Sudah lebih lima belas menit Susan masih memeluk Clarabelle dengan air mata terus berderai dan sesekali terdengar tangisan. Susan tidak ingin menangis. Tapi dia tidak sanggup menahan sedih dan marah di hatinya. Kecewa, sangat kecewa, itu yang dia rasa.
Susan meninggalkan Lorenz dan menemui Clarabelle di toko. Clarabelle tentu saja terkejut Susan datang tiba-tiba dengan wajah berantakan. Clarabelle mengajak Susan bicara di satu ruang yang sepi.
“Lorenz tidak sebagus pembungkusnya. Dia bukan playboy seperti Jordan, tapi dia lebih jahat menurutku.” Susan melepas pelukannya dan mengusap mata, pipi, dan seluruh wajahnya dengan tisu.
Clarabelle memandang sahabatnya yang merasa hancur itu.
“Jika dia tidak suka padaku, mengapa dia harus mempermalukan aku seperti itu, Lala. Lebih baik dia pura-pura tidak tahu, tetap bersikap wajar saja. Jahat, dia sangat jahat.” Susan menggeleng kepala dengan keras,
“Jadi kamu sudah tahu apa ya
Jordan tampak mengingat-ingat. Dia merebahkan badan memandang langit-langit kamar. “Aku tidak terlalu memperhatikan. Tanpa sengaja saja aku mendengar dia bicara dengan salah satu pegawai. Kurasa teman akrab Lorenz di kantor. Dan mereka bicara tentang wanita. Apa mungkin itu Susan?” Jordan kembali memiringkan badan. Tangannya memainkan rambut Clarabelle yang bergelombang indah. “Susan menyukai Lorenz. Dia pindah ke perusahaan Hayden yang utama karena Lorenz. Aku …” Clarabelle menggantung kalimatnya. Dia merasa mungkin tidak tepat dia katakan itu pada Jordan. “Kenapa?” tanya Jordan. Dia menunggu Clarablle meneruskan kalimatnya. “Kurasa ini bukan hal yang penting buat kamu, Jordan.” Clarabelle jujur mengatakan pikirannya. “Hei … bagaimana kamu yakin aku akan mengganggap ini tidak penting?” Jordan menopang kepala dengan tangan dan menatap Clarabelle. “Ya … Susan itu sahabatku. Dia pegawai kamu. Tapi dia punya motivasi bekerja sebenarnya …
Lorenz mengetuk pintu kantor Jordan. Atasannya sedang duduk memandang layar di depannya, tapi terlihat wajahnya tegang. “Good morning, Mr. Hayden.” Lorenz menyapa lalu berjalan masuk mendekati meja Jordan. Jordan mengangkat mukanya melihat ke arah Lorenz. “Kamu sudah melakukan kesalahan, Lorenz. Aku tidak menyangka kamu bisa begitu ceroboh.” Lorenz mengangkat kedua alisnya, terkejut dengan kata-kata Jordan dan tidak paham Jordan sedang bicara soal apa. “Aku? Kesalahan apa?” tanya Lorenz. “Apa yang kamu lakukan pada Susan?” tanya Jordan balik. Lorenz makin terkejut. Mengapa Jordan tiba-tiba bertanya soal Susan. Memang Susan dan Lorenz ada masalah, tapi itu soal pribadi. Apa ada sesuatu yang lain yang Lorenz tidak tahu? “Aku … melakukan apa?” Lorenz tampak bingung. “Ah, kamu memang laki-laki aneh.” Jordan berdiri, melangkah mendekat, berdiri di sisi Lorenz. “Aku mau kamu bertemu Susan dan menyelesaikan urusan kalian. Aku
“Kamu wanita yang kuat. Susan sahabatku itu tidak semudah ini patah arang.” Clarabelle merangkul bahu Susan, ikut memandang ke kolam di depannya. Kembali terdengar bunyi dari ponsel Susan. Rasa marah dan sedih, belum pudar di hati Susan, dia angkat juga telpon dari Lorenz. “Susan, aku aku bertemu dan bicara dengan kamu.” Suara Lorenz terdengar di telinga Susan. Susan tidak menjawab. Dia tidak ingin berkata apa-apa. “I know, you are mad at me. But I really need to talk to you.” Suara Lorenz sedkit lebih keras dan bicaranya ditekan kuat. “Soal apa, Tuan?” Akhirnya Susan membuka mulutnya. “Kita bertemu baru aku akan jelaskan padamu.” Lorenz menolak mengutarakan di telpon. “Huuffhh …” Susan mengepalkan kedua tangannya, lalu mengembuskan nafas berat. “Satu kali saja, lalu kamu bisa menentukan langkahmu.” Kembali datar suara Lorenz. “Di mana? Kapan?” Susan pun bicara dengan datar. “Rumah Hayden, saat Tuan James berula
Jantung Susan berdenyut dengan cepat. Dia tidak bisa mengelak, Lorenz tampak sangat tampan di matanya. Berhadapan begitu dekat, Susan jujur mengaku, dia terpana. Namun, Susan menguatkan dirinya, dia tidak akan lemah pada pria yang tidak megnharapkannya dan merendahkan dirinya begitu rupa. “Kamu …” Lorenz memandang begitu lekat pada Susan. Susan mendongak, mengawasi dalam-dalam setiap bagian wajah Lorenz. Dia harus menaklukkan debaran hati dan rasa grogi yang makin merajai dadanya. “I love you, Susan.” Kata-kata itu … Susan seketika melotot, lebar. Tanpa sadar dia mundur dua langkah. “What?” gumamnya refleks. “I do.” Lorenz tidak bergerak. Matanya masih menghujam pada manik Susan yang belum kembali ke posisinya, menatap Lorenz tak percaya. “Aku sama sekali tidak mengerti. Kamu pria aneh.” Susan tidak gembira mendengar yang Lorenz katakan. Keterkejutannya justru karena dia merasa lagi-lagi Lorenz mempermainkan dia. Susan
Clarabelle terpaku, terdiam. Mendengar yang Jordan katakan, Clarabelle merasa tubuhnya gemetar. “Wanita jalang …” ucapnya lirih. Itu yang Jordan sebutkan tadi? Itu yang Jordan sematkan padanya. Benarkah seburuk itu Jordan memandang Clarabelle? James pun sama tidak bergerak dari posisinya. Dia masih memegangi pipinya yang panas karena tempelengan Jordan. Dengan tangan dingin dan tubuh terasa limbung, Clarabelle memandang lurus ke arah Jordan yang menghilang di keremangan dengan tergesa-gesa dan dipenuhi rasa marah. James mendekati Clarabelle. “I am sorry … I am really sorry …” Clarabelle tidak menjawab. Butiran bening tumpah seketika dari kedua bola matanya. Hancur, itu yang dia rasa. Kenapa terjadi lagi kesalahpahaman seperti ini? James dan Jordan baru saja memulai hubungan baik, sedikit akur. Jordan belum sepenuhnya bisa memaafkan James. Dia baru menyisihkan rasa kesal yang selama ini bertumpuk di hati terhadap kakaknya itu. Astaga …
Jordan meluncur dengan mobilnya, melaju di jalanan yang sepi. Emosinya tak bisa dia tahan lagi. Tujuannya hanya satu, ke club. Dia ingin melepaskan semua rasa marah di sana. Dia yakin teman-temannya pasti masih menikmati malam bersama wanita-wanita yang suka di sekitar mereka. Saat Jordan masuk, dia langsung ke ruangan yang biasa dia dan teman-temannya pakai. Ada Warren dan Louie sedang sibuk dengan pasangan masing-masing. Tapi Ronald tidak terlihat. “Hei! Tuan Hayden! Lihat, Guys!” Warren kaget bukan kepalang melihat Jordan muncul. Jordan duduk di depan Warren, meraih botol di atas meja dan segera menenggal minuman setengah botol itu hingga tinggal sedikit. “Wow! Jordan, what’s wrong with you?” Dengan cepat Louie menarik botol di tangan Jordan dan menjauhkannya. Acara mesra kedua pasangan itu bubar. Mereka fokus pada Jordan yang tampak kacau. “Berapa bulan kamu tidak ke sini? Datang seperti orang gila!” sahut Warren. “Ada Elle
Sheena menatap Jordan dengan penuh pesona. Wajah tampan, mata indah, dan tatapan tegas. Tak bisa dielakkan, memang Jordan pantas disebut playboy tiada banding. “Aku sudah di depanmu, Tuan. Aku siap melakukan apapun yang kamu iniginkan.” Sheena belum mengalihkan pandangan dari Jordan. Pria itu duduk dengan kemeja terbuka, tapi belum dia lepaskan. “Tidak semudah yang kamu pikirkan, Nona. Jika aku mau malam ini kita bisa gila-gilaan. Tapi, aku pria sabar. Aku masih ingin bermain-main dengan cara berbeda. Kamu bisa tahan, atau kamu lebih memilih yang lain? Terserah,” ujar Jordan tanpa ekspresi. Sikap cool itu membuat Sheena makin penasaran dengan Jordan. Dia memajukan tubuhnya, merapat pada meja di depannya, sengaja membiarkan gaun penutup tubuhnya terbuka. “Aku akan buktikan, aku bisa meladeni Tuan, apapun yang Tuan mau.” Senyum penuh gairah Sheena tunjukkan. Jordan tertawa. Tapi yang muncul dalam bayangannya wajah sayu Clarabelle. Wajah sedih ya
“Entahlah, Susan. Aku juga tidak tahu. Tapi aku mungkin bisa bicara dengan Tuan James.” Lorenz menjawab. “Oke. Aku akan lihat jika aku mungkin bisa bicara dengan Jordan,” kata Susan. Dia memutus panggilan Lorenz. Detak jantung Susan cukup cepat. Dia sudah pernah melihat bagaimana Jordan marah pada karyawan. Dia bisa meledak tak terkendali jika memang sedang emosi. Susan harus hati-hati. Susan kembali duduk di sofa di tempatnya semula. Dia pura-pura sibuk dengan ponsel yang dia pegang. Dia mendengar langkah kaki mendekat. “Lala?” Susan menoleh. “Hai, selamat pagi, Tuan Hayden.” Susan mencoba tersenyum pada Jordan. “Susan?” Wajah Jordan menciut. Tidak dia kira melihat Susan sepagi itu di rumahnya. “Kamu di sini?” “Ya, Tuan. Hari ini aku ada keperluan dengan Lala.” Susan mencoba tenang, mencari sela untuk mengatakan sesuatu. “Kurasa dia sudah bicara padamu apa yang terjadi.” Jordan tersenyum getir. Ada tatapan kesal di san
"Mana cucuku? Aku sudah tidak sabar mau memeluknya!" Suara ceria itu, terdengar renyah. Clarabelle sangat merindukannya. Dengan cepat Clarabelle menemui Crystal yang baru melangkah masuk ke dalam rumah. "Oh, my God!" Crystal terbelalak begitu melihat Clarabelle. "Lihat, Sayang. Bayimu sudah tumbuh sebesar ini?" Crystal memegang perut Clarabelle dan mengusapnya dengan rasa gembira yang meluap. Clarabelle tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Sambutan hangat itu rasanya membalut semua hal yang dulu ingin dia lupakan. Keluarga Hayden. Keluarga itu akan terus menjadi bagian hidupnya. "Apa kabar, Lala?" Ann-Mary ganti memeluk Clarabelle. Suara manisnya yang elegan, Clarabelle juga rindu. "Aku sangat baik." Clarabelle tersenyum. Ada rasa tidak nyaman juga mengumpul di hatinya. "Aku minta maaf, karena pergi diam-diam. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Aku minta maaf." "Anakku yang tidak tahu menjaga istrinya. Kenapa kamu minta maaf? Jordan yang harus minta maaf. Dulu dia berj
Matahari cerah. Salju mulai mencair perlahan-lahan. Musim dingin kian bergeser, musim semi akan datang beberapa minggu lagi.Clarabelle duduk di pinggir jendela. Dia memandang ke jalanan dan pemandangan di depan rumah tempat dia tinggal. Tenang, hening, dan meneduhkan. Dari arah belakangnya, aroma harum kopi panas terasa masuk ke penciuman.Clarabelle menoleh, Jordan berdiri dengan dua cangkir di tangannya. Wajah tampan itu tidak tersenyum, tetapi tatapan ceria muncul dari sorot matanya."Minuman hangat buat jantung hatiku. Susu saja. Kopi buat aku." Jordan memberikan satu cangkir kepada Clarabelle."Ah, aku sudah membayangkan meneguk kopi panas dan harum. Kenapa susu lagi?" Clarabelle cemberut tetapi dia terima juga cangkir dari Jordan."Biar sehat. Nanti saja kalau sudah lahir kesayangan kita, kamu minum kopi." Jordan duduk di sebelah Clarabelle. Dia menghirup harum kopi di cangkirnya, lalu meneguk beberapa kali."Hm, ibu hamil ga masalah
Salju baru beberapa menit lalu berhenti. Mobil hitam James berhenti dan terparkir di garasi rumah besar itu. James turun dari mobil dan dengan cepat berputar, membuka pintu mobil dari sisi lainnya. "We are here. Come on, Babe." James mengulurkan tangannya. Nerry menyambut tangan James dan keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling. Tempat parkir saja begitu luas. Ada beberapa mobil ada di dalam garasi. Semua jelas mobil berkelas, mobil tidak terlalu sering tampak di jalanan. "They are waiting." James tersenyum. Dia menggandeng Nerry dan mengajak masuk ke rumah dari pintu samping, langsung ke ruang keluarga. "Tuan, aku sangat gugup." Nerry memperhatikan James. Wajah gadis itu merah merona. Sedangkan James tersenyum lebar penuh keceriaan. "Tenang saja. Kamu tidak akan dihukum karena jatuh cinta pada Hayden. Dan jangan panggil aku Tuan," kata James. "Iya, Tuan. Oh, James? Aneh." Nerry tersenyum
Jordan menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu. Apa yang baru dia dengar? Dia berbalik. Matanya bertemu mata indah yang membuatnya jatuh hati. Mata bulat dan bening Clarabelle. "Are you sure, you wanna leave me? And our baby?" Clarabelle memandang Jordan. Tangannya menyentuh bagian perutnya. Jordan masih mencerna apa yang terjadi. Tatapan matanya makin menghujam. "Setelah semua yang kamu lakukan, toko coklat Lala Joy, meninggalkan rumah mewah di Sydney, tidak peduli kantor Hayden, dan melepas semua wanita itu ... kamu akan pergi dariku?" Clarabelle bicara dengan tenang. Kedua matanya tampak teduh. Perlahan bibirnya tersenyum. "Lala ...." Jordan tak percaya yang dia lihat. Clarabelle mengucapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya. "I miss you too, Jordan Gerald Hayden. Deep ini my heart, I always wanna hug you." Bibir tipis Clarabelle kembali menguntai senyum. Jordan segera kembali mendekat dan memegang tangan Clarabelle. "What do
James keluar kamarnya. Dia menelpon Susan dan terpaksa membuat Susan bangun. Kabar yang James berikan tentang Clarabelle mengejutkan Susan. Dia cepat-cepat bersiap dan menemui James di tempat parkir."Susan, kamu bantu aku. Ini situasi buruk. James bertingkah bodoh lagi dan membuat Clarabelle kembali terluka." James mulai melajukan mobil keluar hotel.Hari mulai terang, tetapi matahari tidak mau menunjukkan dirinya."Apa yang Tuan harapkan dariku?" tanya Susan."Aku akan tenangkan Jordan. Dia kembali merasa bodoh dan menyesal. Kurasa dia lebih kacau karena bayi mereka dalam bahaya." James terdengar resah dan cemas. "Kamu, aku minta kamu tenangkan Clarabelle. Aku tidak tahu apa yang dia rasa tentang Jordan setelah kejadian ini. Aku hampir yakin, dia akan meminta bercerai."Deg. Susan menatap James. Apakah seburuk itu? Susan tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan nanti pada Clarabelle."Aku rencana h
Jordan panik. Dia gemetar melihat Clarabelle bahkan kesulitan duduk."Lala ... Lala ...." Jordan tidak tahu harus bicara apa.Sementara darah terus mengalir dan melebar di atas salju."Jordan, sakit ...." ucap Clarabelle sambil memegang perutnya."Dokter ... kita ke dokter. Tunggu, aku ambil mobil. Bertahanlah," ujar Jordan di antara rasa bingung dan ketakutan.Dia berdiri dan berjalan kembali ke tokonya. Dia harus segera mengambil mobil dan membawa Clarabelle ke rumah sakit. Clarabelle makin pucat. Rasa dingin yang menusuk, disertai rasa sakit yang mendera perut, kaki, pinggang, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hampir tidak bisa bergerak lagi.Beberapa menit berikutnya, Jordan datang. Dia membantu Clarabelle masuk ke dalam mobil. Clarabelle lunglai, tetapi tubuhnya juga kaku karena kedinginan. Dengan hati tidka karuan, Jordan mulai melajukan kendaraannya. Hari tidak lagi bersalju, tetapi jalanan cukup sulit ditempuh, Jordan tidak
Clarabelle terkejut dengan reaksi Jordan. Dia mencoba melepaskan diri, tapi Jordan tidak mau mengalah. Dia bahkan lebih berani bertindak. Dia kecup Clarabelle. Dia lepaskan kerinduan dengan memeluk erat istrinya.Clarabelle awalnya ingin berontak. Sayangnya, hati dan rindunya tidak sejalan. Hati menolak, tetapi rindu yang Clarabelle rasa memaksanya menyambut kemesraan yang Jordan lemparkan. Debaran kuat menguasai Clarabelle. Degupan yang menyenangkan, yang menaikkan hasrat dirinya tak bisa dibendung. Clarabelle menyerah. Dia mulai menikmati sentuhan Jordan."I miss you. So much ...." Jordan berbisik, lembut. Clarabelle makin bergelora.Tidak ada penolakan, Jordan makin melangkah jauh. Permainan dia lanjutkan. Dia menarik Clarabelle naik ke atas ranjang. Mereka meneruskan perjalanan rindu dan cinta yang terlalu lama tertahan karena rasa marah, kecewa, dan juga takut makin terluka.Di luar salju kembali deras. Bahkan suara angin menderu pun terdengar. Rindu
Mobil Jordan oleng. Clarabelle mendekap dadanya dengan rasa takut mencuat begitu cepat. Mobil hampir saja bertabrakan. Jordan sigap kembali ke posisi dan mengendalikan setir. Untung, dia mampu menghindar sehingga tabrakan tidak terjadi. "Ya Tuhan ...." Clarabelle masih merasakan dadanya berdetak begitu cepat karena rasa kaget. Jordan sudah kembali menguasai kendaraannya. Tapi dia juga sama terkejutnya. Berulang kali dia mengambil nafas dalam, menenangkan diri. "Sorry, I am sorry," kata Jordan tanpa melihat CLarabelle. Dia fokus menyetir. Clarabelle tidak menjawab. Dalam hati dia bersyukur, tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak bisa membayangkan jika benar tabrakan terjadi. Bukan hanya dia dan Jordan yang celaka, tetapi bayi mungil di rahimnya juga. Hening. Sisa perjalanan hingga ke toko Jordan, tidak ada yang bicara. Jordan memarkir kendaraannya, langsung masuk ke garasi. Clarabelle kembali memegang pipi Jordan, lalu ke lehernya.
James menajamkan tatapannya. Dua bola mata indah dan lentik milik Nerry berair. Apa yang dia risaukan? Mengapa justru gadis itu jadi bersedih? "Nerry, ada apa? Aku sungguh-sungguh dengan niatku. Aku tidak akan mempermainkan kamu. Aku janji ...." "Bukan itu. Maafkan aku," sahut Nerry. James menutup mulutnya. Dia lebih baik mendengar yang Nerry akan utarakan padanya. Mungkin memang dia terlalu cepat meminta Nerry menjadi kekasihnya apalagi masuk dalam pernikahan. Rasanya sama saja dengan kisah Jordan dan Clarabelle. "Mengenal Tuan secara langsung, punya momen bersama, buat aku ... seperti mimpi. Ga masuk akal. Tuan tiba-tiba muncul di depanku. Semua hari-hariku berubah seketika." Nerry mulai mengungkapkan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. James menunggu. Dia tahu Nerry belum selesai. "Jujur, aku jika sungguh bersama Tuan nanti, seperti cinderella. Dari hidup sederhana masuk dalam sebuah istana. Apakah aku bisa, Tuan? Apakah aku cu