“Pa, Ma aku pengin nikah!”
“APA?!”
Dua pasang mata yang ada di hadapanku membelalak tidak percaya padaku. Papa dan Mama. Keduanya sangat kompak membulatkan bola mata mereka, bahkan ekspresinya pun sama. Sama-sama tegang. Beberapa detik memandangku seolah akan memakanku hidup-hidup, Papa dan Mama kini saling pandang. Sedangkan aku yang melihat tingkah Orangtuaku sendiri hanya bisa menghela napas gusar sambil garuk-garuk pantat.
Diusiaku yang sudah menginjak 21 tahun, apa sebegitu diharamkannya untuk meminta nikah? Sehingga Papa dan Mama begitu terkejut sekali mendegar permintaanku. Ini sudah lebih dari satu menit mereka saling terkejut, tapi mereka sama sekali tidak menghentikannya. Membuatku berteriak, “Pa, Ma! Jadi gimana...?!”
Barulah Papa dan Mama menghentikan aksi terkejutnya yang berlebihan itu. Papa memandangku penuh selidik, sedangkan Mama malah senyum-senyum gulali.
“Kamu nggak hamil, kan Na?” tanya Papa.
Kontan saja bola mataku melotot kearah beliau. Sembarangan kalo tanya! Dengan wajah memerah karena menahan amarah, kepalaku menggeleng.
“Ish, Papa! Anak minta nikah kok malah di fitnah segala!” celetuk Mama, masih dengan senyum gulalinya yang bikin aku pengin narik itu bibir.
“Ya.. Bukan gitu, Ma. Papa heran aja sama anak kita. Tiba-tiba minta nikah. Nggak kayak biasanya, mintanya uang jajan.”
Setelah tadi bola mataku melotot tidak karuan, kini beralih memutar jengah karena perkataan Papa. Entah Papaku keturunan apa, kenapa bisa beliau punya mulut kok nyablak banget kalo ngomong. Beliau persis perempuan, suka ceplas-ceplos sekenanya kalo ngomong.
“Terserah Papa mau bilang aku hamil atau apa. Yang jelas aku pengin nikah! Dalam waktu dekat ini! Sama siapapun yang penting dia bisa nafkahin aku!” aku berteriak lantang di ruang keluarga, didepan kedua orangtuaku.
Usai berteriak, bisa kulihat Papa memijit pelipis sendiri sambil geleng-geleng. Lantas beberapa detik kemudian beliau menatapku, “Yasudah, nanti coba Papa carikan calon yang mapan. Tapi kamu harus mau dengan pilihan Papa dan tidak boleh dibantah.”
“Eh, nggak usah dicarikan, Pa! Sama anak teman arisannya Mama aja...” tiba-tiba Mama menimbrung lagi, memberi ide yang sangat tidak kreatif pada Papa.
Iya, tidak kreatif. Bagiku, dijodohin sama anaknya teman arisan atau kerabat, itu sudah biasa.
Dan karena aku tidak mau, kepalaku menggeleng mengarah pada Mama “Nggak! Aku mau dicariin Papa aja!” lantas berlalih pada Papa, “Diusahakan jangan yang satu kerjaan sama Papa. Aku nggak mau punya suami yang pengusaha-pengusaha! Kalo bisa cariin yang jaksa-jaksa muda, atau... Apapun lah yang penting jangan pengusaha!” kataku.
Hanya dibalas anggukan frustasi oleh Papa.
Aku, Nawang Wulan biasa di panggil Nana oleh orang-orang. Usiaku 21 tahun, lahir pada rahim Ibu Amelia dan donoran sperma dari Bapak Abdullah. Aku anak terakhir dari 6 bersaudara.
Kakak pertama, kedua dan ketiga berjenis kelamin laki-laki. Namanya, Mas Jefri, Reza dan Mas Rean, semuanya sudah pada nikah dan punya anak. Sedang keempat, kelima dan keenam berjenis kelamin perempuan, bernama Mbak Mila, Anida dan aku. Mbak Mila sudah menikah dan sedang hamil saat ini. Kalo Mbak Anida, beliau sudah pulang ke rahmatullah karena kecelakaan mobil tiga tahun lalu, tepat saat aku sedang melaksanakan hari pertama UN tingkat SMA.
Yang membuat aku jadi tidak lulus. Karena hari UN selanjutnya, semangatku hilang melenyap bersama di kuburan Mbak Anida. Tapi... Entahlah, aku tidak konsentrasi menjawab soal UN karena kematian Mbak Anida atau aku-Nya saja yang memang bodoh dalam masalah materi. Alhasil aku harus mengulang kembali, duduk di kelas akhir selama 9 Bulan. Saat itu aku malu sekali dan ingin rasanya mengubur diri bersama Mbak Anida saja.
Bertelor di bangku sekolah itu rasanya tidak enak. Semua teman membullyku habis-habisan, mengataiku bodoh dan sebagainya. Bahkan tidak ada satu anak pun yang mau berteman denganku lagi, kecuali Zahra dan pacarku.
Dari dulu aku selalu mengatakan bahwa sekolah itu tidak enak. SD saja aku sering tidak berangkat tanpa keterangan. Apalagi SMP, seminggu aku cuma berangkat tiga hari saja. Itupun aku pilih-pilih hari yang tidak ada jadwal pelajaran matematika-Nya. Masa SMA tiga tahun yang lalu, sedikit ada perubahan. Satu minggu aku bisa berangkat terus, tapi kalo ada pelajaran yang hitung-hitungan aku selalu bolos. Jujur saja, aku ini orang bodoh. Apalagi tentang matematika. Ditanya lima tambah lima saja aku harus berfikir dulu beberapa detik.
Dan, jangan tanya dulu aku masuk TK atau tidak. Tidak perlu masuk TK, langsung masuk SD, pada saat usiaku 6 tahun.
Lulus dari bangku SMA, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan studi pendidikan lagi! Aku menolak Mama yang memintaku untuk masuk ke UI. Jangankan UI, universitas swasta saja belum tentu menerimaku. Aku juga menolak usulan Papa yang memintaku untuk lanjut ke pesantren dan ngaji-ngaji saja disana, tidak disuruh menjawab soal matematika seperti yang aku takutkan selama sekolah namun aku tetap menolak.
Bully saja aku, karena diusiaku yang sudah menginjak 21 tahun ini baru khatam Juzz Amma. Doa-doa saja yang jumlahnya banyak, aku hanya bisa hapal doa mau tidur dan mau makan. Doa yang lain aku ganti saja dengan membaca bassmalah.
Akhirnya aku tidak melanjutkan sekolah dan dengan sah, Aku anak terakhir dari Bapak Abdullah dan Ibu Amelia hanya tamat pada pendidikan SMA saja. Selama tidak melanjutkan sekolah, aku bebas melakukan apa saja. Pacaran setiap hari, hang out sana-sini bareng Zahra, main pagi pulang malam, sudah kayak kerja saja.
Tapi itu hanya berlangsung selama dua tahun saja, karena selanjutnya aku disuruh mengelola caffee milik Mas Reza. Awalnya aku membantah, tapi karena Kakak-Kakakku mengancam tidak akan menganggapku sebagai adiknya lagi, akhirnya aku mau. Hingga saat ini aku masih mengelola caffee Mas Reza. Kerjanya enak kok, cuma marah-marahin pekerja yang tidak becus saja sama menerima duit.
Tubuhku dikejutkan oleh seseorang dibelakang sofa yang aku duduki. Lamunan tentang lelaki tampan yang akan Papa kenalkan padaku tiba-tiba hilang dan mulutku tanpa di kontrol dulu sudah memanggil nama hewan, “Anjing!” sambil berjingkat kaget.
Menoleh, aku melihat Mbak Mila ketawa keras sambil memegangi perut buncitnya. Kakakku yang keempat ini memang jahilnya tidak ada yang bisa ngalahin. Sejahil-jahilnya Sule dan Andre, masih jahilan Mbak Mila. Bola mataku memutar jengah melihat tawanya, lantas kepalaku memutar kedepan yang ternyata sudah tidak adalagi sosok Papa dan Mama. Kemana perginya mereka? Apa aku terlalu lama berkhayal sehingga mereka memilih pergi?
“Cieee yang ngebet kawin... Sana gih kawin sama pohon pisang. Atau sama buah pisangnya aja? Kan panjang!”
Mataku terbelalak kaget mendengar kalimatnya yang sangat menjijikan itu. Apalagi ini, dia mengatakan itu sambil mencubit pahaku berkali-kali. Tidak mau menjadi gila dadakan, aku segera beranjak pergi meninggalkannya.
Langkahku masuk ke kamar, menidurkan diri di kasur, tempat yang paling Indah setelah kamar mandi. Entahlah, aku suka kamar mandi. Karena disana, apapun bisa aku lakukan. Entah itu nyanyi, bugil sambil goyang-goyang alay, tidur, kecuali masak. Yakali masak di kamar mandi, yang ada masakannya bau kotoranku semua. Tidur telentang, mataku menjelajah langit-langit kamar. Dan tiba-tiba saja bayangan mantan pacar mulai memasuki otakku.
Arman Saputra.
Dia adalah lelaki yang membuat aku jadi ngebet pengin nikah. Gara-gara dia, aku gila nikah, sampai-sampai minta dicariin segala sama Orangtua. Gara-gara dia juga, otakku jadi hilang entah kemana.
Kalau saja Arman mau menikah muda denganku, mungkin semuanya tidak akan semengenaskan ini. Tapi sialnya dia membantah saat aku meminta untuk dihalalin cepet-cepet. Dia bilang, dia masih pengin membahagiakan kedua Orangtua, masih belum mau terikat dengan sebuah hubungan yang serius dan masih banyak lagi alasan-alasan basi yang dia ajukan. Membuatku akhirnya menggalau diri. Niatnya sih galau biar Arman luluh dan bersedia menikah muda denganku.
Tapi rupanya gaes... Dengan sangat lantang, lewat via telepon, satu Bulan yang lalu, dia bilang, “Maaf Na, bukannya aku nggak mau hidup semati sama kamu. Aku cuma masih belum mau untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Apalagi nikah, itu masih jauh. Jadi, lebih baik kita putus aja. Bye!”
Kepalaku geleng-geleng beberapa kali untuk menyadarkan otak. Baru saja aku mengintip masa lalu. Untuk apa? Aku mengerjapkan mata dan kembali terdiam sambil menggigit bibir bawah.
Enam tahun kurang, aku menjalin hubungan pacaran dengan Arman. Sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan dia tahu kapan jadwal PMS-ku. Tapi apa yang dia lakukan? Dia membuangku saat aku minta menjalin hubungan yang lebih serius lagi. Rasanya aku ingin menyiram wajah Arman dengan air keras, agar wajah tampannya tidak membuatku teringat lagi.
Arman... Arman... Andai kamu tahu Mas, kalo aku Cinta mati padamu, bahkan sampai saat ini. Biarlah kalian mau menilai aku sebagai anjing atau harimau, karena dari awal sudah menjelek-jelekkan Arman dan sekarang malah bilang Cinta. Tapi mau bagaimana lagi? Mulutku memang bilang benci padanya, tapi hati? Mana ada yang tahu? Memangnya hati bisa berbohong?
Perlakuannya yang selalu manis, senyumannya yang memikat, selalu menjaga tutur kata, pinter, tidak neko-neko, apalagi yang kurang? Tampan? Bahkan Arman lebih dari tampan. Dia memiliki kharismatik yang tinggi. Mataku saja jika sudah menatap wajahnya, jadi merah. Merah karena tidak kuat lihat dewa didepan mata.
Ah, sudahlah. Membicarakan tentang Arman itu tidak akan ada ujungnya. Karena yang jelas dia selalu yang terbaik di hatiku, bukan di mulutku. Mulutku sih selalu bilang Arman itu jahat karena sudah membuangku begitu saja.
Tunggu tanggal mainnya saja, Arman. Aku akan segera menikah, lihat saja. Semoga hatimu bergemuruh api ya, melihatku duduk di pelaminan bersama suami. Dan aku berharap sampai saat ini kamu belum menemukan penggantiku di hatimu. Plis, Arman.
Bicara tentang nikah, niatku untuk menikah bukanlah hanya sekedar untuk mengelabuhi Arman. Dengan menikah juga, secara otomatis aku keluar dari rumah ini. Yes! Karena jujur saja, andai kalian tahu kalau aku sangat-sangat tidak betah di rumah. Selain banyaknya jumlah penghuni disini, peraturan-peraturan aneh juga diterapkan. Ada juga alasan lain kenapa aku nggak betah, itu karena para ponakan-ponakan kecilku. Jangan di tanya jumlahnya berapa! Ada 9 gaes...
Anaknya Mas Jefri ada 3, yang paling gede udah masuk SMA kelas 2. Kedua dan ketiga berjenis kelamin laki-laki dan mereka kembar, usianya 11 tahun kayaknya kalo tidak salah. Soalnya aku tidak paham usia para ponakanku . Sedang anaknya Mas Reza juga ada 3, perempuan semua dan masih kecil-kecil. Kalau Mas Rean 2, laki-laki dan perempuan. Mbak Mila anaknya baru 1 dan lagi dalam proses yang kedua.
Jangan tanya nama mereka ya, karena aku saja yang menjadi Tantenya dan sering berinteraksi suka lupa sama mereka. Jadi, kadang-kadang kalo lagi main sama ponakan atau minta tolong sama ponakan, aku selalu memanggil mereka dengan nama asal-asalan saja.
Hidupku susah ya dimengerti oleh kalian? Aku saja yang menjalani hidup ini juga merasa susah. Tapi jalani sajalah. Dan, beginilah aku. Nawang Wulan alias Nana, cewek tidak berpendidikan, otak cetek, cantik juga tidak dan setiap hari hidupnya selalu bergantung pada orangtua.
Tanganku terus memasukkan keripik kentang goreng kedalam mulut, tidak ada hentinya. Sedangkan mata kuarahkan selalu pada layar televisi yang tengah menayangkan sebuah FTV pagi. Aku tidak menonton televisi sendirian, disebelahku ada Zahra, sang pemilik televisi dan seisi rumah.Ya, aku sedang ada di rumah Zahra, sahabat paling terbaikku, si hijabers akut, anaknya Ibu Solekhah dan bapak Soleh. Aku bangga memiliki sahabat seperti Zahra. Dia selalu ada untukku, disaat apapun itu. Bahkan saat aku tidak lulus pun, dia masih mau menjadi sahabatku. Dulu waktu aku harus mengulang kelas akhir kembali dan Zahra sudah memasuki dunia perkuliahan, dia seringkali bermain kerumahku, hang out bareng dan hal-hal lainnya yang selalu kita lakukan bersama ketika waktu SMA.Zahra ini cantik, mirip model pakaian muslim. Tubuhnya yang tidak terlalu berisi, tinggi, mancung, putih, bola mata besar, be
Papaku ternyata beneran niat mencarikanku calon suami. Buktinya, saat ini aku sedang duduk bertiga dengan Papa dan Mama, tepatnya di ruang televisi. Setelah beberapa menit tadi membahas tentang Papa yang ternyata sudah pensiun jadi arsitek, beliau mengganti topik lain yaitu mengenai calon suamiku. Duh, jadi malu. Deg-degan juga.“Jadi gini, Na. Papa punya kenalan mantan client Papa. Kira-kira umurnya... Em.. 30-an, dia itu du—,”“Namanya, Pa.. Nama...” selaku.“Arsyad.”Arsyad? Itu bukannya nama orang yang kemarin SMS aku, ya? Oke-oke, di dunia ini pasti ada banyak orang yang bernama Arsyad. Tapi kok, bisa kebetulan begini. Untuk memastikan, aku kembali bertanya, “Nama panjangnya siapa, Pa?”“Kamu kok buru-buru banget, gitu sih Na. Jangan terlalu antusias, jatuh itu sakit, Nana.” Mamaku menasehatiku. Kuputar bola mata untuk melihat eksper
Mataku menatap intens pada Fika yang saat ini ada di depanku. Dia sedang menceritakan bahwa kemarin dia di hukum oleh Pak Arsan karena ketawan pulang telat. Fika mendapat hukuman membersihkan gudang sekolahan. Aku tahu sekali gudangnya SMA Satu, berantakannya melebihi rumah orang tukang rongsokan. Dan baunya jangan ditanya, ada bau macam-macam disana, mulai dari bau kotoran tikus, anak tikus yang mati dan lainnya. Lagian sih, salahnya juga kemarin pulang sekolah bukannya langsung ke rumah malah main ke Mall.“Lagian ya, kenapa kemarin Pak Arsan ada disini, sih? Aku kan nggak ada masalah di sekolahan, kenapa Arsan datang kesini?”Fika bertanya dengan raut sebal. “Yeee... Sirik aja! Terserah dia dong mau kesini! Kamunya aja yang suka Badung! Pulang sekolah bukannya ke rumah malah ngemall!”“Iiihh... Aku ke Mall bukan buat seneng-seneng, Teh! Aku ke gramedia, nyari novel buat kado ulta
Minggu yang aku tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Seperti apa yang dikatakan Pak Arsan, hari ini beliau akan memperkenalkan anaknya padaku. Dari semalam aku sudah menebak-nebak bagaimana rupa anaknya Pak Arsan. Apakah mirip Pak Arsan yang kaku atau mirip Ibunya? Entah bagaimana rupa Ibunya, semoga saja jauh lebih berekspresi daripada suaminya.Selesai merias diri, dengan tampilan t-shirt abu-abu dan celana jins yang sedikit sengaja kurobek, aku keluar menghampiri Pak Arsan di ruang tamu. Untungnya Fika sudah pergi lebih pagi bersama teman-temannya, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan pertanyaannya yang pasti akan bertanya, 'ada hubungan apa teteh sama pak Arsan?'.Setelah pamit pada Mama dan Papa, aku dan Pak Arsan bergegas pergi. Awalnya aku bingung dengan kedatangannya yang malah hanya seorang diri, bukan bersama anaknya. Kemarin kan beliau bilang mau memperkenalkan anaknya.
Bolehkah aku bilang bahwa hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan? Karena seorang Arman, mantan pacarku tiba-tiba saja menelpon dan bilang bahwa dia ingin bertemu denganku karena ada sesuatu penting yang mau disampaikan.Entah aku yang merasa berlebihan atau apa, yang jelas aku berfikir Arman ingin bertemu denganku karena dia ingin memperbaiki hubungan kami yang sempat kandas di tengah jalan.Tanpa menunggu waktu lama lagi, lima menit setelah Arman memutus teleponnya, aku segera keluar dari rumah untuk menemui Gojek yang sudah menungguku.Sesuai dengan permintaan Arman, dia ingin kami bertemu di tempat yang dulu sering dijadikan tempat kencan. Adalah kaffee lovely, tempatnya dekat SMA Satu.Tiba di kaffee aku mencari-cari sosok Arman. Katanya dia sudah datang lebih dulu. Ketika aku menoleh kearah kanan, kulihat Arman melambaikan tangan padaku. Aku segera
"Pak, pokoknya aku mau kita nikah secepatnya!""Kita?""IYA!""Saya belum setuju dengan perjodohan ini. Jangan mengambil keputusan sendiri.""Nggak mau tau! Pokoknya nikah secepatnya!"Aku menunggu sahutan dari seseorang diseberang sana, yang tak lain adalah Pak Tarsan, ralat! pak Arsan. Selama sepuluh detik tidak ada sahutan, aku mencoba memanggil-manggilnya namun bukannya sahutan malah suara sambungan terputus yang aku dengar. Sial! Aku yang menelfon, harusnya aku juga yang memutuskan panggilan!Tidak lama, aku mendapat pesan dari nomor Pak Arsan.Pak Arsan :Skrg km ada dmn?Me:Di rumah, PakPak Arsan :D rmh ada siapa?Me:Sendirian, Pak. Memangnya knp?Hari Sabtu ini aku dirumah memang sendirian. Semua para penghuni sedang berlibur pergi ke
Pemandangan pertama yang kulihat ketika mobil Pak Arsan berhenti adalah sebuah rumah bak istana yang memiliki dua lantai. Aku terbengong-bengong menatap rumah megah itu lewat kaca jendela mobil. Benarkah ini rumah keluarga Pak Arsan? Apa sekaya itu?Tin!Tubuhku terlonjak kaget, “Astaghfirullah!” sebutku.Pak Arsan dengan jahilnya menyalakan klakson mobil. Aku menatap punggungnya dan memutar bola mata sebal sambil berusaha menenangkan batin agar tidak menyumpah serapah.“Ayo turun.” ajaknya seraya membuka pintu mobil.Aku membuka pintu mobil penumpang dan keluar. Berlarian kecil untuk mensejajarkan langkah dengan Pak Arsan. Tidak lupa berdo'a dan selalu menundukkan kepala. Jantungku berdegup kencang kala langkah kami sudah di ambang pintu rumah megah ini.“Pak, malu nih...” cicitku.Entah Pak Arsan melirikku atau tidak yang jelas
Mantan sudah menikah. Sahabat, sudah ijab qabul dan malam ini akan mengadakan resepsi. Lalu, aku kapan? Mataku menatap kosong diri sendiri didepan cermin rias dalam kamar. Lima menit yang lalu aku telah sampai di rumah, setelah dua hari menginap di rumahnya Zahra karena dia minta ditemani menjelang hari H. Sahabat karibku itu kini sudah menjadi milik orang, beberapa jam lalu.Dengan malas, tanganku meraih tisu basah dan mulai membersihkan sisa-sisa make-up. Setelah dirasa sudah menghilang, aku memutuskan untuk segera tidur. Nanti malam aku harus tidur terlambat, karena harus menghadiri resepsi pernikahannya Zahra.Entahlah aku akan datang dengan siapa. Kalau Mama, jelas dengan Papa. Sedangkan Mas Jefri, Mas Reza dan Mas Rean jelas datang bersama bini dan anak mereka masing-masing. Mbak sedang hamil besar, dia tidak ikut. Kalau aku menggandeng Fika, dia pasti tidak mau.Kurebahkan tubuh di atas tempat t
Ruangan tengah dipenuhi oleh suara tangis anak kecil laki-laki berusia dua tahunan itu. Dia terduduk dengan mainan berserakan diatas permadani. Tangisnya semakin pecah ketika menyadari bahwa dirinya sudah lama sekali menangis namun belum ada satupun manusia yang sudi menghampiri dan menggendongnya.Suara derap langkah terdengar. Itu Arsan. Dia baru pulang mengajar segera mempercepat langkahnya kala melihat Aiden Dwi Arsyad, anak keduanya menangis kencang sedangkan disekelilingnya tidak ada siapa-siapa.Tanpa pikir panjang ia menggendong Aiden dan menenangkannya.Nawang datang sambil membawa kemasan biskuit untuk Aiden. Dia menatap mainan yang berantakan macam kapal pecah.“Jangan lagi biarin Aiden main sendiri. Tadi dia nangis kencang banget, kamu nggak dengar?” ujar Arsan sedikit marah.“Tadi aku nyuruh Alin buat jagain kok. Aku pikir Aiden nangis cuma gara-gara Kakaknya
Lelaki itu menghela napas melihat pemandangan di depannya. Pemandangan kamar yang memperlihatkan Nawang dan Alin saling memeluk satu sama lain. Sudah berkali-kali mulut memanggil keduanya untuk bangun, namun sama sekali tidak ada yang menyahut. Sebenarnya, mimpi apa yang tengah mereka impikan sampai-sampai telinganya setuli itu.“Alin.. bangun Sayang. Kamu nggak berangkat sekolah?” ujar Arsan untuk kesekian kalinya.Masalah Nawang yang tidak mau bangun, Arsan tidak masalah tapi kalau Alin juga ikut-ikutan tidak mau bangun, itu menjadi masalah untuk Arsan. Alin yang selalu bangun pagi-pagi untuk berangkat sekolah kini berubah setelah seminggu belakangan ini pindah tempat tidur, kembali tidur bersamanya dan Nawang.“Sekali lagi Ayah panggil nggak bangun, Ayah buang semua boneka di kamar loh.” mungkin dengan ancaman Alin akan bangun.“Alin nggak mau berangkat sekolah! Mau tidur aja sama Mama!” teri
Senyum Nawang mengembang bak adonan roti ketika melihat bayi laki-laki berusia 3 bulan dalam gendongannya itu tersenyum memamerkan isi mulut yang belum tumbuh gigi. Nawang tidak bisa lagi menahan rasa untuk tidak mendaratkan kecupan kecil di pipi gembul si bayi. Dengan gemas dia menciumi kedua pipi bayi itu hingga dirinya tertawa sendiri.“Ya ampun... Ucul banget sih kamu Arya...” katanya, menyebut nama si bayi.“Dih.. dibilang ucul ketawa dia, hahaha..” Nawang kembali mencium pipi Arya dan membuat bayi itu semakin tertawa bahak. “Mas, lihat deh Arya, dia ketawa mulu.” ujar Nawang memberitahu pada Arsan yang tengah duduk di sebelahnya dan sibuk dengan ponsel.Mendengar itu Arsan menghentikan aktivitasnya, dia menyimpan ponsel dan ikut bergabung menikmati tawa Arya. Arsan melongo tidak percaya ketika melihat sendiri tingkah Arya. Tangan Arsan terulur menyentuh pipi Arya dan mengelusn
Author POV Bel istirahat berdering nyaring di setiap kelas. Nawang, murid perempuan itu yang paling heboh diantara yang lain. Dia buru-buru mengemasi buku tulis, buku paket serta pena, dia memasukkan semuanya begitu saja di kolong laci meja.Setelah dilihatnya guru yang mengajar di kelasnya sudah keluar, ia segera keluar kelas. Dengan senyum mengembang dan langkah riang, dia menyusuri kooridor sekolahan untuk menuju taman belakang gedung.Gadis SMA itu mengembangkan senyumnya semakin lebar kala melihat seorang murid laki-laki duduk kursi panjang taman itu. Dia menghampirinya dan bergabung duduk. “Maaf ya, lama.” katanya.Murid laki-laki yang tak lain adalah kekasih Nawang itu mengangguk, “Nggak apa-apa, aku juga baru sampai.” balasnya disertai senyum.“Iiih, Arman jangan senyum gitu dong... Aku kan jadi meleleh..”Laki-laki yang di panggilnya Arman itu mala
Arsan benar-benar niat sekali untuk berusaha membawa pulang Nawang. Sebelum matahari menampakkan sinarnya, dia dan Orangtuanya sudah bersiap-siap menuju rumah Reza, tepatnya di Bekasi.Kurang lebih sekitar puluk delapan, mobilnya sudah sampai di depan gerbang rumah Reza. Arsan segera turun, mengetuk beberapa kali gembok besar dengan besi gerbang. Hingga datanglah lelaki paruhbaya yang kemarin telah membukakan pintu gerbang untuknya, yaitu Pak Amad.“Ada perlu apa ya, Pak?” Pak Amad.“Eh, saya mau ketemu sama Mbak Latiefah lagi, Pak.”Pak Amad terlihat berfikir sejenak sambil memandangi satu persatu Orangtua Arsan yang mulai keluar dari mobil. “Emm... Maaf Pak, Bapak ini yang kemarin kesini juga, kan?”Arsan mengangguk sesegera mungkin.“Maaf Pak, semalam Pak Reza bilang kalau ada orang yang kemarin kesini, dia ngga
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Usai mengantar pulang Alin dan Hanna, Arsan tidak langsung pulang ke rumah sendiri, lebih dulu ke rumah Orangtuanya. Guna untuk meminta restu, dukungan serta saran pada anggota keluarganya.Masuk ke ruang tengah, Arsan tidak menemukan siapapun. Dia melangkah menuju dapur. Dan melihat anggota keluarganya tengah menyantap makan malam.Semua pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya yang tiba-tiba. Karena memang selama ini Arsan jarang berkunjung ke rumah ini. Dia akan berkunjung jika sang Papa memaksanya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Arsan masih belum bisa bertatap muka terlalu lama dengan sang Mama. Perasaannya akan terasa kacau jika dirinya menatap sang Mama. Di sisi lain ia sudah bisa memaafkan Mamanya, namun jika sudah mengingat bagaimana wajah histeris Nawang saat itu, ingin rasanya Arsan mencabik-cabik Mamanya sendiri.Setelah memasang ekspresi terkejut beberapa detik, Ma
Keputusan Nawang tidak di setujui oleh para Kakak-kakaknya. Terutama Kakak laki-lakinya yang kedua, yaitu Reza. Lelaki itu membantah mentah keputusan gila adik bungsunya. Dan, dengan egoisnya, di depan para keluarganya, Reza memutuskan untuk membawa Nawang ke rumah barunya yang ada di Bekasi.“Abang nggak mau tahu, kalau kamu masih membantah, Arsan yang bakal kena akibatnya.” ujar Reza setelah mendengar penolakan Nawang.Nawang yang memang hatinya belum benar-benar membenci Arsan, tidak bisa berbohong bahwa dirinya khawatir. Tahu sekali sifat Reza seperti apa. Kakak keduanya itu orang yang keras dalam mendidik apapun. Bisa lihat sendiri bagaimana bentuk sifat Luna yang notabene-nya anak Reza, jelas sekali keduanya sama-sama keras. Dia tidak bisa memilih.Disisi lain, ingin rasanya Nawang membiarkan apa yang akan Reza lakukan pada Arsan. Namun, ketika mengigat kembali ucapan Mamanya, Nawan
Matanya selalu sembab. Dia selalu diam dengan posisi yang sama. Tubuh ringkihnya selalu menghindar dari siapapun, kecuali sang Ibu. Hatinya tidak pernah membaik. Begitulah sekiranya keadaan Nawang.Sudah satu Minggu lebih setelah kepergian sang calon anak, yang dilakukan Nawang di dalam kamar hanyalah duduk termenung di tengah tempat tidurnya, memeluk kedua lutut tanpa daging itu dan menangisi kepergian anaknya.Dalam diamnya dia selalu berpikir bagaimana caranya untuk membalas perbuatan Mama Mertuanya. Ya, Nawang berniat balas dendam. Dia masih tidak terima dengan kejahatan Mama Mertuanya.Pintu kamar Nawang terbuka, Mama Nawang masuk membawa nampan berisi makan siang. Beliau memang selalu membawa makan untuk Nawang, walau pada akhirnya tidak di makan oleh Nawang. Tapi entah untuk siang ini. Mama Nawang berharap anak bungsunya itu mau makan. Beliau meletakkan nam