Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.
Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.
“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.
“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.
“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang coba? Padahal make-up waktu ijab qabul juga sebenarnya masih bisa di pertahankan.” kataku.
Iya, resepsinya dimulai jam delapan malam dan aku di rias sejak jam lima sore bahkan sampai saat ini mereka belum menyelesaikan riasannya di diriku.
Ucapan protesku hanya dibalas helaan napas sabar oleh dua perias. Lagi-lagi aku memutar bola mata. Jujur, aku sangat jengah sekarang. Mana sejak siang belum makan! Padahal mau di pajang berjam-jam! Salahkan saja nanti dua perias ini jika aku pingsan di panggung pelaminan.
Cklek...
Mataku yang awalnya intens menatap wajah sendiri didepan cermin kini segera melesat melirik sebuah pintu yang terletak pada sisi kanan kamar hotel ini. Dan entai itu ruangan apa kenapa bisa terhubung. Mataku kontan membola ketika melihat tubuh kecil sedang sibuk mengucek-ucek kedua matanya. Kenapa Alin ada disini?
Alin melangkah mendekat ke arahku masih dengan aktivitas sama yaitu mengucek mata. Bisa kutebak dia pasti baru bangun tidur. Dari baunya saja aku sudah yakin.
“Tante lihat Ayah Alin nggak?” dia bertanya padaku. Suaranya seperti berusaha menahan tangis.
Kepalaku menggeleng. Setelah masuk ke kamar ini beberapa jam lalu untuk mengambil ponsel, dengan mengenakan kemeja putih layaknya pengantin, Pak Arsan keluar dan sampai saat ini belum kembali. Mungkin dia sedang menemui kerabat-kerabatnya yang datang.
Sedetik kemudian tangis Alin pecah. Dia melunturkan tubuhnya, menjadi duduk terlantar diatas lantai. Aku memerintahkan dua perias untuk berusaha menenangkan Alin namun mereka malah kena cakar olehnya. Sedang aku, karena tidak bisa berjongkok karena gaun sialan ini. Aku hanya bisa berusaha membujuknya dengan kalimat-kalimat saja. Namun Alin masih tetap Alin. Dia tidak mau menghentikan tangisnya hingga akhirinya aku dan dua perias hanya bisa memandanginya yang menangis semakin menjadi.
“Telpon Ayahnya saja, Mbak.” ucap salah perias.
Ide bagus!
“Iya deh, ambilin hape saya dong Mbak, di nakas.” pintaku.
Meraih ponsel, aku segera menghubungi nomor Pak Arsan yang untungnya baru beberapa detik tersambung dia dengan pekanya langsung mengangkat panggilan telponku.
“Pak, Alin nangis. Bapak kesini cepetan!” kataku, tanpa salam langsung saja mematikan panggilan.
“Ayah kamu bentar lagi kesini, udah diam. Jangan nangis, nanti ada Polisi kesini.” kataku berusaha membujuk. Bisa pengang ini telingaku. Suara tangisnya itu lhoh, menggema diseluruh ruangan.
Pintu kamar terbuka, Pak Arsan tiba langsung sigap membawa Alin ke gendongannya. Membisikkan sesuatu pada anaknya yang hebatnya langsung diam walau masih agak sesenggukan. Lagian, nangis segitunya memang dia habis diapakan waktu tidur?
“Ta-tadi, tadi Alin ngimpi Bubun nangis, Yah... hiks hiks....”
“Ssttt.. udah, Bubun nggak apa-apa. Cuma mimpi.” Pak Arsan merespon sambil mengelus lembut rambut anaknya.
Selanjutnya Pak Arsan masuk ke ruangan yang sepertinya memang sudah dia rencanakan untuk tidur Alin.
“Mbak, itu tadi anaknya Pak Arsan?” tanya perias. Kepalaku mengangguk.
“Lhah, kenapa panggil Mbaknya pake Tante, bukan Mama?”
Terserah Alin dong mau panggil aku apa! Kenapa sih setiap orang pasti memiliki sifat kepo? Seperti aku, contohnya.
“Belum terbiasa mungkin.” balasku berusaha sabar.
Keduanya manggut-manggut. Lima menit kemudian dua perias itu mengatakan bahwa diriku sudah selesai di rias, mereka lantas keluar dari kamarku setelah tadi cipika-cipiki tentunya.
Pak Arsan nongol secara tiba-tiba membuatku yang tengah asyik tersenyum di cermin sambil memuji kecantikan sendiri langsung terkejut. Aku memandangnya gugup, sedang dia memandangku dengan pandangan..... Aneh?
“Tadi Alin kenapa nangis, Pak?” tanyaku basa-basi, berusaha menghilangkan pandangannya yang memandangku aneh.
“Dia mimpi Bundanya nangis.” jawabnya datar.
Ooh, pantas saja nangisnya melebihi macan betina kekurangan pangan.
“Saya keluar dulu. Telpon saya kalo Alin nangis lagi, ya. Dia lagi tidur.”
Tidur mulu deh, perasaan. Kepalaku mengangguk menjawabnya.
Ketika sebuah pertanyaan teringat di benakku, aku mencegah Pak Arsan yang hendak membuka knop pintu untuk keluar. “Pak, waktu ijab qabul, kenapa Alin nggak ikut?”
“Dia nggak mau ikut.” hatiku tercabik sakit ketika mendengar jawaban miris itu. Apa sebenci itu, dia padaku? Apa salah dan dosaku, Alin? Apa kamu belum sudi Ayahmu menikah lagi? Bulan lalu waktu ditanya Ayahnya boleh menikah lagi atau nggak, kamu jawab mengangguk. Mataku yang terbalut lensa kini sudah menggenangkan air mata.
“....katanya mau tidur aja biar nanti malam bisa begadang di resepsi kita.” Pak Arsan melajutkan jawabannya, membuat kepalaku yang semula menunduk kini jadi mendongak menatapnya dari jarak jauh. “Saya keluar dulu.” katanya lagi lalu pergi keluar.
Tubuhku memutar menatap cermin kembali. Senyum terukir dibibir. Ternyata Alin tidak seperti yang aku pikirkan. Dia menghargai pernikahan Ayahnya dengan aku. Bahkan dia rela tidak ikut resepsi ijab qabul karena harus tidur agar malam nanti bisa ikit party.
***
Sudah dua jam lebih diriku di pajang dengan Pak Arsan, Orangtua Pak Arsan, Orangtua ku dan Alin, diatas panggung pelaminan. Selain kaki yang sudah lelah menopang tubuh, aku juga lelah menahan rasa malu. Bagaimana tidak malu coba? Pak Arsan ternyata mengundang semua guru di SMA Satu, tanpa terkecuali. Satpam dan bapak kebon saja dia undang. Membuatku perkali-kali lipat menahan malu dan mual.
Aku tahu dia berhak mengundang mereka, karena mereka rekan kerjanya setiap hari. Tapi, nggak semuanya juga dia undang kali! Para guru-guru SMA Satu, satu persatu menyalamiku sambil mengucapkan kalimat selamat dan sebagainya sampai menjerumus ke ; semoga cepat punya momongan, ya.
“Pak, masih lama ya selesainya?” tanyaku pada Pak Arsan. Nggak mungkin juga aku tanya pada wanita yang berdiri disebelah kananku. Dan, males juga sebenarnya ngomong sama beliau.
“Sudah jadi istri kok nggak ada sopan-sopannya. Arsan itu suami kamu bukan Bapak kamu! Panggil yang sopan.” Bu Siska alias Mama mertua nyinyir menyeletuk.
Suka-suka aku dong mau panggil Pak Arsan apa.
Dengan segenap rasa sopanku, aku mengulang pertanyaan pada Pak Arsan. “Acara resepsinya masih lama ya Mas, selesainya?”
“Sebentar lagi, teman-teman arisan Mama belum datang.” Mama mertua yang jawab.
Bola mataku memutar jengah. Ya Tuhan, kenapa aku harus memiliki Ibu mertua seketus itu? Apa salahku?
“Yah, Alin mau ke Kak Fara Fira, ya?” tanya Alin, dia berdiri di tegah kami. Tangannya menunjuk pada keluarga Mbak Nina, tepatnya pada anak kembarnya Mbak Nina yang tengah asyik makan.
Pak Arsan mengangguk.
***
Aku menatap wajahku didepan pantulan cermin dengan balutan mukena putih pemberian dari Pak Arsan beberapa jam lalu. Setelah resepsi usai pada pukul setengah dua belas, kini kami akan melaksanakan solat pengantin dua rokaat. Sambil menunggu Pak Arsan selesai wudhu, aku menyiapkan dua sajadah.
Pintu kamar mandi terbuka, kulihat Pak Arsan sudah mengenakan sarung. Dia meraih baju koko diatas kasur lalu mengenakannya.
Kami pun melaksanakan solat pengantin. Usai salam, dia memimpin do'a yang diakhiri dengan kata amin. Lalu dia menggeser duduknya menjadi menghadap kearahku. Dia mengangsurkan tangannya untuk salaman. Malu-malu aku mencium punggung tangan Pak Arsan. Selanjutnya kedua tangan Pak Arsan menangkup kepalaku, dia membacakan do'a, tepat didepan keningku.
Mataku menatap bibirnya yang komat-kamit serius sambil menutup mata. Jantungku berdetak kencang melihat keseriusannya, tidak kuat, akhirnya aku menurunkan pandangan kebawah.
Sesuatu yang basah telah menempel di tengah keningku. Segera bola mataku menatap keatas dan melotot tidak percaya.
Apaan ini?
Dia mencium keningku! Dan jika tidak salah hitunganku, ciumannya sudah lebih dari tiga detik. Ingin rasanya mendorong dadanya agar menjauh, namun peri kecil telah berbisik mengingatkanku bahwa Pak Arsan sudah sah bagiku. Membuatku urung untuk mendorongnya.
Sekitar tujuh detik, Pak Arsan menjauhkan bibirnya dari keningku. Kami saling tatap, dengan kedua tangan Pak Arsan masih ditempat yang sama yaitu memegangi kepalaku.
“Jangan panggil saya Pak, lagi. Saya suami kamu bukan guru kamu. Belajarlah sopan.” katanya.
Duh, kenapa sih semuanya menegurku hanya karena aku memanggil suami sendiri dengan panggilan, Pak?
Entah dorongan dari siapa, kepalaku mengangguk-angguk lirih.
Dia ikut mengangguk. Pandangan matanya turun kebawah menatap...
Bibirku? Dia menatap bibirku. Lalu kulihat kepalanya sedikit demi sedikit bergerak maju. Mataku membola. Sebagai seorang wanita yang sering nonton drama romance gratisan, aku tahu gerak-gerik. Dia pasti akan menciumku.
Karena dia sudah halal bagiku dan tidak bisa dilarang juga, akhirnya aku pasrah menutup mata saja. Hembusan napasnya membuat sekujur tubuhku panas dingin dan kejang-kejang. Belum lagi jantungku ini. Nasib punya jantung yang gampang baperan, baru dikasih tanda-tanda mau ciuman saja dia sudah memompa lebih cepat dari biasanya.
“Ayaaaahh...”
Mendengar suara rengek itu. Mataku membuka. Pak Arsan melepas tangannya dari kepalaku. Kami bebarengan menatap sosok Alin disana. Dengan mata tertutup, gadis itu melangkah mendekat kearah kami. Lalu tanpa membuka mata dia mendorong dadaku. Dia duduk di paha Pak Arsan sambil merengek. Mimpi apalagi dia? Mamaknya nangis lagi?
“Alin nggak mau tidur sendiri.... Mau sama Ayah...” rengeknya. Kukira dia mimpi lagi.
Dengan sayang Pak Arsan mengelus-elus rambut anaknya lalu dia berdiri menggendong Alin. Aku ikut berdiri.
“Kamu nggak keberatan kan, Alin ikut tidur disini? Dia nggak berani tidur sendiri. Kami selalu tidur bersama.” ungkap Pak Arsan.
Kepalaku menggeleng. “Nggak kok. Aku juga nggak berani tidur sendiri. Dirumah selalu tidur bareng Fika.” kataku, malah curhat.
Dua detik kemudian mataku membola menatapnya. Aku segera menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Baru saja aku keceplosan! Ah! Kenapa aku malah membuka kartu sendiri?! Pantas saja dia menatapku tidak percaya.
Pak Arsan geleng-geleng kepala lantas berbalik untuk menidurkan Alin ditengah kasur.
Ah, Alin... Alin... Gara-gara kamu, aku tidak jadi merasakan yang namanya ciuman bibir! Dan gara-gara kamu juga, aku jadi membongkar aib sendiri didepan Pak Arsan.
Lepas satu minggu, aku, Mas Arsan dan Alin menginap di rumah Mama, hari ini kami akan pindah ke rumahnya Mas Arsan. Aku baru tahu semalam, kalau Mas Arsan ternyata sudah punya rumah sendiri. Kukira dulu dia dan istrinya tinggal di rumah Mama mertua.“Alin, kamu mandi dulu gih, aku mau beresin barang-barang dulu.” kataku pada Alin yang kini masih santai berguling-guling di tempat tidur. Sedang Mas Arsan, dia sudah lebih dulu ke rumahnya untuk mengangkut barang-barang secara bergantian.“Alin nggak mau mandi disini!”Mulutku komat-kamit mendengar tukasannya. Di rumahku saja dia berani membangkang, gimana kalau di rumahnya dia sendiri? Mungkin aku akan dijadikan babunya.“Yaudah terserah, paling juga Ayah kamu bakal marahnya ke kamu bukan aku.” kataku menantang.Kulihat dia bergegas turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Senyumku melebar. Dengan ancaman, dia akan luluh.
“Aku mau berangkat sekolah sama Teh Hanna!” Alin berteriak semakin keras ketika Mas Arsan melarangnya untuk jangan merepotkan Hanna.Namun anak itu bersikeras ingin berangkat sekolah dengan Hanna dan bukannya denganku yang menjadi Ibunya.“Iya, iya... Teteh anter kamu sekolah. Sekarang, mandi ya?” ucap Hanna.Si Alin langsung antusias. Dia turun dari meja makan dan berlarian masuk ke kamar.“Han, apa nggak merepotkan nunggu Alin sampai pulang? Kamu harus jaga butik, kan?” ujar Mas Arsan. Dari suaranya, menurutku sangat ramah. Berbeda jika sedang berbicara denganku, agak terpaksa dan ketus. Membuatku memutar bola mata dan lebih memilih menulikan pendengaran.Kepala Hanna tergeleng dengan senyum tidak pernah luntur pada bibirnya. Kenapa dia murah senyum sekali dengan suami orang? Mau nikung? Uh!“Nggak kok, Mas. Ada karyawan juga.” jawabnya.
Hari ini, jadwalku untuk pergi ke rumah Mama. Sebenarnya bisa saja aku kesana sebulan sekali, tapi Mas Arsan memintaku untuk dua minggu sekali, harus di sempatkan. Aku hanya menuruti ucapannya saja tanpa mau membantah, walau dalam hati kesal setengah mati. Bagaimana tidak kesal, dia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah Orangtuaku tapi dirinya sendiri tidak ikut.Dan, disinilah aku sekarang. Usai menjemput Alin, tujuanku langsung ke rumah Mama. Mataku terus mewanti-wanti kegiatan Luna dan Alin yang tengah asyik bermain masak-masakan dibawah karpet, sedang aku duduk diatas sofa. Jujur saja, aku takut mereka akan bertengkar. Pasalnya keduanya sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah.Ponselku berdering nyaring diatas sofa. Segera aku meraihnya dan melihat nama Mas Arsan tertera di layar ponsel, dia menelfonku.“Halloo?” sapaku.“Assalamualaikum,”
Mas Arsan masih marah padaku sampai detik ini. Padahal kejadiannya sudah lebih dari tiga hari. Selama tiga hari itu pula, kami jarang bicara. Sebenarnya sudah menjadi hal biasa jika aku dan Mas Arsan jarang bicara, tapi kali itu aku merasa sanggat canggung secanggung-canggungnya.Bahkan dia lebih sering berlama-lama duduk di kursi kerjanya sampai larut malam. Aku yang menunggunya di tempat tidur sambil menjaga Alin sampai ikutan mengantuk dan akhirnya tidur. Padahal setiap akan tidur, ada beberapa hal yang mau aku bicarakan padanya. Tapi dia selalu saja menghindar dengan melarutkan malamnya di kursi kerja sambil menunggu aku tidur duluan baru dia beranjak dari duduknya dan ikut tidur.Bagun tidur pun begitu. Dia sengaja mengawalkan alarmnya dan solat subuh sendiri, padahal biasanya kami solat subuh dan maghrib selalu berjamaah.Sarapan apalagi! Jika disuruh sarapan pasti alasannya s
Dulu, waktu masih duduk di bangku pendidikan, aku sangat menanti-nanti tanggal merah tiba. Karena disaat tanggal merah, sekolah akan di liburkan. Tapi untuk sekarang, hari ini, Jum'at, 25 April, aku jadi benci tanggal merah.Mungkin aku tidak akan sebenci dan semarah ini pada tanggal merah, kalau saja hari ini si Han—, ah aku malas untuk memanggil namanya, anggap saja dia si pelakor sok alim itu tidak berkunjung ke rumah Mas Arsan. Masih mending berkunjungnya mengingat waktu, lah ini! Pukul tujuh pagi dia sudah datang dan membawa buah tangan yang isinya bubur untuk sarapan.Aku yang pagi ini sudah membuat sarapan, jadi nambah naik pitam. Alhasil sarapan buatanku di abaikan oleh Mas Arsan dan Alin. Mereka lebih memilih menyantap bubur pemberian Han—, ah... Si pelakor sok alim, maksudku. Akhirnya aku ikut memakan bubur sambil menatap sendu pada nasi goreng sosis buatanku.“Buburnya be
Menjelang sore, Hanna berpamitan untuk pulang. Dia tidak pulang sendirian, melainkan bersama Alin pula. Karena hari ini jadwalnya anak ingusan itu untuk tidur di rumah neneknya. Kini aku dan Mas Arsan tengah mengantar Hanna dan Alin ke dalam mobil."Jangan nakal, nanti minggu sore Ayah jemput." ujar Mas Arsan pada Alin, sebelum akhirnya masuk ke mobil Hanna."Nggak usah, Mas. Biar nanti Hanna antar pulang Alin." si Hanna menimpali.Kepalaku sontak menoleh padanya. Dia tersenyum tulus ketika selesai mengatakan itu. Seolah dia adalah manusia terbaik di dunia ini. Bukan senyumnya yang membuatku naik darah, melainkan matanya! Matanya menatap Mas Arsan dengan penuh rasa ingin. Ingin memiliki. Dia lakik gue, oy!"Memangnya kamu nggaka sibuk, Hann?" tanya Mas Arsan."Sore aku luang kok. Yaudah kita berangkat sekarang, ya. Wasalamualaikum."Ketika mobil Hanna sudah mulai menghilang dari pek
Tubuhku bergidik kegirangan ketika sekelebat bayangan perbuatan Mas Arsan semalam mampir pada pikiranku. Tidak bisa kupungkiri bahwa ciumannya memang memabukkan. Bukan lagi, bokk. Dia duda, jelas sekali dalam caranya menciumku, sangat lihai dan teratur. Tidak sepertiku yang ketika di ciumnya hanya terdiam membeku macam Patung.Semalam aku dan Mas Arsan akhirnya tidur satu ranjang, itupun dia memaksaku. Dan, kalian tahu? Selama malam itu aku sama sekai tidak bisa tidur bahkan memejamkan mata dalam waktu lebih dari 30 menit saja tidak bisa. Semua itu karena ulahnya yang tiba-tiba menciumku. Aku yang baru kali pertama berciuman bibir, jelas syok.Tapi tidak apa-apa. Aku suka ciumannya. Yah, walaupun tidak bisa kubalas dan kuimbangi. Karena memang aku tidak bisa berciuman bibir. Tidak tahu caranya, lebih tepatnya.Selain bodoh dalam mengendarai, aku juga bodoh dalam hal-hal romantis. Apa si
Mataku terbuka lebar, lagi-lagi ruangan serba putih yang kulihat. Aku bosan di tempat ini, aku ingin di rumah saja. Tapi semua orang tidak tahu keinginanku. Berbaring lemah di bangkar Rumah Sakit, itulah kegiatanku tiga hari terakhir ini.Ya, aku di rawat di Rumah Sakit. Bukan karena apa-apa, aku baik-baik saja. Hanya keluargaku yang terlalu berlebihan menanggapi pingsan yang aku alami hari lalu.Setelah pertengkaranku dengan Mas Arsan kala itu, aku memang memutuskan untuk pulang ke rumah. Menginap di rumah selama empat hari. Dan selama itu pula aku tidak pernah keluar dari kamar. Sekedar untuk makan pun tidak. Aku sama sekali tidak makan apapun di kamar dan itu berlangsung selama empat hari. Hingga akhirnya aku dehidrasi. Untungnya para kakak laki-lakiku mendobrak pintu kamarku hingga aku kini berada di Rumah Sakit.Mengenai Mas Arsan, lelaki yang sudah membuat hatiku terombang-amb
Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya
Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri
Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn
Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala
Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan
Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam