Beranda / Romansa / Married Young / 7. Ngebet Nikah

Share

7. Ngebet Nikah

Penulis: Nur Hikmah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Pak, pokoknya aku mau kita nikah secepatnya!"

"Kita?"

"IYA!"

"Saya belum setuju dengan perjodohan ini. Jangan mengambil keputusan sendiri."

"Nggak mau tau! Pokoknya nikah secepatnya!"

Aku menunggu sahutan dari seseorang diseberang sana, yang tak lain adalah Pak Tarsan, ralat! pak Arsan. Selama sepuluh detik tidak ada sahutan, aku mencoba memanggil-manggilnya namun bukannya sahutan malah suara sambungan terputus yang aku dengar. Sial! Aku yang menelfon, harusnya aku juga yang memutuskan panggilan! 

Tidak lama, aku mendapat pesan dari nomor Pak Arsan. 

Pak Arsan :

Skrg km ada dmn?

Me:

Di rumah, Pak

Pak Arsan :

D rmh ada siapa?

Me:

Sendirian, Pak. Memangnya knp? 

Hari Sabtu ini aku dirumah memang sendirian. Semua para penghuni sedang berlibur pergi ke Puncak, tepatnya di vila-nya Mas Jefri. Aku tidak ikut, disuruh menjaga rumah. Sebenarnya juga aku tidak minat untuk ikut. Kalau aku ikut, bisa-bisa mobil Papa akan kotor dengan muntahanku. Aku ini orangnya mabokkan.

Pak Arsan:

Sy ksana skrg

Bola mataku terbelalak tidak percaya. Bernarkah mau kesini? Ngapain? Tanpa berfikir panjang, aku buru-buru masuk ke kamar. Mandi secepat-cepatnya, mencari pakaian yang layak di pakai dan di pandang. Setelah itu menuju ke dapur untuk bersiap-siap membuat minum.

Ponsel yang kukantongi berdering nyaring. Usai menuangkan air panas kedalam termos, aku merogoh saku celana dan mengangkat panggilan dari Pak Arsan. 

"Saya didepan rumah kamu."

Hanya berkata seperti itu, setelahnya seseorang diseberang dana menutup panggilan begitu saja. Aku berlari ngibrit membukakan pintu untuk Pak Arsan. 

"Silakan masuk, Pak. Hehehe..."

Aku tidak melihat Batang hidung Alin. Syukurlah, dia tidak ikut. Karena kalau dia ikut, bisa-bisa rumah ini kacau karena suara cemprengnya. 

Kuletakkan secangkir teh manis dimeja agak dekat dengannya. Pak Arsan menggumamkan kata terimakasih yang kubalas dengan anggukkan. Kami terdiam sejenak selama beberapa detik. Hingga akhirnya Pak Arsan membuka suara. 

"Kamu bener, mau menikah dengan saya?" tanyanya.

Duh! Menatap Pak Arsan, aku menggigit bibir bawah. "Emmm..." tidak bisa berkata-kata, aku menjawab dengan anggukan kepala. 

"Bukan untuk melampiaskan kekesalan kamu karena di tinggal menikah oleh mantan kamu, kan?"

Sial! Kenapa dia bisa tahu? Hilang sudah sikap sopanku karena sudah memanggilnya dengan kata dia. Biarlah, mulai sekarang aku akan memanggil Pak Arsan menggunakan 'dia' saja.

"Jawab pertanyaan saya, Nawang."

Baru kali ini aku mendengar Pak Arsan memanggil namaku. Nawang.

"Em... Enggak Pak. Beneran mau kok nikah sama Bapak. Dan bukan karena Arman."

"Lalu atas dasar apa?"

Cinta! Ah, sepertinya Pak Arsan tidak akan percaya jika aku menjawab pertanyaannya dengan wajaban Cinta. Jelas-jelas Pak Arsan memiliki Indra keenam, dia pasti akan tau mana ucapan bohongky dan mana ucapan benar. 

Aku menguatkan hati untuk berusaha meniatkan tulus bersedia menikah dengan Pak Arsan. Jika tidak begitu, pasti Pak Arsan akan tau. Aku tidak mau Pak Arsan menolakku hanya gara-gara niatku mau menikah dengannya karena pelampiasan saja. 

Walaupun niat utamaku itu, tapi bukan hanya itu saja. Sebenarnya aku juga sudah malas untuk tinggal di rumah ini. Darah tinggiku selalu kumat, karena tingkah setan si Luna. 

"Atas dasar apa, Nawang?"

Sudah dua kali dia memanggil namaku. Entah kenapa itu menjadi suatu kebanggaan tersendiri untukku. Mengingat pertanyaannya yang menekan untuk aku jawab, kuturunkan pandangan. Tidak sanggup memandangnya. 

"A... Atas dasar... Eng... Ya... Pokoknya pengin nikah, Pak! Biar lepas dari orangtua, Pak." jawabku asal. 

"Kenapa?"

Kali ini aku sama sekali tidak bisa menjawab. Kutundukkan kepala sedalam-dalamnya untuk menelan rasa malu ini. 

"Kalau kamu benar-benar serius, besok jam sembilan saya kesini lagi, jemput kamu."

Kepalaku terangkat seketika, "Memangnya mau kemana?"

"Saya akan mengajak kamu ke rumah orangtua saya. Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalamualaikum." Pak Arsan berdiri, terdiam sejenak lantas melangkah pergi. 

Sedang aku masih diam terpenjarat dengan mata memperhatikan tubuhnya yang kian menghilang ditelan ruang. Besok Pak Arsan akan mengenalkanku pada keluarganya? Aku tidak bisa! Hari ini dan besok aku akan menginap di rumah Zahra.

Teringat hal itu, membuatku bergegas mencari ponsel dan memesan ojek online untuk mengantarkanku ke rumah Zahra.

***

Masuk ke kamar, kulihat Zahra duduk diatas ranjang tengah sibuk menuliskan nama-nama orang yang akan di undangnya pada pernikahannya. Ngomong-ngomong pernikahan, dia akan menikah dua minggu lagi, tentunya dengan Mas Ridwan. Aku tersenyum ketika dia membulatkan mata karena terkejut dengan keberadaanku. 

"Iya deh... Tau yang mau nikah..." godaku sambil mengambil posisi duduk di tepi ranjang. Memperhatikan Zahra telaten menuliskan satu-persatu nama di buku.

"Kamu kapan nyusul?" ejeknya tanpa mengindahkan pandangan pada undangan. 

"Eitss... Jangan salah! Nawang Wulan sekarang udah punya kandidat!" kataku sombong. 

"Siapa?"

"Rahasia!"

Sekarang pandangan Zahra sepenuhnya mengarah padaku. "Jadi sekarang main rahasia-rahasiaan? Oke!"

"Aelah.. gitu aja ngambek! Calon pengantin itu nggak boleh ngambekan!" kataku, entah petuah darimana kalimat itu tiba-tiba saja terlontar.

Kulihat Zahra melirikku sekilas sambil mencebikkan bibir.

"Iya deh, nanti aku kenalin... Tapi nanti, ya! Tungguin aja undangannya," aku mengerlingkan mata padanya yang langsung dibalas dengusan sebal. Aku terkekeh melihat wajah sebal Zahra, dengan nakalnya tanganku menarik ujung kerudungnya dan dibalas jambakan ringan dari Zahra.

***

"Na, bangun... Subuhan, yuk! Abi sama Umi aku udah nunggu..., Nana... Na, bangun ih!"

Tubuhku gerusak-gerusuk mencari kenyamanan dalam tidur dan berusaha menulikan telinga agar suara Zahra yang membangunkanku tidak terdengar lagi.

"Nana, aku hitung sampai lima kalo kamu nggak bangun, aku siram kamu pake air!"

Ancaman itu sontak membuat tubuhku langsung berjingkat bangun. Sambil berusaha membuka mata lebar-lebar, aku mengumpat dalam gumaman. Tidak di rumah, tidak di sini tetap saja tidurku tidak pernah tuntas sampai jam tujuh. Selalu saja dibangunkan pukul setengah lima untuk menunaikan solat Subuh.

Setelah mataku sudah terbuka lebar, aku melihat Zahra berdiri tidak jauh sambil membawa gayung di tangannya. Dia sudah mengenakan mukena, wajahnya menampilkan ekspresi garang. Beginilah sosok Zahra jika sudah mengenai masalah kewajiban. Tidak peduli siapa orangnya, dia akan berlaku tidak baik hanya untuk mengingatkan kewajiban seorang muslim.

Pernah sekali, waktu bulan ramadhan. Aku menginap di rumahnya karena berniat tidak akan puasa hari esok. Dia malah membangunkanku sahur dan karena aku susah di bangunkan, dia tidak tanggung-tanggung untuk menyiramku dengan segelas air. Untung bukan menggunakan kuah Indomie!

Dengan terpaksa aku beranjak dari tempat tidur. Zahra menarik tanganku dan membawaku cepat-cepat ke kamar mandi. "Wudhu saja nggak usah mandi, cepat!" aku mengangguk sebagai jawaban.

Usai solat subuh dan setelah itu olahraga bareng Zahra, kini aku duduk di teras rumah dengan segelas teh manis sambil melanjutkan game di ponsel. Disini sudah seperti rumahku sendiri. Bukannya aku mengaku-ngaku, Umi-nya Zahra yang bilang,

"Nana, anggap saja ini rumah kamu sendiri. Nggak usah malu-malu." 

Jadilah aku anggap ini adalah rumahku sendiri.

Ketika hendak meraih mug di meja karena tenggorokan kering, ponselku berdering. Nama Pak Arsan tertampil di layar. Dia menelfonku? Jangan bilang sekarang dia sudah didepan rumahku! Kuurungkan niat untuk minum dan beralih mengangkat panggilan dari Pak Arsan. 

"Halo, Pak ada apa?" tanyaku langsung.

"Assalamualaikum,"

Mataku melotot. Bisa-bisanya aku lupa untuk mengucap salam! Sambil merem-merem karena malu, aku membalas salamnya, "Waalaikumsalah."

"Kamu dimana?"

"Dirumah, Pak." bohongku.

"Kamu tidak lupa kan apa yang saya bilang kemarin?"

"E-enggak,"

"Yasudah, nanti jam sembilan saja jemput. Berpakaian yang sopan. Wasalamualaikum."

"Walikumsalam!"

Aku menatap layar ponsel dengan sebal. Tadi dia bilang apa? Berpakaian yang sopan? Memangnya setiap aku bertemu dengannya, penampilanku tidak sopan? 

"Na, sarapan." Zahra menepuk bahuku dari belakang.

Aku mengangguk. Kami masuk ke dalam untuk sarapan. Usai sarapan, aku membersihkan tubuh dan sejenak membantu Zahra menulis teman-temannya yang akan dia undang. Setelah itu aku buru-buru pamit pulang, karena setengah jam lagi Pak Arsan pasti sudah berdiri di depan rumahku.

Duh, aku jadi gerogi mau ketemu sama calmer. Kira-kira bagaimana ya, tanggapan Orangtua Pak Arsan. Mereka akan menerimaku atau tidak? Secara, aku ini masih seumur jagung! Pengalamannya belum banyak.

Aku tersenyum-senyum sendiri di boncengan mas Go-jek, membayangkan sikap Ibunya Pak Arsan yang baik, beliau menerimaku menjadi menantunya. Ah, jika sudah seperti itu, lega sudah hidupku karena tidak lagi berteduh di rumah Papa dan Mama yang terlalu banyak memiliki anggota keluarga.

"Udah sampe, neng." abang Go-jek menyadarkan lamunanku dengan menggoyangkan sedikit motornya.

Aku terbangun dari lamunan, menyorot sekeliling dan kutemukan sebuah mobil BMW warna hitam sedang parkir di depan garasi rumahku. Aku tahu itu mobil siapa, yang jelas sih milik Pak Arsan. Segera aku turun dari motor dan membayar tukang ojek. Langkahku menyeret menghampiri mobil Pak Arsan yang kini pintu depannya tengah dibuka oleh sang pemilik.

Aku berhenti tepat dihadapan Pak Arsan yang baru saja keluar dari mobil. Dia memandangku dalam diam dari atas sampai bawah, seperti... Menilai?

"Ada yang salah ya, sama penampilanku?" tanyaku pada akhirnya. Karena tidak tahan melihat kelakuannya.

"Celana kamu terlalu ketat." katanya.

Aku menunduk kebawah, melihat celana pensil warna coklat yang kupakai. Ya iya lah ketat! Wong namanya juga celana pensil. Kalau celana balon, baru kegedean.

Kepalaku kembali mendongak, menatapnya untuk membalas, "Memangnya kenapa?"

"Tidak sopan. Saya kasih waktu lima menit untuk kamu ganti baju, sekarang."

"Nggak mau, ah!" tolakku. Mentang-mentang Guru BK yang selalu ditakutin, dia seenaknya menyuruhku ganti. Ogah! Pakai celana pensilnya sudah susah, masa mau di lepas lagi!

Kulihat Pak Arsan menggeram. Ingin sekali rasanya mengingatkan pada Pak Arsan bahwa dirinya sudah tua dan jangan suka beremosi, nanti darah tinggi. Tapi aku tidak memiliki nyali untuk itu. Aku terlalu takut mendapat bentakannya. Trauma masa SMA ternyata masih melekat.

"Terserah!" ucapnya lalu kembali masuk kedalam mobil.

Aku menatap bego pada kaca mobil, selama kurang lebih satu menit.

Tiba-tiba Pak Arsan menurunkan kaca mobilnya dan membentakku, "Masuk!"

Membuatku terkejut dan menyumpah serapahi sifatnya yang super duper menjengkelkan! Guru BK edan!

Bab terkait

  • Married Young   8. Keluarga Arsan

    Pemandangan pertama yang kulihat ketika mobil Pak Arsan berhenti adalah sebuah rumah bak istana yang memiliki dua lantai. Aku terbengong-bengong menatap rumah megah itu lewat kaca jendela mobil. Benarkah ini rumah keluarga Pak Arsan? Apa sekaya itu?Tin!Tubuhku terlonjak kaget, “Astaghfirullah!” sebutku.Pak Arsan dengan jahilnya menyalakan klakson mobil. Aku menatap punggungnya dan memutar bola mata sebal sambil berusaha menenangkan batin agar tidak menyumpah serapah.“Ayo turun.” ajaknya seraya membuka pintu mobil.Aku membuka pintu mobil penumpang dan keluar. Berlarian kecil untuk mensejajarkan langkah dengan Pak Arsan. Tidak lupa berdo'a dan selalu menundukkan kepala. Jantungku berdegup kencang kala langkah kami sudah di ambang pintu rumah megah ini.“Pak, malu nih...” cicitku.Entah Pak Arsan melirikku atau tidak yang jelas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Married Young   9. Pernikahan Zahra

    Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.Kurebahkan tubuh di atas tempat t

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Married Young   10. SAH!

    Aku duduk termenung di kursi meja makan. Mataku sembab karena masih mengantuk. Ternyata ucapan Pak Arsan tidak main-main. Semalam dia datang ke rumahku membawa kedua Orangtuanya, tidak lupa juga membawa Alin. Bagaimanapun juga dia harus tahu bahwa Ayahnya akan menikah denganku, asekk.Baru semalam aku lihat wajah Papanya Pak Arsan. Beliau mirip dengan Pak Arsan, hanya saja sifatnya berbeda. Jika Pak Arsan pendiam tapi galak, Om Adi itu ramah dan nggak ada galak-galaknya. Bahkan tatapannya begitu teduh.Semalam benar-benar malam yang sangat menegangkan. Dimana Om Adi bertanya padaku apakah aku bersedia diikat dalam sebuah hubungan dengan anaknya atau tidak dan Pak Arsan meminta restu pada Papaku. Alin juga turut ikut serta. Dia diberi pertanyaan oleh Pak Arsan. Apakah merestui aku atau tidak untuk jadi Ibunya. Dan jawaban gadis kecil itu adalah.... Gelengan! Dia menggeleng keras tanpa membuka mulut berkata tidak. Saat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Married Young   11. Gagal Ciuman

    Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang co

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Married Young   12. Siapa Dia?

    Lepas satu minggu, aku, Mas Arsan dan Alin menginap di rumah Mama, hari ini kami akan pindah ke rumahnya Mas Arsan. Aku baru tahu semalam, kalau Mas Arsan ternyata sudah punya rumah sendiri. Kukira dulu dia dan istrinya tinggal di rumah Mama mertua.“Alin, kamu mandi dulu gih, aku mau beresin barang-barang dulu.” kataku pada Alin yang kini masih santai berguling-guling di tempat tidur. Sedang Mas Arsan, dia sudah lebih dulu ke rumahnya untuk mengangkut barang-barang secara bergantian.“Alin nggak mau mandi disini!”Mulutku komat-kamit mendengar tukasannya. Di rumahku saja dia berani membangkang, gimana kalau di rumahnya dia sendiri? Mungkin aku akan dijadikan babunya.“Yaudah terserah, paling juga Ayah kamu bakal marahnya ke kamu bukan aku.” kataku menantang.Kulihat dia bergegas turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Senyumku melebar. Dengan ancaman, dia akan luluh.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Married Young   13. Ngerumpiin Hanna

    “Aku mau berangkat sekolah sama Teh Hanna!” Alin berteriak semakin keras ketika Mas Arsan melarangnya untuk jangan merepotkan Hanna.Namun anak itu bersikeras ingin berangkat sekolah dengan Hanna dan bukannya denganku yang menjadi Ibunya.“Iya, iya... Teteh anter kamu sekolah. Sekarang, mandi ya?” ucap Hanna.Si Alin langsung antusias. Dia turun dari meja makan dan berlarian masuk ke kamar.“Han, apa nggak merepotkan nunggu Alin sampai pulang? Kamu harus jaga butik, kan?” ujar Mas Arsan. Dari suaranya, menurutku sangat ramah. Berbeda jika sedang berbicara denganku, agak terpaksa dan ketus. Membuatku memutar bola mata dan lebih memilih menulikan pendengaran.Kepala Hanna tergeleng dengan senyum tidak pernah luntur pada bibirnya. Kenapa dia murah senyum sekali dengan suami orang? Mau nikung? Uh!“Nggak kok, Mas. Ada karyawan juga.” jawabnya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Married Young   14. Pertengkaran Alin

    Hari ini, jadwalku untuk pergi ke rumah Mama. Sebenarnya bisa saja aku kesana sebulan sekali, tapi Mas Arsan memintaku untuk dua minggu sekali, harus di sempatkan. Aku hanya menuruti ucapannya saja tanpa mau membantah, walau dalam hati kesal setengah mati. Bagaimana tidak kesal, dia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah Orangtuaku tapi dirinya sendiri tidak ikut.Dan, disinilah aku sekarang. Usai menjemput Alin, tujuanku langsung ke rumah Mama. Mataku terus mewanti-wanti kegiatan Luna dan Alin yang tengah asyik bermain masak-masakan dibawah karpet, sedang aku duduk diatas sofa. Jujur saja, aku takut mereka akan bertengkar. Pasalnya keduanya sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah.Ponselku berdering nyaring diatas sofa. Segera aku meraihnya dan melihat nama Mas Arsan tertera di layar ponsel, dia menelfonku.“Halloo?” sapaku.“Assalamualaikum,”

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • Married Young   15. Baikan

    Mas Arsan masih marah padaku sampai detik ini. Padahal kejadiannya sudah lebih dari tiga hari. Selama tiga hari itu pula, kami jarang bicara. Sebenarnya sudah menjadi hal biasa jika aku dan Mas Arsan jarang bicara, tapi kali itu aku merasa sanggat canggung secanggung-canggungnya.Bahkan dia lebih sering berlama-lama duduk di kursi kerjanya sampai larut malam. Aku yang menunggunya di tempat tidur sambil menjaga Alin sampai ikutan mengantuk dan akhirnya tidur. Padahal setiap akan tidur, ada beberapa hal yang mau aku bicarakan padanya. Tapi dia selalu saja menghindar dengan melarutkan malamnya di kursi kerja sambil menunggu aku tidur duluan baru dia beranjak dari duduknya dan ikut tidur.Bagun tidur pun begitu. Dia sengaja mengawalkan alarmnya dan solat subuh sendiri, padahal biasanya kami solat subuh dan maghrib selalu berjamaah.Sarapan apalagi! Jika disuruh sarapan pasti alasannya s

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • Married Young   Ekstra Part 3

    Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya

  • Married Young   Extra Part 2

    Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri

  • Married Young   Extra Part 1. Adik Bayi

    Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn

  • Married Young   The End

    Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala

  • Married Young   32. Akhir Bersamanya

    Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga

  • Married Young   31. Usaha Menggapainya

    Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma

  • Married Young   31. Usaha Menggapainya

    Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma

  • Married Young   30. Harapan Bersamanya

    Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan

  • Married Young   29. Keputusan

    Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam

DMCA.com Protection Status