“Tuan Hayden!” Lorenz memangil Jordan yang duduk di ruangannya.
Jordan mengangkat wajahnya, melihat asistennya yang memandang dengan tatapan aneh.
“Kenapa Tuan masih di sini?” tanya Lorenz.
“Apa yang salah? Aku di kantor bekerja?” ujar Jordan heran dengan pertanyaan Lorenz.
Lorenz hampir tidak percaya mendengar jawaban Jordan. Ayah mertuanya meninggal, Jordan tidak peduli?
“Tuan tidak dapat pesan dari Nyonya Hayden? Maksudku, istri Tuan?” tanya Lorenz lagi.
“Kenapa kamu mengurusi istriku?” Jordan seketika kesal.
“Susan pergi lebih cepat hari ini. Dia mendapat pesan ayah Nyonya Clarabelle Hayden meninggal.” Lorenz menatap Jordan.
“Apa kamu bilang?” Jordan sangat kaget dengan kata-kata Lorenz. Segera dia ambil ponsel yang tergeletak di meja dan melihat pesan Clarabelle.
“Damn!” Jordan berdiri seketika dan berjalan dengan cepat keluar ruangan itu. “Bereskan mejaku!” Perintahnya pada Lorenz.
Lorenz hanya men
Seminggu berlalu. Rasa kehilangan belum juga pergi. Clarabelle masih berada di rumah Adriano, belum ingin kembali ke rumah Jordan. Dia masih ingin merasakan Adriano ada di dekatnya. Jordan mengalah. Dia ikut tinggal di rumah Adriano. Sesekali dia menengok rumah, memastikan semua baik-baik saja.Hari itu, Jordan ingin menghibur Clarabelle. Rencananya ingin membuat momen bersama Clarabelle tertunda karena Adriano berpulang. Dia memikirkan apa yang bisa dia lakukan agar senyum Clarabelle kembali.Ronald, lagi-lagi memberi dia ide bagaimana bisa membuat sebuah kejutan. Sepulang kerja sore itu, Jordan ingin mewujudkannya.“Tunggu aku pulang, Lala. Dan hari ini senyum lebar akan aku lihat dari bibirmu yang mungil itu.” Jordan tersenyum kecil membayangkan Clarabelle kembali tersenyum.Jordan mengendarai mobil dengan sedikit cepat. Dia sudah menyiapkan beberapa hal untuk menghabiskan malam dengan Clarabelle. Begitu tiba di rumah, kejutan demi kejutan
“My Lala …” Jordan menangkup pipi Clarabelle. “Suka sekali melihat senyum kamu kembali.”Mata Jordan berbinar. Dia gembira karena Clarabelle menikmati kejutannya.“Kita mulai, makan malamnya?” Jordan melepaskan tangannya dari pipi Clarabelle. Dia mengambil satu botol anggur dan membukanya.Clarabelle mengangkat dua gelas dan mendekatkan pada Jordan. Jordan menuang anggur ke dua gelas itu, lalu mulai mereka menikmati suasana romantis berdua.Hati Clarabelle masih melambung. Lama tidak pernah dia merasakan lagi manisnya Jordan. Setelah semua yang merela lalui, ternyata mereka sampai di titik yang sama, ingin mewujudkan janji mereka. Mereka akan tetap bersama.Makan malam begitu menyenangkan. Jordan kembali membuat Clarabelle nyaman dan tertawa senang dengan pembicaraan dan candaan mereka. Semua kepedihan seakan sirna. Jordan Hayden yang mampu meruntuhkan hati Clarabelle, masih berhasil melakukannya lagi.
Hingga beberapa hari berikut, Clarabelle akhirnya memutuskan pulang ke rumah Jordan. Dia merasa sudah cukup menempati rumah Adriano. Sudah saatnya dia menjalani pernikahannya, tanpa lagi ada bayang-bayang Adriano. “Papa dan mama akan terus di hatiku. Meskipun semua tidak ada di dekatku lagi, mereka tetap akan tersimpan dalam sepanjang hidupku.” Clarabelle bicara dalam hati dengan penuh kelegaan. Dia siap melanjutkan pernikahannya dengan Jordan. Satu yang muncul di pikirannya, seorang anak. Clarabelle tidak akan lupa, Adriano pernah berkata, jika seorang anak lahir di antara dia dan Jordan, sangat mungkin akan mengikat hubungan pernikahannya lebih kuat. Jaren juga mengatakan hal yang sama, satu yang perlu buat Clarabelle dan Jordan, adalah seorang anak. “Kurasa, sudah saatnya aku dan Jordan memiliki anak.” Clarabelle tersenyum. Dia memandang foto pernikahannya dengan Jordan. Tidak terasa, satu tahun sudah berlalu, penuh dengan drama, up and down, menguras emos
Jordan mendadak berubah kesal setelah mendapat pesan dari Clarabelle. Sepanjang hari dia banyak pekerjaan dan saat pulang ingin bersama istrinya di rumah. Ternyata, Clarabelle pergi ke rumah Hayden tanpa dirinya.“Kita sudah sepakat, bukan? Kamu akan pergi ke rumah orang tuaku hanya jika bersama denganku?” Nada suara Jordan meninggi.Lorenz yang ada di ruangannya, cukup kaget karena Jordan tiba-tiba marah di telpon.“Granny! Granny memang alasan paling tepat kamu datang ke sana,” Jordan kembali bicara dengan ketus. “Aku segera menyusul. Begitu aku sampai kita pulang!” Jordan menutup telponnya dengan cepat tanpa memberikan kesempatan Clarabelle bicara lagi.Dia berdiri dan meraih jas yang tersampir di kursinya.“Tuan mau pergi?” tanya Lorenz. Pembicaraan mereka belum selesai, Jordan malah bersiap hengkang.“Kamu bisa urus sisanya. Aku tidak bisa menunggu lagi.” Jordan terus mel
Crystal tahu Jordan kesal dan tidak suka dia membujuk agar Jordan berbaikan dengan James. Namun, sudah terlalu lama perseteruan kakak beradik itu terjadi. Berbagai peristiwa yang mereka lalui tidak juga bisa meluluhkan hati Jordan menerima James kembali. James juga sama saja. Mesikpun dia sangat menyayangi dan peduli pada adiknya, dia melakukan semua itu diam-diam.“Aku membayangkan rumah ini semarak. Ada tawa kamu dan James seperti saat kalian masih sekolah. Bahkan, suara canda dan teriakan anak-anak kalian, itu yang aku rindukan. Apakah itu mustahil?” Crystal bicara dengan jelas, sekalipun suaranya tidak begitu kuat.Jordan masih belum ingin menimpali yang Crystal katakan. Clarabelle pun serius mendengar suara hati wanita tua yang baik hati itu.“Yang ada sekarang, hanya ketegangan. Kamu memang hidup dengan baik bersama Lala. Sedang James? Dia hanya memenuhi hidupnya dengan kerja, kerja, dan kerja. Kapan dia akan memikirkan berkeluarga lagi?
Mata Susan melotot lebar pada ibunya. Tak dia sangka seperti itu reaksi sang ibu, saat melihat Lorenz. Susan dengan cepat menarik ibunya ke dalam rumah. Lorenz yang masih di depan pintu tidak kalah terkejutnya mendengar apa yang ibu Susan katakan. “Calon suami?” ucapnya lirih sambil memperhatikan Susan dan ibunya yang ada di ruang tamu. “Kenapa kamu harus diam-diam? Sudah beberapa lama aku minta kamu segera menikah. Pintar kamu memiih pendamping, Susan.” Wanita itu tersenyum lebar. “Ibu … dia bukan …” “Sudahlah, aku harus bertemu dengannya.” Ibu Susan berbalik dan berjalan cepat kembali menemui Lorenz. “Hello, it is nice to see you. I am Madeline, Susan’s mother.” Dengan senyum ramah Madeline mengulurkan tangan kepada Lorenz. “Oh, hello, Mrs. Madeline Harrison. Nice to see you too.” Lorenz membalas ramah. “Masuklah, tentu kamu ingin tahu tempat Susan tinggal.” Dengan riang Madeline mempersilakan Lorenz masuk ke rumahnya.
Perkataan Lorenz yang sedikit menyentak, membuat Susan semakin ciut. Dia tidak mau berbantah lagi, segera berbalik dam meninggalkan ruangan Lorenz. Malu, itu yang Susan rasakan. Jika tahu akan begini, lebih baik semalam dia tidak udah diantar Lorenz pulang. Susan yakin Lorenz sudah menilai dirinya begitu buruk, sampai sikapnya menjadi dingin.“Apa yang kamu harapkan, Susan? Meskipun Lorenz hanya seorang pegawai, dia orang penting di perusahaan ini. Kamu ini siapa? Tujuanmu bekerja memang bukan untuk karir, tapi untuk Lorenz. Kamu tinggalkan pekerjaan yang sudah cukup baik, hidup kamu yang nyaman, akhirnya …” Ada sedikit penyesalan muncul dalam hati Susan.Sambil dia memulai bekerja sambil menunggu waktu meeting, hati Susan terus bergelut. Terus terang saja, sikap Lorenz benar-benar mempengaruhinya. Mood yang sudah tidak baik sejak berangkat, semakin berantakan karena harus berhadapan dengan Lorenz.“Entah bagaimana aku bisa membuat dia m
Langkah anggun Ann-Mary berhenti di sebuah ruangan di lantai atas. Ann-Mary membuka ruangan itu dan masuk ke dalamnya. Dari depan pintu Clarabelle memandang seluruh isi ruangan yang lumayan besar. Clarabelle terpana. Ruangan itu seperti ruangan anak-anak. Dindingnya dicat putih dengan paduan biru terang dan merah.Di dinding utama terpampang pigura besar dengan foto anak laki-laki. Ada rak yang penuh dengan buku dan maninan. Juga kotak-kota besar yang Clarabelle yakin juga penuh dengan mainan. Di tengah ruangan ada meja dan beberapa kursi ukuran anak-anak.Ann-Mary duduk di salah satu kursi itu. Dia memberi isyarat agar Clarabelle masuk dan duduk di sebelahnya. Dengan penuh tanya, Clarabelle menurut. Apa yang Nyonya Hayden ini inginkan?“Ini adalah ruang bermain Jordan dan James saat mereka anak-anak. Setiap hari mereka menghabiskan waktu di sini. Tertawa bersama, bercanda, dan mengkhayalkan banyak hal, mengembangkan imajinasi mereka.” Tanpa diminta,