, Ridan,” desah Vela mengharapkan pengertian. Sahabatnya pun terdiam sejenak.“Kamu melamarku … mengajak aku menikah bukan demi seks, kan? Hm?” tanya Vela dengan suara pelan. Selang keheningan sesaat, si calon suami akhirnya menghela napas panjang.
Keanehan mulai terjadi pada tubuh Vela. Selain debar jantung yang meningkat drastis, rasa gerah juga menyerang tubuhnya. Perempuan itu kini bergerak-gerak gelisah. Sesekali, desah lirih berembus dari mulutnya.“Ada apa, Vela?” tanya Ares sok perhatian.
“Ridan! Tolong aku! Ridan, Ridan!” teriak Vela yang tidak tahu harus meminta bantuan dengan cara apa. Ia bahkan tidak sempat berpikir untuk menjelaskan keadaan. Perempuan itu terlalu sibuk meronta-ronta, menghalangi Ares untuk merenggut kesuciannya.Sementara itu, pria yang mendengar namanya sontak terbelalak. “Vela?” gumam Ridan yang langsung merasakan adanya bahaya. Secepat angin yang berembus, ia menghampiri sumber suara.Begitu melihat sahabatnya sedang terdesak dalam keadaan setengah telanjang, tangan Ridan langsung terkepal erat. Tanpa membuang waktu, pria itu menarik Ares dari atas Vela.“Kurang ajar kau!” Buk! Sebuah pukulan pun mendarat pada rahang si pria bejat. Ares seketika terhuyung-huyung dan jatuh ke lantai. Bukannya merasa sakit atau bersalah, pria itu malah tertawa.“Aku sudah memasukimu, Vela. Aku berhasil merebutnya,” seru pria licik
Begitu membuka mata, Vela langsung disambut oleh sahabatnya. Alih-alih menjawab sapaan, perempuan itu hanya diam sembari bertanya-tanya. “Kenapa ada Ridan?” pikirnya heran.Tiba-tiba, bayangan wajah Ridan saat sedang menggarapnya melintas cepat. Sontak saja, Vela terbelalak dan beranjak dari tidur.
“Kamu tunggu di sini, ya. Aku cari dulu di mana mainannya. Carina pasti meletakkannya sembarangan,” perintah Vela saat ia dan Eridan masuk ke rumah.“Oke! Jangan lama-lama, ya!”Anak laki-laki itu pun menurut dan langsung duduk di ruang tamu. Sambil celingak-celinguk, ia mengetuk-ngetuk jari pada batas celana merahnya di lutut.“Mainan ular yang seperti asli? Seperti apa bentuknya?” gumam bocah itu seraya mengingat penjelasan Vela tadi pagi. Selang beberapa detik, ia pun berteriak. “Sudah ketemu belum, Vel?”“Belum! Sabar!”Eridan kecil pun berdecak dan melangkah masuk ke ruang tengah. Ketika ia melewati lemari TV, kakinya berhenti. Matanya tertuju pada ular kecil berwarna hijau yang melintang di dekat kaki lemari.“Loh? Ini mainannya. Vel, sudah ketemu. Ada di sini.” Dengan berani, Eridan mencengkeram ekor ular dan membawanya menemui Vela.Di saat yang hampir bersamaan, gadis kecil itu menghampiri dengan senyum semringah. Tangannya sedang m
“Ridan, kamu masih berutang penjelasan kepadaku!” desak Vela ketika suaminya masuk ke dalam kamar. Ia bahkan tidak membiarkan pria itu mengenakan baju terlebih dulu.“Penjelasan apa sih, Vel?” desah Eridan seraya menarik celana dari lemari dan mengenakannya.“Kamu jangan pura-pura lupa, deh. Tentang ciuman pertama kita. Kenapa kamu menjawab di perpustakaan?”“Kalau aku jujur, kamu bakal marah, enggak?” tanya sang pria dengan sebelah alis terangkat. Dengan langkah santai, ia menghampiri istrinya yang duduk di ranjang.“Tergantung,” sahut Vela seraya mengangkat sebelah bahu.Dengan senyum misterius, Eridan ikut duduk di atas kasur. Sambil menatap istrinya lekat-lekat, ia pun memulai cerita. “Dulu itu, kita sering belajar di perpustakaan, kan? Tempatnya sepi, cocok untuk belajar tapi bikin mengantuk.”Mulut Vela tiba-tiba menganga tanpa suara. Setelah mengangguk-angguk, barulah perempu
“Ridan ... kamu harus membayar berapa untuk menyewa tempat ini?” bisik Vela ketika sang suami menarik tangannya memasuki sebuah gedung mewah. Dengan sudut bibir terangkat misterius, pria berkemeja merah itu mendekat ke telinga istrinya.“Tidak mahal, kok. Aku dapat diskon karena pemilik gedung ini berteman dekat dengan Roger.” Setelah mengedipkan sebelah mata, ia membawa istrinya masuk ke lift.“Terima kasih, ya, Ridan. Kamu sudah melakukan banyak hal untukku,” tutur sang wanita selagi lantai yang mereka pijak bergerak naik.“Vela, pesta bahkan belum dimulai, tapi kamu sudah berterima kasih kepadaku? Bagaimana kalau kamu simpan rasa syukurmu itu sampai tiga minggu lagi,” tutur Eridan seraya mengangkat alis. Dengus napas langsung berembus dari hidung istrinya.“Sampai kita boleh berhubungan, maksudmu?”“Tepat sekali
“Loh, Pa? Sepatu siapa ini?” tanya Nyonya Aster begitu mendapati sepatu asing di samping tempat anak bungsunya meletakkan sepatu.“Bukan sepatu Carina?” celetuk sang suami dengan raut tak acuh.“Bukan dong, Pa. Ukurannya saja besar begini,” terang sang istri heran.“Mama,” sapa seorang anak kecil berambut panjang. Mata bingung sang wanita sontak berubah hangat. “Eh, Carina ... kamu lagi apa?”“Nonton TV.”“Sama Kakak?” tanya sang ibu sambil menghampiri.“Sendiri.”“Tumben? Kakakmu mana?” tanya Nyonya Aster seraya membelai rambut putrinya.“Di kamar. Katanya mau mengerjakan tugas bareng teman.”“Teman?” Mata Nyonya Aster terbelalak. Setelah berkedip-kedip cepat, wanita
“Aku pergi ke bar itu karena Roger memintaku untuk menemaninya,” jawab Eridan seraya merapikan rambut Vela yang menutupi leher.“Kenapa dia mau ditemani? Apakah dia mau memperkenalkanmu kepada seseorang?” terka perempuan itu asal. Tanpa terduga, pria yang sedang duduk di tepi ranjang mengangguk dengan tampang datar. “Siapa?” Mata Vela otomatis membulat.“Orang tuanya.”Kerut alis si wanita sontak bertambah dalam. “Orang tuanya? Tapi, kenapa memilih tempat di bar?”“Karena bar itu milik orang tua Roger.”Mulut Vela spontan menganga. “Seorang pengacara memiliki bar?”Tawa kecil pun berembus dari mulut Ridan. “Bukan orang tua angkat Roger, Vel, tapi orang tua kandungnya.”Sang istri seketika berkedip-kedip heran. “Tunggu dulu. Jadi, Roger itu anak angkat?”Eridan kembali mengangguk. “Ya. Aku tidak bisa menceritakan secara rinci, tapi intinya, Roger dul
“Kamu sedang apa, Vel? Bukankah dokter bilang kamu enggak boleh melakukan aktivitas berat dulu?” tanya Eridan ketika mendapati istrinya sedang mencuci beras.“Memasak bukan aktivitas berat, Ridan.”“Tetap saja, kamu mengeluarkan energi ketika memasak,” protes pria yang berkacak pinggang di samping istrinya.“Bernapas juga mengeluarkan energi. Jadi, aku enggak boleh bernapas?” celetuk Vela menggemaskan. Sang suami langsung terpancing untuk mengecup bibirnya yang mengerucut.“Apa kamu lupa? Ada urusan penting yang harus kita selesaikan,” tutur Eridan seraya menaikkan alis.“Tunggu sampai aku selesai memasak, ya,” timpal Vela tanpa perlu mengingat-ingat. Hal itu sudah memenuhi otaknya sejak tadi malam, saat orang-orang yang menjenguknya sudah pulang.“Tidak usah memasak, Vela. Kita pes
“Kenapa Oma bertanya seperti itu?” selidik Vela tak langsung memberikan jawaban.“Karena saat bertemu dengan Ares, dia mengatakan seperti itu. Kalau memang benar demikian, maka pernikahan kalian tidak seharusnya dilanjutkan. Oma tidak akan memaksamu dengan pria mana pun lagi.”Deg! Jantung Vela sontak memompa darah lebih kencang. Ia tidak menyangka jika topik tentang perceraian kembali mencuat. “M-maksud Oma?” tanyanya pura-pura tak mengerti.“Ya, kalau memang benar itu alasan pernikahan kalian, maka sekarang kalian harus bercerai. Bukankah keadaan sudah berubah. Kamu tidak perlu seseorang untuk dijadikan tameng dari perjodohan.”Helaan napas pun berembus samar. Udara di sekitar Vela mendadak beku, sama dengan raganya yang mematung. Otaknya terlalu sibuk mencerna perintah neneknya.“Kenapa? Kamu tidak mau menceraikan Eridan?” tukas sang nenek sukses menarik kembali perhatian cucunya. Alis Vela kini
“Vela ..., ini aku, Vel. Eridan,” ucap sang pria dengan suara lembut dan pelan.Bukannya sadar, Vela malah semakin menunduk, menyembunyikan setengah wajah di balik lipatan tangan. Ketika sang suami melangkah maju, ia bahkan bergeser menjauh tanpa peduli batas kasur.“Vel, jangan takut ...” bisik Eridan yang terus berjalan. Sebelah tangannya pun terangkat perlahan, mencoba menaklukan kekalutan sang istri. Akan tetapi, semakin pendek jaraknya dengan pundak Vela, semakin gemetar tubuh wanita itu.“Vel,” panggil pria itu lembut. Tangannya telah berhasil menyentuh sang istri. Namun, belum sempat ia lanjut bicara, suara tangis sudah lebih dulu pecah.“Jangan takut, Vel. Ada aku di sini. Hm?” ucap Eridan ketika menyejajarkan pandangan. Alih-alih menjawab, perempuan itu hanya menggeleng-geleng tanpa kata.“Vela, tatap mataku,” pinta sang pria sembari memindahkan tangannya dari pundak menuju pipi sang istri.
“Kau yakin itu tidak apa-apa?” tanya pria yang mengernyit melihat darah di celana Vela. Tampangnya seperti baru saja memakan lemon yang sangat masam.“Astaga, Res. Kenapa kau pengecut sekali, sih? Itu cuma darah menstruasi. Tidak apa-apa. Kita saja pernah melakukannya ketika aku sedang dalam periode.”Selang keheningan sejenak, pria itu kembali menggeleng. “Tidak mungkin. Dia enggak memakai pembalut. Pasti itu bukan darah menstruasi.”Cassie pun menggaruk-garuk kepala tak habis pikir. “Jadi, sekarang, kau mau menyia-nyiakan semua usaha kita? Kau tinggal sedikit lagi mendapatkan Vela, Res. Come on!”“Tapi tidak dalam kondisi seperti ini, Cas. Kalau seandainya terjadi apa-apa pada Vela, bagaimana? Aku tidak mau dituduh sebagai pembunuh.”Helaan napas lelah kini berembus dari mulut si pencetus ide. “Ares, dar