Jakarta, 2011.
"Bentar ya, Pian. Emak mau pinjem duit ke tetangga dulu." Bu Minah baru saja melangkahkan kaki pergi. Alfian segera berlari menghadang ibunya depan pintu.
"Nggak usah, Mak. Pian bisa kok berangkat jalan kaki."
"Ngaco lo ah. Ini bakalan ujan gede. Lo naik becak atau taxi aja, telat ospek hari pertama entar," ujar Bu Minah. "Bentar ya," sambungnya lalu malangkah pergi keluar rumah.
Bu Minah pergi dari satu rumah ke rumah lain, dari tetangga satu ke tetangga lain. Tak ada yang bisa ia harapkan untuk menolongnya. Dengan terpaksa beliau pergi ke rumah saudara jauh di kampung sebelah.
Sepertinya niat kedatangan Bu Minah sudah terendus oleh Budhe Lina, saudara jauhnya. "Lo kemari pasti mau pinjem duit."
Wajah Bu Minah merah padam menahan malu. "I-iya. Tiga puluh ribu aja, Lin. Nanti, pas Bang Rojali balik, saya ganti. Butuh banget buat ongkos sekolah Pian," jawab Bu Siti terus terang.
"Balikin? Hahaha, mana pernah lo balikin duit kalau pinjem," sidir Budhe Lina dengan tawa meremehkan.
"Bener Lin, saya pasti ganti." Bu Minah berusaha meyakinkan Budhe Lina. Ia menyampingkan rasa sakit hatinya. Bagi Bu Minah, yang terpenting Alfian bisa berangkat ke sekolah, itu saja.
"Lagian lo ngesok banget jadi orang miskin. Kalau nggak punya duit mah, nggak usah lah ngoyo sekolahin anak tinggi-tinggi. Paling ujung-ujungnya jadi buruh bangunan."
Tentu saja perkataan Budhe Lina sangat menyakiti hati Bu Minah. Sebagai seorang Ibu, ia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk anak semata wayangnya. Alfian anak yang pintar, semngat belajarnya tinggi. Ia berharap agar nasib Alfian kelak akan jauh lebih baik dari kedua orang tuanya.
Bu Minah sadar jika ia hanyalah seorang buruh cuci, sedangkan suaminya bekerja menjadi supir pribadi di keluarga kaya raya. Ia hanya berharap bahwa kelak di masa depan Alfian seperti dirinya.
"Lo kalau nggak mau pinjemin, nggak perlu nyakitin perasaan Minah, Lin."
Sumber suara itu terdengar dari lorong gang samping rumah Budhe Lina. Rojali, suaminya datang dengan penuh amarah. Ini bukan pertama kali untuk Bu Minah diremehkan, dan yang tadi juga bukan pertama kalinya Pak Rojali membela sang istri.
"Cih." Budhe Lina membuang muka. "Pulang lo sana. Jijik gue liat muka suami lo," usir Budhe Lina. Ia langsung masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu marah.
Pak Rojali menggengam tangan istrinya erat. "Ada kok nih duitnya, Nah. Maaf ya Abang baru pulang, Bos nyuruh anter ke rumah sakit dulu tadi buat kontrol."
Bu Minah mengangguk lesu. Mereka pulang dengan hati yang perih. Biarlah, Pian tak perlu tahu. Bu Minah berdoa di setiap langkah, agar anaknya selalu diberi kemudahan dalam mengejar cita-cita.
***
"Dari mana aja lo baru balik ke rumah?" Pertanyaan itu langsung terlontar oleh Babeh. Langkah kaki Alfian langsung terhenti saat ingin menaiki anak tangga.
"Beh, besok lagi ngomongnya. Alfian capek," jawab Alfian dengan wajah lelah.
"Nggak bisa. Lo jelasin sama Babeh. Siapa cewek di kafe itu," bentaknya.
Alfian menatap jengah ayahnya. Ia tahu, Babeh akan mencecar Alfian dengan banyak pertanyaan. Ini bukan kali pertama. Dulu, hubungan Alfian dengan Mita juga di tentang kedua orang tuanya.
"Beh, kan Alfian udah bilang. Laras itu pacar Pian," ujar Alfian setengah malas.
Bebeh Jali langsung mengangkat kedua tangannya di pinggang. "Lo gila ya! Kenapa nggak bilang. Tindakan lo yang tadi buat malu Babeh tau nggak," hardik Babeh penuh amarah.
"Buat apa bilang? Emang kalau Alfian terus terang, Babeh bakal dengerin?" balas Alfian tak kalah marah.
"Lo bener-bener ye...."
"Lagian, Alfian juga udah yakin buat nikah sama Laras," potong Alfian. Babeh hampir saja mau melayangkan tangan untuk memukul. Tapi, Alfian keburu pergi tak menghiraukan lagi.
Alfian membanting pintu kamar dengan kasar. Ia membuang kunci mobil ke sembarang arah. “Aaaaargh," erangnya menjambak rambut kasar.
Banyak yang berubah semenjak keluarganya mendadak kaya raya. Harus Alfian akui, semenjak jadi orang kaya baru, ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Teman, sahabat, Pendidikan tinggi dan pacar. Entah tulus atau tidak, Alfian jadi punya banyak teman, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan sewaktu masih hidup melarat dulu.
Bahkan keluarga yang dulu menjauh dan meremehkan, mendadak sering silaturahmi ke rumah. Sejak itu, Babeh dan Emak juga mulai berubah. Selain Emak yang sekarang minta dipanggil Mamih, keduanya jadi tinggi hati. Merasa hebat dan dengan mudahnya merendahkan orang lain. Silau akan harta duniawi, Babeh juga mulai terobsesi agar Alfian bisa jadi anak yang bisa dibanggakan. Mulai dari pendidikan sampai masalah pendamping.
Mungkin Babeh mengira bahwa Alfian itu bodoh, tak tahu rencana besarnya. Babeh sengaja menjodohkan Alfian dengan Lisa agar Pak Broto mau berinvestasi ke perusahaan. Alfian juga tahu dari laporan keuangan tahunan perusahaan, jika tahun lalu perusahaan rugi besar.
Babeh sudah berubah. Terkadang, Alfian rindu sosoknya yang hangat dan penyayang keluarga.
Alfian memejamkan mata lelah sembari bersadar di dipan kasur. Bayangan Laras menari dipikirannya. Jujur saja, Alfian turut perihatin dengan kondisi Laras sekarang. Tujuh tahun lalu, sempat heboh berita ayahnya di tangkap pihak KPK karena kasus korupsi. Alfian tahu, musibah itu pasti berat untuk Laras dan keluarga.
Sebenarnya, mudah saja Alfian membayar semua hutang beserta bunga kakak Laras. Namun, ia sendiri tak punya pilihan lain karena ia juga butuh bantua. Sehingga tak ada salahnya memberikan penawaran itu. Yah, simbosis mutualisme, saling menguntungkan. Perjodohan dengan Lisa batal, Laras dan kakaknya bisa bebas hutang. Tak ada yang dirugikan di antara dua belah pihak.
Awalnya, Alfian mengira hal itu akan sulit. Mengingat ekspresi Laras yang sama sekali tak bersahabat. Namun, setelah Alfian menjelaskan dengan detail pernikahan kontrak itu, Laras dengan senang hati menerimanya.
Bahkan Alfian ingat senyum disertai tangis haru di wajah Laras. Seolah Alfian adalah harapan baginya.
Ponsel Alfian berdering terus menerus. Ia sudah sangat jengkel. Lisa terus-terusan menghubunginya, ia menuntut kejelasan hubungan mereka. "Cih, penjelasan apa lagi. Kita berdua aja nggak punya hubungan apa pun," Alfian menggumam.
Hari ini rasanya lelah sekali. Alfian harus segera mandi dan tidur. Besok pagi, ia akan menemui pengacara kenalannya untuk mengurus surat perjanjian nikah kontrak. Setelah itu menemui Laras, calon istrinya.
Dewasa itu tak menyenagkan seperti apa yang waktu Alfian pikir. Dulu, ia bercita-cita akan sukses dan bisa membahagiakan kedua orang tua. Kemudiian menikah dan punya keluarga kecil yang bahagia. Namun, kenyataannya, Alfian bagaikan keraman mangsa di dalam kerajaan emas. Tak bisa bebas dan bahagia, meski tak mustahil rasanya ia bisa menggenggam setumpuk harta.
Sesuatu yang dimulai dari kebaikan akan berakhir dengan baik. Sebaliknya, sesuatu yang dimulai dari keburukan, akan berakhir buruk pula.Mamih tak pernah mengajarkan anak-anaknya untuk membenci Papih. Meskipun tak ada alasan untuk tak membenci beliau. Ayah macam apa yang tega meninggalkan keluarga setelah membuat aib besar?Setelah bebas dari penjara lima tahun lalu, tanpa kabar dan pesan, Papih menghilang. Tak ada yang tahu keberadaan beliau sampai saat ini.Mamih selalu mengatakan akan ada pelangi setelah hujan. Karena itu, Laras berusaha jadi orang baik versi dirinya. Bahkan saat putus asa tanpa tujuan pasti, ia masih punya keyakinan sesuatu hal baik akan datang.Tapi kekacauan yang dibuat Kak Rio, membuat Laras hilang arah. Perset
‘Setelah menikah, gue masih bisa kerja, kan?’ Pertanyaan Laras semalam, membuat Alfian termenung. Jujur saja, ia merasa kagum dengan semangat kerja yang Laras punya. Alfian tak menyangka Laras sudah banyak berubah. Perempuan manja itu tumbuh menjadi wanita pekerja keras dan bertanggung jawab pada keluarga. Hanya wajah jutek dan galaknya saja yang tak berubah. Di saat Alfian memberi Laras pilihan agar tetap di rumah dan melakukan hal apa pun yang ia suka, ia menolak. Alasannya cukup masuk akal, Laras sudah terbiasa bekerja. Kalau begitu, Alfian tak bisa melarang. Lagipula pernikahan ini tidak didasari oleh rasa cinta. Tidak ada yang namanya istri berbakti pada suami, sehingga sesuai perjanjian kontrak, Alfian membebaskan Laras. Asal Laras tahu batasan, menaati perjanjian termasuk menjaga nama baik Alfian dan keluarga. Laras mengetuk kaca pintu mobil lumayan kencang. Membuat Alfian sadar dari lamunan. Segera Alfian membuka kunci pintu mobil dan
Laras menunggingkan senyum. Ia terkikik geli mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Ternyata Alfian masih sama, ia kikuk saat sedang gugup. Terbukti saat Alfian menjemput Laras di salon, binar mata tak bisa bohong kalau ia terpesona. Bahkan dalam mobil pun, ia diam tak bersuara.Setelah pulang dari butik milik Sonia, Alfian dan Laras kembali lagi bekerja. Terlalu lama mengobrol, mereka jadi tak sempat makan siang bersama.Wirda juga berbaik hati memberikan izin Laras untuk pulang lebih awal. Alfian memang menyuruh Laras ke salon langganan mamih dekat Kafe Rinjani. Tapi Laras berangkat sendiri, karena Alfian tak bisa meninggalkan pekerjaa
Gemerutuk panjang suara guntur mengagetkan Laras. Kilat cahaya petir sedikit membuatnya takut. Alih-alih masuk ke dalam kamar dan sembunyi dalam selimut, ia lebih memilih menghampiri Fatma —mamihya yang terlihat sedang melamun. “Ngelamunin apa, Mih?” Laras menepuk lembut pundak Fatma. Kemudian Laras menggeser kursi kayu lalu duduk di samping Fatma. Fatma mengadah ke arah Laras. Fatma sedikit terkejut dan menjadi kikuk. Buru-buru Fatma menyeka air mata di pelupuk mata agar Laras tak tahu. “Eh, kamu, Ras. Mamih nggak ngelamun kok,” elak Fatma. Laras tersenyum getir. Memandangi pergerakan Fatma yang langsung melenggang pergi menujuke dapur. Fatma hanya ingin tak membuat putrinya khawatir. Selama ini Laras sudah cukup menderita. Ia harus putus kuliah dan bekerja jadi tulang punggung keluarga. Setiap ada kesempatan mengobrol dari hati ke hati, Fatma selalu meminta maaf pada Laras karena tak bisa lagi membiayai pendidikannya. Padahal Laras adalah an
TOK TOK TOK“Assalamualaikum...’Eros datang bersama dengan dokter kenalannya. Mereka berlari kecil menuju kamar Laras. Wajah Eros nampak lega ketika melihat keadaan Tante Fatma dan Laras baik-baik saja.“Syukur deh, Tante sudah siuman. Keadaan lo gimana, Ras?” tanya Eros sedikit khawatir.“Nggak apa-apa. Perih doang kok ini.” Laras menunjuk pada luka di ujung bibirnya.Eros mengangguk pelan. Kemudian ia memperkenalkan dokter yang berdiri di sampingnya. “Kenalin, ini dokter Chris. Dia temen gue juga dulu waktu SD,” jelas Eros dengan nada bangga.Beberapa saat setelah kejadian, Eros sudah menghubungi Chris untuk datang ke rumah Laras. Kebetulan saja Chris kebagian jaga pagi. Jadi Ketika Eros meneleponnya, ia masih berada di rumah sakit dan berencana ingin pulang. Tetapi hari ini Chris sedang tak membawa kendaraan, sehingga Eros-lah harus menjemputnya di rumah sakit.
Laras berjalan kaki menuju rumah Pak Sholeh. Pagi-pagi sekali, Ihsan— anaknya menelepon Laras untuk datang ke rumah beliau.Udara Jakarta di pagi hari masih sejuk. Kendaraan roda dua dan roda empat pun masih belum banyak memadati ibu kota. Pedagang yang menjual berbagai macam menu sarapan pagi, baru bersiap. Abang-abang pedagang kaki lima masih tertidur di gerobaknya karena lelah semalaman bekerja.Laras sengaja berjalan kaki. Ia ingin menghidup udara bebas dan menikmati waktunya sendiri. Entah mengapa semalam ia tak bisa tidur nyenyak. Lamaran keluarga Alfian membuat hatinya berdebar tidak karuan. Padahal Laras sadar betul bahwa semuanya hanyalah sandiwara. Mereka tak betul menikah karena memiliki perasaan cinta.Di dekat rumah Pak Sholeh, Laras membeli beberapa serabi untuk Pak Sholeh dan Ihsan, sekalian untuk cemilan saat bekerja.Karena masih pagi, pembeli belum terlalu banyak, sehingga Laras tak perlu antree. Setelah membeli serabi, Laras melan
Hari pernikahan Alfian dan Laras tiba. Hari dimana keduanya mengucap janji setia. Meskipun semua adalah sandiwara, namun tak bisa dipungkiri jika keduanya sangat gugup menyambut hari ini.Mamih Minah memberi banyak sekali pilihan mulai dari WO, Venue resepsi super mewah sampai Make-Up Artist ternama rekomendasi teman-teman sosialita. Namun, Laras bersikeras untuk mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Hal itu awalnya membuat hubungan antara Mamih Minah dan Laras menjadi dingin. Tapi berkat Babeh Jali dan Alfian, akhirnya Mamih Minah mengalah.Laras tahu, jika calon mertuanya itu orang baik. Meski kadang ada saja omongan yang tak mengenakan hati, tapi ia tahu jika Mamih Minah tak sampai hati.Laras memakai jasa make-up artis yang sama saat malam kelulusan saat SMA.Mbak Dev tak menyangka jika Laras masih mengingat dan mempercayakan kembali make
Bagi Laras, Yogyakarta merupakan kota yang mengingatkan kenangan indah dengan keluarga. Papihnya dahulu selalu mengajak liburan kemari setiap tahun saat liburan kenaikan kelas. Biasaya sebelum pulang ke Jakarta, Laras dan keluarga menyempatkan diri berkunjung ke rumah keluarga besar Mamih.Berbeda dengan Alfian, sepanjang jalan Jakarta-Yogyakarta menggunakan kereta api, ia selalu terlihat murun
Bandung hari ini cuacanya cerah. Ini bukan akhir pekan, jadi jalanan lumayan lenggang. Di tengah perjalanan, Laras menyuruh Alfian untuk mampir sebentar di toko oleh-oleh milik keluarga jauh dari pihak Mamih.Alfian juga hari ini sedang dalam keadaan yang baik. Wajahnya tidak kusut seperti yang kemarin. Dia juga lebih banyak tersenyum dan meledek Laras yang pucat pasi karena omongan mertuanya waktu sarapan tadi.Laras sudah memesan hotel di kawasan cihampelas Bandung menggunakan aplikasi online. Mereka sampai jam dua siang lalu lanjut keluar lagi untuk mencari makan siang.Alfian sebenarnya mau langsung ke cihampelas mall saja, tapi karena Laras punya rekomendasi makanan lain, Alfian jadi manut saja.Ternyata Laras mengajak Alfian ke sebuah kedai bakso dan mie ayam di kawasan dago atas. Laras bilang, makanannya enak dan viewnya juga bagus."Sering ke sini, Ras?" tanya Alfian sambil menyeruput kopi pahit miliknya."Dulu, sam
Alfian sangat menyesali perbuatan yang diluar kendali. Babeh sampai harus mampir ke rumah terlebih dahulu untuk memberikan cecaran pertanyaan.Bebeh tidak menyangka, akhir-akhir ini Alfian sudah banyak berubah. Bukan ke arah lebih baik, malah sebaliknya. Di kantor, ia sering beradu pendapat dengan departemen design, padahal dia bukan salah satu bagainnya. Namun, karena melihat background siapa Alfian, maka bos departemen itu memberikan kesempatan untuk Alfian ikut project ini. Dan barusan, Alfian mengacaukan acara makan malam Pak Dewo.Alfian hanya terdiam mematung. Dia sama sekali tidak ingin bicara apalagi membela diri. Dia sadar dia salah, terlalu arogan dan dikuasai oleh emosi.Laras dan Mamih berusaha menenangkan Babeh. Tapi Babeh malah semakin marah karena mereka membelanya.Merasa keberadaannya percuma, Babeh pergi tanpa pamit. Babeh juga terang-terangan membanting pintu apartemen saat keluar.Alfian menjambak r
Alfian terkagum-kagum meilihat Laras turun dari tangga. Ia begitu menganggumkan di matanya.Malam ini, Mamih Minah dan Babeh mengajak mereka untuk makan malam bersama kolega di hotel mewah kawasan sudirman. Otomatis Alfian pulang lebih cepat dan mengajak Laras ke salon.Alfian heran, mengapa Laras tak mau menggunakan uang miliknya untuk keperluan pribadi. Padahal sebagai seorang suami, Alfian sangat peka dan tanggung jawab akan hal itu. Wanita perlu membeli sesuatu untuk mempercantik diri, meskipun Alfian tahu, Laras tetap cantik meski tak memakai perlengkapan perang itu. Dari dulu ia tetap terlihat cantik dan tidak pernah berubah di matanya."Menor, nggak?" Laras bertanya sambil memajukan wajah ke arah Alfian.Alfian yang sedang melamun langsung terperanjat kaget dan memundurkan wajahnya."Kenapa, Ras?" tanya Alfian sedikit gugup."Ini." Laras menunjuk wajahnya. "Menor atau berlebihan, nggak?"
"Ras." Panggil Alfian yang terlihat buru-buru."Kenapa, Yan?"Alfian menggaruk tengkuk leher, tatapannya menyapu seluruh penjuru ruang kerja yang terletak di samping kamar. Dia terlihat sedang bingung mencari sesuatu."Lo tahu berkas di map warna kuning, nggak?"Laras mencoba mengingat. "Yang semalem lo bawa?"Alfian mengangguk lesu. "Iya. Lihat enggak?""Aduh, gue nggak tahu. Belum beres-beres juga di kamar lo. Itu berkas penting ya, Yan?"Alfian mengangguk lesu. Semalam ia pulang larut malam. Setelah mandi, ia masih melanjutkan pekerjaan. Namun, karena melakukan dan mengerjakan setengah sadar, ia jadi lupa menaruh berkas itu di mana.Laras ikut mencari. Mulai dari kolong meja hingga ke penjuru ruangan sampai-sampai kamar Alfian berantakan.Alfian makin panik saat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menujukan pukul 7 lebih 10 menit. Hari ini adalah hari per
"Mih, ini cengek setannya Laras blender berapa, ya?"Mamih Fatma tersenyum melirik putrinya. Baru kali ini, ia melihat Laras bersemangat sekali belajar memasak. Dulu sebelum menikah juga pernah beberapa kali belajar, tapi makanan sederhana saja."Alfian suka pedes atau nggak?"Laras menggeleng ragu."Suka atau nggak nih. Kok gelengnya ragu-ragu gitu?" Mamih Fatma memastikan lagi.Beberapa kali Laras penah melihat Alfian memesan makanan yang pedas, tapi pernah juga ia bilang tak mau makan pedas. Jadi, Laras bingung."Oh, ya udah kalau gitu bikin sedeng aja. Cabainya masukin 3 kalau, ya."Laras manut saja apa kata Mamih. Hari ini terasa spesial, ia memasak menu andalan keluarga yaitu ayam kuning pedas."Nih, selera aja, kamu boleh tambahin cabai utuh di kuahnya. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa."Laras kembali menyalakan kompor. Ia memasukan bahan-bahan yang sudah ia blender. Kemudian
Alfian menepati janji pulang lebih awal untuk mengantar Mamih Fatma pulang. Di perjalanan kembali pulang ke rumah, Alfian tiba-tiba saja membalik arah. Hal itu membuat Laras langsung bertanya. "Mau kemana?" ujar Laras sedikit gengsi. Tingkah laku Alfian aneh, sangat aneh. Pagi tadi, ia benar-benar meninggalkan Laras di parkiran apartemen. Laras sampai harus memesan taxi online dan datang terlambat ke Kafe. Kedua, tanpa memberi kabar melalui telepon atau pesan singkat, Alfian tiba-tiba saja sudah ada di depan Kafe Rinjani untuk menjempunya pulang. Parahnya, selama perjalanan keduanya tak tegur sapa. "Bioskop. Nonton." Alfian tetap fokus menyetir. Hari ini pekerjaannya berjalan tak begitu bagus. Mulai dari Laras yang menyebalkan sampai Doni-- rekan kerjanya. "Emang, gue bilang mau ikut?" Alfian tetap tak menghiraukan Laras. Mau tak mau, suka tak suka, Laras harus menemaninya. Mereka berdua berj
Alfian merutuki dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia buru-buru meninggalkan kantor demi memastikan Laras baik-baik saja.Berawal dari Wirda—Ia menelepon Alfian mengenai hal ini. Dia bilang, Laras pergi meninggalkan kafe dengan terburu setelah salah satu tetangga memberi tahu tentang Mamih Fatma yang dilarikan ke rumah sakit. Kedatangan Rio, membuat rasa khawatir Alfian tak bisa ditawar.Bayangkan saja, Rio bisa berani melakukan sesuatu hal yang nekat untuk mencelakai Ibu yang sudah melahirkan. Apalagi dengan adiknya yang ia rasa tak berdaya.Namun, setelah mandi keringat usai berlari kesana-kemari, Alfian malah mendapati pemandangan yang tak kurang mengenakan baginya. Laras dengan Chris sedang mengobrol serius, sesekali mereka melempar senyum. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kesal. Dengan langkah yang cepat, ia langsung mendekati arah mereka lalu duduk tepat
Laras mengetukan jari ke kepala. Ia baru sadar jika Babeh Rojali dan Mamih Minah pernah menyinggung nama mantan Alfian—Mita saat acara makan malam pertama. Pantas saja, Laras tak asing dengan nama itu.Alfian meceritakan awal pertemuannya dengan Mita saat kuliah. Laras tak menyangka jika Mita adalah pacar pertama dan yang paling lama menjalin hubungan dengan Alfian. Dulu, mereka pernah bertunangan, meski pada awalnya tak direstui oleh kedua orang tua Alfian. Tetapi entah mengapa, tanpa alasan yang jelas, Mita membatalkan pertunangan secara sepihak. Sontak saja hal itu membuat Laras kaget.Alfian terang-terangan bilang, kalau selain suruhan Babeh, kepergiannya untuk berkuliah di luar negeri karena ingin melupakan Mita. Lagi, Laras tak menyangka jika Alfian adalah pria melankolis. Ia jadi berpikir apakah Alfian juga sulit melupakan dirinya dahulu.Tangan Laras sudah gatal ingin mengetikan nama seseorang di mesin pencarian laman media sosialnya.Ia men
Laras mengeringkan rambut denganhair dryer. Mulutnya tak henti mengucapkan sumpah serapah pada Alfian yang masih tak bisa berhenti tertawa. “Awas lo! Gue bales nanti,” omelnya. Laras tak menyangka kalau Alfian itu anaknya iseng. Padahal waktu SMA, Alfian terlihat pendiam dan serius. Alfian juga tak pernah terlihat bergaul dengan banyak teman. Mungkin, teman-temannya bisa dihitung pakai jari. “Bercanda kali, Ras. Sori deh, sori,” kekeh Alfian yang berjalan ke kamar mandi.