“My Lala …” Jordan menangkup pipi Clarabelle. “Suka sekali melihat senyum kamu kembali.”
Mata Jordan berbinar. Dia gembira karena Clarabelle menikmati kejutannya.
“Kita mulai, makan malamnya?” Jordan melepaskan tangannya dari pipi Clarabelle. Dia mengambil satu botol anggur dan membukanya.
Clarabelle mengangkat dua gelas dan mendekatkan pada Jordan. Jordan menuang anggur ke dua gelas itu, lalu mulai mereka menikmati suasana romantis berdua.
Hati Clarabelle masih melambung. Lama tidak pernah dia merasakan lagi manisnya Jordan. Setelah semua yang merela lalui, ternyata mereka sampai di titik yang sama, ingin mewujudkan janji mereka. Mereka akan tetap bersama.
Makan malam begitu menyenangkan. Jordan kembali membuat Clarabelle nyaman dan tertawa senang dengan pembicaraan dan candaan mereka. Semua kepedihan seakan sirna. Jordan Hayden yang mampu meruntuhkan hati Clarabelle, masih berhasil melakukannya lagi.
Hingga beberapa hari berikut, Clarabelle akhirnya memutuskan pulang ke rumah Jordan. Dia merasa sudah cukup menempati rumah Adriano. Sudah saatnya dia menjalani pernikahannya, tanpa lagi ada bayang-bayang Adriano. “Papa dan mama akan terus di hatiku. Meskipun semua tidak ada di dekatku lagi, mereka tetap akan tersimpan dalam sepanjang hidupku.” Clarabelle bicara dalam hati dengan penuh kelegaan. Dia siap melanjutkan pernikahannya dengan Jordan. Satu yang muncul di pikirannya, seorang anak. Clarabelle tidak akan lupa, Adriano pernah berkata, jika seorang anak lahir di antara dia dan Jordan, sangat mungkin akan mengikat hubungan pernikahannya lebih kuat. Jaren juga mengatakan hal yang sama, satu yang perlu buat Clarabelle dan Jordan, adalah seorang anak. “Kurasa, sudah saatnya aku dan Jordan memiliki anak.” Clarabelle tersenyum. Dia memandang foto pernikahannya dengan Jordan. Tidak terasa, satu tahun sudah berlalu, penuh dengan drama, up and down, menguras emos
Jordan mendadak berubah kesal setelah mendapat pesan dari Clarabelle. Sepanjang hari dia banyak pekerjaan dan saat pulang ingin bersama istrinya di rumah. Ternyata, Clarabelle pergi ke rumah Hayden tanpa dirinya.“Kita sudah sepakat, bukan? Kamu akan pergi ke rumah orang tuaku hanya jika bersama denganku?” Nada suara Jordan meninggi.Lorenz yang ada di ruangannya, cukup kaget karena Jordan tiba-tiba marah di telpon.“Granny! Granny memang alasan paling tepat kamu datang ke sana,” Jordan kembali bicara dengan ketus. “Aku segera menyusul. Begitu aku sampai kita pulang!” Jordan menutup telponnya dengan cepat tanpa memberikan kesempatan Clarabelle bicara lagi.Dia berdiri dan meraih jas yang tersampir di kursinya.“Tuan mau pergi?” tanya Lorenz. Pembicaraan mereka belum selesai, Jordan malah bersiap hengkang.“Kamu bisa urus sisanya. Aku tidak bisa menunggu lagi.” Jordan terus mel
Crystal tahu Jordan kesal dan tidak suka dia membujuk agar Jordan berbaikan dengan James. Namun, sudah terlalu lama perseteruan kakak beradik itu terjadi. Berbagai peristiwa yang mereka lalui tidak juga bisa meluluhkan hati Jordan menerima James kembali. James juga sama saja. Mesikpun dia sangat menyayangi dan peduli pada adiknya, dia melakukan semua itu diam-diam.“Aku membayangkan rumah ini semarak. Ada tawa kamu dan James seperti saat kalian masih sekolah. Bahkan, suara canda dan teriakan anak-anak kalian, itu yang aku rindukan. Apakah itu mustahil?” Crystal bicara dengan jelas, sekalipun suaranya tidak begitu kuat.Jordan masih belum ingin menimpali yang Crystal katakan. Clarabelle pun serius mendengar suara hati wanita tua yang baik hati itu.“Yang ada sekarang, hanya ketegangan. Kamu memang hidup dengan baik bersama Lala. Sedang James? Dia hanya memenuhi hidupnya dengan kerja, kerja, dan kerja. Kapan dia akan memikirkan berkeluarga lagi?
Mata Susan melotot lebar pada ibunya. Tak dia sangka seperti itu reaksi sang ibu, saat melihat Lorenz. Susan dengan cepat menarik ibunya ke dalam rumah. Lorenz yang masih di depan pintu tidak kalah terkejutnya mendengar apa yang ibu Susan katakan. “Calon suami?” ucapnya lirih sambil memperhatikan Susan dan ibunya yang ada di ruang tamu. “Kenapa kamu harus diam-diam? Sudah beberapa lama aku minta kamu segera menikah. Pintar kamu memiih pendamping, Susan.” Wanita itu tersenyum lebar. “Ibu … dia bukan …” “Sudahlah, aku harus bertemu dengannya.” Ibu Susan berbalik dan berjalan cepat kembali menemui Lorenz. “Hello, it is nice to see you. I am Madeline, Susan’s mother.” Dengan senyum ramah Madeline mengulurkan tangan kepada Lorenz. “Oh, hello, Mrs. Madeline Harrison. Nice to see you too.” Lorenz membalas ramah. “Masuklah, tentu kamu ingin tahu tempat Susan tinggal.” Dengan riang Madeline mempersilakan Lorenz masuk ke rumahnya.
Perkataan Lorenz yang sedikit menyentak, membuat Susan semakin ciut. Dia tidak mau berbantah lagi, segera berbalik dam meninggalkan ruangan Lorenz. Malu, itu yang Susan rasakan. Jika tahu akan begini, lebih baik semalam dia tidak udah diantar Lorenz pulang. Susan yakin Lorenz sudah menilai dirinya begitu buruk, sampai sikapnya menjadi dingin.“Apa yang kamu harapkan, Susan? Meskipun Lorenz hanya seorang pegawai, dia orang penting di perusahaan ini. Kamu ini siapa? Tujuanmu bekerja memang bukan untuk karir, tapi untuk Lorenz. Kamu tinggalkan pekerjaan yang sudah cukup baik, hidup kamu yang nyaman, akhirnya …” Ada sedikit penyesalan muncul dalam hati Susan.Sambil dia memulai bekerja sambil menunggu waktu meeting, hati Susan terus bergelut. Terus terang saja, sikap Lorenz benar-benar mempengaruhinya. Mood yang sudah tidak baik sejak berangkat, semakin berantakan karena harus berhadapan dengan Lorenz.“Entah bagaimana aku bisa membuat dia m
Langkah anggun Ann-Mary berhenti di sebuah ruangan di lantai atas. Ann-Mary membuka ruangan itu dan masuk ke dalamnya. Dari depan pintu Clarabelle memandang seluruh isi ruangan yang lumayan besar. Clarabelle terpana. Ruangan itu seperti ruangan anak-anak. Dindingnya dicat putih dengan paduan biru terang dan merah.Di dinding utama terpampang pigura besar dengan foto anak laki-laki. Ada rak yang penuh dengan buku dan maninan. Juga kotak-kota besar yang Clarabelle yakin juga penuh dengan mainan. Di tengah ruangan ada meja dan beberapa kursi ukuran anak-anak.Ann-Mary duduk di salah satu kursi itu. Dia memberi isyarat agar Clarabelle masuk dan duduk di sebelahnya. Dengan penuh tanya, Clarabelle menurut. Apa yang Nyonya Hayden ini inginkan?“Ini adalah ruang bermain Jordan dan James saat mereka anak-anak. Setiap hari mereka menghabiskan waktu di sini. Tertawa bersama, bercanda, dan mengkhayalkan banyak hal, mengembangkan imajinasi mereka.” Tanpa diminta,
“Tentu saja. Kamu adikku, aku akan rindu padamu.” James memandang Jordan dengan senyum lebar. Jordan menatap James tidak lega. Senyum masih di bibir, tetapi pandangan wajahnya jelas tidak senang dengan ucapan James. “Ayo, kita mulai saja. Ini momen yang jarang terjadi di rumah ini. Sepertinya awal yang baik untuk hari istimewa kamu, James.” Ann-Mary melihat pada putra sulungnya. “Maksudnya ulang tahunku?” James mengangkat alisnya. “Ya. Andai kita semua bisa berkumpul seperti ini.” Ann-Mary tersenyum. Tangannya menyendok sekali lagi sup dari mangkuk besar. “Tentu saja. Aku akan hadir di hari ulang tahun kakakku tercinta,” sahut Jordan. Dia menoleh pada Clarabelle. “Istriku tersayang juga pasti hadir, menemani aku, untuk memeriahkan acara ka-kak i-par.” Sengaja Jordan menyebutkan kata kakak ipar seperti dieja. Dia ingin menunjukkan kebahagiaannya karena bisa memiliki Clarabelle sebagai istrinya. Dugaan James pernikahannya hanya permainan
Hari-hari selanjutnya, suasana manis yang merajai waktu Clarabelle. Menjalani semua bersama Jordan terasa kembali menyenangkan. Tidak ada geram dan marah, tidak ada kabar menyebalkan yang membuat emosi naik. Sayangnya, keinginan Clarabelle untuk mengandung belum terwujud.Jordan hampir tiap malam menyentuh Clarabelle, melepaskan hasrat dan cintanya. Namun, Clarabelle masih kedatangan tamu bulanan.“Ayolah, kenapa harus gagal lagi? Aku ingin beri Jordan kejutan.” Clarabelle sedikit kecewa. Dia mulai sering membayangakn senyum lebar dam mata berbinar Jordan saat tahu Clarabelle mengandung.“Harus sabar. Mungkin sedikit lagi. Jangan putus asa, Lala.” Clarabelle menepuk pipinya, menghibur diri sendiri.Mengisi hari-harinya saat sendiri, Lala kembali membantu di toko kue. Dia senang bisa melakukan sesuatu meskipun bukan lagi uang tujuannya. Pemilik toko pun tidak keberatan kapan saja Clarabelle bisa datang dan membantu. Bagi Clara
"Mana cucuku? Aku sudah tidak sabar mau memeluknya!" Suara ceria itu, terdengar renyah. Clarabelle sangat merindukannya. Dengan cepat Clarabelle menemui Crystal yang baru melangkah masuk ke dalam rumah. "Oh, my God!" Crystal terbelalak begitu melihat Clarabelle. "Lihat, Sayang. Bayimu sudah tumbuh sebesar ini?" Crystal memegang perut Clarabelle dan mengusapnya dengan rasa gembira yang meluap. Clarabelle tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Sambutan hangat itu rasanya membalut semua hal yang dulu ingin dia lupakan. Keluarga Hayden. Keluarga itu akan terus menjadi bagian hidupnya. "Apa kabar, Lala?" Ann-Mary ganti memeluk Clarabelle. Suara manisnya yang elegan, Clarabelle juga rindu. "Aku sangat baik." Clarabelle tersenyum. Ada rasa tidak nyaman juga mengumpul di hatinya. "Aku minta maaf, karena pergi diam-diam. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Aku minta maaf." "Anakku yang tidak tahu menjaga istrinya. Kenapa kamu minta maaf? Jordan yang harus minta maaf. Dulu dia berj
Matahari cerah. Salju mulai mencair perlahan-lahan. Musim dingin kian bergeser, musim semi akan datang beberapa minggu lagi.Clarabelle duduk di pinggir jendela. Dia memandang ke jalanan dan pemandangan di depan rumah tempat dia tinggal. Tenang, hening, dan meneduhkan. Dari arah belakangnya, aroma harum kopi panas terasa masuk ke penciuman.Clarabelle menoleh, Jordan berdiri dengan dua cangkir di tangannya. Wajah tampan itu tidak tersenyum, tetapi tatapan ceria muncul dari sorot matanya."Minuman hangat buat jantung hatiku. Susu saja. Kopi buat aku." Jordan memberikan satu cangkir kepada Clarabelle."Ah, aku sudah membayangkan meneguk kopi panas dan harum. Kenapa susu lagi?" Clarabelle cemberut tetapi dia terima juga cangkir dari Jordan."Biar sehat. Nanti saja kalau sudah lahir kesayangan kita, kamu minum kopi." Jordan duduk di sebelah Clarabelle. Dia menghirup harum kopi di cangkirnya, lalu meneguk beberapa kali."Hm, ibu hamil ga masalah
Salju baru beberapa menit lalu berhenti. Mobil hitam James berhenti dan terparkir di garasi rumah besar itu. James turun dari mobil dan dengan cepat berputar, membuka pintu mobil dari sisi lainnya. "We are here. Come on, Babe." James mengulurkan tangannya. Nerry menyambut tangan James dan keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling. Tempat parkir saja begitu luas. Ada beberapa mobil ada di dalam garasi. Semua jelas mobil berkelas, mobil tidak terlalu sering tampak di jalanan. "They are waiting." James tersenyum. Dia menggandeng Nerry dan mengajak masuk ke rumah dari pintu samping, langsung ke ruang keluarga. "Tuan, aku sangat gugup." Nerry memperhatikan James. Wajah gadis itu merah merona. Sedangkan James tersenyum lebar penuh keceriaan. "Tenang saja. Kamu tidak akan dihukum karena jatuh cinta pada Hayden. Dan jangan panggil aku Tuan," kata James. "Iya, Tuan. Oh, James? Aneh." Nerry tersenyum
Jordan menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu. Apa yang baru dia dengar? Dia berbalik. Matanya bertemu mata indah yang membuatnya jatuh hati. Mata bulat dan bening Clarabelle. "Are you sure, you wanna leave me? And our baby?" Clarabelle memandang Jordan. Tangannya menyentuh bagian perutnya. Jordan masih mencerna apa yang terjadi. Tatapan matanya makin menghujam. "Setelah semua yang kamu lakukan, toko coklat Lala Joy, meninggalkan rumah mewah di Sydney, tidak peduli kantor Hayden, dan melepas semua wanita itu ... kamu akan pergi dariku?" Clarabelle bicara dengan tenang. Kedua matanya tampak teduh. Perlahan bibirnya tersenyum. "Lala ...." Jordan tak percaya yang dia lihat. Clarabelle mengucapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya. "I miss you too, Jordan Gerald Hayden. Deep ini my heart, I always wanna hug you." Bibir tipis Clarabelle kembali menguntai senyum. Jordan segera kembali mendekat dan memegang tangan Clarabelle. "What do
James keluar kamarnya. Dia menelpon Susan dan terpaksa membuat Susan bangun. Kabar yang James berikan tentang Clarabelle mengejutkan Susan. Dia cepat-cepat bersiap dan menemui James di tempat parkir."Susan, kamu bantu aku. Ini situasi buruk. James bertingkah bodoh lagi dan membuat Clarabelle kembali terluka." James mulai melajukan mobil keluar hotel.Hari mulai terang, tetapi matahari tidak mau menunjukkan dirinya."Apa yang Tuan harapkan dariku?" tanya Susan."Aku akan tenangkan Jordan. Dia kembali merasa bodoh dan menyesal. Kurasa dia lebih kacau karena bayi mereka dalam bahaya." James terdengar resah dan cemas. "Kamu, aku minta kamu tenangkan Clarabelle. Aku tidak tahu apa yang dia rasa tentang Jordan setelah kejadian ini. Aku hampir yakin, dia akan meminta bercerai."Deg. Susan menatap James. Apakah seburuk itu? Susan tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan nanti pada Clarabelle."Aku rencana h
Jordan panik. Dia gemetar melihat Clarabelle bahkan kesulitan duduk."Lala ... Lala ...." Jordan tidak tahu harus bicara apa.Sementara darah terus mengalir dan melebar di atas salju."Jordan, sakit ...." ucap Clarabelle sambil memegang perutnya."Dokter ... kita ke dokter. Tunggu, aku ambil mobil. Bertahanlah," ujar Jordan di antara rasa bingung dan ketakutan.Dia berdiri dan berjalan kembali ke tokonya. Dia harus segera mengambil mobil dan membawa Clarabelle ke rumah sakit. Clarabelle makin pucat. Rasa dingin yang menusuk, disertai rasa sakit yang mendera perut, kaki, pinggang, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hampir tidak bisa bergerak lagi.Beberapa menit berikutnya, Jordan datang. Dia membantu Clarabelle masuk ke dalam mobil. Clarabelle lunglai, tetapi tubuhnya juga kaku karena kedinginan. Dengan hati tidka karuan, Jordan mulai melajukan kendaraannya. Hari tidak lagi bersalju, tetapi jalanan cukup sulit ditempuh, Jordan tidak
Clarabelle terkejut dengan reaksi Jordan. Dia mencoba melepaskan diri, tapi Jordan tidak mau mengalah. Dia bahkan lebih berani bertindak. Dia kecup Clarabelle. Dia lepaskan kerinduan dengan memeluk erat istrinya.Clarabelle awalnya ingin berontak. Sayangnya, hati dan rindunya tidak sejalan. Hati menolak, tetapi rindu yang Clarabelle rasa memaksanya menyambut kemesraan yang Jordan lemparkan. Debaran kuat menguasai Clarabelle. Degupan yang menyenangkan, yang menaikkan hasrat dirinya tak bisa dibendung. Clarabelle menyerah. Dia mulai menikmati sentuhan Jordan."I miss you. So much ...." Jordan berbisik, lembut. Clarabelle makin bergelora.Tidak ada penolakan, Jordan makin melangkah jauh. Permainan dia lanjutkan. Dia menarik Clarabelle naik ke atas ranjang. Mereka meneruskan perjalanan rindu dan cinta yang terlalu lama tertahan karena rasa marah, kecewa, dan juga takut makin terluka.Di luar salju kembali deras. Bahkan suara angin menderu pun terdengar. Rindu
Mobil Jordan oleng. Clarabelle mendekap dadanya dengan rasa takut mencuat begitu cepat. Mobil hampir saja bertabrakan. Jordan sigap kembali ke posisi dan mengendalikan setir. Untung, dia mampu menghindar sehingga tabrakan tidak terjadi. "Ya Tuhan ...." Clarabelle masih merasakan dadanya berdetak begitu cepat karena rasa kaget. Jordan sudah kembali menguasai kendaraannya. Tapi dia juga sama terkejutnya. Berulang kali dia mengambil nafas dalam, menenangkan diri. "Sorry, I am sorry," kata Jordan tanpa melihat CLarabelle. Dia fokus menyetir. Clarabelle tidak menjawab. Dalam hati dia bersyukur, tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak bisa membayangkan jika benar tabrakan terjadi. Bukan hanya dia dan Jordan yang celaka, tetapi bayi mungil di rahimnya juga. Hening. Sisa perjalanan hingga ke toko Jordan, tidak ada yang bicara. Jordan memarkir kendaraannya, langsung masuk ke garasi. Clarabelle kembali memegang pipi Jordan, lalu ke lehernya.
James menajamkan tatapannya. Dua bola mata indah dan lentik milik Nerry berair. Apa yang dia risaukan? Mengapa justru gadis itu jadi bersedih? "Nerry, ada apa? Aku sungguh-sungguh dengan niatku. Aku tidak akan mempermainkan kamu. Aku janji ...." "Bukan itu. Maafkan aku," sahut Nerry. James menutup mulutnya. Dia lebih baik mendengar yang Nerry akan utarakan padanya. Mungkin memang dia terlalu cepat meminta Nerry menjadi kekasihnya apalagi masuk dalam pernikahan. Rasanya sama saja dengan kisah Jordan dan Clarabelle. "Mengenal Tuan secara langsung, punya momen bersama, buat aku ... seperti mimpi. Ga masuk akal. Tuan tiba-tiba muncul di depanku. Semua hari-hariku berubah seketika." Nerry mulai mengungkapkan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. James menunggu. Dia tahu Nerry belum selesai. "Jujur, aku jika sungguh bersama Tuan nanti, seperti cinderella. Dari hidup sederhana masuk dalam sebuah istana. Apakah aku bisa, Tuan? Apakah aku cu