Alfian merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia buru-buru meninggalkan kantor demi memastikan Laras baik-baik saja.
Berawal dari Wirda—Ia menelepon Alfian mengenai hal ini. Dia bilang, Laras pergi meninggalkan kafe dengan terburu setelah salah satu tetangga memberi tahu tentang Mamih Fatma yang dilarikan ke rumah sakit. Kedatangan Rio, membuat rasa khawatir Alfian tak bisa ditawar.
Bayangkan saja, Rio bisa berani melakukan sesuatu hal yang nekat untuk mencelakai Ibu yang sudah melahirkan. Apalagi dengan adiknya yang ia rasa tak berdaya.
Namun, setelah mandi keringat usai berlari kesana-kemari, Alfian malah mendapati pemandangan yang tak kurang mengenakan baginya. Laras dengan Chris sedang mengobrol serius, sesekali mereka melempar senyum. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kesal. Dengan langkah yang cepat, ia langsung mendekati arah mereka lalu duduk tepat
Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj
"Mih, ini cengek setannya Laras blender berapa, ya?"Mamih Fatma tersenyum melirik putrinya. Baru kali ini, ia melihat Laras bersemangat sekali belajar memasak. Dulu sebelum menikah juga pernah beberapa kali belajar, tapi makanan sederhana saja."Alfian suka pedes atau nggak?"Laras menggeleng ragu."Suka atau nggak nih. Kok gelengnya ragu-ragu gitu?" Mamih Fatma memastikan lagi.Beberapa kali Laras penah melihat Alfian memesan makanan yang pedas, tapi pernah juga ia bilang tak mau makan pedas. Jadi, Laras bingung."Oh, ya udah kalau gitu bikin sedeng aja. Cabainya masukin 3 kalau, ya."Laras manut saja apa kata Mamih. Hari ini terasa spesial, ia memasak menu andalan keluarga yaitu ayam kuning pedas."Nih, selera aja, kamu boleh tambahin cabai utuh di kuahnya. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa."Laras kembali menyalakan kompor. Ia memasukan bahan-bahan yang sudah ia blender. Kemudian
"Ras." Panggil Alfian yang terlihat buru-buru."Kenapa, Yan?"Alfian menggaruk tengkuk leher, tatapannya menyapu seluruh penjuru ruang kerja yang terletak di samping kamar. Dia terlihat sedang bingung mencari sesuatu."Lo tahu berkas di map warna kuning, nggak?"Laras mencoba mengingat. "Yang semalem lo bawa?"Alfian mengangguk lesu. "Iya. Lihat enggak?""Aduh, gue nggak tahu. Belum beres-beres juga di kamar lo. Itu berkas penting ya, Yan?"Alfian mengangguk lesu. Semalam ia pulang larut malam. Setelah mandi, ia masih melanjutkan pekerjaan. Namun, karena melakukan dan mengerjakan setengah sadar, ia jadi lupa menaruh berkas itu di mana.Laras ikut mencari. Mulai dari kolong meja hingga ke penjuru ruangan sampai-sampai kamar Alfian berantakan.Alfian makin panik saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul 7 lebih 10 menit. Hari ini adalah hari per
Alfian terkagum-kagum meilihat Laras turun dari tangga. Ia begitu menganggumkan di matanya.Malam ini, Mamih Minah dan Babeh mengajak mereka untuk makan malam bersama kolega di hotel mewah kawasan sudirman. Otomatis Alfian pulang lebih cepat dan mengajak Laras ke salon.Alfian heran, mengapa Laras tak mau menggunakan uang miliknya untuk keperluan pribadi. Padahal sebagai seorang suami, Alfian sangat peka dan tanggung jawab akan hal itu. Wanita perlu membeli sesuatu untuk mempercantik diri, meskipun Alfian tahu, Laras tetap cantik meski tak memakai perlengkapan perang itu. Dari dulu ia tetap terlihat cantik dan tidak pernah berubah di matanya."Menor, nggak?" Laras bertanya sambil memajukan wajah ke arah Alfian.Alfian yang sedang melamun langsung terperanjat kaget dan memundurkan wajahnya."Kenapa, Ras?" tanya Alfian sedikit gugup."Ini." Laras menunjuk wajahnya. "Menor atau berlebihan, nggak?"
Alfian sangat menyesali perbuatan yang diluar kendali. Babeh sampai harus mampir ke rumah terlebih dahulu untuk memberikan cecaran pertanyaan.Bebeh tidak menyangka, akhir-akhir ini Alfian sudah banyak berubah. Bukan ke arah lebih baik, malah sebaliknya. Di kantor, ia sering beradu pendapat dengan departemen design, padahal dia bukan salah satu bagainnya. Namun, karena melihat background siapa Alfian, maka bos departemen itu memberikan kesempatan untuk Alfian ikut project ini. Dan barusan, Alfian mengacaukan acara makan malam Pak Dewo.Alfian hanya terdiam mematung. Dia sama sekali tidak ingin bicara apalagi membela diri. Dia sadar dia salah, terlalu arogan dan dikuasai oleh emosi.Laras dan Mamih berusaha menenangkan Babeh. Tapi Babeh malah semakin marah karena mereka membelanya.Merasa keberadaannya percuma, Babeh pergi tanpa pamit. Babeh juga terang-terangan membanting pintu apartemen saat keluar.Alfian menjambak r
Bandung hari ini cuacanya cerah. Ini bukan akhir pekan, jadi jalanan lumayan lenggang. Di tengah perjalanan, Laras menyuruh Alfian untuk mampir sebentar di toko oleh-oleh milik keluarga jauh dari pihak Mamih.Alfian juga hari ini sedang dalam keadaan yang baik. Wajahnya tidak kusut seperti yang kemarin. Dia juga lebih banyak tersenyum dan meledek Laras yang pucat pasi karena omongan mertuanya waktu sarapan tadi.Laras sudah memesan hotel di kawasan cihampelas Bandung menggunakan aplikasi online. Mereka sampai jam dua siang lalu lanjut keluar lagi untuk mencari makan siang.Alfian sebenarnya mau langsung ke cihampelas mall saja, tapi karena Laras punya rekomendasi makanan lain, Alfian jadi manut saja.Ternyata Laras mengajak Alfian ke sebuah kedai bakso dan mie ayam di kawasan dago atas. Laras bilang, makanannya enak dan viewnya juga bagus."Sering ke sini, Ras?" tanya Alfian sambil menyeruput kopi pahit miliknya."Dulu, sam
Bagi Laras, tak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini selain jatuh miskin. Setahun setelah ia lulus SMA, papinya ditangkap KPK karena kasus korupsi. Harta keluarganya habis untuk membayar sisa cicilan dan biaya bertahan hidup. Laras sampai harus putus kuliah dari Queensland University di Australia. Tak hanya itu, Randi kekasihnya memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas. Teman-teman yang sudah Laras anggap sebagai sahabat mendadak menjauh.Delapa tahun kemudian, Laras bertemu dengan Alfian di kafe tempat ia bekerja. Hal itu tak pernah Laras harapkan. Laras takut kalau Alfian akan mengejeknya. Sejak itu Laras percaya bahwa karma itu ada. Tuhan telah menunjukkan bahwa kehidupan dia dan Alfian berbalik dengan mudahnya. Sekarang lihat, siapa yang akan menolak pesona pria tampan dan mapan?Di malam yang penuh keputusasaan, Alfian datang lagi menemui Laras. Alfian menawarkan perjanjian tergila yang pernah ia dengar. Selain hidup miskin, menikah dengan orang yang t
“Ras, ini lo kasiin ke pelanggan nomor 5 ya,” perintah Kak Sofi, barista kafe tempat Laras bekerja. Laras yang sedang mencuci piring langsung mengentikan aktifitasnya. Laras segera mencuci tangan lalu mengambil nampan berisi makanan ringan dan es kopi pesanan yang sudah tersaji di samping kasir. Siang ini kafe sedang sepi pengunjung. Hanya ada empat meja yang terisi. Laras berjalan melangkahkan kaki ke meja nomor 5 dekat pintu masuk. Dilihatnya punggung seorang wanita menghadap jendela sedang menatap laptop sambil mengetukan jari kekeyboard. “Permisi. Ini,ya, pesanannya.” Laras menaruh gelas dan piring dengan hati-hati. Pelanggan itu tak sedikit pun membalas, Laras mengerti mungkin wanita itu sedang sibuk. “Baik, nanti kalau ada tambahan pesanan, Mbak bisa panggil saya lagi, permisi,” sambung Laras sebelum melangkah pergi. “Eh, Laras?” Laras menghentikan langkah kaki, ia menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namanya. “Eh,
Bandung hari ini cuacanya cerah. Ini bukan akhir pekan, jadi jalanan lumayan lenggang. Di tengah perjalanan, Laras menyuruh Alfian untuk mampir sebentar di toko oleh-oleh milik keluarga jauh dari pihak Mamih.Alfian juga hari ini sedang dalam keadaan yang baik. Wajahnya tidak kusut seperti yang kemarin. Dia juga lebih banyak tersenyum dan meledek Laras yang pucat pasi karena omongan mertuanya waktu sarapan tadi.Laras sudah memesan hotel di kawasan cihampelas Bandung menggunakan aplikasi online. Mereka sampai jam dua siang lalu lanjut keluar lagi untuk mencari makan siang.Alfian sebenarnya mau langsung ke cihampelas mall saja, tapi karena Laras punya rekomendasi makanan lain, Alfian jadi manut saja.Ternyata Laras mengajak Alfian ke sebuah kedai bakso dan mie ayam di kawasan dago atas. Laras bilang, makanannya enak dan viewnya juga bagus."Sering ke sini, Ras?" tanya Alfian sambil menyeruput kopi pahit miliknya."Dulu, sam
Alfian sangat menyesali perbuatan yang diluar kendali. Babeh sampai harus mampir ke rumah terlebih dahulu untuk memberikan cecaran pertanyaan.Bebeh tidak menyangka, akhir-akhir ini Alfian sudah banyak berubah. Bukan ke arah lebih baik, malah sebaliknya. Di kantor, ia sering beradu pendapat dengan departemen design, padahal dia bukan salah satu bagainnya. Namun, karena melihat background siapa Alfian, maka bos departemen itu memberikan kesempatan untuk Alfian ikut project ini. Dan barusan, Alfian mengacaukan acara makan malam Pak Dewo.Alfian hanya terdiam mematung. Dia sama sekali tidak ingin bicara apalagi membela diri. Dia sadar dia salah, terlalu arogan dan dikuasai oleh emosi.Laras dan Mamih berusaha menenangkan Babeh. Tapi Babeh malah semakin marah karena mereka membelanya.Merasa keberadaannya percuma, Babeh pergi tanpa pamit. Babeh juga terang-terangan membanting pintu apartemen saat keluar.Alfian menjambak r
Alfian terkagum-kagum meilihat Laras turun dari tangga. Ia begitu menganggumkan di matanya.Malam ini, Mamih Minah dan Babeh mengajak mereka untuk makan malam bersama kolega di hotel mewah kawasan sudirman. Otomatis Alfian pulang lebih cepat dan mengajak Laras ke salon.Alfian heran, mengapa Laras tak mau menggunakan uang miliknya untuk keperluan pribadi. Padahal sebagai seorang suami, Alfian sangat peka dan tanggung jawab akan hal itu. Wanita perlu membeli sesuatu untuk mempercantik diri, meskipun Alfian tahu, Laras tetap cantik meski tak memakai perlengkapan perang itu. Dari dulu ia tetap terlihat cantik dan tidak pernah berubah di matanya."Menor, nggak?" Laras bertanya sambil memajukan wajah ke arah Alfian.Alfian yang sedang melamun langsung terperanjat kaget dan memundurkan wajahnya."Kenapa, Ras?" tanya Alfian sedikit gugup."Ini." Laras menunjuk wajahnya. "Menor atau berlebihan, nggak?"
"Ras." Panggil Alfian yang terlihat buru-buru."Kenapa, Yan?"Alfian menggaruk tengkuk leher, tatapannya menyapu seluruh penjuru ruang kerja yang terletak di samping kamar. Dia terlihat sedang bingung mencari sesuatu."Lo tahu berkas di map warna kuning, nggak?"Laras mencoba mengingat. "Yang semalem lo bawa?"Alfian mengangguk lesu. "Iya. Lihat enggak?""Aduh, gue nggak tahu. Belum beres-beres juga di kamar lo. Itu berkas penting ya, Yan?"Alfian mengangguk lesu. Semalam ia pulang larut malam. Setelah mandi, ia masih melanjutkan pekerjaan. Namun, karena melakukan dan mengerjakan setengah sadar, ia jadi lupa menaruh berkas itu di mana.Laras ikut mencari. Mulai dari kolong meja hingga ke penjuru ruangan sampai-sampai kamar Alfian berantakan.Alfian makin panik saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul 7 lebih 10 menit. Hari ini adalah hari per
"Mih, ini cengek setannya Laras blender berapa, ya?"Mamih Fatma tersenyum melirik putrinya. Baru kali ini, ia melihat Laras bersemangat sekali belajar memasak. Dulu sebelum menikah juga pernah beberapa kali belajar, tapi makanan sederhana saja."Alfian suka pedes atau nggak?"Laras menggeleng ragu."Suka atau nggak nih. Kok gelengnya ragu-ragu gitu?" Mamih Fatma memastikan lagi.Beberapa kali Laras penah melihat Alfian memesan makanan yang pedas, tapi pernah juga ia bilang tak mau makan pedas. Jadi, Laras bingung."Oh, ya udah kalau gitu bikin sedeng aja. Cabainya masukin 3 kalau, ya."Laras manut saja apa kata Mamih. Hari ini terasa spesial, ia memasak menu andalan keluarga yaitu ayam kuning pedas."Nih, selera aja, kamu boleh tambahin cabai utuh di kuahnya. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa."Laras kembali menyalakan kompor. Ia memasukan bahan-bahan yang sudah ia blender. Kemudian
Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj
Alfian merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia buru-buru meninggalkan kantor demi memastikan Laras baik-baik saja.Berawal dari Wirda—Ia menelepon Alfian mengenai hal ini. Dia bilang, Laras pergi meninggalkan kafe dengan terburu setelah salah satu tetangga memberi tahu tentang Mamih Fatma yang dilarikan ke rumah sakit. Kedatangan Rio, membuat rasa khawatir Alfian tak bisa ditawar.Bayangkan saja, Rio bisa berani melakukan sesuatu hal yang nekat untuk mencelakai Ibu yang sudah melahirkan. Apalagi dengan adiknya yang ia rasa tak berdaya.Namun, setelah mandi keringat usai berlari kesana-kemari, Alfian malah mendapati pemandangan yang tak kurang mengenakan baginya. Laras dengan Chris sedang mengobrol serius, sesekali mereka melempar senyum. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kesal. Dengan langkah yang cepat, ia langsung mendekati arah mereka lalu duduk tepat
Laras mengetukan jari ke kepala. Ia baru sadar jika Babeh Rojali dan Mamih Minah pernah menyinggung nama mantan Alfian—Mita saat acara makan malam pertama. Pantas saja, Laras tak asing dengan nama itu.Alfian meceritakan awal pertemuannya dengan Mita saat kuliah. Laras tak menyangka jika Mita adalah pacar pertama dan yang paling lama menjalin hubungan dengan Alfian. Dulu, mereka pernah bertunangan, meski pada awalnya tak direstui oleh kedua orang tua Alfian. Tetapi entah mengapa, tanpa alasan yang jelas, Mita membatalkan pertunangan secara sepihak. Sontak saja hal itu membuat Laras kaget.Alfian terang-terangan bilang, kalau selain suruhan Babeh, kepergiannya untuk berkuliah di luar negeri karena ingin melupakan Mita. Lagi, Laras tak menyangka jika Alfian adalah pria melankolis. Ia jadi berpikir apakah Alfian juga sulit melupakan dirinya dahulu.Tangan Laras sudah gatal ingin mengetikan nama seseorang di mesin pencarian laman media sosialnya.Ia men
Laras mengeringkan rambut denganhair dryer. Mulutnya tak henti mengucapkan sumpah serapah pada Alfian yang masih tak bisa berhenti tertawa. “Awas lo! Gue bales nanti,” omelnya. Laras tak menyangka kalau Alfian itu anaknya iseng. Padahal waktu SMA, Alfian terlihat pendiam dan serius. Alfian juga tak pernah terlihat bergaul dengan banyak teman. Mungkin, teman-temannya bisa dihitung pakai jari. “Bercanda kali, Ras. Sori deh, sori,” kekeh Alfian yang berjalan ke kamar mandi.