Stella Pov
Malam ini sesuai rencana, aku bersama kedua orangtuaku pergi ke sebuah restaurant Kristal yang begitu mewah di Jakarta. Siapa yang tak mengenal kata Kristal, semuanya pasti tau, perusahaan kuliner yang termasuk 5 besar perusahaan yang mendunia di Indonesia. Itu adalah perusahaan makanan yang katanya ownernya itu tampan banget. Dan sialnya setiap kali aku ke sini untuk makan siang, aku tidak pernah bertemu dengannya. Malah bertemu dengan Bapak-bapak gemuk dengan kepala plontos yang bilang sebagai Manajernya.
Mama memintaku untuk turun dari dalam mobil dan berjalan memasuki restaurant yang mengambil gaya Eropa dan memiliki bangunan beberapa tingkat. Selain itu di bagian atas restaurant ini di buat outdoor dan terbuka hingga memperlihatkan langit malam tanpa penghalang. Terdapat juga sebuah kolam renang berukuran sedang dan beberapa gazeboo juga tempat pembakaran. Sepertinya sangat cocok untuk berkencan di sana dengan nuansa yang begitu romantic. Aku sampai tak kuasa untuk makan di sana, karena tak memiliki pasangan. Nasib Jones, menyedihkan...
"Sayang ayo," seru Mama membuatku mengalihkan pandanganku yang menyisir suasana restaurant yang ramai ke arah Mama yang berjalan mengikuti seorang waiters menuju ke pintu lift. Di dalam lift kami sama-sama terdiam, dan aku melirik ke dinding lift yang di lapisi cermin. Entah kenapa aku merasa harus sedikit merapihkan tatanan rambut dan pakaianku. Hingga pintu lift terbuka lebar membuat kami melangkahkan kaki keluar lift.
Di daerah sini hampir lebih bagus lagi. Hampir setiap meja panjang memiliki sekat dari kaca sebagai pembatas. Dan itu penuh sekali, sepertinya banyak keluarga besar yang memesan tempat makan di sini. Langkahku terhenti saat sudah sampai ke salah satu bilik kaca yang cukup luas. Di depan kami ada sepasang suami istri yang terlihat tampan dan cantik walau usia mereka sepertinya sudah di atas 50 tahun.
"Selamat malam Pak Pradhika, dan Bu Thalita. Bagaimana kabar kalian?" sahut Papa bersalaman dengan mereka berdua. Aku masih berdiri di tempatku dan melihat acara bercengkraman mereka.
"Ah ini putri kesayangan kami, ayo Stella perkenalkan diri kamu," ucap Papa membuatku berjalan mendekati mereka dan mencium tangan mereka berdua.
"Stella, Om, Tante."
"Gadis yang cantik," seru tante itu membuatku tersenyum.
"Ayo silahkan duduk," seru Om Dhika membuat kami semua duduk di kursi meja bundar yang ada di sana. Beberapa gelas berisi Anggur merah dan juga beberapa jenis piring sudah tersedia dengan rapi di sana.
"Bagaimana kabar kalian?" tanya om Dhika.
"Kabar kami sangatlah baik, bagaimana denganmu? Ah, dan kami turut berbela sungkawa atas meninggalnya Pak Surya Adinata," seru Papa membuat mereka berdua tersenyum manis.
"Setelah lama berpisah, kini kita bisa kembali berkumpul. Sepertinya sudah lama sekali," ucap Om Dhika.
"Ya, 15 tahun lalu terakhir kita berjumpa. Kami pun baru pindah kembali ke Indonesia."
"Ya, aku mendengar kabarmu," ucap om tampan itu.
"Ini Stella yang saat itu masih berusia 5 tahun yah," ucap Tante cantik itu membuatku kikuk karena tak paham. Tetapi aku tetap menampilkan senyuman terbaikku. Mereka berdua sungguh baik dan ramah sekali.
"Iya ini lho Mbak, anak yang sering nangis itu," ucap Mama membuat Tante Thalita terkekeh. Apa sih maksud Mama mengatakan aku cengeng, aku kan gak cengeng. Sepertinya,,,
"Ah, aku tidak menyangka restaurantmu jadi semakin sukses seperti ini," ucap Papa membuatku melongo kaget. Benarkah? Benarkah pemilik restaurant ini om Dhika? Bukankah menurut informasi yang ku dapat ownernya itu masih muda sekitar 30tahunan.
"Tidak, ini milik putra pertamaku. Dia yang membuat restaurant ini menjadi semakin sukses."
Wow!!! Benarkah? Berarti benar apa yang di beritakan, tetapi sungguh aku penasaran dengan wajah pria itu. Benarkah begitu tampan seperti yang di ceritakan orang-orang.
"Nah, anaknya datang," ucap Om Dhika membuat kami semua menoleh.
OH GOD!!! Sumpah demi bulu keteknya mimi peri yang di lurusin, dia sangat tampan. Sangat sangat sangat tampan. Aku bahkan belum pernah melihat spesies seperti ini sebelumnya. Pahatan wajahnya begitu sempurna bak dewa yunani. Tuhan sungguh tak tanggung tanggung menciptakan sosok ini dengan begitu sempurna.
"Kenalkan ini putra pertama kami, Leonard."
"Selamat malam Om, Tante. Saya Leonard. Semua pelayan di sini akan melayani kalian, dan saya harap anda semua merasa puas."
Ya Tuhan ya Tuhan, aku mau pingsan mendengar suara bassnya yang bagaikan genderang, membuatku bergetar. Bisakah aku pingsan sekarang? Tapi ingin dia yang membopongku...
Suaranya begitu berat dan seksi, astaga! Aku ingin larut dalam suaranya itu dan menjadi zat cair yang akan mengikutinya. Mengisi setiap sisi tubuhnya seperti air yang memenuhi ruang tertentu.
"Kenalkan Stella," ucap Mama membuatku mengerjapkan mata berkali-kali.
"Leonard," ucapnya dan ya Tuhan sungguh sekarang aku butuh nafas buatan, aku butuh nafas buatan sekarang juga.
"Stell," aku tersadar dari wajah konyolku dan segera mengerjapkan mataku berkali-kali.
"Stella," aku langsung menyambut uluran tangannya yang terasa begitu keras dan hangat. Tangannya begitu pas di tangan mungilku.
"Apa kabar Stella?"
Suara ini???
Haruskah aku berhalusinasi Dosen TMII itu di saat yang tak tepat. Ayolah otak kecil, pusatkan perhatianmu pada pria tampan di hadapanmu ini. Leonard... segagah, setampan namanya.
"Kalian saling kenal?"
"Dia muridku di kampus,"
Wait?
Ini bukan halusinasi Stella, putar kepala sekarang juga.
Damn it! Ya, ini bukan halusinasi. Dosen tengil itu berada tak jauh dariku dengan senyuman menyebalkannya dan tatapan tajam yang membuatku meleleh juga secara bersamaan.
"Pak Dosen?" gumamku.
"Akhirnya kau tersadar juga dari imajinasi liarmu," ucapnya dengan menaikkan sebelah alisnya membuatku ingin meninjunya sekarang juga. Itupun kalau tidak ada hukum di Indonesia. Aku tidak ingin masuk koran pagi dengan berita seorang mahasiswi meninju Dosennya sendiri. Bisa jadi Viral.
Aku hanya menampilkan senyuman kecil padanya dan tatapanku kembali mengarah ke arah Leonard yang jauh lebih tampan. Tetapi tunggu! Di jari manisnya itu apa?
"Apa kau menyukai cincin pernikahan Kakak saya?" ucap Dosen TMII itu.
Damn!!! Apa? Cincin pernikahan? Dia...
Ya Tuhan, belum jadian saja sudah patah hati begini. Kejamnya, kenapa nasib jones selalu semiris ini. Saat ada yang membuat jantung terasa berhenti berdetak, sialnya dia adalah jodoh oranglain.
"Tidak Pak," jawabku dengan ketus.
"Kalau begitu saya permisi, semua pesanan sudah tersedia," ucap Leonard dengan begitu sopan.
"Tidakkah kau ikut makan malam dengan kami," ucap Mama.
"Maapkan saya, tetapi istri saya sudah menunggu. Jadi selamat menikmati hidangannya, permisi." Hatiku semakin menciut mendengar penuturannya. Dia setia sekali pada istrinya. Sudahlah Stell, nasibmu tetap menjadi seorang Jones. Tak jadi di hilal oleh pengusaha kaya raya di Indonesia yang begitu tampan, setampan Leonard.
"Adrian, kau dosen di kampusnya Stella?" tanya Papa dan aku sibuk dengan makananku sendiri mengacuhkan mereka. Dunia ini sungguh sempit. Kenapa dosen TMII itu harus anak dari om Dhika dan tante Thalita yang begitu baik dan juga adik dari Leonard yang begitu HOT dan mempesona. Tidak adakah adik yang lebih pantas, misalnya Justin Bieber, Zayn malik, atau Billy Davidson gitu yang tampan dan ramah. Tidak seperti si tengil ini.
"Stella,"
"Iya,"
"Di tanyain tuh, kenapa diam saja," seru Mama membuatku mengernyitkan dahi. Memang siapa yang bertanya.
"Kamu sudah semester berapa, Sayang?" oh Tante Thalita toh yang bertanya.
"Semester 3 tante,"
"Fakultas kedokteran?" tanya om Dhika yang aku angguki.
Setelahnya mereka mulai membahas sesuatu yang tak ku pahami dan aku memilih sibuk dengan makananku tanpa menoleh ke arah mereka semua.
***
Malam ini aku dan Lenna diam-diam kabur dari rumah dan pergi ke sebuah club malam yang ada di Jakarta. Aku sebelumnya tidak pernah ke tempat seperti ini, karena orangtuaku begitu menjagaku dengan ketat. Tetapi karena malam ini Papaku sedang ada pekerjaan diluar kota dan hanya ada Mama, jadi aku bisa keluar dari rumah dan datang ke sini bersama Lenna sahabatku. Mungkin untuk sekedar mencari teman kencan atau bersenang-senang.
Aku duduk di kursi penumpang dimana Lenna sedang duduk manis di kursi pengemudi. Kami begitu bahagia bisa keluar dari rumah malam minggu ini. Lenna tampak cantik dengan setelah kemeja dan rok mini yang begitu seksi berwarna tosca dan putih. Dan aku memakai dres ketat berwarna hitam dan begitu pas di tubuhku hingga memperlihatkan semua lekukan tubuhku yang bisa terbilang seksi.
Aku menuruni mobil bersama dengan Lenna dan masuk ke sebuah club yang cukup terkenal dan mewah di Jakarta. Saat memasuki ruangan besar yang gelap dan pencahayaan minim, kami di sambut oleh suara keras yang memekakan telinga. Beribu orang berlalu lalang dan ada juga yang menari di tempatnya. Suasananya begitu hidup dan ramai sekali walau sedikit pengap dan berbagai macam bau. Dari bau rokok sampai alkohol.
"Aduh," ringis Lenna membuatku menoleh padanya.
"Kenapa loe?"
"Perut gue melilit, astaga kenapa harus mules di saat yang tidak tepat." Ya Tuhan Lenna, hahaha.
"Loe abis makan apaan emang tadi?"
"Baso, ya Tuhan gue gak tahan lagi Stell."
"Ya udah sana ke kamar mandi, malah curhat."
"Iya, sebentar yah, jangan kemana-mana." Dia langsung beranjak berlalu pergi.
Well? Sekarang aku sendiri dan aku harus mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Aku memilih duduk di sebuah kursi bartender yang cukup kosong walau tak jauh dariku 3 orang pria tengah duduk dan terang-terangan memperhatikanku.
"Minum apa?" tanya sang bartender membuatku sedikit bingung. Jujur saja aku tidak pernah ke tempat seperti ini sebelumnya.
"Itu," ucapku menunjuk ke seorang wanita yang duduk sendiri seraya meneguk cairan coklat terang dengan campuran buah kiwi yang terlihat manis.
Tak lama bartender itu menyerahkan minuman yang sama padaku. Aku menatap sekeliling seraya menyeduh minuman itu dan rasanya. Pahit!
Ini kelihatannya manis tetapi rasanya kenapa pahit. Sungguh penampilan yang menipu. Minuman ini mengingatkanku pada dosen itu, mirip sekali dengan jenis minuman ini. Dan kenapa aku harus mengingatnya lagi?
Aku mengusap wajahku supaya dosen TMII itu lenyap dari otakku, aku membencinya dan rasanya tak perlu otakku ternodai oleh wajah super menyebalkannya itu.
Aku menatap sekeliling mencari pemandangan yang indah, tetapi tak ada sesuatu yang menarik perhatianku. Hingga bartender menyerahkan minuman lagi padaku padahal aku tak memesannya. Minuman itu berwarna coklat dan berada di dalam takaran gelas kecil.
"Aku tidak memesannya," seruku pada bartender itu.
"Itu bonus untukmu Nona, dari pria di sana," ucapnya membuatku menoleh dan ketiga pria tadi tampak mengedipkan matanya dan melambaikan matanya kepadaku membuatku mendengus. Mereka pikir aku akan tertipu dan meneguk minuman mereka ini. Bagaimana kalau airnya memakai obat bisu atau obat tidur kadar tinggi. Bisa kehilangan segalanya...
Aku memalingkan wajahku dan meneguk minumanku sendiri walau rasanya begitu pahit membuatku meleletkan lidah karena rasanya yang pahit dan panas ke daerah kerongkonganku. Ngomong-ngomong Lenna lama sekali. Apa dia boker di negri Jiran? Sampai belum kembali juga.
Aduh, kenapa dengan kepalaku. Aku merasa hatiku senang dan melayang. Kepalaku juga seperti ada ribuan bintang mengelilingi. Sepertinya aku mulai mengantuk. Aku kembali meneguk minumanku hingga habis berusaha menghilangkan kantuk dan rasa panas di tenggorokanku. Tetapi bukannya menolong, aku malah semakin berkunang-kunang.
"Stella," panggilan itu membuatku menoleh dan seketika semuanya gelap.
***
Aku mengerjapkan mataku berkali-kali dan terlihat langit-langit kamar berwarna coklat, aku mengernyitkan dahiku. Seingatku semalam aku berada di sebuah club malam menunggu Lenna kenapa sekarang aku ada di sini. Apa aku sudah pulang? Tapi ini bukan rumahku.
Aku membelalak lebar saat mengingat ketiga pria itu. aku hendak bangun tetapi gerakanku terhenti saat tangan kekar melingkar di perutku dengan posesive.
Ya Tuhan!!! Apa yang aku lakukan????
Aku langsung meloncat dari ranjang dengan menedang tubuh pria itu. Aku menunduk dan memeriksa seluruh pakaianku dan Utuh, syukurlah.
"Kenapa kau berisik sekali, Stell?" ucapnya membuatku membelalak lebar.
"Mr. Adrian?"
***
"Ayo kita ke club," seru kak Datan saat aku mampir ke rumah latihan Brotherhood. Di sana ternyata sudah ada bang Vino, kak Datan dan juga Joshua. Mereka semua sedang ada masalah dengan para istri mereka dan melarikan diri ke sini.Aku mengangguk menyetujui ajakan mereka dan mengikuti mobil mereka dari belakang hingga kami semua sampai di sebuah club malam yang ada di Jakarta. Mereka langsung memesan private room untuk kami semua.Di dalam ruangan, beberapa minuman berjejer dan mereka meneguknya perlahan tanpa ingin mabuk dan sibuk berbincang dengan begitu khidmat. Intinya mereka mengeluh tentang istri mereka semua dan juga anak. Aku sampai ngeri mendengarnya, apa pernikahan semengerikan itu saat terkena masalah? Apalagi putra kak Datan yang sangat sangat ajaib itu.Aku memilih pergi ke toilet meninggalkan mereka semua, hingga langkahku terhenti di dekat meja bartender. Pandanganku menangkap seseorang yang aku kenali. Dia Stella, sedang apa dia di tempat seperti
Adrian tersenyum puas melihat ekspresi Stella yang melotot. “Ini tidak mungkin!” “Kau masih mau mengelak padahal jelas-jelas di foto itu kau yang memelukku,” ucap Adrian dengan santainya meneguk minuman yang ada di atas meja bar. “Itu gak mungkin,” tolak Stella menatap tajam Adrian yang melipat kedua tangannya di dada. “Ja-jadi apa semalam kita-“ “Ya,” ucap Adrian dan itu membuat Stella memekik kaget seraya menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap Adrian dengan horor. Sungguh saat ini Adrian ingin tertawa melihat wajah Stella yang terlihat bodoh. “Tidak tidak,” kekeh Adrian tak kuasa melihat wajah Stella. “Kita hanya tidur, aku tidak tertarik dengan tubuh krempengmu itu,” ucap Adrian masih dengan kekehannya dan seketika wajah Stella be
“Hallo Kirana,” “Uncle Rian!” teriak Kirana, gadis kecil berusia 5 tahun itu berlari menerjang tubuh Adrian yang baru saja datang. “Om bawa banyak boneka untukmu, Sayang.” Adrian memangku tubuh Kirana dan menyerahkan boneka ke Kirana. “Sebagian di bawa Bibi dari dalam mobil Om.” “Selalu saja memanjakannya, boneka di kamarnya sudah sangat banyak, bikin sumpek dan gak bisa gerak,” gerutu Leonna. “Mommy iri yah sama Kiran, karena Kiran dapat boneka banyak. Sedangkan Mommy nggak dapat,” ucap Kirana seraya meleletkan lidahnya ke arah Leonna membuat Leonna mendengus. “Aku dengar kau menerima perjodohan dengan anak teman Papa,” ucap Leonna menyuguhkan orange jus di atas meja untuk Adrian ya
Stella melempar semua boneka di dalam kamarnya karena kesal, tega sekali orangtuanya tetap menjalankan perjodohan ini dan sialnya ia tak mengetahui apapun. Pantas sejak pulang koas tadi sore, Ibu nya meminta dia diam di dalam kamar dan menyerahkan sebuah dress cantik berwarna pastel. Ini alasannya, karena keluarga dari Mr. Adrian akan datang dan sekarang sudah berada di bawah tengah berbincang-bincang. “Sial!” gerutu Stella terus mondar mandir di dalam kamarnya dengan mengepalkan kedua tangannya erat. Bahkan dosen itu tak menolak perjodohan ini. Stella yakin Adrian merencanakan sesuatu hingga dia mau menerima perjodohan ini dengan mudah. “Aku harus kabur dari sini,” gumam Stella langsung mencari sesuatu untuk meloncat dari jendela kamarnya dan turun ke bawah dimana kamarnya berada di lantai 2. “Kalau aku kabur dan membuat Mama khawatir, mereka pasti akan menuruti
“Sah!” Ucapan itu menggelegar hingga sampai ke kamar dimana Stella masih duduk gelisah dengan balutan kebaya pengantin putihnya. Mereka menikah di kediaman Stella, dan rencananya nanti malam akan mengadakan acara resepsi di salah satu hotel bintang 6 milik keluarga Mahya. “Selamat yah Stell, akhirnya lu gak single lagi,” seru Lenna begitu heboh memeluk Stella dari samping. “Harus yah mengucapkan kata itu?” cibir Stella dengan raut wajah kesal. “Eh pengantin gak boleh cemberut dan kesel, ingat lho nanti malam kalian akan aha ihi di kamar hotel,” bisik Lenna dengan nada menggoda. “Shut upLenong! Gue kagak mau ngelaku
Amalfi Coast, ItaliaAdrian dan Stella baru saja menginjakkan kaki mereka di salah satu Villa Treville. Villa yang berada tak jauh dari pesisir pantai, dan berada tepat di atas tebing pantai. Villa dengan 2 tingkat itu memiliki bangunan khas Italia dengan warna putih yang mendominasi. Adrian dan Stella mendapatkan hadiah honeymoon spesial dari keluarga mereka, bahkan bukan hanya hotel yang di pesankan untuk mereka berdua melainkan sebuah Villa besar tetapi hanya memiliki satu kamar. Entah sudah di rencanakan sebelumnya atau memang villa ini khusus di rancang untuk pasangan pengantin baru. Seorang pelayan dengan setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu sudah bersiaga menyambut mereka dan membawakan barang-baran
Adrian dan Stella sudah kembali ke aktivitas sehari-hari mereka. Kini mereka berdua telah tinggal di apartement milik Adrian yang cukup besar. Mereka juga sudah memutuskan untuk pisah kamar dan melakukan perjanjian yang sudah mereka sepakati bersama. Pagi itu Stella bersenandung kecil sambil megeringkan rambutnya dengan hairdyer. Tubuhnya masih terbalut dengan handuk, bahkan dia bernyanyi sambil menggoyangkan tubuhnya ke sana kemari menikmati alunan musik yang berputar dari media player. “Ck, kau sungguh gadis yang sangat berisik! Matikan musiknya,” tegur Adrian tetapi Stella tak mendengarnya dan tetap bernyanyi dan menari tanpa sadar kalau Adrian sudah memasuki kamarnya. “Eh?” Stella meno
Stella berjalan dengan kesulitan dan menggerutu karena Dokter Fanni, salah satu Dokter spesialis di AMI Hospital yang menurutnya sangat menyebalkan memintanya membawakan beberapa berkas medis ke dalam ruangannya. Selama perjalanan ia terus saja menggerutu sampai tak melihat jalanan yang ia pijak. “Whuaaaaa!” ia memekik kaget saat sebelah kakinya anjlok karena tak sadar itu undakan tangga membuat semua berkas yang dia bawa berhamburan ke bawah tangga dan tubuhnya hampir saja ikut jatuh ke bawah kalau saja tangan kekar seseorang tidak menarik pergelangan tangan Stella dan menariknya hingga kepala Stella mendarat mulus di dada bidang seseorang. Stella yang masih syock dan kaget hanya bisa mengatur nafasnya seraya memeluk erat tubuh ramping nan kekar di depannya. Tubuhnya mendadak panas dingin dan merinding, hampir saja ia terjatuh dari tangga dan entah
“Pendek,” gumam Adrian meraba-raba kasur di bagian sisinya. Karena tak menemukan apapun, ia membuka matanya dan pandangannya langsung tertuju pada seseorang yang berdiri di hadapannya dengan memegang sesuatu. “Pendek,” gumamnya dengan suara serak khas baru bangun tidur. Ia mengucek matanya dan bangun dari rebahannya. “Ngapain kamu berdiri di sana? Kamu mau bersih-bersih?” tanya Adrian setelah matanya terbuka sempurna dan terlihat Stella sedang memegang peralatan bersih-bersih. “Pagi ini memang harus beres-beres, karena aku meliburkan ART yang suka membersihkan apartement kita.” Stella berucap dengan tenang. “Tetapi kenapa?” tanya Adrian. “Kamu ingin bersih-bersih sendiri?” “No, bukan aku y
Stella sengaja pulang cepat ke apartement sebelum Adrian. Ia hendak mengambil semua pakaian dan beberapa kebutuhannya. Ia masuk ke dalam kamar dirinya bersama Adrian. Memang setelah mereka kembali dari kegiatan Baksos itu, mereka memutuskan untuk menempati satu kamar bersama dan kamar yang dulu di tempati Stella, kini di jadikan ruang kerja. Stella menatap ranjang yang tampak rapi di depannya. Ranjang itu adalah saksi mereka berbagi cinta, saling bercumbu dan menyalurkan hasrat cinta mereka. Banyak kejadian lucu dan indah yang tak bisa Stella lupakan. Air mata itu kembali mengalir tanpa bisa di cegah lagi. Stella memalingkan wajahny dan mengusap air mata di pipinya. Ia berjalan menuju ruangan pakaian dirinya dan Adrian. Ia menatap deretan kemeja Adrian yang tertata rapi dalam lemari. Tak bisa ia pungkiri kalau ia sangat merindukan suaminya itu. Kini mereka seperti dua
“Stella!” seru Lenna dengan kernyitan di dahinya. Stella datang dengan isakan tangis dan badan yang menggigil karena basah kuyup. “Astaga Stell, lu kenapa?” Lenna segera menggiring Stella untuk masuk ke dalam dan mengambil handuk menyelimuti tubuh Stella. “Sebaiknya lu langsung bersih-bersih di kamar mandi, gue akan siapkan baju buat lu.” Stella bergegas masuk ke dalam kamar mandi di kostan Lenna. Lenna menyiapkan baju bersih untuk Stella. Setelah menyerahkannya ke Stella, ia membuatkan teh hangat. 5 menit berlalu, Stella keluar dengan wajah yang pucat dan begitu sembab. “Sini gue udah buatkan teh hangat buat lu,” ucap Lenna. Stella menurut dan duduk di kursi meja makan. Ia menggenggam mug
Semua Dokter bersama suster dan perawat kembali pulang ke Jakarta dan akan mulai bekerja di AMI Hospital. Setelah kembali ke Jakarta, anggota Khoas semakin sibuk bekerja di AMI Hospital tanpa libur seperti para Dokter yang juga bersama mereka. Walau Adrian libur, ia tetap ke rumah sakit untuk menemani Stella, mengantar jemputnya juga. “Hai,” sapa Adrian saat menjemput Stella dari rumah sakit. Stella duduk di kursi penumpang setelah di bukakan pintu mobilnya oleh Adrian. “Astaga lelah sekali rasanya,” keluh Stella menyandarkan kepalanya ke sandaran jok. “Sabar, sebentar lagi kamu akan melewati masa terberat ini,” ucap Adrian mengusap kepala Stella diiringi senyumannya. “Kapan sih UGD di sin
Stella perlahan membuka pintu kamar mandinya dan menjulurkan kepalanya ke arah ranjang. Adrian tampak asyik bermain game di atas ranjang. Ia kembali masuk ke kamar mandi dengan menghela nafasnya dan menatap ke bawahnya yang hanya menggunakan jubah handuk. Ia sungguh tidak mungkin tidur dengan pakaian yang sejak pagi ia gunakan beraktivitas, Stella mendengus dan merasa bodo amat, ia akhirnya keluar dari kamar mandi dan berpura-pura santai walau sebenarnya ia berdebar-debar dan merasa salting. Adrian melirik ke arah Stella yang terus membenarkan jubah handuk yang hanya sebatas paha itu. Ia hanya tersenyum kecil dan kembali fokus bermain game. Stella berjalan mendekati ranjang tetapi karena ia begitu canggung sampai ia tidak melihat kakinya menyandung karpet lantai dan ia tersungkur ke arah tubuh Adrian.&
Stella yang keras kepala memaksakan diri untuk bangun dari blangkar dan menenteng infusannya. Baru saja ia membuka pintu, tatapannya beradu dengan Adrian yang juga berdiri di sana dengan pakaian pasien dan sama-sama menenteng infusan. Keduanya saling bertatapan penuh arti. “Hai,” sapa Adrian “Eh, hai,” jawab Stella tersipu. “Boleh aku masuk,” ucap Adrian yang di angguki Stella. “Hai Lenna,” sapa Adrian saat sudah masuk ke dalam ruangan. “Hai pak Adrian,” jawab Lenna dengan sedikit canggung. Suasana di sana kini begitu hening dan canggung, membuat ketiganya kikuk. “Ah St
“Ngelamun aja, kenapa sih lu?” tanya Lenna berdiri di samping Stella yang sama sama sedang jaga malam di UGD. “Menurut lu gimana sih Dokter Dara itu?” tanya Stella. “Dokter Dara? Dia baik kok, memang kenapa?” tanya Lenna. “Dia juga cantik banget kan?” seru Stella. “Iya, dia memang cantik,” seru Lenna. “Tuh kan jelas banget gak ada apa-apaya di bandingkan gue, dan lagian lu kenapa gak ada gitu bikin hati gue seneng. Komentarnya jangan jujur banget kek,” ucap Stella dengan wajah cemberut. “Maksud lu apa sih?” tanya Lenna yang benar-benartidak paham.&nbs
“Gak tidur?” tanya Datan saat melihat Adrian hanya duduk termangu di atas ranjang dengan bersandar ke kepala ranjang. “Belum mengantuk,” jawab Adrian dengan malas. “Masalah Stella lagi?” tanya Datan yang kini duduk di samping Adrian. “Dia terlihat semakin dekat dengan Ivan, dan itu membuat gue sangat kesal.” Adrian tampak tersulut emosi karena itu. “Kenapa tidak lu coba untuk mengatakan kejujuran perasaan lu padanya, Rian.” “Entahlah, gue hanya takut dia akan menghindar dan malah mejauhi gue. Dan yang paling gue takutkan dia memilih mempercepat perceraian kami karena perasaan ini, sudah jelas dalam perjanjian yang dia buat, dia ingin bebas dari gue.”&nb
Hari ini mereka semua mulai bekerja di klinik, dan sejak pagi juga Stella tak melihat keberadaan Adrian. Stella terus saja di perintah oleh salah seorang perawat untuk mendata obat-obatan yang di suplier ke Klinik di sana. Stella sibuk dengan mencatat setiap obat yang berada di dalam kardus ke etalase kaca yang tersedia di sana. Tak jauh darinya terdapat seorang apoteker yang juga sibuk membaca daftar obat yang akan di butuhkan di sana. Tak lama masuklah Datan dan menyerahkan sebuah berkas ke apoteker perempuan itu dan ia tersenyum jahil saat melihat keberadaan Stella. Ia berjalan mendekati Stella yang sibuk menata obat obatan ke dalam etalase. “Kau di sini ternyata,” seru Datan membuat Stella menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Datan. “Do