Papaku ternyata beneran niat mencarikanku calon suami. Buktinya, saat ini aku sedang duduk bertiga dengan Papa dan Mama, tepatnya di ruang televisi. Setelah beberapa menit tadi membahas tentang Papa yang ternyata sudah pensiun jadi arsitek, beliau mengganti topik lain yaitu mengenai calon suamiku. Duh, jadi malu. Deg-degan juga.
“Jadi gini, Na. Papa punya kenalan mantan client Papa. Kira-kira umurnya... Em.. 30-an, dia itu du—,”
“Namanya, Pa.. Nama...” selaku.
“Arsyad.”
Arsyad? Itu bukannya nama orang yang kemarin SMS aku, ya? Oke-oke, di dunia ini pasti ada banyak orang yang bernama Arsyad. Tapi kok, bisa kebetulan begini. Untuk memastikan, aku kembali bertanya, “Nama panjangnya siapa, Pa?”
“Kamu kok buru-buru banget, gitu sih Na. Jangan terlalu antusias, jatuh itu sakit, Nana.” Mamaku menasehatiku. Kuputar bola mata untuk melihat ekspersinya saat berbica. Lantas kembali menatap Papa.
“Papa lupa, Na. Kenalnya pake Arsyad doang.”
Aku manggut-manggut dengan fikiran masih berkecamuk mencari sebuah penerangan, apakah iya si Arsyad yang kemarin mengirimku SMS adalah orang yang akan Papa kenalkan padaku? Ah, tingkat kekepoanku jadi semakin menggila.
“Dia udah SMS kamu belum?”
Dahiku berkerut. Dia siapa? Dianya Anji?
“Arsyad?” kata Papa.
Ooh... Jadi benar terkaanku. Arsyad yang kemarin mengirim SMS padaku adalah Arsyad si client-nya Papa, yang akan dikenalkan padaku. Kira-kira seperti apa ya, rupanya? Aku jadi penasaran. Ah, jadi pengin VC-an sama Arsyad.
“Udah SMS? Soalnya kemarin Papa ketemuan terakhir sama dia terus ngasih nomor kamu.”
“Iya, dia SMS. Dia kerja apa, Pa?”
Kulihat dari iris mata kanan, Mama mulai beranjak dari duduknya dan berlalu. Mungkin beliau jengah dengan pembicaraan ini. Atau mungkin juga jengkel karena aku lebih memilih Papa untuk mencarikan calon untukku.
“Guru kalau nggak salah, Na. Kalau kamu nanti beneran mau sama Arsyad, Papa setuju banget. Dia baik dan sopan, tutur katanya apalagi.”
Penjelasan Papa membuatku jadi semakin penasaran dengan sosok seorang Arsyad. Dari semua ucapan Papa sih, sepertinya Arsyad ini orang baik-baik. Maksudnya baik-baik itu, dia tidak pernah melakukan hal semacam minum minuman keras gitu. Karena aku benci sekali dengan orang yang mengkonsumsi minuman itu. Sangat benci. Dan semoga saja Arsyad tidak suka minum miras.
Membalas ucapan Papa, kedua sudut bibirku tertarik membentuk senyum. Malu-malu aku berkata, “Iya, Pa. Aku mau kok sama Arsyad.”
Tiba-tiba saja Papa mengerutkan dahi, “Lhoh, belum juga ketemu sama orangnya kok kamu udah jawab gitu? Awas jangan nyesel nanti.” katanya.
Bukannya ngeri, hatiku malah terus-menerus mengucapkan bahwa keputusanku adalah keputusan yang terbaik. Seolah-olah aku sudah tahu bagaimana sosok Arsyad dengan bibit bobot dan bebetnya.
“Nggak, aku nggak akan nyesel.” balasku tegas.
***
Hari sabtu ini begitu melelahkan. Selain seperti biasa harus mengontrol kaffee, aku juga disuruh jagain anaknya Mas Reza yang pertama, namanya Luna berusia 8 tahun. Entah ada urusan apa sampai-sampai aku disuruh jagain anak badung itu. Yang jelas pukul 11 lalu, Mas Reza datang ke kaffee dan bilang titip Luna selama tiga hari karena Mas Reza dan istrinya harus ke luar kota.
“Tante... Ayo pulang... Aku mau main piano-pianoan sama mbak Olif...” Luna berteriak sambil menarik-narik lenganku.
Posisiku yang sedang duduk di sofa yang ada di ruanganku segera meliriknya lalu kembali lagi menyibukkan diri dengan ponsel. Wajah Luna terlihat kusut, karena memang sudah satu jam dia membujukku untuk pulang. Namun selalu kutolak, karena ini belum pukul 3. Lagian, alasan dia pulang hanya untuk bermain piano bareng Olif, anaknya Mas Jefri yang usianya sudah menginjak 12 tahun. Dan lagi, aku sangat malas jika di rumah.
Selain banyaknya anggota keluarga, kepalaku juga dipusingkan dengan Mama. Sampai saat ini beliau terus-menerus membujukku untuk berkenalan dengan anak teman arisannya. Mama ini keras kepala.
“Kalau Tante nggak mau pulang, aku bakalan pulang sendiri! Jalan kaki!” tiba-tiba Luna mengancamku. Gadis kecil itu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu.
Kalau saja si Luna tidak memanggilku 'Tante', mungkin aku akan sedikit baik padanya. Dengan terpaksa, kuseret langkahnya dan mendudukkan Luna kembali. Dia meronta dan menangis tapi aku tidak peduli. Biar saja. Lagian, ponakan-ponakanku yang lain pada panggil Aunty, eh si dia sendiri yang memanggilku Tante. Kecuali anak sulungnya Mas Jefri, si Fika, dia memanggilku Teteh.
“Aku mau pulang... Aku mau pulang... Aku mau pulang.... Ayah... Bunda.... Tante jomblo nakal....”
Mataku melotot tajam mendengar teriakannya yang kurang ajar itu. Tante jomblo? Sial! “Diem! Bentar lagi pulangnya!” ketusku sambil sedikit menjambak rambut pendeknya.
“Nggak mau... Aku maunya sekarang....”
Ketika hendak membalas teriakan Luna, ponsel di genggamanku berdering nada panggilan masuk. Segera kuangkat telepon itu yang ternyata Papa.
“Hallo, Pa? Kenapa?”
“.....”
“Apa? Arsyad main ke rumah?”
“.....”
“Iya-iya, aku pulang nih. Tunggu sebentar.”
Setelah panggilan terputus, buru-buru aku membuka aplikasi Uber untuk kendaraan pulang setelah itu mengemasi ruangan agar tidak berantakan.
Aku menarik lengan Luna tanpa banyak bicara. Dia juga diam saja mengikutiku keluar dari kaffee yang sore begini juga masih rame. Memang dasar, rejeki tidak akan kemana. Driver uber sudah menungguku, aku masuk ke dalam mobil setelah Luna.
Tiba di rumah, lagi-lagi aku menarik Luna. Entahlah, aku ingin sekali menyiksa anak ini. Selain kelakuannya yang tidak akan membuat semua orang suka, wajahnya juga ngeselin, judes gitu padahal masih kecil.
Sekilas aku melihat mobil SUV hitam terparkir di pekarangan rumah. Sampai di teras, Luna meronta membuat tangannya yang ada digenggamanku jadi terlepas. Dia menatapku tajam sambil bicara, “Aku bisa jalan sendiri, Tante! Nggak usah di gandeng!” lalu dia masuk ke dalam meninggalkanku yang sudah mentertawakannya.
Tawaku terhenti ketika langkahku tiba di ruang tamu. Aku menoleh ke kanan dimana disana ada Mama, Papa dan... Siapa itu? Sepertinya aku kenal. Rasanya tidak asing lagi dengan wajah garang itu.
“Nana, ayo salaman dulu sama Arsyad. Katanya kamu udah nggak sabar pengin kenalan, ini orangnya sudah ada didepan mata, lhoh.” ujar Papa.
Tidak kupedulikan ujarannya. Kakiku membeku di tempat dengan mata menatap seseorang yang bernama Arsyad itu. Tapi setahuku... Dia bukan Arsyad! Aku cukup kenal dengan lelaki yang kini duduk berhadapan dengan Papa. Kita saling tatap.
5 detik, 10 detik... Otakku berusaha mengingat-ingat masa lalu. Sampai akhirnya aku benar-benar ingat. Ya! Dia, lelaki yang mengaku bernama Arsyad itu adalah guru BK di sekolahan SMA-ku dulu. Setahuku, namanya bukan Arsyad melainkan Pak Arsan. Atau jangan-jangan nama panjangnya.... Arsan Arsyad? Jadi?
Lhoh? Bukannya Pak Arsan sudah menikah, ya? Kalau tidak salah, beliau menikah saat aku duduk di bangku kelas XI. Masa-masa itu sangatlah bahagia, dimana Pak Arsan mengambil cuti selama seminggu. Walaupun Pak Arsan ini bukan guru BK di jurusanku, aku tetap turut senang ketika mendengarnya cuti. Karena dengan tidak adanya beliau, aku bisa sepuasnya masuk keluar ke kelas IPA, untuk menemui pacar pastinya. Iya, jadi Pak Arsan guru BK-nya anak IPA, sedang aku anak IPS.
Kembali ke topik permasalahan. Jadi, bagaimana ini? Sebenarnya Pak Arsan sudah menikah atau belum? Jika sudah, kenapa beliau malah mau diajak kenalan sama Papa, dan kalau belum... Kenapa dulu cuti seminggu dan dikabarkan menikah, coba? Atau jangan-jangan, beliau duda? Nggak mungkin, ah! Nggak ada pengumuman juga disekolahan.
Mataku terbelalak, bayanganku melayang ketika aku dan Pak Arsan benar-benar akan menikah. Bagaimana mungkin? Guru BK menikah dengan mantan muridnya. Tidak lucu.
“Pak Arsan?” mulut emberku malah menyuarakan namanya.
“iya?”
Sejak kapan guru BK SMA Satu yang terkenal garang, tidak berperikemanusiaan dalam memberikan hukuman itu berubah suara menjadi lembut? Setahuku, beliau itu kalau ngomong galak. Sumpah! Aku pernah di marahi sama Pak Arsan ini, dan itu sangat menakutkan. Lebih baik dengerin suara kuntilanak deh, daripada dengerin suaranya Pak Arsan.
Karena kesadaranku sudah mulai terkumpul, aku melangkah mendekatinya. Memberi salam padanya lantas duduk di kursi kecil yang paling ujung, jauh dari jangkauannya.
“Na, kalo Mama nggak salah... Pak Arsan ini bukannya gurunya kamu, ya? Mama sering lihat dia waktu Mama ngambil raportmu.”
Nah, kan bener! Arsyad adalah Arsan, guru BK paling galak seindonesia. Lebih galak dari anjing liar. Suaranya lebih menakutkan daripada suara ngaungan serigala.
“Iya, Ma. Pak Arsan guru BK di SMA Satu tapi di kelas IPA.”
“Jadi, kalian sudah lebih dulu ketemu, nak Arsyad? Waduh... Papa ketinggalan jaman dong!” Papa tertawa sendiri dengan ucapannya sendiri. Papa, waras kan?
Diam-diam, kulirik Pak Arsan yang sepertinya berekspresi biasa-biasa saja. Apa beliau lupa padaku? Padahal kan, dulu aku juga sering di hukum olehnya, karena selalu keluar masuk kelas IPA dengan keperluan ingin bertemu pacar.
“Nak Arsyad, jadi gimana nih perasaannya, ketemu mantan anak murid?”
“Nana bukan murid saya, Pak. Kebetulan saya guru BK IPA. Perasaannya... Sempat kaget,” Pak Arsan melirikku sekilas lantas melanjutkan ucapannya, “Tapi, mungkin ini yang dinamakan taktir.”
Woahh.. Kandah takdir.
“Nggak nyangka, ya?”
“Iya, Pak. Sangat tidak menyangka.”
Selanjutnya mereka berbincang asyik sendiri sambil sesekali Mama menimpali. Karena merasa di kacangin, aku memutuskan untuk undur diri secara diam-diam. Aku tahu, Pak Arsan pasti melihatku yang melintir pergi, tapi beliau diam saja dan lanjut bicara.
Setelah bersih-bersih badan, kubaringkan tubuh diatas kasur. Aku masih tidak menyangka bahwa Arsyad adalah Pak Arsan. Pikiranku bertanya-tanya apakah Pak Arsan sudah menikah atau belum. Dan ketika mataku hendak terutup untuk lenyap dalam mimpi, Mama membuka pintu kamar.
“Nak Arsyad mau pamit pulang, keluar gih.” katanya. Kenapa sih, segala panggilnya Arsyad? Kalau dari awal, Papa mengenalkan Arsan itu sebagai Arsan seorang guru BK SMA Satu, sudah pasti aku akan menolaknya.
Alhasil aku diharuskan melihat wajah garangnya Pak Arsan lagi. Setelah tadi salaman dengan Papa dan Mama, aku mengantarnya keluar.
Iseng-iseng aku memanggilnya, “Pak Arsan,”
Pak Arsan yang posisinya berjalan didepanku menjadi berhenti di tempat. Membalikkan tubuh dan kini kami saling berhadapan dengan kedua alisnya yang naik. Aku benci ekspresi itu!
“Ada apa?”
“Pak Guru bukannya sudah menikah, ya?” tanyaku lirih. Panci mana panci? Aku malu sekali.
Kulihat beliau malah menundukan kepala lantas sedetik kemudian kembali terangkat. Bukannya mengabaikan pertanyaan konyolku dan lanjut berjalan, Pak Arsan malah mengambil duduk di kursi teras, yang kursinya cuma dua dengan meja bundar kecil. Aku ikut duduk, kami sekarang bersebelahan.
“Saya sudah menikah.”
Jawabannya membuatku yang tadinya menundukkan kepala dalam-dalam segera mendongak menatapnya. Kalau sudah menikah, kenapa mau diajak kenalan?? Mau cari istri kedua nih, ceritanya? Ogah! Jelek-jelek begini, aku masih memiliki harga diri. Harga diriku tinggi, aku tidak mau menjadi istri kedua. Kayak nggak ada laki lain saja!
Dengan raut sebal aku membalas, “Kalau sudah punya istri kenapa mau diajak kenalan?!”
“Tapi tiga tahun yang lalu dia meninggal.”
Ooh... Pantas tidak ada pengumuman tentang kematian istrinya Pak Arsan, wong meninggalnya waktu aku sudah lulus, kok!
“Ma-maaf Pak, nggak tau.” ucapku agak merasa bersalah.
Kepala Pak Arsan mengangguk. Walaupun kami sedang berbicara tentang hal yang sedih-sedih, wajahnya tetap saja garang! Tidak ada raut sedih sama sekali, membuatku ingin sekali bertanya, 'itu muka ato patung, nggak berubah-ubah ekspresinya?' tapi kuurungkan niatku bertanya. Aku masih punya kewarasan, ya.
“Lhoh, Pak Guru?”
Itu bukan suaraku, melainkan suara anak sulungnya Mas Jefri alias si Fika. Jangan tanya kenapa Fika memanggil Pak Arsan dengan sebutan Pak Guru, karena memang Fika adalah salah satu muridnya. Fika sekolah di SMA Satu, duduk di kelas akhir dengan jurusan IPA. Jadi jelas dia kenal, bahkan sangat kenal.
Sepertinya Fika baru pulang sekolah, karena kulihat dibalik jaket denimnya masih mengenakan seragam putih abu-abu. Dia menyalami tangan Pak Arsan lantas tanpa basa-basi lagi dia langsung masuk. Untunglah, dia nggak punya keberanian untuk bertanya perihal kedatangan Pak Arsan kesini atas urusan apa. Mungkin si Fika berfikir bahwa Pak Arsan kesini karena dia melanggar aturan sekolah.
Tiba-tiba saja Pak Arsan berdiri, “Saya permisi,” katanya dan pergi begitu saja.
Ketika mobilnya sudah menghilang, aku masuk ke dalam rumah sambil terus memikirkan nasibku kedepannya.
Mataku menatap intens pada Fika yang saat ini ada di depanku. Dia sedang menceritakan bahwa kemarin dia di hukum oleh Pak Arsan karena ketawan pulang telat. Fika mendapat hukuman membersihkan gudang sekolahan. Aku tahu sekali gudangnya SMA Satu, berantakannya melebihi rumah orang tukang rongsokan. Dan baunya jangan ditanya, ada bau macam-macam disana, mulai dari bau kotoran tikus, anak tikus yang mati dan lainnya. Lagian sih, salahnya juga kemarin pulang sekolah bukannya langsung ke rumah malah main ke Mall.“Lagian ya, kenapa kemarin Pak Arsan ada disini, sih? Aku kan nggak ada masalah di sekolahan, kenapa Arsan datang kesini?”Fika bertanya dengan raut sebal. “Yeee... Sirik aja! Terserah dia dong mau kesini! Kamunya aja yang suka Badung! Pulang sekolah bukannya ke rumah malah ngemall!”“Iiihh... Aku ke Mall bukan buat seneng-seneng, Teh! Aku ke gramedia, nyari novel buat kado ulta
Minggu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seperti apa yang dikatakan Pak Arsan, hari ini beliau akan memperkenalkan anaknya padaku. Dari semalam aku sudah menebak-nebak bagaimana rupa anaknya Pak Arsan. Apakah mirip Pak Arsan yang kaku atau mirip Ibunya? Entah bagaimana rupa Ibunya, semoga saja jauh lebih berekspresi daripada suaminya.Selesai merias diri, dengan tampilan t-shirt abu-abu dan celana jins yang sedikit sengaja kurobek, aku keluar menghampiri Pak Arsan di ruang tamu. Untungnya Fika sudah pergi lebih pagi bersama teman-temannya, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan pertanyaannya yang pasti akan bertanya, 'ada hubungan apa teteh sama pak Arsan?'.Setelah pamit pada Mama dan Papa, aku dan Pak Arsan bergegas pergi. Awalnya aku bingung dengan kedatangannya yang malah hanya seorang diri, bukan bersama anaknya. Kemarin kan beliau bilang mau memperkenalkan anaknya.
Bolehkah aku bilang bahwa hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan? Karena seorang Arman, mantan pacarku tiba-tiba saja menelpon dan bilang bahwa dia ingin bertemu denganku karena ada sesuatu penting yang mau disampaikan.Entah aku yang merasa berlebihan atau apa, yang jelas aku berfikir Arman ingin bertemu denganku karena dia ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat kandas di tengah jalan.Tanpa menunggu waktu lama lagi, lima menit setelah Arman memutus teleponnya, aku segera keluar dari rumah untuk menemui Gojek yang sudah menungguku.Sesuai dengan permintaan Arman, dia ingin kami bertemu di tempat yang dulu sering dijadikan tempat kencan. Adalah kaffee lovely, tempatnya dekat SMA Satu.Tiba di kaffee aku mencari-cari sosok Arman. Katanya dia sudah datang lebih dulu. Ketika aku menoleh kearah kanan, kulihat Arman melambaikan tangan padaku. Aku segera
"Pak, pokoknya aku mau kita nikah secepatnya!""Kita?""IYA!""Saya belum setuju dengan perjodohan ini. Jangan mengambil keputusan sendiri.""Nggak mau tau! Pokoknya nikah secepatnya!"Aku menunggu sahutan dari seseorang diseberang sana, yang tak lain adalah Pak Tarsan, ralat! pak Arsan. Selama sepuluh detik tidak ada sahutan, aku mencoba memanggil-manggilnya namun bukannya sahutan malah suara sambungan terputus yang aku dengar. Sial! Aku yang menelfon, harusnya aku juga yang memutuskan panggilan!Tidak lama, aku mendapat pesan dari nomor Pak Arsan.Pak Arsan :Skrg km ada dmn?Me:Di rumah, PakPak Arsan :D rmh ada siapa?Me:Sendirian, Pak. Memangnya knp?Hari Sabtu ini aku dirumah memang sendirian. Semua para penghuni sedang berlibur pergi ke
Pemandangan pertama yang kulihat ketika mobil Pak Arsan berhenti adalah sebuah rumah bak istana yang memiliki dua lantai. Aku terbengong-bengong menatap rumah megah itu lewat kaca jendela mobil. Benarkah ini rumah keluarga Pak Arsan? Apa sekaya itu?Tin!Tubuhku terlonjak kaget, “Astaghfirullah!” sebutku.Pak Arsan dengan jahilnya menyalakan klakson mobil. Aku menatap punggungnya dan memutar bola mata sebal sambil berusaha menenangkan batin agar tidak menyumpah serapah.“Ayo turun.” ajaknya seraya membuka pintu mobil.Aku membuka pintu mobil penumpang dan keluar. Berlarian kecil untuk mensejajarkan langkah dengan Pak Arsan. Tidak lupa berdo'a dan selalu menundukkan kepala. Jantungku berdegup kencang kala langkah kami sudah di ambang pintu rumah megah ini.“Pak, malu nih...” cicitku.Entah Pak Arsan melirikku atau tidak yang jelas
Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.Kurebahkan tubuh di atas tempat t
Aku duduk termenung di kursi meja makan. Mataku sembab karena masih mengantuk. Ternyata ucapan Pak Arsan tidak main-main. Semalam dia datang ke rumahku membawa kedua Orangtuanya, tidak lupa juga membawa Alin. Bagaimanapun juga dia harus tahu bahwa Ayahnya akan menikah denganku, asekk.Baru semalam aku lihat wajah Papanya Pak Arsan. Beliau mirip dengan Pak Arsan, hanya saja sifatnya berbeda. Jika Pak Arsan pendiam tapi galak, Om Adi itu ramah dan nggak ada galak-galaknya. Bahkan tatapannya begitu teduh.Semalam benar-benar malam yang sangat menegangkan. Dimana Om Adi bertanya padaku apakah aku bersedia diikat dalam sebuah hubungan dengan anaknya atau tidak dan Pak Arsan meminta restu pada Papaku. Alin juga turut ikut serta. Dia diberi pertanyaan oleh Pak Arsan. Apakah merestui aku atau tidak untuk jadi Ibunya. Dan jawaban gadis kecil itu adalah.... Gelengan! Dia menggeleng keras tanpa membuka mulut berkata tidak. Saat
Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang co
Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya
Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri
Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn
Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala
Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan
Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam