Langkah anggun Ann-Mary berhenti di sebuah ruangan di lantai atas. Ann-Mary membuka ruangan itu dan masuk ke dalamnya. Dari depan pintu Clarabelle memandang seluruh isi ruangan yang lumayan besar. Clarabelle terpana. Ruangan itu seperti ruangan anak-anak. Dindingnya dicat putih dengan paduan biru terang dan merah.
Di dinding utama terpampang pigura besar dengan foto anak laki-laki. Ada rak yang penuh dengan buku dan maninan. Juga kotak-kota besar yang Clarabelle yakin juga penuh dengan mainan. Di tengah ruangan ada meja dan beberapa kursi ukuran anak-anak.
Ann-Mary duduk di salah satu kursi itu. Dia memberi isyarat agar Clarabelle masuk dan duduk di sebelahnya. Dengan penuh tanya, Clarabelle menurut. Apa yang Nyonya Hayden ini inginkan?
“Ini adalah ruang bermain Jordan dan James saat mereka anak-anak. Setiap hari mereka menghabiskan waktu di sini. Tertawa bersama, bercanda, dan mengkhayalkan banyak hal, mengembangkan imajinasi mereka.” Tanpa diminta,
“Tentu saja. Kamu adikku, aku akan rindu padamu.” James memandang Jordan dengan senyum lebar. Jordan menatap James tidak lega. Senyum masih di bibir, tetapi pandangan wajahnya jelas tidak senang dengan ucapan James. “Ayo, kita mulai saja. Ini momen yang jarang terjadi di rumah ini. Sepertinya awal yang baik untuk hari istimewa kamu, James.” Ann-Mary melihat pada putra sulungnya. “Maksudnya ulang tahunku?” James mengangkat alisnya. “Ya. Andai kita semua bisa berkumpul seperti ini.” Ann-Mary tersenyum. Tangannya menyendok sekali lagi sup dari mangkuk besar. “Tentu saja. Aku akan hadir di hari ulang tahun kakakku tercinta,” sahut Jordan. Dia menoleh pada Clarabelle. “Istriku tersayang juga pasti hadir, menemani aku, untuk memeriahkan acara ka-kak i-par.” Sengaja Jordan menyebutkan kata kakak ipar seperti dieja. Dia ingin menunjukkan kebahagiaannya karena bisa memiliki Clarabelle sebagai istrinya. Dugaan James pernikahannya hanya permainan
Hari-hari selanjutnya, suasana manis yang merajai waktu Clarabelle. Menjalani semua bersama Jordan terasa kembali menyenangkan. Tidak ada geram dan marah, tidak ada kabar menyebalkan yang membuat emosi naik. Sayangnya, keinginan Clarabelle untuk mengandung belum terwujud.Jordan hampir tiap malam menyentuh Clarabelle, melepaskan hasrat dan cintanya. Namun, Clarabelle masih kedatangan tamu bulanan.“Ayolah, kenapa harus gagal lagi? Aku ingin beri Jordan kejutan.” Clarabelle sedikit kecewa. Dia mulai sering membayangakn senyum lebar dam mata berbinar Jordan saat tahu Clarabelle mengandung.“Harus sabar. Mungkin sedikit lagi. Jangan putus asa, Lala.” Clarabelle menepuk pipinya, menghibur diri sendiri.Mengisi hari-harinya saat sendiri, Lala kembali membantu di toko kue. Dia senang bisa melakukan sesuatu meskipun bukan lagi uang tujuannya. Pemilik toko pun tidak keberatan kapan saja Clarabelle bisa datang dan membantu. Bagi Clara
Sudah lebih lima belas menit Susan masih memeluk Clarabelle dengan air mata terus berderai dan sesekali terdengar tangisan. Susan tidak ingin menangis. Tapi dia tidak sanggup menahan sedih dan marah di hatinya. Kecewa, sangat kecewa, itu yang dia rasa.Susan meninggalkan Lorenz dan menemui Clarabelle di toko. Clarabelle tentu saja terkejut Susan datang tiba-tiba dengan wajah berantakan. Clarabelle mengajak Susan bicara di satu ruang yang sepi.“Lorenz tidak sebagus pembungkusnya. Dia bukan playboy seperti Jordan, tapi dia lebih jahat menurutku.” Susan melepas pelukannya dan mengusap mata, pipi, dan seluruh wajahnya dengan tisu.Clarabelle memandang sahabatnya yang merasa hancur itu.“Jika dia tidak suka padaku, mengapa dia harus mempermalukan aku seperti itu, Lala. Lebih baik dia pura-pura tidak tahu, tetap bersikap wajar saja. Jahat, dia sangat jahat.” Susan menggeleng kepala dengan keras,“Jadi kamu sudah tahu apa ya
Jordan tampak mengingat-ingat. Dia merebahkan badan memandang langit-langit kamar. “Aku tidak terlalu memperhatikan. Tanpa sengaja saja aku mendengar dia bicara dengan salah satu pegawai. Kurasa teman akrab Lorenz di kantor. Dan mereka bicara tentang wanita. Apa mungkin itu Susan?” Jordan kembali memiringkan badan. Tangannya memainkan rambut Clarabelle yang bergelombang indah. “Susan menyukai Lorenz. Dia pindah ke perusahaan Hayden yang utama karena Lorenz. Aku …” Clarabelle menggantung kalimatnya. Dia merasa mungkin tidak tepat dia katakan itu pada Jordan. “Kenapa?” tanya Jordan. Dia menunggu Clarablle meneruskan kalimatnya. “Kurasa ini bukan hal yang penting buat kamu, Jordan.” Clarabelle jujur mengatakan pikirannya. “Hei … bagaimana kamu yakin aku akan mengganggap ini tidak penting?” Jordan menopang kepala dengan tangan dan menatap Clarabelle. “Ya … Susan itu sahabatku. Dia pegawai kamu. Tapi dia punya motivasi bekerja sebenarnya …
Lorenz mengetuk pintu kantor Jordan. Atasannya sedang duduk memandang layar di depannya, tapi terlihat wajahnya tegang. “Good morning, Mr. Hayden.” Lorenz menyapa lalu berjalan masuk mendekati meja Jordan. Jordan mengangkat mukanya melihat ke arah Lorenz. “Kamu sudah melakukan kesalahan, Lorenz. Aku tidak menyangka kamu bisa begitu ceroboh.” Lorenz mengangkat kedua alisnya, terkejut dengan kata-kata Jordan dan tidak paham Jordan sedang bicara soal apa. “Aku? Kesalahan apa?” tanya Lorenz. “Apa yang kamu lakukan pada Susan?” tanya Jordan balik. Lorenz makin terkejut. Mengapa Jordan tiba-tiba bertanya soal Susan. Memang Susan dan Lorenz ada masalah, tapi itu soal pribadi. Apa ada sesuatu yang lain yang Lorenz tidak tahu? “Aku … melakukan apa?” Lorenz tampak bingung. “Ah, kamu memang laki-laki aneh.” Jordan berdiri, melangkah mendekat, berdiri di sisi Lorenz. “Aku mau kamu bertemu Susan dan menyelesaikan urusan kalian. Aku
“Kamu wanita yang kuat. Susan sahabatku itu tidak semudah ini patah arang.” Clarabelle merangkul bahu Susan, ikut memandang ke kolam di depannya. Kembali terdengar bunyi dari ponsel Susan. Rasa marah dan sedih, belum pudar di hati Susan, dia angkat juga telpon dari Lorenz. “Susan, aku aku bertemu dan bicara dengan kamu.” Suara Lorenz terdengar di telinga Susan. Susan tidak menjawab. Dia tidak ingin berkata apa-apa. “I know, you are mad at me. But I really need to talk to you.” Suara Lorenz sedkit lebih keras dan bicaranya ditekan kuat. “Soal apa, Tuan?” Akhirnya Susan membuka mulutnya. “Kita bertemu baru aku akan jelaskan padamu.” Lorenz menolak mengutarakan di telpon. “Huuffhh …” Susan mengepalkan kedua tangannya, lalu mengembuskan nafas berat. “Satu kali saja, lalu kamu bisa menentukan langkahmu.” Kembali datar suara Lorenz. “Di mana? Kapan?” Susan pun bicara dengan datar. “Rumah Hayden, saat Tuan James berula
Jantung Susan berdenyut dengan cepat. Dia tidak bisa mengelak, Lorenz tampak sangat tampan di matanya. Berhadapan begitu dekat, Susan jujur mengaku, dia terpana. Namun, Susan menguatkan dirinya, dia tidak akan lemah pada pria yang tidak megnharapkannya dan merendahkan dirinya begitu rupa. “Kamu …” Lorenz memandang begitu lekat pada Susan. Susan mendongak, mengawasi dalam-dalam setiap bagian wajah Lorenz. Dia harus menaklukkan debaran hati dan rasa grogi yang makin merajai dadanya. “I love you, Susan.” Kata-kata itu … Susan seketika melotot, lebar. Tanpa sadar dia mundur dua langkah. “What?” gumamnya refleks. “I do.” Lorenz tidak bergerak. Matanya masih menghujam pada manik Susan yang belum kembali ke posisinya, menatap Lorenz tak percaya. “Aku sama sekali tidak mengerti. Kamu pria aneh.” Susan tidak gembira mendengar yang Lorenz katakan. Keterkejutannya justru karena dia merasa lagi-lagi Lorenz mempermainkan dia. Susan
Clarabelle terpaku, terdiam. Mendengar yang Jordan katakan, Clarabelle merasa tubuhnya gemetar. “Wanita jalang …” ucapnya lirih. Itu yang Jordan sebutkan tadi? Itu yang Jordan sematkan padanya. Benarkah seburuk itu Jordan memandang Clarabelle? James pun sama tidak bergerak dari posisinya. Dia masih memegangi pipinya yang panas karena tempelengan Jordan. Dengan tangan dingin dan tubuh terasa limbung, Clarabelle memandang lurus ke arah Jordan yang menghilang di keremangan dengan tergesa-gesa dan dipenuhi rasa marah. James mendekati Clarabelle. “I am sorry … I am really sorry …” Clarabelle tidak menjawab. Butiran bening tumpah seketika dari kedua bola matanya. Hancur, itu yang dia rasa. Kenapa terjadi lagi kesalahpahaman seperti ini? James dan Jordan baru saja memulai hubungan baik, sedikit akur. Jordan belum sepenuhnya bisa memaafkan James. Dia baru menyisihkan rasa kesal yang selama ini bertumpuk di hati terhadap kakaknya itu. Astaga …