Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.
Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.
Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.
Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur. Tangan kananku menggenggam ponsel. Mataku menatap langit-langit kamar sambil berfikir aku akan datang bersama siapa. Sekelebat bayangan Pak Arsan muncul. Kenapa harus dia? Aku memejamkan mata, namun yang kudapat malah bayangan aku dan Pak Arsan berjalan bergandengan tangan, masuk ke gedung pernikahan.
Tapi... Iya juga ya? Kenapa aku tidak datang bersamanya saja? Kebetulan besok kan Sabtu, Pak Arsan pasti luang. Langsung saja aku menghubungi nomornya.
“Assalamualaikum...” salamku.
“Walikumsalam.”
“Pak, nanti malam ada acara nggak? Kalo nggak, temenin aku ke pernikahan temenku, yuk?” ajakku antusias.
“Maaf Nawang, nanti malam saya nggak bisa. Saya harus pergi juga.”
Tubuhku melemas. Terpaksa nanti malam aku kondangan seorang diri tanpa dampingan siapapun. Nasib anak gadis yang ditinggal nikah mantannya memang begini. Kesana kesini teraniaya. Hidupnya miskin bahagia.
“Yaudah!” ketusku lantas langsung memutuskan telepon dan menutup wajah dengan bantal. Lebih baik aku tidur dan menenangkah hati agar tetap tabah menjalani kesedihan ini. Huh!
***
Pukul tujuh malam, aku sudah rapi mengenakan gaun malam berwarna coklat. Wajahku sudah kuhias seindah mungkin dengan beberapa make-up. Dengan langkah anggun, aku menuruni anak tangga satu persatu untuk keluar karena Uber pesananku sudah menunggu. Anggota keluargaku sudah lebih dulu berangkat dan aku seorang diri.
Biarlah, terserah mau sama setan atau jin, yang jelas malam ini aku harus terlihat bahagia di dalam hari bahagia Zahra, sahabatku. Persetan untuk statusku yang digantungkan oleh Pak Arsan.
Sekitar lima belas menit, aku sampai di gedung hotel yang Zahra pilih untuk resepsi. Aku masuk kedalam dengan sedikit senyum. Menyerahkan undangan pada penjaga lalu masuk ke ballroom.
Dari kejauhan aku melihat keluargaku sedang asyik foto-foto dengan pengantin di pelaminan. Semuanya ikut, kecuali Mbak Mila dan suaminya.... Serta aku. Menggeram kesal. Dompet kecil ditanganku menjadi korban karena sudah ku ucel-ucel.
Agar tidak terlalu memalukan, aku melangkah menghampiri tempat makanan berada. Mengambil minum dan duduk di salah satu kursi. Sambil minum, mataku tidak pernah lepas mempehatikan orang-orang yang baru datang. Tatapanku menajam kepada satu orang baru saja masuk. Seorang lelaki bersama dengan wanita cantik berhijab dan anak kecil di tengahnya. Mereka terlihat sangat serasi, bak pasangan romantis.
Jangan tanya siapa lelaki yang kumaksud! Tanpa kalian bertanya pasti benak kalian sudah menduga itu adalah Pak Arsan. Jika begitu, berarti jawaban kalian benar! Disana, Pak Arsan dengan wanita berhijab biru tua melangkah menuju pelaminan, tentunya sambil menuntun Alin di tengah-tengah mereka.
Zahra... Zahra... Kenapa kamu ngundang Pak Arsan, sih? Aku jadi kesal sendiri dengannya.
Dan lagi, siapa wanita berhijab itu?
Ketika aku menoleh ke tempat pelaminan, keluargaku sudah tidak ada lagi. Akh, syukurlah.... Setidaknya aku bisa sedikit lega sekarang. Tapi kelegaanku hanya berlangsung sedetik. Tubuhku kaku melihat Zahra bercipika-cikipi dengan wanita yang dibawa Pak Arsan. Terlihat Zahra berbincang ria dengan wanita itu. Sepertinya mereka saling mengenal. Aku jadi penasaran.
Aku memalingkan wajah ketika Pak Arsan menggiring wanita berhijab dan Alin untuk turun dari pelaminan.
Jantungku hendak copot, memyadari Pak Arsan melangkah mengarah kearahku. Buru-buru aku menandaskan minuman dan melangkah tergesa-gesa untuk ikut bergabung berdesak-desakan menyalami Zahra dan Mas Ridwan.
Karena masih penasaran, apa yang akan mereka lakukan lagi, sambil mengantre giliran menyalami pengantin aku terus memperhatikan Pak Arsan.
Kini giliranku untuk naik ke pelaminan. Dengan perasaan campur aduk, aku naik. Buru-buru menyalami Zahra dan Mas Ridwan tanpa sempat memberi kalimat-kalimat bahagia pada mereka. Bahkan Zahra sempat memanggil-manggil namaku ketika aku hendak turun dari panggung. Biarlah, aku abaikan saja teriakannya. Yang penting sudah salaman. Masalah kado, setelah ijab qabul aku sudah memberinya kado yang berisi lingerie merah padam. Entah dia akan memakainya atau tidak.
***
Kakiku melangkah loyo masuk ke dalam kamar. Baru saja aku sampai rumah, pukul sebelas malam. Aku pulang selarut ini dalam resepsi pernikahannya Zahra itu, karena menunggu Pak Arsan pulang dulu. Aku tidak mau dia tahu aku ada disana.
Setelah melepas hels, aku merebahkan tubuh diatas kasur, tanpa berniat membuat Fika terbangun dari tidurnya. Tidak peduli gaunku akan kucel, punggungku sudah tidak kuat menopang lagi. Diam termenung menatap langit-langit kamar. Tiba-tiba saja ponselku berdering menandakan chat masuk.
Segera kuraih benda pipih itu di dalam tas kecil lantas membuka pesan dari siapakah gerangan. Ternyata Zahra. Dia mengirimkan foto lingerie merah pemberian dariku, lewat aplikasi Whatsapp.
Zahra :
Kado apaan itu?
Me :
Kado hotttt, Zahra! Pake gih, biar mas ridwan bergairah.
Zahra :
Nggak ah, malu
Me :
Dosa loh kalo ngga gituan
Zahra :
Gituan gimana?
Me :
Itu lohhhh... Ehm, nafkah bathin
Zahra :
Siapa bilang ngga lakuin? Lg proses kok
Bola mataku melebar membaca pesannya. Ini beneran Zahra yang ngetik? Masa sih? Aku tidak percaya. Karena itu, langsung saja ku telpon nomornya.
“Assalamualaikum?” suara salam di seberang sana. Bukan suara Zahra. Ini suara lelaki yang pasti Mas Ridwan! Asem! Ternyata dia yang membuka kado dariku.
“Mas Ridwan! Ih, reseeeee!”
“Kamu yang rese. Segala ngasih kado lingerie ke Zahra. Untung Mas yang buka.”
“Iiihh itu kan biar Zahra kelihatan hot! Au ah!” aku jungkir balik kesal sendiri.
“Nggak. Nggak akan Mas kasih. Bakal Mas simpan aja kado dari kamu.”
“Terserah lah! Zahra lagi ngapain? Aku pengin ngomong dong, penting.”
“Dia lagi ma—, hallo Na ada apa?”
Aku menghela napas lega ketika suara Zahra terdengar. “Nggak ada apa-apa. Cuma mau tanya, waktu kamu nikah, kamu ngundang guru-guru SMA Satu, ya?”
“Ya nggak lah! Malu ih, Nana.”
“Lhah, kenapa waktu resepsi aku ada lihat Pak Arsan disana?”
“Ooh...itu! Pak Arsan itu datang sama temanku. Kamu lihat cewek yang pake hijab biru tua, kan? Dia temanku.”
“Oh gitu. Yaudah makasih. Aku matiin ya, bye Assalamualaikum.”
Tanpa menunggu Zahra menjawab salamku, langsung saja aku matikan. Ternyata orang yang datang dengan Pak Arsan ke resepsinya Zahra adalah temannya Zahra. Huh! Pantas saja Pak Arsan menolak ajakanku, itu pasti karena sudah ada janji dengan wanita berhijab biru tua semalam.
Aku jadi penasaran. Ada hubungan apa antara Pak Arsan dan temannya Zahra itu? Dari yang aku lihat gerak-gerik mereka waktu di resepsinya Zahra sih, kayaknya lebih dari teman. Tapi, kalau lebih dari teman kenapa juga Pak Arsan mau repot-repot membawaku ke rumah orangtuanya, memperkenalkanku pada mereka?
Panjang umur!
Baru saja orangnya sedang aku bicarakan, dia tiba-tiba melefonku. Tanpa menunggu lama, aku mengangkat panggilannya.
“Assalamualaikum.” ucapku. Aku berusaha sebisa mungkin terbiasa mengucap salam lebih dulu.
“Waalaikumsalam. Nawang, saya mau bicara serius sama kamu.”
Bukannya setiap kali berbicara, Pak Arsan selalu serius? Dia kan tipe laki-laki yang tidak kenal becanda! “Iya, ada apa ya, Pak?”
“Lusa Orangtua saya ke rumah kamu untuk melam—”
Mataku melebar tidak karuan. “Apa?! Melamar?”
“Eeuhh! Teteh jangan berisik, ih!” aku segera menutup mulut sendiri ketika mendengar suara Fika dari belakang.
“Iya. Sekalian untuk menentukan tanggal nikah. Saya nggak mau terlalu lama main-main. Sudah bukan usia saya lagi kalau mau main-main.”
“Tanggal nikah?”
“Teteh....ih, jangan berisik..!” lagi-lagi Fika terganggu dengan pekikanku.
“Iya, memangnya kenapa? Kamu belum siap?”
“Yaiyalah! Secara, kita baru kenal, Pak... Lagian, kenapa cepet-cepet segala sih?”
“Kalo kamu lupa, saya Guru BK di sekolahan kamu.”
“Ya... Terlepas dari itu, maksudku. Seengaknya kasih waktu sebulan gitu. Ngurus surat-surat pernikahan kan lama.”
“Oke, satu bulan. Nanti kita bicarakan lagi, lusa. Wasalamualaikum.”
“Kumsalam!” ketusku.
Meletakkan ponsel diatas nakas, tubuhku menghambur di kasur. Kepalaku tiba-tiba saja dilanda pusing.
Duile.. bagaimana ini? Kenapa Pak Arsan jadi pengin cepet-cepet nikah? Aku kan belum siap!
Aku duduk termenung di kursi meja makan. Mataku sembab karena masih mengantuk. Ternyata ucapan Pak Arsan tidak main-main. Semalam dia datang ke rumahku membawa kedua Orangtuanya, tidak lupa juga membawa Alin. Bagaimanapun juga dia harus tahu bahwa Ayahnya akan menikah denganku, asekk.Baru semalam aku lihat wajah Papanya Pak Arsan. Beliau mirip dengan Pak Arsan, hanya saja sifatnya berbeda. Jika Pak Arsan pendiam tapi galak, Om Adi itu ramah dan nggak ada galak-galaknya. Bahkan tatapannya begitu teduh.Semalam benar-benar malam yang sangat menegangkan. Dimana Om Adi bertanya padaku apakah aku bersedia diikat dalam sebuah hubungan dengan anaknya atau tidak dan Pak Arsan meminta restu pada Papaku. Alin juga turut ikut serta. Dia diberi pertanyaan oleh Pak Arsan. Apakah merestui aku atau tidak untuk jadi Ibunya. Dan jawaban gadis kecil itu adalah.... Gelengan! Dia menggeleng keras tanpa membuka mulut berkata tidak. Saat
Usai melangsungkan ijab qabul, sorenya aku dan Pak Arsan di boyong ke hotel yang sudah kami sepakati untuk dijadikan gedung pernikahan. Sudah berjam-jam aku dirias oleh dua perias pengantin.Duduk di depan cermin dengan dua orang yang sedang menghias diriku. Sudah berkali-kali bola mataku memutar lantaran jengah melihat penampilanku sendiri di cermin. Aku tidak suka dirias begini, lebih baik merias diri sendiri lebih nyaman dan tahu mana yang terbaik untukku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi. Yakali, mau jadi pengantin masa rias sendiri.“Mbak, udah belum sih? Saya pegal ini!” keluhku pada dua orang perias, berjenis kelamin perempuan.“Sebentar lagi, Mbak. Sabar ya...” jawab salah satunya, sedang fokus mencepol rambut pendekku. Mungkin dia agak kesulitan karena tambutku kependekan.“Lagian, resepsinya kan masih beberapa jam lagi! Kenapa saya harus di rias sekarang co
Lepas satu minggu, aku, Mas Arsan dan Alin menginap di rumah Mama, hari ini kami akan pindah ke rumahnya Mas Arsan. Aku baru tahu semalam, kalau Mas Arsan ternyata sudah punya rumah sendiri. Kukira dulu dia dan istrinya tinggal di rumah Mama mertua.“Alin, kamu mandi dulu gih, aku mau beresin barang-barang dulu.” kataku pada Alin yang kini masih santai berguling-guling di tempat tidur. Sedang Mas Arsan, dia sudah lebih dulu ke rumahnya untuk mengangkut barang-barang secara bergantian.“Alin nggak mau mandi disini!”Mulutku komat-kamit mendengar tukasannya. Di rumahku saja dia berani membangkang, gimana kalau di rumahnya dia sendiri? Mungkin aku akan dijadikan babunya.“Yaudah terserah, paling juga Ayah kamu bakal marahnya ke kamu bukan aku.” kataku menantang.Kulihat dia bergegas turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Senyumku melebar. Dengan ancaman, dia akan luluh.
“Aku mau berangkat sekolah sama Teh Hanna!” Alin berteriak semakin keras ketika Mas Arsan melarangnya untuk jangan merepotkan Hanna.Namun anak itu bersikeras ingin berangkat sekolah dengan Hanna dan bukannya denganku yang menjadi Ibunya.“Iya, iya... Teteh anter kamu sekolah. Sekarang, mandi ya?” ucap Hanna.Si Alin langsung antusias. Dia turun dari meja makan dan berlarian masuk ke kamar.“Han, apa nggak merepotkan nunggu Alin sampai pulang? Kamu harus jaga butik, kan?” ujar Mas Arsan. Dari suaranya, menurutku sangat ramah. Berbeda jika sedang berbicara denganku, agak terpaksa dan ketus. Membuatku memutar bola mata dan lebih memilih menulikan pendengaran.Kepala Hanna tergeleng dengan senyum tidak pernah luntur pada bibirnya. Kenapa dia murah senyum sekali dengan suami orang? Mau nikung? Uh!“Nggak kok, Mas. Ada karyawan juga.” jawabnya.
Hari ini, jadwalku untuk pergi ke rumah Mama. Sebenarnya bisa saja aku kesana sebulan sekali, tapi Mas Arsan memintaku untuk dua minggu sekali, harus di sempatkan. Aku hanya menuruti ucapannya saja tanpa mau membantah, walau dalam hati kesal setengah mati. Bagaimana tidak kesal, dia menyuruhku untuk berkunjung ke rumah Orangtuaku tapi dirinya sendiri tidak ikut.Dan, disinilah aku sekarang. Usai menjemput Alin, tujuanku langsung ke rumah Mama. Mataku terus mewanti-wanti kegiatan Luna dan Alin yang tengah asyik bermain masak-masakan dibawah karpet, sedang aku duduk diatas sofa. Jujur saja, aku takut mereka akan bertengkar. Pasalnya keduanya sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah.Ponselku berdering nyaring diatas sofa. Segera aku meraihnya dan melihat nama Mas Arsan tertera di layar ponsel, dia menelfonku.“Halloo?” sapaku.“Assalamualaikum,”
Mas Arsan masih marah padaku sampai detik ini. Padahal kejadiannya sudah lebih dari tiga hari. Selama tiga hari itu pula, kami jarang bicara. Sebenarnya sudah menjadi hal biasa jika aku dan Mas Arsan jarang bicara, tapi kali itu aku merasa sanggat canggung secanggung-canggungnya.Bahkan dia lebih sering berlama-lama duduk di kursi kerjanya sampai larut malam. Aku yang menunggunya di tempat tidur sambil menjaga Alin sampai ikutan mengantuk dan akhirnya tidur. Padahal setiap akan tidur, ada beberapa hal yang mau aku bicarakan padanya. Tapi dia selalu saja menghindar dengan melarutkan malamnya di kursi kerja sambil menunggu aku tidur duluan baru dia beranjak dari duduknya dan ikut tidur.Bagun tidur pun begitu. Dia sengaja mengawalkan alarmnya dan solat subuh sendiri, padahal biasanya kami solat subuh dan maghrib selalu berjamaah.Sarapan apalagi! Jika disuruh sarapan pasti alasannya s
Dulu, waktu masih duduk di bangku pendidikan, aku sangat menanti-nanti tanggal merah tiba. Karena disaat tanggal merah, sekolah akan di liburkan. Tapi untuk sekarang, hari ini, Jum'at, 25 April, aku jadi benci tanggal merah.Mungkin aku tidak akan sebenci dan semarah ini pada tanggal merah, kalau saja hari ini si Han—, ah aku malas untuk memanggil namanya, anggap saja dia si pelakor sok alim itu tidak berkunjung ke rumah Mas Arsan. Masih mending berkunjungnya mengingat waktu, lah ini! Pukul tujuh pagi dia sudah datang dan membawa buah tangan yang isinya bubur untuk sarapan.Aku yang pagi ini sudah membuat sarapan, jadi nambah naik pitam. Alhasil sarapan buatanku di abaikan oleh Mas Arsan dan Alin. Mereka lebih memilih menyantap bubur pemberian Han—, ah... Si pelakor sok alim, maksudku. Akhirnya aku ikut memakan bubur sambil menatap sendu pada nasi goreng sosis buatanku.“Buburnya be
Menjelang sore, Hanna berpamitan untuk pulang. Dia tidak pulang sendirian, melainkan bersama Alin pula. Karena hari ini jadwalnya anak ingusan itu untuk tidur di rumah neneknya. Kini aku dan Mas Arsan tengah mengantar Hanna dan Alin ke dalam mobil."Jangan nakal, nanti minggu sore Ayah jemput." ujar Mas Arsan pada Alin, sebelum akhirnya masuk ke mobil Hanna."Nggak usah, Mas. Biar nanti Hanna antar pulang Alin." si Hanna menimpali.Kepalaku sontak menoleh padanya. Dia tersenyum tulus ketika selesai mengatakan itu. Seolah dia adalah manusia terbaik di dunia ini. Bukan senyumnya yang membuatku naik darah, melainkan matanya! Matanya menatap Mas Arsan dengan penuh rasa ingin. Ingin memiliki. Dia lakik gue, oy!"Memangnya kamu nggaka sibuk, Hann?" tanya Mas Arsan."Sore aku luang kok. Yaudah kita berangkat sekarang, ya. Wasalamualaikum."Ketika mobil Hanna sudah mulai menghilang dari pek
Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya
Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri
Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn
Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala
Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan
Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam