Home / Romansa / Married Young / 4. Luna Kampret!

Share

4. Luna Kampret!

Author: Nur Hikmah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56


      Mataku menatap intens pada Fika yang saat ini ada di depanku. Dia sedang menceritakan bahwa kemarin dia di hukum oleh Pak Arsan karena ketawan pulang telat. Fika mendapat hukuman membersihkan gudang sekolahan. Aku tahu sekali gudangnya SMA Satu, berantakannya melebihi rumah orang tukang rongsokan. Dan baunya jangan ditanya, ada bau macam-macam disana, mulai dari bau kotoran tikus, anak tikus yang mati dan lainnya. Lagian sih, salahnya juga kemarin pulang sekolah bukannya langsung ke rumah malah main ke Mall.

“Lagian ya, kenapa kemarin Pak Arsan ada disini, sih? Aku kan nggak ada masalah di sekolahan, kenapa Arsan datang kesini?”

Fika bertanya dengan raut sebal. “Yeee... Sirik aja! Terserah dia dong mau kesini! Kamunya aja yang suka Badung! Pulang sekolah bukannya ke rumah malah ngemall!”

“Iiihh... Aku ke Mall bukan buat seneng-seneng, Teh! Aku ke gramedia, nyari novel buat kado ultah temen satu bangkuku!” belanya pada diri sendiri. 

“Anak SMA jago ngeles, udah diem!” kataku lantas membaringkan tubuh, memunggunginya. 

Kurasakan Fika sepertinya itu membaringkan tubuh, dia memelukku dari belakang. Kami memang selalu tidur bersama, karena aku tidak berani tidur sendiri. Selain buta dalam mengendarai kendaraan, aku juga takut tidur sendirian, padahal umurku sudah 21 dan sebentar lagi 22! Lengkap sudah diri ketololanku. 

“Teh, aku masih penasaran deh. Kira-kira ada masalah apa ya, kenapa Pak Arsan kesini?” tanya Fika dibelakang ku. 

“Udah diem! Tidur, besok sekolah!” bentakku pada Fika sambil mengguncang tubuh agar dia tidak memelukku.

Sebenarnya aku tidak bisa tidur. Aku ingin menanyakan tentang kehidupan Pak Arsan di sekolahan pada Fika. Tapi malu. Takut-takut kalau Fika malah bertanya, 'kenapa tetejh tiba-tiba kepo sama pak Arsan?' kan bisa berabe! 

***

Berita tentang kedatangan Pak Arsan ke rumah ternyata sudah meluas. Semua anggota keluarga sudah pada tahu kecuali Fika, kami masih merahasiakan ini darinya. Bahkan Mas Reza yang posisinya sedang tidak ada di rumah saja sudah mengetahui. Dan karena dia tau bahwa aku akan di jodohkan, Mas Reza memutuskan aku untuk berhenti mengelola kaffee, membuatku saat ini girang kesenangan. 

Akhirnya aku bebas dari pekerjaan membosankan itu. Karena aku sudah tidak kerja lagi, pagi ini aku memilih berleha-leha di sofa sambil nonton TV dan main instagram di ponsel.

Dalam kegiatanku, otakku memikirkan betapa bahagianya aku. Sudah tidak kerja di kaffee dan sebentar lagi juga aku akan keluar dari rumah ini. Mungkin, sih. Kalau jadi nikah.

Memikirkan nikah, otakku melayang pada calon suami dan malah membayangkan wajah Pak Arsan. Lagi-lagi aku terjebak dalam bayangan tubuh tegap dan wajah sangarnya. Bagaimana tidak ditakuti para murid coba, sudah badannya tinggi, kekar, tatapan matanya tajam bak burung hantu, dan sekali lagi, ucapannya tidak pernah main-main. Pak Arsan selalu serius dalam berbicara apapun. Beliau tidak kenal bercanda. 

Sepertinya hari ini aku harus bertemu dengan Pak Arsan lagi, untuk menanyakan kebenarannya. Beliau sebenarnya serius dalam perjodohan ini atau hanya main-main saja. Aku takut di permainkan lagi. Cukup Arman dan mantan-mantanku saja.

Iseng, kubuka daftar kontak di ponselku. Dan menemukan nama Arsyad disana, diurutan ketiga. Sebelum memutuskan untuk mengirimnya pesan untuk bertanya apakah hari ini kita bisa bertemu atau tidak, lebih dulu kuganti nama kontaknya dengan nama 'Pak Arsan'. Setelah itu mengetik pesan dan mengirimnya. 

Me :

Pak, hari ini bs ktmu ngga? Ada yang mau di pertanyakan soalny. 

    Pesan baru saja terkirim. Aku harap-harap cemas, apakah dia akan membalasnya atau hanya sebatas di baca saja. Kalau opsi dua yang dia pilih, fix lebih baik aku memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini. Lima menit sudah berlalu. Karena terlalu lama akhirnya aku keluar dari menu pesan dan beralih ke daftar musik-musik. Sampai akhirnya dimenit kesepuluh, pesanku di balas olehnya.

Pak Arsan :

Bs. Jam brp? Dmn? 

Astagfirullah! Males nulis atau gimana ini orang? Singkat banget kayak SMSannya kids jaman now, yang lagi berantem sama pacarnya.

Me :

Di CaffeeMe jam 2, Pak. Makasih sebelumnya. 

     Aku tidak mengharapkan balasannya, karena kutahu pasti cuma di read. Sekarang, yang terpenting adalah kedatangannya di kaffee Mas Reza. Kenapa aku memilih kaffee itu? Karena biar sekalian ngecek kondisinya. Sudah lama aku tidak menginjakkan kaki kesana. Ini hari rabu, pasti Pak Arsan pulang ngajar cepat. Karena biasanya hari rabu di SMA Satu pulangnya cepat.

     Ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah dua, aku beranjak membersihkan diri. Setelah itu kulangkahkan kaki masuk ke kamarnya Luna sambil memainkan ponsel untuk memesan uber.

“Luna, kamu mau ikut ke Kaffee nggak?” tanyaku setelah membuka pintu dan mendapati anak kecil belingasan itu sedang bermain basket seorang diri didalam kamar.

Dia menoleh dan mengangguk, “Tapi jangan pake uber! Tante harus nyetir sendiri!”

Bola mataku melotot tajam. Aku tahu arah bicaranya kemana. Dia mengejekku karena aku tidak bisa mengendarai mobil. Dasar bocah! Masih misuh-misuh, aku membalas, “Cepetan ganti baju! Ubernya udah sampai.” lantas berlalu dari kamar si cecunguk. 

Dari semua ponakan-ponakanku, memang dialah yang paling berani padaku. Bukan hanya padaku saja sih, Luna juga berani pada Mama dan Papaku. Dia sering memanggil Mama dengan nama Mama sendiri tanpa embel-embel Nenek. Terkadang juga Papa menjadi bahan ejekannya, karena kumis putihnya yang hanya tumbuh di sisi kanan dan kiri saja, di tengahnya tidak ada. 

***

Tiba di Kaffee, ternyata Pak Arsan sudah datang lebih dulu. Aku jadi malu tidak ketulung. Dan untuk menyembunyikan rasa maluku, kepalaku selalu tertunduk dengan tangan tidak henti memutar-mutar sedotan pada jus alpukat. 

“Om, Om kesini naik apa?”

Aku mendengar suara Luna yang duduk di sebelahku bertanya pada Pak Arsan. Diam-diam aku sedikit mengangkat kepala untuk melihat ekspresinya saat menjawab pertanyaan tidak penting dari seorang anak kecil. 

“Naik mobil. Memangnya kenapa?” ekspresinya masih seperti biasa, datar.

“Ooh... Em, aku boleh minta tolong nggak, Om?”

“Boleh. Minta tolong apa?”

“Ajarin Tante Nana nyetir mobil, Om.... Soalnya Tante nggak bisa nyetir, padahal udah gede.”

Sekarang kepalaku sudah benar-benar terangkat. Aku segera membawa kepala Luna ke ketiak dan membekap mulutnya dengan mata tidak terindahkan pada wajah Pak Arsan yang sepertinya kebingungan dengan tingkah anehku ini. 

“Hehe, ma-maaf, Pak. Luna kalau ngomong suka nggak bener. Maaf, ya Pak. Maklumlah anak kecil mulutnya kayak cabe, biasa.” kataku sambil menahan amarah karena Luna sudah meludahi telapak tanganku. Asyu! 

Ucapanku hanya dibalas helaan napas tanpa anggukan kepala olehnya. Pak Arsan memalingkan pandangan ke penjuru Kaffee dengan posisi duduk bersender di kursi dan kedua tangan melipat pada dada. Pakaian gurunya masih melekat di tubuh dengan balutan jaket hitam. Dari gerak-gerik tubuhnya, Pak Arsan sepertinya tidak nyaman dengan tingkahku. Apa beliau ilfeel? 

“AWwwwwh...” aku menjerit keras ketika Luna dengan sengaja menggigit telapak tanganku.

Aku melepas bekapan pada mulut Luna dan segera membungkuk. Kutekan telapak tangan, agar rasa sakitnya bisa berkurang, sambil menahan tangis. Tidak peduli bagaimana ekspresi Pak Arsan, mungkin beliau saat ini sudah menutup wajah sendiri lantaran malu karena aku berteriak tidak tahu tempat.

Setelah rasa sakit sudah berkurang, aku menegakkan tubuh kembali namun dengan mata tertutup, karena aku belum sanggup melihat wajah marah Pak Arsan. Ketika aku memberanikan diri untuk membuka mata, sudah tidak ada Luna dan Pak Arsan. Orangnya tidak ada tapi kunci mobilnya tergeletak di meja. Dimana beliau? Aku celingukan mencari keberadaannya. 

Mumpung tidak ada Pak Arsan, aku meminum cepat-cepat jus alpukatku hingga tandas setengah gelas. 

“Maaf, tadi saya ada telpon.”

Pak Arsan datang secara tiba-tiba membuatku berjengit kaget hingga terseda jus. Aku terbatuk-batuk selama beberapa detik sampai akhirnya bisa menguasai diri kembali. Kini Pak Arsan sudah duduk seperti semula. Entalah dimana si Luna, semoga saja dia tidak berbuat aneh-aneh di Kaffee. 

Bahkan barusan aku tersedak minuman karenanya, Pak Arsan sama sekali tidak menanyakan keadaanku. Setidaknya berbasa-basi apakah aku baik-baik saja atau perlu di telponkan ambulans, gitu. Untungnya aku tipikal orang yang penyabar. 

Menghela napas, aku memulai percakapan serius, “Pak?”

Pak Arsan mulai memandangku. 

“Aku boleh tanya?” kepala Pak Arsan. 

“Sebenarnya Pak guru se—,”

“Tante Nana tangkap bola kastinya....” dari jarak dua meter, aku melihat Luna membawa dua buah bola kasti. Dia melempar satu kasti kearahku yang sama sekali belum berposisi siap untuk menangkap. 

Alhasil bola itu bukannya aku tangkap tetapi malah melayang mengenai dahi. Tepat di tengah. Membuatku menjerit tertahan dan menutup mata rapat-rapat. Ya Tuhan, bisakah engkau menurunkan panci di dimejaku? Aku malu sekaliiiiii. 

Aku berusaha menuliskan pendengaran dari tawa-tawa para pengunjung yang melihat kejadian memalukan ini. Mereka tidak tahu saja, kalau yang aku rasakan ini sakit sekali. 

“Tante Nana tangkap satu bola lagi..... Hap.....”

Mendengar aba-aba dari bocah sialan itu aku segera merentangkan kedua telapak tangan didepan wajahku agar kejadian tadi tidak terulang kembali. 

Bukan sebuah kasti yang memantul di tanganku, melainkan suara seseorang yang telah berhasil menangkap bola kasti yang kudengar. 

Membuka mata, Pak Arsan memandangku dengan bola kasti ada di tangan kanannya, seolah beliau mengejekku. 

Aku buru-buru menundukkan kepala dan menggumamkan ucapan terimakasih. 

“Saya harus pulang. Minggu ini, kamu siapkan diri. Saya akan mengenalkan kamu pada anak saya.”

Buru-buru aku mendongak, menatapnya yang sudah berdiri di tempat. “A-anak?” ejaku, tidak percaya. Ya, aku baru tahu kalau Pak Arsan sudah punya anak. Jadi, Pak Arsan ini duda anak satu?

Kata siapa satu? 

Ketika Pak Arsan sudah hendak melangkah pergi, aku bergegas bertanya, “Pak guru anaknya berapa?” tanyaku cepat. 

Pak Arsan tidak menjawab dan malah melanjutkan langkahnya. Aku terus menatapnya sampai akhirnya kulihat jari telunjuknya terangkat. Memberi kode padaku bahwa beliau memiliki satu anak. Aku menghela napas lega. Setidaknya hanya satu dan bukan dua.

“Tante Nana... Tangkap bola basketnya....” aku segera berbalik badan dan saat itu juga bola basket melayang tepat mengenai hidungku.

Aku mengaduh kesakitan sambil menyumpah serapah anak iblis itu. “Asu koen Lun! Luna kampret....!”

Gara-gara dia, aku tidak jadi bertanya pada Pak Arsan mengenai keseriusannya untuk menikah denganku. Dan gara-gara dia juga, seluruh wajahku jadi pada sakit. 

Luna kampret! Ingatkan aku untuk memutar pola pikirnya agar tidak miring lagi, sobat. 

Related chapters

  • Married Young   5. Indera Keenam

    Minggu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seperti apa yang dikatakan Pak Arsan, hari ini beliau akan memperkenalkan anaknya padaku. Dari semalam aku sudah menebak-nebak bagaimana rupa anaknya Pak Arsan. Apakah mirip Pak Arsan yang kaku atau mirip Ibunya? Entah bagaimana rupa Ibunya, semoga saja jauh lebih berekspresi daripada suaminya.Selesai merias diri, dengan tampilan t-shirt abu-abu dan celana jins yang sedikit sengaja kurobek, aku keluar menghampiri Pak Arsan di ruang tamu. Untungnya Fika sudah pergi lebih pagi bersama teman-temannya, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan pertanyaannya yang pasti akan bertanya, 'ada hubungan apa teteh sama pak Arsan?'.Setelah pamit pada Mama dan Papa, aku dan Pak Arsan bergegas pergi. Awalnya aku bingung dengan kedatangannya yang malah hanya seorang diri, bukan bersama anaknya. Kemarin kan beliau bilang mau memperkenalkan anaknya.

  • Married Young   6. Undangan Mantan

    Bolehkah aku bilang bahwa hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan? Karena seorang Arman, mantan pacarku tiba-tiba saja menelpon dan bilang bahwa dia ingin bertemu denganku karena ada sesuatu penting yang mau disampaikan.Entah aku yang merasa berlebihan atau apa, yang jelas aku berfikir Arman ingin bertemu denganku karena dia ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat kandas di tengah jalan.Tanpa menunggu waktu lama lagi, lima menit setelah Arman memutus teleponnya, aku segera keluar dari rumah untuk menemui Gojek yang sudah menungguku.Sesuai dengan permintaan Arman, dia ingin kami bertemu di tempat yang dulu sering dijadikan tempat kencan. Adalah kaffee lovely, tempatnya dekat SMA Satu.Tiba di kaffee aku mencari-cari sosok Arman. Katanya dia sudah datang lebih dulu. Ketika aku menoleh kearah kanan, kulihat Arman melambaikan tangan padaku. Aku segera

  • Married Young   7. Ngebet Nikah

    "Pak, pokoknya aku mau kita nikah secepatnya!""Kita?""IYA!""Saya belum setuju dengan perjodohan ini. Jangan mengambil keputusan sendiri.""Nggak mau tau! Pokoknya nikah secepatnya!"Aku menunggu sahutan dari seseorang diseberang sana, yang tak lain adalah Pak Tarsan, ralat! pak Arsan. Selama sepuluh detik tidak ada sahutan, aku mencoba memanggil-manggilnya namun bukannya sahutan malah suara sambungan terputus yang aku dengar. Sial! Aku yang menelfon, harusnya aku juga yang memutuskan panggilan!Tidak lama, aku mendapat pesan dari nomor Pak Arsan.Pak Arsan :Skrg km ada dmn?Me:Di rumah, PakPak Arsan :D rmh ada siapa?Me:Sendirian, Pak. Memangnya knp?Hari Sabtu ini aku dirumah memang sendirian. Semua para penghuni sedang berlibur pergi ke

  • Married Young   8. Keluarga Arsan

    Pemandangan pertama yang kulihat ketika mobil Pak Arsan berhenti adalah sebuah rumah bak istana yang memiliki dua lantai. Aku terbengong-bengong menatap rumah megah itu lewat kaca jendela mobil. Benarkah ini rumah keluarga Pak Arsan? Apa sekaya itu?Tin!Tubuhku terlonjak kaget, “Astaghfirullah!” sebutku.Pak Arsan dengan jahilnya menyalakan klakson mobil. Aku menatap punggungnya dan memutar bola mata sebal sambil berusaha menenangkan batin agar tidak menyumpah serapah.“Ayo turun.” ajaknya seraya membuka pintu mobil.Aku membuka pintu mobil penumpang dan keluar. Berlarian kecil untuk mensejajarkan langkah dengan Pak Arsan. Tidak lupa berdo'a dan selalu menundukkan kepala. Jantungku berdegup kencang kala langkah kami sudah di ambang pintu rumah megah ini.“Pak, malu nih...” cicitku.Entah Pak Arsan melirikku atau tidak yang jelas

  • Married Young   9. Pernikahan Zahra

    Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.Kurebahkan tubuh di atas tempat t

  • Married Young   10. SAH!

    Aku duduk termenung di kursi meja makan. Mataku sembab karena masih mengantuk. Ternyata ucapan Pak Arsan tidak main-main. Semalam dia datang ke rumahku membawa kedua Orangtuanya, tidak lupa juga membawa Alin. Bagaimanapun juga dia harus tahu bahwa Ayahnya akan menikah denganku, asekk.Baru semalam aku lihat wajah Papanya Pak Arsan. Beliau mirip dengan Pak Arsan, hanya saja sifatnya berbeda. Jika Pak Arsan pendiam tapi galak, Om Adi itu ramah dan nggak ada galak-galaknya. Bahkan tatapannya begitu teduh.Semalam benar-benar malam yang sangat menegangkan. Dimana Om Adi bertanya padaku apakah aku bersedia diikat dalam sebuah hubungan dengan anaknya atau tidak dan Pak Arsan meminta restu pada Papaku. Alin juga turut ikut serta. Dia diberi pertanyaan oleh Pak Arsan. Apakah merestui aku atau tidak untuk jadi Ibunya. Dan jawaban gadis kecil itu adalah.... Gelengan! Dia menggeleng keras tanpa membuka mulut berkata tidak. Saat

  • Married Young   11. Gagal Ciuman

    Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang co

  • Married Young   12. Siapa Dia?

    Lepas satu minggu, aku, Mas Arsan dan Alin menginap di rumah Mama, hari ini kami akan pindah ke rumahnya Mas Arsan. Aku baru tahu semalam, kalau Mas Arsan ternyata sudah punya rumah sendiri. Kukira dulu dia dan istrinya tinggal di rumah Mama mertua.“Alin, kamu mandi dulu gih, aku mau beresin barang-barang dulu.” kataku pada Alin yang kini masih santai berguling-guling di tempat tidur. Sedang Mas Arsan, dia sudah lebih dulu ke rumahnya untuk mengangkut barang-barang secara bergantian.“Alin nggak mau mandi disini!”Mulutku komat-kamit mendengar tukasannya. Di rumahku saja dia berani membangkang, gimana kalau di rumahnya dia sendiri? Mungkin aku akan dijadikan babunya.“Yaudah terserah, paling juga Ayah kamu bakal marahnya ke kamu bukan aku.” kataku menantang.Kulihat dia bergegas turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Senyumku melebar. Dengan ancaman, dia akan luluh.

Latest chapter

  • Married Young   Ekstra Part 3

    Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya

  • Married Young   Extra Part 2

    Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri

  • Married Young   Extra Part 1. Adik Bayi

    Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn

  • Married Young   The End

    Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala

  • Married Young   32. Akhir Bersamanya

    Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga

  • Married Young   31. Usaha Menggapainya

    Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma

  • Married Young   31. Usaha Menggapainya

    Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma

  • Married Young   30. Harapan Bersamanya

    Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan

  • Married Young   29. Keputusan

    Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam

DMCA.com Protection Status