Baru beberapa menit Clarabelle dan Susan duduk di depan kamar Adriano, muncul Jordan bersama dengan Lorenz. Hati Clarabelle berdenyut. Perih kembali menghujam. Tapi dia menekan rasa itu, tidak mau menunjukkannya di depan Susan dan Lorenz. Apalagi jika nanti di depan papanya.
“Honey … how is papa?” Jordan berdiri di depan Clarabelle. Dia mengulurkan tangan, memegang kedua bahu Clarabelle.
Clarabelle enggan memandang Jordan. Dia sedikit menunduk. “Papa sedang tidur. Kondisinya buruk.”
Jordan menghela nafas panjang. “Bisakah aku melihatnya?”
Clarabelle mengangguk. Tanpa bicara dia berdiri dan berjalan masuk ke dalam kamar diikuti Jordan. Di dalam kamar Adriano masih terlelap. Tapi jelas dia tampak pucat dan sangat lemah. Jordan berdiri di dekat ranjang, memandang pada pria sederhana yang penyabar itu.
Saat Adriano tahu perbuatan Jordan, dia tidak mengusir Jordan agar pergi dari Clarabelle. Adriano meminta hati Jordan terbuka, mau berubah, dan han
Thank you buat yang membaca kisah Lala dan Jordan. Kerumitan yang terjadi, segera membaik atau akan makin bergulung di antara mereka, ya?
“Papa sedang sakit, sangat sakit. Jika dia tahu aku dan kamu seperti ini …” Clarabelle menatap Jordan. Dia merasa hatinya berantakan. Tapi dia tidak mau kalah dengan keadaan. Dia hanya mau papanya sehat kembali. “Lala …” Jordan lega, tapi hatinya juga menciut. Clarabelle memutuskan tetap bertahan, mau di sisi Jordan, demi Adriano. Itu artinya bukan tulus karena memang ingin bersama Jordan. “Aku hanya mau papa sehat. Apapun caranya aku akan lakukan. Jika berada di sisimu bisa membuat papa kembali kuat, aku tidak akan pergi.” Clarabelle menyelesaikan kalimatnya. “Thank you.” Jordan berkata lirih. Baiklah, memang Adriano adalah alasan Clarabelle bertahan. Tidak apa-apa. Setidaknya dia, dan Clarabelle tidak akan berpisah dan Jordan punya kesempatan untuk sekali lagi berjuang membuktikan dia memang telah jatuh cinta pada istrinya. “Jadi, di depan papa, kita akan bersandiwara semuanya baik. Oke?” Tatapan Clarabelle kembali tajam. Jordan tidak mengatak
Karen sangat terkejut dengan keberanian Clarabelle. Dia sama sekali tidak menciut meskipun Karen terus saja mencoba membela diri, dan justru mempersalahkan Clarbelle masuk dalam hidup Jordan karena menikah dengan pria itu. “Aku memang punya pikiran kuno, tidak sebebas kamu. Tapi aku bangga dengan itu, Karen. Sebab aku memegang sesuatu yang benar dan bukan sesuatu yang tercela. Kamu seharusnya yang tahu diri, dan menyingkir dari hidup seorang pria yang sudah menikah.” Tangan Clarabelle terkepal, makin berani dia bicara. “Siapa yang mau peduli ucapan kamu? Aku cinta Jordan, aku akan mendapatkan dia lagi, apapun caranya,” tegas Karen. Dia tidak mungkin mau mengalah pada wanita sederhana seperti Clarabelle. “Sayang sekali, kamu harus menerima kenyataan. Jordan tidak mungkin bersama kamu lagi.” Karen makin tajam menatap Karen. Dia harus membuat Karen pergi dari hidup Jordan. “Kalau begitu kamu juga harus terima kenyataan jika di belakangmu, aku dan J
Karen maju dua langkah dan dengan erat dia memeluk Jordan. Dia rasakan harum maskulin Jordan yang dia suka. Setelah ini semua akan berlalu. Karen memejamkan mata, menikmati kuatnya lengan dan dada Jordan dengan makin erat memeluknya. Dia tidak ingin melakukan lebih, hanya memeluk saja.“Aku harus pergi, Karen. Maafkan aku.” Jordan melepaskan Karen. Lalu dia berjalan keluar kamar tanpa menoleh lagi.Karen menatap Jordan dengan butiran bening hampir tumpah di ujung matanya. “You will never be mine, Joy. Never.” Karen berkata lirih.Jordan tidak ingin sedikitpun menoleh lagi, dia langkahkan kaki dengan kelegaan yang perlahan memenuhi hatinya. Karen tidak akan ada lagi di antara dia dan Clarabelle. Tahap selanjutnya dia akan berjuang lebih keras membuat Clarabelle kembali tersenyum. Mengawali perjuangan kali ini, Jordan akan memberi kejutan pada Clarabelle. Dia belum tahu seperti apa, tapi harus sesuatu yang sangat istimewa sehingga Clarabell
Ucapan Adriano membuat hati Clarabelle terasa berantakan. Apakah memang papanya tidak akan bertahan? Tidak. Clarabelle tidak mau jika dia harus kehilangan Adriano. Dia belum siap. Dia masih ingin bersama papanya lebih lama.“Papa … aku panggil dokter sekarang.” Clarabelle melepas genggaman tangan Adriano.Adriano menggeleng. Dengan sedikit gemetar dia meraih tangan Clarabelle dan menyatukannya lagi dengan tangan Jordan.“Sedikit lagi, Lala …” ucap Adriano.Clarabelle tak bisa membendung air matanya. Tubuhnya terasa limbung. Sungguhkah ini saat terakhir dia bersama papanya?“Kalian … berjanji …” Adriano memandang dengan mata kuyu dan tatapan lelah. “Berjanjilah … apapun … jangan berpisah …”“Iya, aku janji, aku ga akan pisah sama Jordan, aku akan jadi istrinya seumur hidupku. Tapi Papa harus sehat. Papa lihat aku dan Jordan akan terus sama-s
James segera melepaskan pegangannya dari tangan Clarabelle. Dia memandang pada Jordan yang menatap padanya dengan penuh kebencian.“Jordan …” Hampir bersamaan James dan Clarabelle menyebut nama itu.“Nice, very nice.” Jordan tersenyum getir. Wajahnya memerah dengan tangan terkepal di sisi badannya. “Aku tidak heran kalau kamu mengulangi lagi yang kamu pernah lakukan, James. Memang kamu selalu ingin menghancurkan aku.”“Jordan, jangan salah paham. Aku dan Lala tidak ada apa-apa. Dia hanya sedih, dan aku …”“Sudahlah, James. Kamu akan terus jadi pecundang. Tidak mau mengakui perbuatanmu. Belum puas kamu membuat aku remuk? Belum puas kamu singkirkan Annette?” Tatapan kebencian Jordan makin dalam. Kata-katanya meluapkan emosi dan luka yang dia pendam.“Jordan! Kamu tahu semua itu tidak benar!” Dengan tegas, sedikit berteriak, James meminta Jordan tidak memaksa pikiran
Malam itu Jordan tidak datang ke rumah sakit. Saat Adriano bertanya, Clarabelle terpaksa berdusta dengan alasan ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Jordan tidak menjawab pesan yang Clarabelle kirim, tidak juga mau menerima telpon.“Dia benar-benar marah. Aku harus bagaimana?” batin Clarabelle. Dia sangat resah. Urusan dengan Karen baru saja kelar, sedangkan dengan Jordan Clarabelle belum benar-benar penyelesaian, muncul masalah baru.Makin gelisah, Clarabelle menghubungi Susan. Dia tidak sanggup menahan semua tekanan yang datang. Dia perlu mencurahkan penat yang mendera hatinya. Susan segera datang ke rumah sakit, padahal sudah hampir tengah malam.“I am really sorry, Susan. It is really hard for me.” Clarabelle mengusap matanya yang mulai berair. DIa tidak mau menangis, tapi hampir tak bisa lagi menahan butiran bening turun ke pipinya.“Aku justru senang kamu mau cerita. Kalau kamu tidak mengatakan apapun, bagaimana bis
Secepat mungkin Clarabelle kembali ke rumah sakit. Sepanjang jalan hatinya sangat cemas. Doa terus dia naikkan agar Tuhan berbelas kasih, Adriano mampu melewati situasi berat yang sedang dia hadapi. Perjalanan dengan mobil melaju yang cukup kencang rasanya begitu lama. Butiran bening beberapa kali meluncur di kedua mata Clarabelle tanpa bisa dia tahan.“Tuhan, kumohon, kumohon … aku tak bosan meminta, tolong selamatkan papa. Kumohon, jangan bawa dia. Aku akan sendirian. Aku butuh papa. Kumohon …” Berulang kali kata-kata yang sama Clarabelle bisikkan sambil dia melihat jalanan.Begitu mobil terparkir, Clarabelle turun, dan berlari semampu langkah kakinya menuju ke ruangan Adriano. Ruangan tertutup, Clarabelle tahu itu artinya dokter dan para perawat ada di dalam sedang menangani Adriano. Clarabelle mengintip dari jendela.Seorang dokter dan tiga perawat di dalam. Clarabelle semakin tegang. Entah apa yang mereka lakukan, yang pasti hati C
“Tuan Hayden!” Lorenz memangil Jordan yang duduk di ruangannya. Jordan mengangkat wajahnya, melihat asistennya yang memandang dengan tatapan aneh. “Kenapa Tuan masih di sini?” tanya Lorenz. “Apa yang salah? Aku di kantor bekerja?” ujar Jordan heran dengan pertanyaan Lorenz. Lorenz hampir tidak percaya mendengar jawaban Jordan. Ayah mertuanya meninggal, Jordan tidak peduli? “Tuan tidak dapat pesan dari Nyonya Hayden? Maksudku, istri Tuan?” tanya Lorenz lagi. “Kenapa kamu mengurusi istriku?” Jordan seketika kesal. “Susan pergi lebih cepat hari ini. Dia mendapat pesan ayah Nyonya Clarabelle Hayden meninggal.” Lorenz menatap Jordan. “Apa kamu bilang?” Jordan sangat kaget dengan kata-kata Lorenz. Segera dia ambil ponsel yang tergeletak di meja dan melihat pesan Clarabelle. “Damn!” Jordan berdiri seketika dan berjalan dengan cepat keluar ruangan itu. “Bereskan mejaku!” Perintahnya pada Lorenz. Lorenz hanya men
"Mana cucuku? Aku sudah tidak sabar mau memeluknya!" Suara ceria itu, terdengar renyah. Clarabelle sangat merindukannya. Dengan cepat Clarabelle menemui Crystal yang baru melangkah masuk ke dalam rumah. "Oh, my God!" Crystal terbelalak begitu melihat Clarabelle. "Lihat, Sayang. Bayimu sudah tumbuh sebesar ini?" Crystal memegang perut Clarabelle dan mengusapnya dengan rasa gembira yang meluap. Clarabelle tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Sambutan hangat itu rasanya membalut semua hal yang dulu ingin dia lupakan. Keluarga Hayden. Keluarga itu akan terus menjadi bagian hidupnya. "Apa kabar, Lala?" Ann-Mary ganti memeluk Clarabelle. Suara manisnya yang elegan, Clarabelle juga rindu. "Aku sangat baik." Clarabelle tersenyum. Ada rasa tidak nyaman juga mengumpul di hatinya. "Aku minta maaf, karena pergi diam-diam. Sungguh, aku tidak ingin mengecewakan siapapun. Aku minta maaf." "Anakku yang tidak tahu menjaga istrinya. Kenapa kamu minta maaf? Jordan yang harus minta maaf. Dulu dia berj
Matahari cerah. Salju mulai mencair perlahan-lahan. Musim dingin kian bergeser, musim semi akan datang beberapa minggu lagi.Clarabelle duduk di pinggir jendela. Dia memandang ke jalanan dan pemandangan di depan rumah tempat dia tinggal. Tenang, hening, dan meneduhkan. Dari arah belakangnya, aroma harum kopi panas terasa masuk ke penciuman.Clarabelle menoleh, Jordan berdiri dengan dua cangkir di tangannya. Wajah tampan itu tidak tersenyum, tetapi tatapan ceria muncul dari sorot matanya."Minuman hangat buat jantung hatiku. Susu saja. Kopi buat aku." Jordan memberikan satu cangkir kepada Clarabelle."Ah, aku sudah membayangkan meneguk kopi panas dan harum. Kenapa susu lagi?" Clarabelle cemberut tetapi dia terima juga cangkir dari Jordan."Biar sehat. Nanti saja kalau sudah lahir kesayangan kita, kamu minum kopi." Jordan duduk di sebelah Clarabelle. Dia menghirup harum kopi di cangkirnya, lalu meneguk beberapa kali."Hm, ibu hamil ga masalah
Salju baru beberapa menit lalu berhenti. Mobil hitam James berhenti dan terparkir di garasi rumah besar itu. James turun dari mobil dan dengan cepat berputar, membuka pintu mobil dari sisi lainnya. "We are here. Come on, Babe." James mengulurkan tangannya. Nerry menyambut tangan James dan keluar dari mobil. Dia melihat ke sekeliling. Tempat parkir saja begitu luas. Ada beberapa mobil ada di dalam garasi. Semua jelas mobil berkelas, mobil tidak terlalu sering tampak di jalanan. "They are waiting." James tersenyum. Dia menggandeng Nerry dan mengajak masuk ke rumah dari pintu samping, langsung ke ruang keluarga. "Tuan, aku sangat gugup." Nerry memperhatikan James. Wajah gadis itu merah merona. Sedangkan James tersenyum lebar penuh keceriaan. "Tenang saja. Kamu tidak akan dihukum karena jatuh cinta pada Hayden. Dan jangan panggil aku Tuan," kata James. "Iya, Tuan. Oh, James? Aneh." Nerry tersenyum
Jordan menghentikan langkah mendengar pertanyaan itu. Apa yang baru dia dengar? Dia berbalik. Matanya bertemu mata indah yang membuatnya jatuh hati. Mata bulat dan bening Clarabelle. "Are you sure, you wanna leave me? And our baby?" Clarabelle memandang Jordan. Tangannya menyentuh bagian perutnya. Jordan masih mencerna apa yang terjadi. Tatapan matanya makin menghujam. "Setelah semua yang kamu lakukan, toko coklat Lala Joy, meninggalkan rumah mewah di Sydney, tidak peduli kantor Hayden, dan melepas semua wanita itu ... kamu akan pergi dariku?" Clarabelle bicara dengan tenang. Kedua matanya tampak teduh. Perlahan bibirnya tersenyum. "Lala ...." Jordan tak percaya yang dia lihat. Clarabelle mengucapkan sesuatu yang jauh dari bayangannya. "I miss you too, Jordan Gerald Hayden. Deep ini my heart, I always wanna hug you." Bibir tipis Clarabelle kembali menguntai senyum. Jordan segera kembali mendekat dan memegang tangan Clarabelle. "What do
James keluar kamarnya. Dia menelpon Susan dan terpaksa membuat Susan bangun. Kabar yang James berikan tentang Clarabelle mengejutkan Susan. Dia cepat-cepat bersiap dan menemui James di tempat parkir."Susan, kamu bantu aku. Ini situasi buruk. James bertingkah bodoh lagi dan membuat Clarabelle kembali terluka." James mulai melajukan mobil keluar hotel.Hari mulai terang, tetapi matahari tidak mau menunjukkan dirinya."Apa yang Tuan harapkan dariku?" tanya Susan."Aku akan tenangkan Jordan. Dia kembali merasa bodoh dan menyesal. Kurasa dia lebih kacau karena bayi mereka dalam bahaya." James terdengar resah dan cemas. "Kamu, aku minta kamu tenangkan Clarabelle. Aku tidak tahu apa yang dia rasa tentang Jordan setelah kejadian ini. Aku hampir yakin, dia akan meminta bercerai."Deg. Susan menatap James. Apakah seburuk itu? Susan tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan nanti pada Clarabelle."Aku rencana h
Jordan panik. Dia gemetar melihat Clarabelle bahkan kesulitan duduk."Lala ... Lala ...." Jordan tidak tahu harus bicara apa.Sementara darah terus mengalir dan melebar di atas salju."Jordan, sakit ...." ucap Clarabelle sambil memegang perutnya."Dokter ... kita ke dokter. Tunggu, aku ambil mobil. Bertahanlah," ujar Jordan di antara rasa bingung dan ketakutan.Dia berdiri dan berjalan kembali ke tokonya. Dia harus segera mengambil mobil dan membawa Clarabelle ke rumah sakit. Clarabelle makin pucat. Rasa dingin yang menusuk, disertai rasa sakit yang mendera perut, kaki, pinggang, dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia hampir tidak bisa bergerak lagi.Beberapa menit berikutnya, Jordan datang. Dia membantu Clarabelle masuk ke dalam mobil. Clarabelle lunglai, tetapi tubuhnya juga kaku karena kedinginan. Dengan hati tidka karuan, Jordan mulai melajukan kendaraannya. Hari tidak lagi bersalju, tetapi jalanan cukup sulit ditempuh, Jordan tidak
Clarabelle terkejut dengan reaksi Jordan. Dia mencoba melepaskan diri, tapi Jordan tidak mau mengalah. Dia bahkan lebih berani bertindak. Dia kecup Clarabelle. Dia lepaskan kerinduan dengan memeluk erat istrinya.Clarabelle awalnya ingin berontak. Sayangnya, hati dan rindunya tidak sejalan. Hati menolak, tetapi rindu yang Clarabelle rasa memaksanya menyambut kemesraan yang Jordan lemparkan. Debaran kuat menguasai Clarabelle. Degupan yang menyenangkan, yang menaikkan hasrat dirinya tak bisa dibendung. Clarabelle menyerah. Dia mulai menikmati sentuhan Jordan."I miss you. So much ...." Jordan berbisik, lembut. Clarabelle makin bergelora.Tidak ada penolakan, Jordan makin melangkah jauh. Permainan dia lanjutkan. Dia menarik Clarabelle naik ke atas ranjang. Mereka meneruskan perjalanan rindu dan cinta yang terlalu lama tertahan karena rasa marah, kecewa, dan juga takut makin terluka.Di luar salju kembali deras. Bahkan suara angin menderu pun terdengar. Rindu
Mobil Jordan oleng. Clarabelle mendekap dadanya dengan rasa takut mencuat begitu cepat. Mobil hampir saja bertabrakan. Jordan sigap kembali ke posisi dan mengendalikan setir. Untung, dia mampu menghindar sehingga tabrakan tidak terjadi. "Ya Tuhan ...." Clarabelle masih merasakan dadanya berdetak begitu cepat karena rasa kaget. Jordan sudah kembali menguasai kendaraannya. Tapi dia juga sama terkejutnya. Berulang kali dia mengambil nafas dalam, menenangkan diri. "Sorry, I am sorry," kata Jordan tanpa melihat CLarabelle. Dia fokus menyetir. Clarabelle tidak menjawab. Dalam hati dia bersyukur, tidak terjadi kecelakaan. Dia tidak bisa membayangkan jika benar tabrakan terjadi. Bukan hanya dia dan Jordan yang celaka, tetapi bayi mungil di rahimnya juga. Hening. Sisa perjalanan hingga ke toko Jordan, tidak ada yang bicara. Jordan memarkir kendaraannya, langsung masuk ke garasi. Clarabelle kembali memegang pipi Jordan, lalu ke lehernya.
James menajamkan tatapannya. Dua bola mata indah dan lentik milik Nerry berair. Apa yang dia risaukan? Mengapa justru gadis itu jadi bersedih? "Nerry, ada apa? Aku sungguh-sungguh dengan niatku. Aku tidak akan mempermainkan kamu. Aku janji ...." "Bukan itu. Maafkan aku," sahut Nerry. James menutup mulutnya. Dia lebih baik mendengar yang Nerry akan utarakan padanya. Mungkin memang dia terlalu cepat meminta Nerry menjadi kekasihnya apalagi masuk dalam pernikahan. Rasanya sama saja dengan kisah Jordan dan Clarabelle. "Mengenal Tuan secara langsung, punya momen bersama, buat aku ... seperti mimpi. Ga masuk akal. Tuan tiba-tiba muncul di depanku. Semua hari-hariku berubah seketika." Nerry mulai mengungkapkan yang sedang berkecamuk di dalam hatinya. James menunggu. Dia tahu Nerry belum selesai. "Jujur, aku jika sungguh bersama Tuan nanti, seperti cinderella. Dari hidup sederhana masuk dalam sebuah istana. Apakah aku bisa, Tuan? Apakah aku cu