“Ras, ini lo kasiin ke pelanggan nomor 5 ya,” perintah Kak Sofi, barista kafe tempat Laras bekerja. Laras yang sedang mencuci piring langsung mengentikan aktifitasnya. Laras segera mencuci tangan lalu mengambil nampan berisi makanan ringan dan es kopi pesanan yang sudah tersaji di samping kasir.
Siang ini kafe sedang sepi pengunjung. Hanya ada empat meja yang terisi. Laras berjalan melangkahkan kaki ke meja nomor 5 dekat pintu masuk. Dilihatnya punggung seorang wanita menghadap jendela sedang menatap laptop sambil mengetukan jari ke keyboard.
“Permisi. Ini,ya, pesanannya.” Laras menaruh gelas dan piring dengan hati-hati. Pelanggan itu tak sedikit pun membalas, Laras mengerti mungkin wanita itu sedang sibuk.
“Baik, nanti kalau ada tambahan pesanan, Mbak bisa panggil saya lagi, permisi,” sambung Laras sebelum melangkah pergi.
“Eh, Laras?” Laras menghentikan langkah kaki, ia menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya.
“Eh, bener kan, lo Laras anak Bina Bangsa?” tanya wanita berambut sebahu itu lagi memastikan. Mendengar nama sekolahnya disebut, Laras yakin bahwa wanita yang berdiri di hadapannya berasal dari almamater yang sama.
“I-iya,” jawab Laras kikuk.
Wanita itu menunggingkan senyum yang begitu menyebalkan. Dia menatap Laras dengan padangan meremehkan. Jujur saja, Laras sudah muak dengan semua ekspresi itu padanya.
“Wow, nggak nyangka, ya? Seorang Laras jadi... waitress kafe?” ejeknya.
Laras meremas rok yang ia kenakan. Pupil matanya panas, ia hanya berharap agar tak menangis sekarang.
“Emang kenapa kalau gue jadi waitress?” Laras memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Menatap wanita yang sudah meremehkan dia dan pekerjaannya. Laras bangga, setidaknya apa yang ia kerjakan halal dan tak merugikan orang lain. Apa pun ia lakukan untuk menyambung hidup asal tak jual diri.
“Ya, iya juga, sih. Apa yang bisa diharapkan dari lulusan SMA?” ujar wanita itu sarkas. "Apalagi anak koruptor.” Fakta yang diungkap oleh wanita itu membuat para pelanggan kafe berbisik-bisik sembari menatap Laras. Entahlah, mungkin sanksi sosial akibat ulah Papih akan didapat Laras dan keluarga seumur hidup.
Laras ingat, wanita itu adalah adik kelas sewaktu SMA. Namanya Virsa. Dulu, Virsa sangat menyukai mantan pacar Laras, Rendi. Namun, cintanya harus bertepuk sebelah tangan karena Randi tak memiliki perasaan apa pun pada Virsa.
Brakkk
“Cukup!” Wirda yang tiba-tiba saja datang entah dari mana langsung menggebrak meja Virsa. “Lo mending pergi dari sini. Nggak usah bayar, gratis. Pergi!” hardik Wirda dengan suara lantang.
“Heh, siapa lo ngatur-ngatur gue?!” balas Virsa tak mau kalah.
“Lo tanya gue siapa? Gue yang punya kafe! Kenapa lo?”
Virsa mendesis kesal. “Tamu adalah raja! Gue bisa kasih rate rendah ke kafe ini kalau pelayanannya kayak sampah gini!”
“Pelayanan yang diberikan harus sesuai sama attitude pelanggan. Attitude lo aja kayak sampah, panteslah dapat pelayanan yang sampah juga. Silakan! Rate sesuka lo. Gue nggak peduli.”
“Gila ya lo semua!” Virsa meraih ponselnya yang berada di atas meja lalu mengarahkan benda pipih itu untuk merekam ke arah Wirda.
“Nih guys, gue habis dapet perlakukan yang gak manusiawi. Lo semua pada tau kan kafe Rinjani, itu loh deket perempatan gedung baru di jalan Sudirman.....,” Virsa terus mengoceh tanpa henti, ia terus-terusan memberi fitnah tentang kafe Rinjani dan Kak Wirda.
“Banyak bacot banget ya lo. Pergi nggak dari sini, pergi!” pekik Kak Wirda tak kenal ampun. Melihat amarah yang meledak-ledak Wirda membuat nyali Virsa ciut juga. Ia segera mengemas barang bawaan lalu beranjak pergi membanting pintu.
Laras memejamkan mata lelah. Air mata yang ia tahan akhirnya tumpah ruah. Hal ini bukan pertama kali, ia sering diperlakukan serupa. Semua orang yang tahu kasus papih, akan melakukan hal sama. Terkadang Laras tak mengerti, apa yang membuat mereka begitu benci dirinya.
Papih memang bersalah, beliau pantas dihukum. Tapi bisakah mereka menilai dari perspektif yang lain.
“Ras, lo nggak apa-apa kan?” tanya Wirda memastikan keadaan Laras. Laras mengangguk pelan, ia menarik kursi lalu duduk menenggelamkan kepala. Laras sudah tak perduli berapa banyak pasang mata yang terus memperhatikannya. Ia hanya ingin menangis, melegakan sesak di dada.
Wirda duduk persis di samping Laras. Ia mengelus lembut perempuan yang sudah di anggap seperti adik. “Nangis aja, Ras. Biar lega, nggak usah lo tahan,” ujar Wirda lembut.
Mendengar ucapan Wirda, membuat Laras semakin menangis keras. Wirda bagaikan malaikat penolong. Di saat semua orang menjauh, menatap jijik dan berpikir negatif tentang Laras, Wirda dengan tulus membuka kedua tangannya lebar untuk membantu.
Kerja sebagai waitress di kafe saja tak cukup, Laras harus kerja di tempat angkringan di malam hari. Mas Rio, kakaknya sering berjudi dan sering berhutang. Mau tak mau, Laras harus membayar hutang kakaknya itu.
“Ras, lo pulang aja dulu ke rumah, istirahat,” kata Wirda.
Laras langsung mengangkat wajah menatap Wirda. "Kafe gimana, Kak?"
Wirda memandang meja kosong di penjuru kafe. “Lo liat sendiri kafe lagi sepi. Gue bisa handle kok. Lagi pula, masa lo mau layanin pelanggan dengan mata bengkak begini?”
Laras tersenyum tipis, dunia perlu banyak orang baik seperti Wirda. “Thanks, Kak,” ucapnya tulus.
“Sama-sama. Ya udah gih sana.” Laras mengangguk lalu beranjak dari kursi menuju dapur untuk mengemas barang ke dalam tas. Sebenarnya ia tak enak hati, tapi yang dikatakan Wirda ada benarnya juga.
“Gue balik duluan, Kak.”
“Yo, hati- hati di jalan Ras. Salam buat nyokap.”
***
Alfian melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ia sudah hampir dua jam menunggu Pak Bakrie, supirnya di bandara.
“Pak, udah sampe mana sih? Saya udah hampir lumutan nungguin nih,” ujar Alfian dengan nada setengah kesal.
“Sabar atuh bos. Kayak nggak tau Jakarta aja. Masih kejebak macet nih di kebon jeruk.”
Alfian menghela nafas gusar, ia benar-benar lelah. Perjalanan London-Indonesia yang memakan waktu hampir 16 jam membuat ia tak sabar ingin merebahkan tubuh ke kasur empuk.
Harusnya Pak Bakrie datang lebih awal, kalau ia baru jalan setelah Alfian sampai, sama saja bohong. “Ya udah kalau gitu saya mau balik pake taxi online aja. Puter balik lagi aja, Pak.”
Belum sempat Pak Bakrie menjawab, Alfian segera memutus sambungan telepon sepihak. Ia membuka aplikasi transportasi online di ponselnya lalu mengetik alamat tujuan. Tak butuh waktu lama, ia sudah dapat supir yang siap mengantarkan ke rumah.
“Ya elah, tau gitu dari tadi kek kayak gini,” ia menggumam sendiri.
Alfian Bahardika baru saja menyelesaikan studi masternya di jurusan Business Managemet dari Birmingham University. Kedua orang tuanya datang ke London saat graduation, namun keduanya masih ingin pergi berlibur. Jadi, Alfian pulang seorang diri ke Indonesia.
Sepuluh menit Gocar yang ia pesan sudah datang, Alfian langung memasukan koper-koper itu dalam bagasi. Ia dan keluarga tinggal di perumahan kawasan elite di Jakarta Selatan. Mereka baru pindah sekitar tiga tahun yang lalu setelah merenovasi total rumah yang memakan waktu hampir satu tahun.
“Makasih, Pak. Saya sudah pakai GoPay ya, Pak?” tanya Alfian pada supir untuk memastikan kembali.
“Oh iya Mas, sama-sama,” jawab supir itu.
“Oke, hati- hati, Pak.” Setelah mengucapkan itu, Alfian langsung keluar mobil dan mengeluarkan tiga koper miliknya dari bagasi tanpa repot meminta bantuan supir.
Kedatangan Alfian disambut oleh Pak Gatot, satpam yang sudah bekerja di rumah keluarga Alfian 3 tahun belakangan. “Loh? Pakai Gojek, Mas? Si Bakrie ke mane?” tanyanya heran.
“Saya suruh puter balik. Kelamaan!” jawab Alfian kesal. Pak Gatot langsung membantu menarik tiga koper bawaan Alfian ke dalam rumah.
Malas makan, Alfian lebih memilih langsung masuk ke dalam kamar. Ia duduk di pinggir kamar sembari memejamkan mata sejenak lalu ia tersenyum lebar karena rasa kangen yang membuncah. Ah! Sudah lama rasanya tak tidur di kamar ini. Netranya melihat sususan foto di lemari kaca dekat jendela. Berjejer foto keluarga dan dirinya yang sedang merayakan ulang tahun ke-5. Alfian ingat betul bahwa dulu keluarganya sangat miskin. Demi membuat ia senang, Babeh sampai harus berhutang agar bisa membuat pesta ulang tahun sederhana seperti teman-teman Alfian yang lain.
Alfian mengingat sosok Pak Bagja. Pak Bagja adalah orang yang paling berjasa dalam hidup keluarga Alfian. Delapan tahun yang lalu, setelah kejadian malam kelulusan, keluarganya diambang kehancuran. Babeh banyak terlilit hutang, membuat emak ingin bercerai. Alfian hampir ingin bunuh diri loncat dari atap gedung sekolah, tapi ia urungkan niatnya. Babeh menelepon dan meminta Alfian untuk segera pulang ke rumah karena keadaaan mendesak.
Hati Alfian berdesir hebat saat ia datang, rumahnya sudah dipenuhi banyak orang. Ia sudah berpikir yang tidak-tidak jika orang tuanya meninggal dunia. Alfian berlari menerobos kerumunan orang, matanya panas menahan air mata agar keluar.
“Kenapa, Beh?” tanya Alfian dengan napas memburu. Pandangan Alfian menyapu sekitaran rumah yang tak ukurannya tak besar, tak ada keberadaan emak.
“Beh?” tanya Alfian hampir menangis.
Belum diberi kesempatan menjawab, Emak menyebak gorden dapur sambil membawa nampan. “Eh udah balik lo, Yan. Bantuin Emak nih bawain nampan,” pinta Emak.
Alfian lega melihat Emak masih dalam keadaan yang sehat.
“Napa muka lo, Yan?” tanya Emak heran karena Alfian hanya diam.
“Nggak tau tuh. Tadi juga tumben kagak ngucap salam pas masuk rumah,” sambung Babeh.
“Lo kaget, nih, rumah banyak orang, ye?” tebak Emak tepat sasaran.
Alfian mengangguk pelan.
“Eh iya nih kenalin. Ini Pak Yusuf dan tim. Beliau ini pengacara Pak Bagja, bos Babeh waktu kerja dulu di rumah gedong.” Emak memperkenalkan mereka.
Pak Yusuf mengulurkan tangan. Alfian membalas jabatan tangannya gemetar.
“Nggak apa-apa, Yan. Gausah gemteran itu. Bapak ini baik kok orangnya,” ujar Emak sembari menaruh nampan ke meja.
“Tapi, bapak ini ke sini juga nyampein berita sedih.” Raut wajah Babeh dan Emak berganti sendu.
Alfian menggaruk pelipis matanya bingung. “Berita apa, Mak?”
“Pak Bagja, meninggal dunia,” Pak Yusuf menimpali. “Minggu lalu, beliau meninggal dunia di Singapura akibat penyakit jantung.”
“Innalillahi.” Alfian sama sedihnya.
Pak Bagja merupakan pengusaha restauran kaya raya. Beliau mendirikan beberapa restauran ternama beserta cabang yang tersebar di Indonesia. Selama babeh bekerja dengan Pak Bagja, beliau sangat baik pada babeh. Tahun lalu babeh memutuskan untuk tak bekerja, niatnya mau jualan di kampus yang baru buka di dekat rumah. Awalnya Pak Bagja keberatan babeh resign, tapi beliau tak bisa melarang karena beliau menghargai keputusan babeh.
Istri Pak Bagja sudah meninggal lama. Tak ada yang tahu tentang keberadaan anaknya. Ada yang bilang anaknya sudah meninggal bunuh diri, bahkan ada kabar burung yang bilang kalau anaknya gila.
Kedatangan Pak Yusuf tak hanya mengabari tentang berita meninggalnya Pak Bagja, namun isi surat wasiat beliau yang berisikan nama Babeh sebagai ahli waris. Mendengar pembacaan isi surat wasiat membuat lutut Alfian mendadak gemetar. Ia tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi.
“Kenapa harus saya ya, Pak Yusuf?” tanya Babeh yang dibalas gelengan pelan pengacara kondang itu.
“Saya tak tahu alasan mengapa Almarhum mempercayakan semua hartanya pada Pak Rojali. Tapi saya yakin beliau sudah memikirkan hal ini dengan matang, Bahwa Bapak adalah orang yang tepat.”
Sejak itu hidup Alfian dan kedua orang tuanya mulai berubah. Banyak orang yang mendadak mendekat, bahkan saudara yang dulu jauh tiba-tiba datang untuk silaturahmi. Babeh yang hanya tamatan SD, mempercayakan aset pada orang-orang kepercayaan Pak Bagja sebelumnya. Termasuk aset perusahaan yang dipegang oleh Pak Hakim.
Dulu, Alfian yang hampir tak bisa kuliah karena kondisi keuangan yang tak memungkinkan. Namun akhirnya, Alfian dapat berkuliah seperti teman yang lain. Ia juga berusaha keras untuk melupakan Laras, cinta pertamanya. Alfian masuk Fakultas Ekonomi di UGM, Yogyakarta. Saat kuliah, Alfian bertemu dengan Mita. Mereka berpacaran lima tahun lamanya dan hampir menikah. Tapi bak petir di siang bolong, Mita memutuskan pertunangannya sepihak.
Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Alfian. “Ya, masuk.
Asisten rumah tangga membuka pintu kamarnya dengan hati-hati. “Mas, belum tidur?”
“Belum, Bik,” jawab Alfian pelan.
“Mas Alfian, nggak mau makan dulu?” tawar Bibik.
Alfian menggeleng lagi, “nggak, Bik. Saya nggak lapar.” Mendapati jawaban Alfian Bibik keluar permisi.
Alfian merebahkan tubuh di atas kasur yang empuk. Ingatannya kembali ke masa lalu. Masa SMA-nya dan masa indah saat ia masih bersama Mita. Waktu terasa cepat berlalu, ia sudah melalui banyak hal. Jatuh cinta dan patah hati, membuat ia banyak belajar tentang arti merelakan.
Jakarta, Juli 2012 Malam kelulusan Bina Bangsa. Laras menatap kagum dirinya dari pantulan kaca rias kamar. Dia sudah berdandan lebih dari tiga jam lamanya hanya untuk menghadiri acara malam kelulusan. Hasil tangan Mbak Dev, MUA yang lagi naik daun di Jakarta tak pernah mengecewakan. Ditambah lagi gaun dari designer terkenal yang makin membuat penampilan Laras terlihat sempurna. “Wah Mbak Dev, aku suka banget loh make up-nya. Makasih ya, tangan ajaib Mbak Dev buat aku jadi cantik banget malam ini,” puji Laras. Mbak Dev tersenyum puas. “Sama-sama. Ah! Lagian kamu mah nggak di make up juga udah cantik, Ras,” balas Mbak Dev rendah hati. Bagi Laras, hari ini merupakan hari yang sangat spesial. Selain menghadiri acara malam kelulusan, yang Laras dengar dari teman dekatnya, Randi juga akan mengungkapkan cinta pada Laras. Ini adalah hal yang sudah lama Laras nanti. Mereka dekat hampir
Alfian bersumpah akan berlutut di hadapan Laras. Ia juga tak mengerti, bagaimana bisa ide gila itu bisa terbesit begitu saja di kepala. Laras pantas marah, Alfian memang tak pikir panjang. Bisa saja Laras berpikir bahwa Alfian pria mesum yang sedang mempermainkannya. "Anjing! Bodoh banget gue," gumam Alfian sambil menjambak rambutnya kasar. Babeh dan Emak, ehm, maksudnya Mamih langsung pergi setelah membentak Alfian di kafe. Laras juga kabur entah kemana. "Shit!" Lagi-lagi Alfian merutuki dirinya sendiri. Tok tok tok Kaca jendela mobil diketuk dari luar oleh seseorang. Alfian yang sedang menenggelamkan kepala di setir mobil reflek menoleh. Ah, Alfian tahu siapa dia. Wanita itu adalah pemi
Jakarta, 2011. "Bentar ya, Pian. Emak mau pinjem duit ke tetangga dulu." Bu Minah baru saja melangkahkan kaki pergi. Alfian segera berlari menghadang ibunya depan pintu. "Nggak usah, Mak. Pian bisa kok berangkat jalan kaki." "Ngaco lo ah. Ini bakalan ujan gede. Lo naik becak atau taxi aja, telat ospek hari pertama entar," ujar Bu Minah. "Bentar ya," sambungnya lalu malangkah pergi keluar rumah. Bu Minah pergi dari satu rumah ke rumah lain,dari tetangga satu ke tetangga lain. Tak ada yang bisa ia harapkan untuk menolongnya. Dengan terpaksa beliau pergi ke rumah saudara jauh di kampung sebelah. Sepertinya niat kedatangan Bu Minah sudah terendus oleh Budhe Lina, saudara jauhnya. "Lo kemari past
Sesuatu yang dimulai dari kebaikan akan berakhir dengan baik. Sebaliknya, sesuatu yang dimulai dari keburukan, akan berakhir buruk pula.Mamih tak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk membenci Papih. Meskipun tak ada alasan untuk tak membenci beliau. Ayah macam apa yang tega meninggalkan keluarga setelah membuat aib besar?Setelah bebas dari penjara lima tahun lalu, tanpa kabar dan pesan, Papih menghilang. Tak ada yang tahu keberadaan beliau sampai saat ini.Mamih selalu mengatakan akan ada pelangi setelah hujan. Karena itu, Laras berusaha jadi orang baik versi dirinya. Bahkan saat putus asa tanpa tujuan pasti, ia masih punya keyakinan sesuatu hal baik akan datang.Tapi kekacauan yang dibuat Kak Rio, membuat Laras hilang arah. Perset
‘Setelah menikah, gue masih bisa kerja, kan?’ Pertanyaan Laras semalam, membuat Alfian termenung. Jujur saja, ia merasa kagum dengan semangat kerja yang Laras punya. Alfian tak menyangka Laras sudah banyak berubah. Perempuan manja itu tumbuh menjadi wanita pekerja keras dan bertanggung jawab pada keluarga. Hanya wajah jutek dan galaknya saja yang tak berubah. Di saat Alfian memberi Laras pilihan agar tetap di rumah dan melakukan hal apa pun yang ia suka, ia menolak. Alasannya cukup masuk akal, Laras sudah terbiasa bekerja. Kalau begitu, Alfian tak bisa melarang. Lagipula pernikahan ini tidak didasari oleh rasa cinta. Tidak ada yang namanya istri berbakti pada suami, sehingga sesuai perjanjian kontrak, Alfian membebaskan Laras. Asal Laras tahu batasan, menaati perjanjian termasuk menjaga nama baik Alfian dan keluarga. Laras mengetuk kaca pintu mobil lumayan kencang. Membuat Alfian sadar dari lamunan. Segera Alfian membuka kunci pintu mobil dan
Laras menunggingkan senyum. Ia terkikik geli mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Ternyata Alfian masih sama, ia kikuk saat sedang gugup. Terbukti saat Alfian menjemput Laras di salon, binar mata tak bisa bohong kalau ia terpesona. Bahkan dalam mobil pun, ia diam tak bersuara.Setelah pulang dari butik milik Sonia, Alfian dan Laras kembali lagi bekerja. Terlalu lama mengobrol, mereka jadi tak sempat makan siang bersama.Wirda juga berbaik hati memberikan izin Laras untuk pulang lebih awal. Alfian memang menyuruh Laras ke salon langganan mamih dekat Kafe Rinjani. Tapi Laras berangkat sendiri, karena Alfian tak bisa meninggalkan pekerjaa
Gemerutuk panjang suara guntur mengagetkan Laras. Kilat cahaya petir sedikit membuatnya takut. Alih-alih masuk ke dalam kamar dan sembunyi dalam selimut, ia lebih memilih menghampiri Fatma —mamihya yang terlihat sedang melamun. “Ngelamunin apa, Mih?” Laras menepuk lembut pundak Fatma. Kemudian Laras menggeser kursi kayu lalu duduk di samping Fatma. Fatma mengadah ke arah Laras. Fatma sedikit terkejut dan menjadi kikuk. Buru-buru Fatma menyeka air mata di pelupuk mata agar Laras tak tahu. “Eh, kamu, Ras. Mamih nggak ngelamun kok,” elak Fatma. Laras tersenyum getir. Memandangi pergerakan Fatma yang langsung melenggang pergi menujuke dapur. Fatma hanya ingin tak membuat putrinya khawatir. Selama ini Laras sudah cukup menderita. Ia harus putus kuliah dan bekerja jadi tulang punggung keluarga. Setiap ada kesempatan mengobrol dari hati ke hati, Fatma selalu meminta maaf pada Laras karena tak bisa lagi membiayai pendidikannya. Padahal Laras adalah an
TOK TOK TOK“Assalamualaikum...’Eros datang bersama dengan dokter kenalannya. Mereka berlari kecil menuju kamar Laras. Wajah Eros nampak lega ketika melihat keadaan Tante Fatma dan Laras baik-baik saja.“Syukur deh, Tante sudah siuman. Keadaan lo gimana, Ras?” tanya Eros sedikit khawatir.“Nggak apa-apa. Perih doang kok ini.” Laras menunjuk pada luka di ujung bibirnya.Eros mengangguk pelan. Kemudian ia memperkenalkan dokter yang berdiri di sampingnya. “Kenalin, ini dokter Chris. Dia temen gue juga dulu waktu SD,” jelas Eros dengan nada bangga.Beberapa saat setelah kejadian, Eros sudah menghubungi Chris untuk datang ke rumah Laras. Kebetulan saja Chris kebagian jaga pagi. Jadi Ketika Eros meneleponnya, ia masih berada di rumah sakit dan berencana ingin pulang. Tetapi hari ini Chris sedang tak membawa kendaraan, sehingga Eros-lah harus menjemputnya di rumah sakit.
Bandung hari ini cuacanya cerah. Ini bukan akhir pekan, jadi jalanan lumayan lenggang. Di tengah perjalanan, Laras menyuruh Alfian untuk mampir sebentar di toko oleh-oleh milik keluarga jauh dari pihak Mamih.Alfian juga hari ini sedang dalam keadaan yang baik. Wajahnya tidak kusut seperti yang kemarin. Dia juga lebih banyak tersenyum dan meledek Laras yang pucat pasi karena omongan mertuanya waktu sarapan tadi.Laras sudah memesan hotel di kawasan cihampelas Bandung menggunakan aplikasi online. Mereka sampai jam dua siang lalu lanjut keluar lagi untuk mencari makan siang.Alfian sebenarnya mau langsung ke cihampelas mall saja, tapi karena Laras punya rekomendasi makanan lain, Alfian jadi manut saja.Ternyata Laras mengajak Alfian ke sebuah kedai bakso dan mie ayam di kawasan dago atas. Laras bilang, makanannya enak dan viewnya juga bagus."Sering ke sini, Ras?" tanya Alfian sambil menyeruput kopi pahit miliknya."Dulu, sam
Alfian sangat menyesali perbuatan yang diluar kendali. Babeh sampai harus mampir ke rumah terlebih dahulu untuk memberikan cecaran pertanyaan.Bebeh tidak menyangka, akhir-akhir ini Alfian sudah banyak berubah. Bukan ke arah lebih baik, malah sebaliknya. Di kantor, ia sering beradu pendapat dengan departemen design, padahal dia bukan salah satu bagainnya. Namun, karena melihat background siapa Alfian, maka bos departemen itu memberikan kesempatan untuk Alfian ikut project ini. Dan barusan, Alfian mengacaukan acara makan malam Pak Dewo.Alfian hanya terdiam mematung. Dia sama sekali tidak ingin bicara apalagi membela diri. Dia sadar dia salah, terlalu arogan dan dikuasai oleh emosi.Laras dan Mamih berusaha menenangkan Babeh. Tapi Babeh malah semakin marah karena mereka membelanya.Merasa keberadaannya percuma, Babeh pergi tanpa pamit. Babeh juga terang-terangan membanting pintu apartemen saat keluar.Alfian menjambak r
Alfian terkagum-kagum meilihat Laras turun dari tangga. Ia begitu menganggumkan di matanya.Malam ini, Mamih Minah dan Babeh mengajak mereka untuk makan malam bersama kolega di hotel mewah kawasan sudirman. Otomatis Alfian pulang lebih cepat dan mengajak Laras ke salon.Alfian heran, mengapa Laras tak mau menggunakan uang miliknya untuk keperluan pribadi. Padahal sebagai seorang suami, Alfian sangat peka dan tanggung jawab akan hal itu. Wanita perlu membeli sesuatu untuk mempercantik diri, meskipun Alfian tahu, Laras tetap cantik meski tak memakai perlengkapan perang itu. Dari dulu ia tetap terlihat cantik dan tidak pernah berubah di matanya."Menor, nggak?" Laras bertanya sambil memajukan wajah ke arah Alfian.Alfian yang sedang melamun langsung terperanjat kaget dan memundurkan wajahnya."Kenapa, Ras?" tanya Alfian sedikit gugup."Ini." Laras menunjuk wajahnya. "Menor atau berlebihan, nggak?"
"Ras." Panggil Alfian yang terlihat buru-buru."Kenapa, Yan?"Alfian menggaruk tengkuk leher, tatapannya menyapu seluruh penjuru ruang kerja yang terletak di samping kamar. Dia terlihat sedang bingung mencari sesuatu."Lo tahu berkas di map warna kuning, nggak?"Laras mencoba mengingat. "Yang semalem lo bawa?"Alfian mengangguk lesu. "Iya. Lihat enggak?""Aduh, gue nggak tahu. Belum beres-beres juga di kamar lo. Itu berkas penting ya, Yan?"Alfian mengangguk lesu. Semalam ia pulang larut malam. Setelah mandi, ia masih melanjutkan pekerjaan. Namun, karena melakukan dan mengerjakan setengah sadar, ia jadi lupa menaruh berkas itu di mana.Laras ikut mencari. Mulai dari kolong meja hingga ke penjuru ruangan sampai-sampai kamar Alfian berantakan.Alfian makin panik saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul 7 lebih 10 menit. Hari ini adalah hari per
"Mih, ini cengek setannya Laras blender berapa, ya?"Mamih Fatma tersenyum melirik putrinya. Baru kali ini, ia melihat Laras bersemangat sekali belajar memasak. Dulu sebelum menikah juga pernah beberapa kali belajar, tapi makanan sederhana saja."Alfian suka pedes atau nggak?"Laras menggeleng ragu."Suka atau nggak nih. Kok gelengnya ragu-ragu gitu?" Mamih Fatma memastikan lagi.Beberapa kali Laras penah melihat Alfian memesan makanan yang pedas, tapi pernah juga ia bilang tak mau makan pedas. Jadi, Laras bingung."Oh, ya udah kalau gitu bikin sedeng aja. Cabainya masukin 3 kalau, ya."Laras manut saja apa kata Mamih. Hari ini terasa spesial, ia memasak menu andalan keluarga yaitu ayam kuning pedas."Nih, selera aja, kamu boleh tambahin cabai utuh di kuahnya. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa."Laras kembali menyalakan kompor. Ia memasukan bahan-bahan yang sudah ia blender. Kemudian
Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj
Alfian merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia buru-buru meninggalkan kantor demi memastikan Laras baik-baik saja.Berawal dari Wirda—Ia menelepon Alfian mengenai hal ini. Dia bilang, Laras pergi meninggalkan kafe dengan terburu setelah salah satu tetangga memberi tahu tentang Mamih Fatma yang dilarikan ke rumah sakit. Kedatangan Rio, membuat rasa khawatir Alfian tak bisa ditawar.Bayangkan saja, Rio bisa berani melakukan sesuatu hal yang nekat untuk mencelakai Ibu yang sudah melahirkan. Apalagi dengan adiknya yang ia rasa tak berdaya.Namun, setelah mandi keringat usai berlari kesana-kemari, Alfian malah mendapati pemandangan yang tak kurang mengenakan baginya. Laras dengan Chris sedang mengobrol serius, sesekali mereka melempar senyum. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kesal. Dengan langkah yang cepat, ia langsung mendekati arah mereka lalu duduk tepat
Laras mengetukan jari ke kepala. Ia baru sadar jika Babeh Rojali dan Mamih Minah pernah menyinggung nama mantan Alfian—Mita saat acara makan malam pertama. Pantas saja, Laras tak asing dengan nama itu.Alfian meceritakan awal pertemuannya dengan Mita saat kuliah. Laras tak menyangka jika Mita adalah pacar pertama dan yang paling lama menjalin hubungan dengan Alfian. Dulu, mereka pernah bertunangan, meski pada awalnya tak direstui oleh kedua orang tua Alfian. Tetapi entah mengapa, tanpa alasan yang jelas, Mita membatalkan pertunangan secara sepihak. Sontak saja hal itu membuat Laras kaget.Alfian terang-terangan bilang, kalau selain suruhan Babeh, kepergiannya untuk berkuliah di luar negeri karena ingin melupakan Mita. Lagi, Laras tak menyangka jika Alfian adalah pria melankolis. Ia jadi berpikir apakah Alfian juga sulit melupakan dirinya dahulu.Tangan Laras sudah gatal ingin mengetikan nama seseorang di mesin pencarian laman media sosialnya.Ia men
Laras mengeringkan rambut denganhair dryer. Mulutnya tak henti mengucapkan sumpah serapah pada Alfian yang masih tak bisa berhenti tertawa. “Awas lo! Gue bales nanti,” omelnya. Laras tak menyangka kalau Alfian itu anaknya iseng. Padahal waktu SMA, Alfian terlihat pendiam dan serius. Alfian juga tak pernah terlihat bergaul dengan banyak teman. Mungkin, teman-temannya bisa dihitung pakai jari. “Bercanda kali, Ras. Sori deh, sori,” kekeh Alfian yang berjalan ke kamar mandi.