Gemerutuk panjang suara guntur mengagetkan Laras. Kilat cahaya petir sedikit membuatnya takut. Alih-alih masuk ke dalam kamar dan sembunyi dalam selimut, ia lebih memilih menghampiri Fatma —mamihya yang terlihat sedang melamun.
“Ngelamunin apa, Mih?” Laras menepuk lembut pundak Fatma. Kemudian Laras menggeser kursi kayu lalu duduk di samping Fatma.
Fatma mengadah ke arah Laras. Fatma sedikit terkejut dan menjadi kikuk. Buru-buru Fatma menyeka air mata di pelupuk mata agar Laras tak tahu.
“Eh, kamu, Ras. Mamih nggak ngelamun kok,” elak Fatma.
Laras tersenyum getir. Memandangi pergerakan Fatma yang langsung melenggang pergi menujuke dapur.
Fatma hanya ingin tak membuat putrinya khawatir. Selama ini Laras sudah cukup menderita. Ia harus putus kuliah dan bekerja jadi tulang punggung keluarga. Setiap ada kesempatan mengobrol dari hati ke hati, Fatma selalu meminta maaf pada Laras karena tak bisa lagi membiayai pendidikannya. Padahal Laras adalah an
TOK TOK TOK“Assalamualaikum...’Eros datang bersama dengan dokter kenalannya. Mereka berlari kecil menuju kamar Laras. Wajah Eros nampak lega ketika melihat keadaan Tante Fatma dan Laras baik-baik saja.“Syukur deh, Tante sudah siuman. Keadaan lo gimana, Ras?” tanya Eros sedikit khawatir.“Nggak apa-apa. Perih doang kok ini.” Laras menunjuk pada luka di ujung bibirnya.Eros mengangguk pelan. Kemudian ia memperkenalkan dokter yang berdiri di sampingnya. “Kenalin, ini dokter Chris. Dia temen gue juga dulu waktu SD,” jelas Eros dengan nada bangga.Beberapa saat setelah kejadian, Eros sudah menghubungi Chris untuk datang ke rumah Laras. Kebetulan saja Chris kebagian jaga pagi. Jadi Ketika Eros meneleponnya, ia masih berada di rumah sakit dan berencana ingin pulang. Tetapi hari ini Chris sedang tak membawa kendaraan, sehingga Eros-lah harus menjemputnya di rumah sakit.
Laras berjalan kaki menuju rumah Pak Sholeh. Pagi-pagi sekali, Ihsan— anaknya menelepon Laras untuk datang ke rumah beliau.Udara Jakarta di pagi hari masih sejuk. Kendaraan roda dua dan roda empat pun masih belum banyak memadati ibu kota. Pedagang yang menjual berbagai macam menu sarapan pagi, baru bersiap. Abang-abang pedagang kaki lima masih tertidur di gerobaknya karena lelah semalaman bekerja.Laras sengaja berjalan kaki. Ia ingin menghidup udara bebas dan menikmati waktunya sendiri. Entah mengapa semalam ia tak bisa tidur nyenyak. Lamaran keluarga Alfian membuat hatinya berdebar tidak karuan. Padahal Laras sadar betul bahwa semuanya hanyalah sandiwara. Mereka tak betul menikah karena memiliki perasaan cinta.Di dekat rumah Pak Sholeh, Laras membeli beberapa serabi untuk Pak Sholeh dan Ihsan, sekalian untuk cemilan saat bekerja.Karena masih pagi, pembeli belum terlalu banyak, sehingga Laras tak perlu antree. Setelah membeli serabi, Laras melan
Hari pernikahan Alfian dan Laras tiba. Hari dimana keduanya mengucap janji setia. Meskipun semua adalah sandiwara, namun tak bisa dipungkiri jika keduanya sangat gugup menyambut hari ini.Mamih Minah memberi banyak sekali pilihan mulai dari WO, Venue resepsi super mewah sampai Make-Up Artist ternama rekomendasi teman-teman sosialita. Namun, Laras bersikeras untuk mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Hal itu awalnya membuat hubungan antara Mamih Minah dan Laras menjadi dingin. Tapi berkat Babeh Jali dan Alfian, akhirnya Mamih Minah mengalah.Laras tahu, jika calon mertuanya itu orang baik. Meski kadang ada saja omongan yang tak mengenakan hati, tapi ia tahu jika Mamih Minah tak sampai hati.Laras memakai jasa make-up artis yang sama saat malam kelulusan saat SMA.Mbak Dev tak menyangka jika Laras masih mengingat dan mempercayakan kembali make
Bagi Laras, Yogyakarta merupakan kota yang mengingatkan kenangan indah dengan keluarga. Papihnya dahulu selalu mengajak liburan kemari setiap tahun saat liburan kenaikan kelas. Biasaya sebelum pulang ke Jakarta, Laras dan keluarga menyempatkan diri berkunjung ke rumah keluarga besar Mamih.Berbeda dengan Alfian, sepanjang jalan Jakarta-Yogyakarta menggunakan kereta api, ia selalu terlihat murun
Laras mengeringkan rambut denganhair dryer. Mulutnya tak henti mengucapkan sumpah serapah pada Alfian yang masih tak bisa berhenti tertawa. “Awas lo! Gue bales nanti,” omelnya. Laras tak menyangka kalau Alfian itu anaknya iseng. Padahal waktu SMA, Alfian terlihat pendiam dan serius. Alfian juga tak pernah terlihat bergaul dengan banyak teman. Mungkin, teman-temannya bisa dihitung pakai jari. “Bercanda kali, Ras. Sori deh, sori,” kekeh Alfian yang berjalan ke kamar mandi.
Laras mengetukan jari ke kepala. Ia baru sadar jika Babeh Rojali dan Mamih Minah pernah menyinggung nama mantan Alfian—Mita saat acara makan malam pertama. Pantas saja, Laras tak asing dengan nama itu.Alfian meceritakan awal pertemuannya dengan Mita saat kuliah. Laras tak menyangka jika Mita adalah pacar pertama dan yang paling lama menjalin hubungan dengan Alfian. Dulu, mereka pernah bertunangan, meski pada awalnya tak direstui oleh kedua orang tua Alfian. Tetapi entah mengapa, tanpa alasan yang jelas, Mita membatalkan pertunangan secara sepihak. Sontak saja hal itu membuat Laras kaget.Alfian terang-terangan bilang, kalau selain suruhan Babeh, kepergiannya untuk berkuliah di luar negeri karena ingin melupakan Mita. Lagi, Laras tak menyangka jika Alfian adalah pria melankolis. Ia jadi berpikir apakah Alfian juga sulit melupakan dirinya dahulu.Tangan Laras sudah gatal ingin mengetikan nama seseorang di mesin pencarian laman media sosialnya.Ia men
Alfian merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia buru-buru meninggalkan kantor demi memastikan Laras baik-baik saja.Berawal dari Wirda—Ia menelepon Alfian mengenai hal ini. Dia bilang, Laras pergi meninggalkan kafe dengan terburu setelah salah satu tetangga memberi tahu tentang Mamih Fatma yang dilarikan ke rumah sakit. Kedatangan Rio, membuat rasa khawatir Alfian tak bisa ditawar.Bayangkan saja, Rio bisa berani melakukan sesuatu hal yang nekat untuk mencelakai Ibu yang sudah melahirkan. Apalagi dengan adiknya yang ia rasa tak berdaya.Namun, setelah mandi keringat usai berlari kesana-kemari, Alfian malah mendapati pemandangan yang tak kurang mengenakan baginya. Laras dengan Chris sedang mengobrol serius, sesekali mereka melempar senyum. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kesal. Dengan langkah yang cepat, ia langsung mendekati arah mereka lalu duduk tepat
Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj
Bandung hari ini cuacanya cerah. Ini bukan akhir pekan, jadi jalanan lumayan lenggang. Di tengah perjalanan, Laras menyuruh Alfian untuk mampir sebentar di toko oleh-oleh milik keluarga jauh dari pihak Mamih.Alfian juga hari ini sedang dalam keadaan yang baik. Wajahnya tidak kusut seperti yang kemarin. Dia juga lebih banyak tersenyum dan meledek Laras yang pucat pasi karena omongan mertuanya waktu sarapan tadi.Laras sudah memesan hotel di kawasan cihampelas Bandung menggunakan aplikasi online. Mereka sampai jam dua siang lalu lanjut keluar lagi untuk mencari makan siang.Alfian sebenarnya mau langsung ke cihampelas mall saja, tapi karena Laras punya rekomendasi makanan lain, Alfian jadi manut saja.Ternyata Laras mengajak Alfian ke sebuah kedai bakso dan mie ayam di kawasan dago atas. Laras bilang, makanannya enak dan viewnya juga bagus."Sering ke sini, Ras?" tanya Alfian sambil menyeruput kopi pahit miliknya."Dulu, sam
Alfian sangat menyesali perbuatan yang diluar kendali. Babeh sampai harus mampir ke rumah terlebih dahulu untuk memberikan cecaran pertanyaan.Bebeh tidak menyangka, akhir-akhir ini Alfian sudah banyak berubah. Bukan ke arah lebih baik, malah sebaliknya. Di kantor, ia sering beradu pendapat dengan departemen design, padahal dia bukan salah satu bagainnya. Namun, karena melihat background siapa Alfian, maka bos departemen itu memberikan kesempatan untuk Alfian ikut project ini. Dan barusan, Alfian mengacaukan acara makan malam Pak Dewo.Alfian hanya terdiam mematung. Dia sama sekali tidak ingin bicara apalagi membela diri. Dia sadar dia salah, terlalu arogan dan dikuasai oleh emosi.Laras dan Mamih berusaha menenangkan Babeh. Tapi Babeh malah semakin marah karena mereka membelanya.Merasa keberadaannya percuma, Babeh pergi tanpa pamit. Babeh juga terang-terangan membanting pintu apartemen saat keluar.Alfian menjambak r
Alfian terkagum-kagum meilihat Laras turun dari tangga. Ia begitu menganggumkan di matanya.Malam ini, Mamih Minah dan Babeh mengajak mereka untuk makan malam bersama kolega di hotel mewah kawasan sudirman. Otomatis Alfian pulang lebih cepat dan mengajak Laras ke salon.Alfian heran, mengapa Laras tak mau menggunakan uang miliknya untuk keperluan pribadi. Padahal sebagai seorang suami, Alfian sangat peka dan tanggung jawab akan hal itu. Wanita perlu membeli sesuatu untuk mempercantik diri, meskipun Alfian tahu, Laras tetap cantik meski tak memakai perlengkapan perang itu. Dari dulu ia tetap terlihat cantik dan tidak pernah berubah di matanya."Menor, nggak?" Laras bertanya sambil memajukan wajah ke arah Alfian.Alfian yang sedang melamun langsung terperanjat kaget dan memundurkan wajahnya."Kenapa, Ras?" tanya Alfian sedikit gugup."Ini." Laras menunjuk wajahnya. "Menor atau berlebihan, nggak?"
"Ras." Panggil Alfian yang terlihat buru-buru."Kenapa, Yan?"Alfian menggaruk tengkuk leher, tatapannya menyapu seluruh penjuru ruang kerja yang terletak di samping kamar. Dia terlihat sedang bingung mencari sesuatu."Lo tahu berkas di map warna kuning, nggak?"Laras mencoba mengingat. "Yang semalem lo bawa?"Alfian mengangguk lesu. "Iya. Lihat enggak?""Aduh, gue nggak tahu. Belum beres-beres juga di kamar lo. Itu berkas penting ya, Yan?"Alfian mengangguk lesu. Semalam ia pulang larut malam. Setelah mandi, ia masih melanjutkan pekerjaan. Namun, karena melakukan dan mengerjakan setengah sadar, ia jadi lupa menaruh berkas itu di mana.Laras ikut mencari. Mulai dari kolong meja hingga ke penjuru ruangan sampai-sampai kamar Alfian berantakan.Alfian makin panik saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul 7 lebih 10 menit. Hari ini adalah hari per
"Mih, ini cengek setannya Laras blender berapa, ya?"Mamih Fatma tersenyum melirik putrinya. Baru kali ini, ia melihat Laras bersemangat sekali belajar memasak. Dulu sebelum menikah juga pernah beberapa kali belajar, tapi makanan sederhana saja."Alfian suka pedes atau nggak?"Laras menggeleng ragu."Suka atau nggak nih. Kok gelengnya ragu-ragu gitu?" Mamih Fatma memastikan lagi.Beberapa kali Laras penah melihat Alfian memesan makanan yang pedas, tapi pernah juga ia bilang tak mau makan pedas. Jadi, Laras bingung."Oh, ya udah kalau gitu bikin sedeng aja. Cabainya masukin 3 kalau, ya."Laras manut saja apa kata Mamih. Hari ini terasa spesial, ia memasak menu andalan keluarga yaitu ayam kuning pedas."Nih, selera aja, kamu boleh tambahin cabai utuh di kuahnya. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa."Laras kembali menyalakan kompor. Ia memasukan bahan-bahan yang sudah ia blender. Kemudian
Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj
Alfian merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia buru-buru meninggalkan kantor demi memastikan Laras baik-baik saja.Berawal dari Wirda—Ia menelepon Alfian mengenai hal ini. Dia bilang, Laras pergi meninggalkan kafe dengan terburu setelah salah satu tetangga memberi tahu tentang Mamih Fatma yang dilarikan ke rumah sakit. Kedatangan Rio, membuat rasa khawatir Alfian tak bisa ditawar.Bayangkan saja, Rio bisa berani melakukan sesuatu hal yang nekat untuk mencelakai Ibu yang sudah melahirkan. Apalagi dengan adiknya yang ia rasa tak berdaya.Namun, setelah mandi keringat usai berlari kesana-kemari, Alfian malah mendapati pemandangan yang tak kurang mengenakan baginya. Laras dengan Chris sedang mengobrol serius, sesekali mereka melempar senyum. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kesal. Dengan langkah yang cepat, ia langsung mendekati arah mereka lalu duduk tepat
Laras mengetukan jari ke kepala. Ia baru sadar jika Babeh Rojali dan Mamih Minah pernah menyinggung nama mantan Alfian—Mita saat acara makan malam pertama. Pantas saja, Laras tak asing dengan nama itu.Alfian meceritakan awal pertemuannya dengan Mita saat kuliah. Laras tak menyangka jika Mita adalah pacar pertama dan yang paling lama menjalin hubungan dengan Alfian. Dulu, mereka pernah bertunangan, meski pada awalnya tak direstui oleh kedua orang tua Alfian. Tetapi entah mengapa, tanpa alasan yang jelas, Mita membatalkan pertunangan secara sepihak. Sontak saja hal itu membuat Laras kaget.Alfian terang-terangan bilang, kalau selain suruhan Babeh, kepergiannya untuk berkuliah di luar negeri karena ingin melupakan Mita. Lagi, Laras tak menyangka jika Alfian adalah pria melankolis. Ia jadi berpikir apakah Alfian juga sulit melupakan dirinya dahulu.Tangan Laras sudah gatal ingin mengetikan nama seseorang di mesin pencarian laman media sosialnya.Ia men
Laras mengeringkan rambut denganhair dryer. Mulutnya tak henti mengucapkan sumpah serapah pada Alfian yang masih tak bisa berhenti tertawa. “Awas lo! Gue bales nanti,” omelnya. Laras tak menyangka kalau Alfian itu anaknya iseng. Padahal waktu SMA, Alfian terlihat pendiam dan serius. Alfian juga tak pernah terlihat bergaul dengan banyak teman. Mungkin, teman-temannya bisa dihitung pakai jari. “Bercanda kali, Ras. Sori deh, sori,” kekeh Alfian yang berjalan ke kamar mandi.