Minggu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seperti apa yang dikatakan Pak Arsan, hari ini beliau akan memperkenalkan anaknya padaku. Dari semalam aku sudah menebak-nebak bagaimana rupa anaknya Pak Arsan. Apakah mirip Pak Arsan yang kaku atau mirip Ibunya? Entah bagaimana rupa Ibunya, semoga saja jauh lebih berekspresi daripada suaminya.
Selesai merias diri, dengan tampilan t-shirt abu-abu dan celana jins yang sedikit sengaja kurobek, aku keluar menghampiri Pak Arsan di ruang tamu. Untungnya Fika sudah pergi lebih pagi bersama teman-temannya, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan pertanyaannya yang pasti akan bertanya, 'ada hubungan apa teteh sama pak Arsan?'.
Setelah pamit pada Mama dan Papa, aku dan Pak Arsan bergegas pergi. Awalnya aku bingung dengan kedatangannya yang malah hanya seorang diri, bukan bersama anaknya. Kemarin kan beliau bilang mau memperkenalkan anaknya.
“Pak, kita mau kemana?” tanyaku.
“Jemput Alin.”
Jawabannya sesimpel itu, Pak? Lalu, siapa Alin?
“Alin?”
“Anak saya.”
Ooh, anaknya namanya Alin. “Dia dimana, Pak?” tampar saja mulutku yang suka sekali melempar pertanyaan pada Pak Arsan. Entahlah, aku kepo sekali dengan kehidupannya.
Sedetik sampai sepuluh detik, Pak Arsan tidak menjawab. Mungkin kesal karena aku banyak tanya. Sedih banget di kacangin. Ku palingkan pandangan kearah jalanan yang sedang ramai dengan klakson motor dan mobil saling bersahutan.
Aku terus memalingkan wajah darinya sampai akhirnya mobil yang kutumpangi berhenti di jalan sebuah perkomplekan. Kulirik Pak Arsan yang juga menatapku sambil membuka seatbelt.
“Kamu pindah di belakang, saya tinggal sebentar. Jangan kemana-mana.” katanya.
Ngeselin nggak, sih perintahnya? Tadi bilang suruh pindah di jok belakang, tapi selanjutnya memerintahkan untuk jangan kemana-mana. Akhirnya setelah kepergiannya aku bergegas pindah tempat duduk dan merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Sedari tadi aku tidak memainkannya karena menurutku bermain ponsel disaat ada Pak Arsan bukanlah ide baik.
Tak lama Pak Arsan membuka pintu, beliau mendudukan seorang anak kecil berambut pendek sebahu dan menggendong tas. Lantas Pak Arsan membuka pintu kemudi dan duduk di kursinya.
“Ayah kok parkir mobilnya disini? Kenapa nggak di depan rumahnya Nenek?”
Anak kecil yang sekarang sudah tidak kulihat lagi sosoknya karena terhalang kepala jok itu bersuara. Suaranya cempreng dan suara cempreng adalah tipe-tipe orang pemberani. Jangan! Jangan sampai anaknya Pak Arsan beraninya melebihi Luna. Bisa gila aku kalau itu kenyataan.
“Biar cepet.”
Bahkan bicara dengan anak sendiri pun Pak Arsan sangat kaku dan irit. Aku jadi penasaran, kira-kira dengan cara apa ya, Alin bisa bertahan hidup dengan sosok kaku macam Pak Arsan. Sambil memainkan ponsel, telingaku fokus mendengar pembicaraan anak dan Papa itu.
“Yah, itu siapa dibelakang? Kok ada orang?”
Barulah aku mengangkat kepala. Kulihat dari kaca depan, Alin tengah memandangku dengan pandangan menyelidik. Wajahnya sangat mirip sekali dengan Pak Arsan. Putihnya, matanya... Semuanya! Aku jadi penasaran dengan sosok istrinya Pak Arsan. Kira-kira bagaimana rupanya. Kenapa bisa mau menikah dengan orang keras seperti Pak Arsan.
“Teman Ayah.”
Teman? Kenapa tidak jujur saja kalau aku ini calon Ibunya? Ah! Kenapa aku jadi berbesar kepala begini? Belum tentu kan, Pak Arsan mau denganku. Secara, aku ini seorang pengangguran akut, hanya lulusan SMA bahkan sempat tidak lulus. Apa yang membuatnya mau menerimaku sebagai istri? Tidak ada! Jadi, kumohon wahai hati, jangan sekali-kali berharap menjadi istri Pak Arsan.
Ah! Sebenarnya juga aku sendiri belum tentu setuju menikah dengan Pak Arsan. Lihat saja tingkahnya, aku tidak mau menikah dengan patung berjalan. Untung saja tampan, kalau tidak sudah pasti akan aku musnahkan saja.
“Namanya siapa, Yah?” sepertinya sifat Alin berbeda dengan Pak Arsan. Jika dilihat dari tadi, gadis itu sangat berekspresif.
Karena dia menanyakan namaku, aku mencondongkan diri kedepan untuk melongoknya dengan tangan mengulur agar bisa bersalaman, “Hai.. Namaku Nana.”
Alin tidak membalas uluran tanganku. Dia malah menyanyikan soundtrack film animasi si Minion. “Nanana Babanana na... Nanana babanana na....”
“Panggil yang benar. Namanya Tante Nana.”
Aku melotot pada Pak Arsan. Kenapa harus pakai Tante? Kenapa tidak Kakak saja atau Mbak, gitu?
“Banana!”
Wajahku memerah mendengar bentakan itu. Barusan Alin memanggilku apa? Banana?! Apa tubuhku mirip dengan pisang? Pisang banget, ini? Aku memundurkan tubuh menjadi duduk seperti semula. Memandang jok Alin dan Pak Arsan secara bergantian.
“Panggil yang benar, Alin!” Pak Arsan meninggikan suaranya.
“Tapi aku penginnya panggil Banana, Ayah!”
“Itu nggak sopan.”
“Bodo!”
Mendengar bantahan itu membuatku jadi ingin keluar dari mobil ini. Sepertinya sifat Alin tidak jauh beda dengan Luna. Pembangkang dan pemberani. Saking beraninya, dia juga berani pada orang yang lebih tua. Bayanganku jadi melayang kearah rumah tangga. Dimana aku harus mengurus Alin dan Alinnya tidak mau aku urus. Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu. Tidak! Semoga saja Pak Arsan punya pengasuh sendiri untuk Alin.
“Alin Kartika Putri!” sepertinya Pak Arsan sedang berusaha menggertak Alin dengan memanggil nama panjang anak itu.
“Iya-iya.. Tante Nana. Tapi ada syaratnya! Aku mau makan di McD!!”
Pak Arsan mengangguk. Harus ke McD banget ini? Aku menghela napas. Bayangan akan diajak Pak Arsan ke restoran Bintang lima, makan bertiga disana dengan canda tawa dan tingkah malu-malu kucing Alin, lenyap sudah. Aku kira akan begitu jalan ceritanya. Namun ternyata sifat Alin diluar fikiranku. Dia malah sepertinya lebih menakutkan daripada Luna.
***
kami benar-benar makan di McD. Bisa kulihat, Pak Arsan yang duduk didepanku memakan bagiannya dengan tidak napsu. Sedangkan Alin sangat menikmati. Dan aku, jangan ditanya. Mau di McD, warteg bahkan kaki lima, aku tetap memakan makanan itu penuh lahap. Apapun jenis makanan akan aku telan. Yang penting matang dan halal.
“Tante, itu di atas alis kiri ada apanya? Kok ijo-ijo kecil gitu?”
Alin bersuara padaku, membuatku menatapnya dan mencerna perkataannya barusan. Jangan-jangan, ada ulat bulu kecil di daerah alisku? Mataku membola dan segera aku mengucek-ucek alis sampai mata. Bukannya kelegaan yang aku dapat, tapi malah rasa perih. Karena tanganku yang berlumuran saos.
“Duh.... Perih.. Perih...” dengan mata terpejam, aku mengibas-ngibaskan tangan berusaha mengurangi rasa perih ini.
Bisa kudengar tawa Alin yang menggema. Mata kananku yang tidak apa-apa, membuka secelah dan melihat Pak Arsan berusaha menghentikan tawa anaknya. Beberapa detik kemudian Alin berhenti tertawa dan lanjut makan.
Tiba-tiba saja tanganku di tarik oleh Pak Arsan. Aku yang sudah tidak berdaya lagi mau-mau saja ditarik. Pak Arsan membawaku ke toilet. Kami berdiri saling berhadapan didepan wastafel.
“Ngapain kamu masih berdiri?”
Lhah, memangnya mau ngapain? Bukannya Pak Arsan yang membawaku kesini?
“Emangnya ngapain, Pak?” tanyaku.
“Cepat basuh mata kamu.”
Ooh... Aku buru-buru melaksanakan perintahnya. Setelah dirasa sudah tidak perih lagi, aku mematut menatap diri didepan cermin besar di depanku. Pak Arsan masih di sebelahku, menatapku.
Gerogi, aku pura-pura membersihkan bulir-bulir air di sekitar mata. Hingga akhirnya Pak Arsan memutar bahuku untuk menghadapnya. Tanpa kuduga Pak Arsan melakukan ini! Pak Arsan membersihkan area mataku dengan bantuan tisu. Gerakannya sangat lembut, sangat berbanding balik sekali dengan raut wajahnya yang sangar.
“Maafkan anak saya. Dia memang jahil.” katanya.
Aku hanya bisa mengangguk. Walau dalam hati sama sekali tidak ikhlas untuk memaafkan Alin.
***
“Minta maaf sama Tante Nana!” Pak Arsan memerintahkan Alin untuk meminta maaf padaku.
Namun anak kecil itu seolah tidak mendengar, terus mengunyah makannya dan sibuk sendiri. Sesekali dia menyeruput minumannya sambil melirikku.
“Kalau kamu nggak mau minta maaf, Ayah bakal tinggalin kamu disini.” ancam Pak Arsan sepertinya tidak main-main.
“Udah Pak, saya nggak apa-apa kok...” kataku menengahi konflik antara keduanya.
Kulihat Pak Arsan melirikku sekilas lantas menatap anaknya kembali sambil menahan geraman yang tertahan. Kukira Pak Arsan akan menjadi garang hanya pada para murid-murid SMA Satu saja, namun juga pada anak sendiri. Aku tidak habis fikir. Pantas saja Alin menjadi anak yang pembangkang, mungkin karena didikan Pak Arsan yang terlalu menekan. Mungkin.
“Sekali lagi Ayah bilang dan kamu nggak mau, Ayah ak—,”
“Tante Nana aku minta maaf!” Alin berkata ketus, lantas melirik ayahnya, “Puas?!” dan kembali menandaskan makanannya yang sudah hampir habis namun masih ia punguti.
“Ayo, sekarang kita pulang!” Pak Arsan menarik pergelangan tangan Alin dan melirikku, memberi kode agar ikut beranjak keluar dari McD.
"Ayah... Aku mau beli Es krim dulu... Pokoknya es krim...!” tangan Alin meronta-ronta mencoba melepas diri dari Pak Arsan.
Para pengunjung Mall memandang kami dengan bisik-bisik penuh. Aku jadi malu sendiri. Dengan bantuan tas selempang kecil, kututupi wajah menggunakan barang itu sambil mengikuti Pak Arsan untuk membeli es krim.
Akhirnya aku bisa mendudukan diri di dalam mobil dan terhindar dari para pasang mata yang selalu kepo untuk melirikku. Kulihat dari celah tengah jok, Alin tengah menyantap es krim dengan lahap. Selain pembangkang dan pemberani, dia juga doyan makan dan jangan lupakan pula sifat keras kepalanya yang akut.
“Jangan buang sampah sembarangan, Alin!” Pak Arsan membentak ketika Alin membuang wadah es krim lewat jendela.
Tidak ada sahutan dari anak itu. Aku menghela napas berat. Hari ini aku banyak mendengar Pak Arsan membentak dan hal itu membuatku semakin takut untuk menjalih hubungan dengannya. Aku takut mendapatkan amarah darinya.
Sambil melamun membayangkan ketika dulu Pak Arsan memarahiku karena tertawan masuk ke kelas anak IPA tanpa alasan pasti, aku melirik Alin. Dia ternyata tertidur. Mumpung dia sedang tidur, aku memutuskan untuk bertanya mengenai Alin.
“Pak, kalau boleh tau, Alin umurnya berapa, ya?”
"Enam,”
“Sekolahnya kelas berapa?”
“TK Besar.”
Bola mataku memutar jengah mendengar jawabannya yang selalu singkat, padat dan nyebelin. Jawaban singkatnya Pak Arsan itu bikin darah orang yang mendengar jadi darah tinggi. Seperti aku ini. Untung saja aku masih muda.
Dalam hati aku menyumpah serapah mulut Pak Arsan yang irit bicara itu. Namun sumpahanku terhenti begitu saja ketika Pak Arsan tiba-tiba menegur,
“Jangan suka menyumpah serapah seseorang.”
Sejak kapan Pak Arsan memiliki ilmu Indra keenam? Aku meneguk ludah ketika ingatanku kembali teringat pada saat masa-masa SMA. Kala itu Pak Arsan memberiku hukuman untuk menyapu seluruh koridor sekolahan, namun aku hanya diam dengan hati bergemuruh menyumpah serapahinya yang semena-mena itu.
Tiba-tiba saja Pak Arsan menegurku dengan berkata, “Jangan suka menyumpah serapah!” dengan suara tegas yang membuatku segera menghapus sumpahku dalam hati.
Sekarang kejadian itu kembali terjadi. Namun dengan perkara yang berbeda.
Bolehkah aku bilang bahwa hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan? Karena seorang Arman, mantan pacarku tiba-tiba saja menelpon dan bilang bahwa dia ingin bertemu denganku karena ada sesuatu penting yang mau disampaikan.Entah aku yang merasa berlebihan atau apa, yang jelas aku berfikir Arman ingin bertemu denganku karena dia ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat kandas di tengah jalan.Tanpa menunggu waktu lama lagi, lima menit setelah Arman memutus teleponnya, aku segera keluar dari rumah untuk menemui Gojek yang sudah menungguku.Sesuai dengan permintaan Arman, dia ingin kami bertemu di tempat yang dulu sering dijadikan tempat kencan. Adalah kaffee lovely, tempatnya dekat SMA Satu.Tiba di kaffee aku mencari-cari sosok Arman. Katanya dia sudah datang lebih dulu. Ketika aku menoleh kearah kanan, kulihat Arman melambaikan tangan padaku. Aku segera
"Pak, pokoknya aku mau kita nikah secepatnya!""Kita?""IYA!""Saya belum setuju dengan perjodohan ini. Jangan mengambil keputusan sendiri.""Nggak mau tau! Pokoknya nikah secepatnya!"Aku menunggu sahutan dari seseorang diseberang sana, yang tak lain adalah Pak Tarsan, ralat! pak Arsan. Selama sepuluh detik tidak ada sahutan, aku mencoba memanggil-manggilnya namun bukannya sahutan malah suara sambungan terputus yang aku dengar. Sial! Aku yang menelfon, harusnya aku juga yang memutuskan panggilan!Tidak lama, aku mendapat pesan dari nomor Pak Arsan.Pak Arsan :Skrg km ada dmn?Me:Di rumah, PakPak Arsan :D rmh ada siapa?Me:Sendirian, Pak. Memangnya knp?Hari Sabtu ini aku dirumah memang sendirian. Semua para penghuni sedang berlibur pergi ke
Pemandangan pertama yang kulihat ketika mobil Pak Arsan berhenti adalah sebuah rumah bak istana yang memiliki dua lantai. Aku terbengong-bengong menatap rumah megah itu lewat kaca jendela mobil. Benarkah ini rumah keluarga Pak Arsan? Apa sekaya itu?Tin!Tubuhku terlonjak kaget, “Astaghfirullah!” sebutku.Pak Arsan dengan jahilnya menyalakan klakson mobil. Aku menatap punggungnya dan memutar bola mata sebal sambil berusaha menenangkan batin agar tidak menyumpah serapah.“Ayo turun.” ajaknya seraya membuka pintu mobil.Aku membuka pintu mobil penumpang dan keluar. Berlarian kecil untuk mensejajarkan langkah dengan Pak Arsan. Tidak lupa berdo'a dan selalu menundukkan kepala. Jantungku berdegup kencang kala langkah kami sudah di ambang pintu rumah megah ini.“Pak, malu nih...” cicitku.Entah Pak Arsan melirikku atau tidak yang jelas
Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.Kurebahkan tubuh di atas tempat t
Aku duduk termenung di kursi meja makan. Mataku sembab karena masih mengantuk. Ternyata ucapan Pak Arsan tidak main-main. Semalam dia datang ke rumahku membawa kedua Orangtuanya, tidak lupa juga membawa Alin. Bagaimanapun juga dia harus tahu bahwa Ayahnya akan menikah denganku, asekk.Baru semalam aku lihat wajah Papanya Pak Arsan. Beliau mirip dengan Pak Arsan, hanya saja sifatnya berbeda. Jika Pak Arsan pendiam tapi galak, Om Adi itu ramah dan nggak ada galak-galaknya. Bahkan tatapannya begitu teduh.Semalam benar-benar malam yang sangat menegangkan. Dimana Om Adi bertanya padaku apakah aku bersedia diikat dalam sebuah hubungan dengan anaknya atau tidak dan Pak Arsan meminta restu pada Papaku. Alin juga turut ikut serta. Dia diberi pertanyaan oleh Pak Arsan. Apakah merestui aku atau tidak untuk jadi Ibunya. Dan jawaban gadis kecil itu adalah.... Gelengan! Dia menggeleng keras tanpa membuka mulut berkata tidak. Saat
Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang co
Lepas satu minggu, aku, Mas Arsan dan Alin menginap di rumah Mama, hari ini kami akan pindah ke rumahnya Mas Arsan. Aku baru tahu semalam, kalau Mas Arsan ternyata sudah punya rumah sendiri. Kukira dulu dia dan istrinya tinggal di rumah Mama mertua.“Alin, kamu mandi dulu gih, aku mau beresin barang-barang dulu.” kataku pada Alin yang kini masih santai berguling-guling di tempat tidur. Sedang Mas Arsan, dia sudah lebih dulu ke rumahnya untuk mengangkut barang-barang secara bergantian.“Alin nggak mau mandi disini!”Mulutku komat-kamit mendengar tukasannya. Di rumahku saja dia berani membangkang, gimana kalau di rumahnya dia sendiri? Mungkin aku akan dijadikan babunya.“Yaudah terserah, paling juga Ayah kamu bakal marahnya ke kamu bukan aku.” kataku menantang.Kulihat dia bergegas turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Senyumku melebar. Dengan ancaman, dia akan luluh.
“Aku mau berangkat sekolah sama Teh Hanna!” Alin berteriak semakin keras ketika Mas Arsan melarangnya untuk jangan merepotkan Hanna.Namun anak itu bersikeras ingin berangkat sekolah dengan Hanna dan bukannya denganku yang menjadi Ibunya.“Iya, iya... Teteh anter kamu sekolah. Sekarang, mandi ya?” ucap Hanna.Si Alin langsung antusias. Dia turun dari meja makan dan berlarian masuk ke kamar.“Han, apa nggak merepotkan nunggu Alin sampai pulang? Kamu harus jaga butik, kan?” ujar Mas Arsan. Dari suaranya, menurutku sangat ramah. Berbeda jika sedang berbicara denganku, agak terpaksa dan ketus. Membuatku memutar bola mata dan lebih memilih menulikan pendengaran.Kepala Hanna tergeleng dengan senyum tidak pernah luntur pada bibirnya. Kenapa dia murah senyum sekali dengan suami orang? Mau nikung? Uh!“Nggak kok, Mas. Ada karyawan juga.” jawabnya.
Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya
Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri
Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn
Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala
Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan
Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam