Tangisnya kembali pecah, saat ia mendengar bahwa Jordan berteriak mengatakan bahwa Nayra hanya miliknya dan tidak ada yang boleh merebutnya. Itu pasti rekaman saat Jordan diringkus oleh pihak kepolisian.Seketika tubuh Nayra lemas, ia sama sekali tidak kepikiran bahwa Jordan adalah dalang dibalik semua kekacauan ini. Juga Meggie yang berbohong, mengatakan Maxime telah menidurinya, dan itu suruhan Jordan. Astaga, ia sudah salah menuduh suaminya. Perasaannya semakin sakit, saat ia merasa bersalah, karena tidak mempercayai suaminya sendiri.Tangisnya kian terisak, saat suara itu berhenti diputar oleh Maxime.“Baby, kamu udah dengarkan? Sekarang, apa kamu masih tidak percaya aku?”Suara Max membuat hatinya makin teriris. Ia begitu bodoh, bahkan sampai berpikir meninggalkan Maxime. Sebegitu lemahnya, kah dia? Sampai ia lebih percaya jebakan dibanding suaminya sendiri.Nayra masih meringkuk tidak berani berbalik, ia merasa bersalah karena meragukan Max kali ini.“Aku … aku tidak pantas d
Pada awalnya, Nayra dan Maxime memang sepakat untuk menunda punya anak dulu. Itu adalah keinginan Nayra yang saat itu ingin fokus memberikan kasih sayang untuk Natasha, tapi setelah usia pernikahan mereka menginjak bulan ke lima. Natasha meminta diberikan adik, sehingga itu membuat Nayra dan Maxime memutuskan untuk tidak memakai pengaman.Sudah dua bulan keduanya melepas pengaman. Nayra belum mendapatkan tanda-tanda kehamilan juga. Rasanya, Nayra cemas kalau dia tidak bisa hamil bagaimana? Tapi Maxime selalu menenangkannya dengan mengatakan jangan memikirkan hal tersebut.Sesampainya di rumah Jessica. Nayra langsung disambut hangat oleh uncle-nya. Ya, saat ini Nayra harus memanggil sahabatnya itu dengan sebutan Aunty.“Uncle, maaf aku terlambat, ya. Tadi ada kejadian yang tidak diduga,” ucap Nayra. “Kejadian apa?” tanya Brandon penasaran.“Bukan apa-apa kok,” balas Maxime sambil mengusap punggung istrinya. Nayra tersenyum memahami maksud suaminya.“Iya, bukan apa-apa, kok.”Bra
Natasha kembali ke kamarnya, karena ia harus segera istirahat. Sedangkan Nayra sudah lebih dulu masuk ke kamar. Mendadak ia merasa pusing dan tidak enak badan.“Baby, kamu baik-baik aja, kan?”“Iya, ini cuma pusing. Kayaknya aku telat makan deh,” jawab Nayra.“Mau aku ambilin makanan?"“Enggak, aku nggak mau makan. Rasanya aku mau muntah,” jawab Nayra sambil menutup mulutnya.“Kok kamu malah kayak orang masuk angin, apa mau ke dokter?”Nayra menggeleng. “Enggak. Kayaknya aku mau tidur aja,” tolaknya.Max langsung duduk di sisi istrinya, sambil menyentuh kening Nayra. “Tapi kamu nggak demam, Baby.”“Iya karena aku memang nggak sakit, Kak.”“Cuma kamu pucet, sebentar aku ambilin kamu makanan. Kamu harus makan walau sedikit.”Tanpa menunggu jawaban Nayra, Maxime langsung bergegas ke dapur mengambilkan makanan untuk istrinya. Nayra menutup mulutnya, ia langsung merasa akan muntah sekarang. Sambil berlarian ke kamar mandi, Nayra masih terus menutup mulutnya. Rasanya, semua isi pe
Pagi hari di rumah Maxime. Nayra meringis merasakan pinggangnya yang mulai pegal. Usia kandungannya kini memasuki bulan ke sembilan. Selama kehamilan, Nayra tidak terlalu banyak mengalami perubahan besar selain pada perutnya yang kian membuncit.“Sayang, kamu kenapa? Pinggang kamu sakit lagi?” tanya Maxime.“Iya nih, pegel banget. Little baby udah makin besar, sementara kamu tahu kan tubuhku nggak mengalami kenaikan berat badan yang signifikan. Jadi, aku kayak kebanting sama perutku sendiri,” jawab Nayra dengan polosnya.Max tersenyum sambil mengecup kening Nayra. “Sabar yah. Sebentar lagi kan, little baby akan lahir. Kata dokter tinggal nunggu hari aja,”“Iya, aku selalu sabar kok buat little baby. Makasih, ya, karena kamu selalu mau mengerti aku, padahal selama kehamilan aku banyak maunya.”“Iya, itukan demi kamu, Baby. Apa sih yang nggak buat kamu. Sekarang aku bantu kamu bangun, kita sarapan, ya. Natasha udah nunggu, katanya kangen sama dedek bayinya,” ucap Max sambil membant
Berselang beberapa jam, Max dikabari oleh dokter bahwa Nayra telah dipindahkan ke ruang perawatan. Namun, kondisi Nayra masih belum stabil, sampai saat ini Nayra belum siuman juga. Natasha menghampiri mommy-nya sambil menangis menciumi tangan Nayra.“Mom, bangun. Natasha nggak mau kehilangan Mommy,” ucap Natasha dengan air mata yang mengaliri pipi merahnya.“Sayang, mommy pasti akan bangun. Natasha banyak berdoa, ya. Daddy yakin, mommy akan segera sadar,” ucap Maxime. Natasha mengangguk, lalu memeluk daddy-nya.Max harus kuat, karena kalau dia lemah juga, maka siapa yang akan menguatkan keluarga kecilnya. Dalam hatinya merasa sakit, melihat istrinya belum juga sadar, padahal buah hati mereka sudah menunggu pelukan dari mommy-nya. Rasanya ia ingin menangis, tapi kalau dia menangis apa menyelesaikan semuanya? Max harus kuat, demi Nayra, juga demi kedua buah hatinya.“Baby, kamu pasti bangun. Kamu lihat, bayi kita sekarang ada di samping kamu, dan Natasha sangat bahagia melihat adikn
"Mulai sekarang kita putus, Wa!""Bianca, tunggu!"Gadis bernama Bianca itu menghempaskan kasar tangan Dewa yang hendak mencegahnya pergi. "Apa lagi?""Lo nggak salah minta putus?" tanya Dewa sambil mengernyitkan dahi."Salah? Apa yang salah? Iya, gue minta putus Dewa Adrian Nichole!""Ya udah kalau mau lo putus. Tapi jangan nyesel di kemudian hari," ucap Dewa dengan penekanan pada gadis yang awalnya rela mengejar-ngejar Dewa duluan."Lo tuh nggak ada rasa nyesel ya, udah nyakitin cewek lo sendiri!" sentak Bianca dengan wajah memerah meluapkan emosi."Lo bukan cewek gue, ya, Bianca!""Emang lo, ya, Wa. Lo tuh akan dapat karma!""Terserah," jawab Dewa tidak peduli.Awalnya dia kira berpacaran dengan Bianca menarik. Secara Bianca adalah gadis yang terkenal disukai oleh para cowok di sekolah. Ternyata tidak berlaku bagi Dewa. Baru sebulan dekat saja, Dewa sudah tidak betah."Siapapun cewek yang Lo tembak jadi cewek lo, bakalan langsung mutusin lo nggak lama dari itu. Camkan kutukan gue b
"Kak Dewa!"Dewa hanya diam tidak merespon gadis imut yang ada di sebelahnya."Marah, ya?"Raut menggemaskan itu terus menatapnya tanpa dosa.Sialan! Dewa mengumpat dalam hatinya. Kenapa gadis itu sangat menggemaskan. Rasa-rasanya Dewa ingin menghabisinya saat itu juga.Jangan lupa, Dewa merupakan playboy pada masanya."Nggak, biasa aja," jawab Dewa."Kalau gitu, kenapa dari tadi diam aja?" tanya gadis itu mulai berani menyentuh tangan Dewa.Hentikan gadis kecil. Kamu tidak tahu siapa yang kamu sentuh.Dewa sontak menatap mata gadis itu yang tengah menatapnya ragu-ragu. "Coba pejamkan mata kamu," pintanya.Dengan sepolos kertas putih yang belum dikotori oleh coretan sama sekali. Gadis itu menuruti kata-kata Dewa. Ia segera memejamkan matanya.Dewa tersenyum. Bentuk bibir merah nan tipis, hidung mancung dengan bentuk yang manis, bulu mata lentik yang amat menggoda sejak pertama kali ia memandang.Ah, Nirmala, kamu sempurna.Dewa tidak tahu jika keputusan maminya pindah ke Bandung akan
Dewa segera mendorong pelan tubuh Mala. Ini sudah lebih dari batas kemampuan Dewa menahan segalanya. Dia sadar, dia tidak boleh gegabah. Terlebih lagi, Mala masih sekolah."Mala, maafin Kakak, ya," ucap Dewa memperbaiki posisi duduk Mala.Ia sudah kembali ke posisi tepat di depan kemudi lagi sekarang."Ah, iya, nggak apa-apa, kok, Kak." Mala jadi kikuk sendiri.Jujur dia terbawa suasana dengan keadaan tadi."Sekarang Kakak antar kamu pulang, ya," kata Dewa."Iya, Kak," angguk Mala.Sepanjang perjalanan menuju rumah, mereka tidak berbicara lagi satu sama lain. Mala sibuk memainkan ponsel untuk membunuh rasa malu yang luar biasa. Jantungnya masih berdegup tidak menentu merasakan sentuhan Dewa terhadapnya beberapa waktu lalu.Begitu juga dengan Dewa, dia sadar dia sudah melakukan tindakan yang berlebihan. Dia memang brengsek! Beruntung tadi tidak kelepasan.***Sesampainya di depan rumah mereka. Ya, rumah mereka. Rumah Mala dan Dewa memang bersebelahan karena mereka tetangga.Rumah denga