Ucapan Adriano membuat hati Clarabelle terasa berantakan. Apakah memang papanya tidak akan bertahan? Tidak. Clarabelle tidak mau jika dia harus kehilangan Adriano. Dia belum siap. Dia masih ingin bersama papanya lebih lama.
“Papa … aku panggil dokter sekarang.” Clarabelle melepas genggaman tangan Adriano.
Adriano menggeleng. Dengan sedikit gemetar dia meraih tangan Clarabelle dan menyatukannya lagi dengan tangan Jordan.
“Sedikit lagi, Lala …” ucap Adriano.
Clarabelle tak bisa membendung air matanya. Tubuhnya terasa limbung. Sungguhkah ini saat terakhir dia bersama papanya?
“Kalian … berjanji …” Adriano memandang dengan mata kuyu dan tatapan lelah. “Berjanjilah … apapun … jangan berpisah …”
“Iya, aku janji, aku ga akan pisah sama Jordan, aku akan jadi istrinya seumur hidupku. Tapi Papa harus sehat. Papa lihat aku dan Jordan akan terus sama-s
James segera melepaskan pegangannya dari tangan Clarabelle. Dia memandang pada Jordan yang menatap padanya dengan penuh kebencian.“Jordan …” Hampir bersamaan James dan Clarabelle menyebut nama itu.“Nice, very nice.” Jordan tersenyum getir. Wajahnya memerah dengan tangan terkepal di sisi badannya. “Aku tidak heran kalau kamu mengulangi lagi yang kamu pernah lakukan, James. Memang kamu selalu ingin menghancurkan aku.”“Jordan, jangan salah paham. Aku dan Lala tidak ada apa-apa. Dia hanya sedih, dan aku …”“Sudahlah, James. Kamu akan terus jadi pecundang. Tidak mau mengakui perbuatanmu. Belum puas kamu membuat aku remuk? Belum puas kamu singkirkan Annette?” Tatapan kebencian Jordan makin dalam. Kata-katanya meluapkan emosi dan luka yang dia pendam.“Jordan! Kamu tahu semua itu tidak benar!” Dengan tegas, sedikit berteriak, James meminta Jordan tidak memaksa pikiran
Malam itu Jordan tidak datang ke rumah sakit. Saat Adriano bertanya, Clarabelle terpaksa berdusta dengan alasan ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Jordan tidak menjawab pesan yang Clarabelle kirim, tidak juga mau menerima telpon.“Dia benar-benar marah. Aku harus bagaimana?” batin Clarabelle. Dia sangat resah. Urusan dengan Karen baru saja kelar, sedangkan dengan Jordan Clarabelle belum benar-benar penyelesaian, muncul masalah baru.Makin gelisah, Clarabelle menghubungi Susan. Dia tidak sanggup menahan semua tekanan yang datang. Dia perlu mencurahkan penat yang mendera hatinya. Susan segera datang ke rumah sakit, padahal sudah hampir tengah malam.“I am really sorry, Susan. It is really hard for me.” Clarabelle mengusap matanya yang mulai berair. DIa tidak mau menangis, tapi hampir tak bisa lagi menahan butiran bening turun ke pipinya.“Aku justru senang kamu mau cerita. Kalau kamu tidak mengatakan apapun, bagaimana bis
Secepat mungkin Clarabelle kembali ke rumah sakit. Sepanjang jalan hatinya sangat cemas. Doa terus dia naikkan agar Tuhan berbelas kasih, Adriano mampu melewati situasi berat yang sedang dia hadapi. Perjalanan dengan mobil melaju yang cukup kencang rasanya begitu lama. Butiran bening beberapa kali meluncur di kedua mata Clarabelle tanpa bisa dia tahan.“Tuhan, kumohon, kumohon … aku tak bosan meminta, tolong selamatkan papa. Kumohon, jangan bawa dia. Aku akan sendirian. Aku butuh papa. Kumohon …” Berulang kali kata-kata yang sama Clarabelle bisikkan sambil dia melihat jalanan.Begitu mobil terparkir, Clarabelle turun, dan berlari semampu langkah kakinya menuju ke ruangan Adriano. Ruangan tertutup, Clarabelle tahu itu artinya dokter dan para perawat ada di dalam sedang menangani Adriano. Clarabelle mengintip dari jendela.Seorang dokter dan tiga perawat di dalam. Clarabelle semakin tegang. Entah apa yang mereka lakukan, yang pasti hati C
“Tuan Hayden!” Lorenz memangil Jordan yang duduk di ruangannya. Jordan mengangkat wajahnya, melihat asistennya yang memandang dengan tatapan aneh. “Kenapa Tuan masih di sini?” tanya Lorenz. “Apa yang salah? Aku di kantor bekerja?” ujar Jordan heran dengan pertanyaan Lorenz. Lorenz hampir tidak percaya mendengar jawaban Jordan. Ayah mertuanya meninggal, Jordan tidak peduli? “Tuan tidak dapat pesan dari Nyonya Hayden? Maksudku, istri Tuan?” tanya Lorenz lagi. “Kenapa kamu mengurusi istriku?” Jordan seketika kesal. “Susan pergi lebih cepat hari ini. Dia mendapat pesan ayah Nyonya Clarabelle Hayden meninggal.” Lorenz menatap Jordan. “Apa kamu bilang?” Jordan sangat kaget dengan kata-kata Lorenz. Segera dia ambil ponsel yang tergeletak di meja dan melihat pesan Clarabelle. “Damn!” Jordan berdiri seketika dan berjalan dengan cepat keluar ruangan itu. “Bereskan mejaku!” Perintahnya pada Lorenz. Lorenz hanya men
Seminggu berlalu. Rasa kehilangan belum juga pergi. Clarabelle masih berada di rumah Adriano, belum ingin kembali ke rumah Jordan. Dia masih ingin merasakan Adriano ada di dekatnya. Jordan mengalah. Dia ikut tinggal di rumah Adriano. Sesekali dia menengok rumah, memastikan semua baik-baik saja.Hari itu, Jordan ingin menghibur Clarabelle. Rencananya ingin membuat momen bersama Clarabelle tertunda karena Adriano berpulang. Dia memikirkan apa yang bisa dia lakukan agar senyum Clarabelle kembali.Ronald, lagi-lagi memberi dia ide bagaimana bisa membuat sebuah kejutan. Sepulang kerja sore itu, Jordan ingin mewujudkannya.“Tunggu aku pulang, Lala. Dan hari ini senyum lebar akan aku lihat dari bibirmu yang mungil itu.” Jordan tersenyum kecil membayangkan Clarabelle kembali tersenyum.Jordan mengendarai mobil dengan sedikit cepat. Dia sudah menyiapkan beberapa hal untuk menghabiskan malam dengan Clarabelle. Begitu tiba di rumah, kejutan demi kejutan
“My Lala …” Jordan menangkup pipi Clarabelle. “Suka sekali melihat senyum kamu kembali.”Mata Jordan berbinar. Dia gembira karena Clarabelle menikmati kejutannya.“Kita mulai, makan malamnya?” Jordan melepaskan tangannya dari pipi Clarabelle. Dia mengambil satu botol anggur dan membukanya.Clarabelle mengangkat dua gelas dan mendekatkan pada Jordan. Jordan menuang anggur ke dua gelas itu, lalu mulai mereka menikmati suasana romantis berdua.Hati Clarabelle masih melambung. Lama tidak pernah dia merasakan lagi manisnya Jordan. Setelah semua yang merela lalui, ternyata mereka sampai di titik yang sama, ingin mewujudkan janji mereka. Mereka akan tetap bersama.Makan malam begitu menyenangkan. Jordan kembali membuat Clarabelle nyaman dan tertawa senang dengan pembicaraan dan candaan mereka. Semua kepedihan seakan sirna. Jordan Hayden yang mampu meruntuhkan hati Clarabelle, masih berhasil melakukannya lagi.
Hingga beberapa hari berikut, Clarabelle akhirnya memutuskan pulang ke rumah Jordan. Dia merasa sudah cukup menempati rumah Adriano. Sudah saatnya dia menjalani pernikahannya, tanpa lagi ada bayang-bayang Adriano. “Papa dan mama akan terus di hatiku. Meskipun semua tidak ada di dekatku lagi, mereka tetap akan tersimpan dalam sepanjang hidupku.” Clarabelle bicara dalam hati dengan penuh kelegaan. Dia siap melanjutkan pernikahannya dengan Jordan. Satu yang muncul di pikirannya, seorang anak. Clarabelle tidak akan lupa, Adriano pernah berkata, jika seorang anak lahir di antara dia dan Jordan, sangat mungkin akan mengikat hubungan pernikahannya lebih kuat. Jaren juga mengatakan hal yang sama, satu yang perlu buat Clarabelle dan Jordan, adalah seorang anak. “Kurasa, sudah saatnya aku dan Jordan memiliki anak.” Clarabelle tersenyum. Dia memandang foto pernikahannya dengan Jordan. Tidak terasa, satu tahun sudah berlalu, penuh dengan drama, up and down, menguras emos
Jordan mendadak berubah kesal setelah mendapat pesan dari Clarabelle. Sepanjang hari dia banyak pekerjaan dan saat pulang ingin bersama istrinya di rumah. Ternyata, Clarabelle pergi ke rumah Hayden tanpa dirinya.“Kita sudah sepakat, bukan? Kamu akan pergi ke rumah orang tuaku hanya jika bersama denganku?” Nada suara Jordan meninggi.Lorenz yang ada di ruangannya, cukup kaget karena Jordan tiba-tiba marah di telpon.“Granny! Granny memang alasan paling tepat kamu datang ke sana,” Jordan kembali bicara dengan ketus. “Aku segera menyusul. Begitu aku sampai kita pulang!” Jordan menutup telponnya dengan cepat tanpa memberikan kesempatan Clarabelle bicara lagi.Dia berdiri dan meraih jas yang tersampir di kursinya.“Tuan mau pergi?” tanya Lorenz. Pembicaraan mereka belum selesai, Jordan malah bersiap hengkang.“Kamu bisa urus sisanya. Aku tidak bisa menunggu lagi.” Jordan terus mel