“Hallo Kirana,”
“Uncle Rian!” teriak Kirana, gadis kecil berusia 5 tahun itu berlari menerjang tubuh Adrian yang baru saja datang.
“Om bawa banyak boneka untukmu, Sayang.” Adrian memangku tubuh Kirana dan menyerahkan boneka ke Kirana. “Sebagian di bawa Bibi dari dalam mobil Om.”
“Selalu saja memanjakannya, boneka di kamarnya sudah sangat banyak, bikin sumpek dan gak bisa gerak,” gerutu Leonna.
“Mommy iri yah sama Kiran, karena Kiran dapat boneka banyak. Sedangkan Mommy nggak dapat,” ucap Kirana seraya meleletkan lidahnya ke arah Leonna membuat Leonna mendengus.
“Aku dengar kau menerima perjodohan dengan anak teman Papa,” ucap Leonna menyuguhkan orange jus di atas meja untuk Adrian yang kini duduk di kursi meja bar di hadapan Leonna.
“Ya,” ucap Adrian meneguk minumannya dan mendudukan Kirana di atas meja bar yang tampak anteng dengan bonekanya.
“Dia salah satu mahasiswiku di kampus,” ucap Adrian membuat Leonna tertarik.
“Wow, Dosen dan Mahasiswi, menarik.” Ucapnya terkekeh. “Jadi apa dia cantik?”
“Emm, masih lebih cantik Rose di film titanic,” ucap Adrian membuat Leonna terkekeh. Adrian memang tergila-gila dengan pemeran utama di film titanic, walaupun mungkin wanita itu sekarang sudah sangat tua. “Tetapi dia sangat gila dan bodoh.”
“Gila dan bodoh?” Leonna menaikkan sebelah alisnya.
“Ya Gila dan bodoh, tetapi menarik,” ucap Adrian masih dengan senyumannya.
“Aku penasaran bagaimana dengan rupa gadis yang tidak cantik tetapi bodoh dan gila,” ucap Leonna.
“Apa Aunty itu lebih cantik dari Mommy, uncle?” tanya Kirana.
“Ya,” ucap Adrian.
“Apa lebih cantik dari Kirana?” tanya Kirana sangat penasaran.
“Tidak, kamu jauh lebih cantik, baby.” Andrian mengecup pipinya membuat Kirana tampak senang.
Kali ini Leonna yakin gadis ini memang bisa membuat Adrian bahagia, entah bagaimana rupa gadis itu. Tetapi melihat Adrian sangat antusias saat membicarakannya, sudah pastilah gadis itu sangat spesial.
∞
Stella datang ke kampus dengan wajah lesu, orangtuanya sangat pintar dengan mendatangkan Naani alias nenek kesayangannya. Ia sungguh menurut dan tidak bisa membantah Naani, dan sekarang Naani nya itu bekerja sama dengan kedua orangtuanya untuk menerima perjodohan ini. Stella tak pernah bermimpi untuk menikah muda, apalagi di jodohkan. Memangnya ini di jaman siti nurbaya?
Andai pria itu Leonard, maka dia tak akan berpikir 2 kali untuk menolaknya. Tetapi ini sialnya dosen TMII musuh bebuyutannya, dosen killer yang masuk daftar pertama sebagai musuhnya. Bagaimana bisa dia menikah dengan pria licik selicik rubah itu.
“Woy melamun aja,” tepukan di pundaknya membuatnya menoleh dan tampak Lenna berdiri di sampingnya.
“Kau mengagetkan saja, Lennong!” gerutu Stella.
“Ada apa? Kau tampak suram seperti tak ada daya dan upaya menjalani hidup yang menyedihkan ini,” ucap Lenna dengan lebay. “Apa karena ini koas pertama kita?”
“Ih amit amit deh kata-kata loe!” gerutu Stella membuat Lenna terkekeh.
“Kenapa sih loe?” tanya Lenna.
Belum sempat Stella menjawab Adrian sudah masuk ke dalam ruangan itu. Saat ini Stella dan beberapa temannya yang satu kelompok sedang berkumpul di ruang meeting di Ami Hospital untuk mendapatkan arahan koas pertama mereka di sini.
Adrian menatap semua orang di depannya dan ia membuka berkas di tangannya. “Jadi semuanya sudah datang yah,” seru Adrian melihat daftar absen terisi semua.
Adrian duduk di kursi yang berada di depan mereka semua. Suasana di sana begitu hening hingga Adrian membuka suaranya kembali dan ia sempat melirik Stella yang menunduk dan membuang muka beberapa kali.
“Ini hari pertama kalian koas, jadi menurut kalian apa yang paling penting saat mulai bekerja di rumah sakit ini?” tanya Adrian.
“Tidur yang cukup,” jawab Reza salah satu anggota koas.
“Jawaban macam apa itu?” tanya Adrian. “Coba Nona Stella!” Stella mengangkat wajahnya dan menatap sengit ke arah Adrian.
“Menyiapkan mental jiwa dan raga,” jawabnya dengan malas.
“Menyiapkan mental dari apa?” tanya Adrian sedikit terkekeh. “Ada jawaban yang lain?”
“Yang penting cepat lulus saja, Pak.” Kini Rizal yang berucap membuat yang lain terkekeh.
“Astaga kalian ini, coba Riska.”
“Mungkin cari pengalaman dan pelajaran sebanyak-banyaknya.”
“Kalian ini, tidak adakah jawaban yang tepat? Dengar yah, kalian ini masih koas. Memang udah Sarjana Kedokteran tetapi kalian belum jadi Dokter.” Adrian menghela nafasnya cukup panjang. “Saya tidak perduli seberapa pintar kalian waktu kuliah, ini dunia nyata. Kalian terjun langsung dan menangani langsung pasien. Bermacam-macam pasien juga penyakit dan kasus yang mereka alami. Apa kalian siap dengan semua itu?” tanya Adrian.
“Baiklah untuk sekarang kalian bisa langsung bekerja dan ikuti beberapa Dokter Konsulen kalian. Setelah itu kalian buat presentasi soal apa yang kalian dapatkan di hari ini. Selamat pagi semuanya dan sampai bertemu besok.”
Para anggota koas yang berjumlah 7 orang itu keluar dari ruangan itu dengan lesu.
“Huh belum apa-apa sudah harus presentasi,” keluh Reza.
“Bakalan berat nih kita ke depannya,” keluh Dani.
“Ck, kalian ini belum apa-apa sudah mengeluh, bagaimana mau jadi Dokter.” Hana hanya bisa menggelengkan kepala.
“Huh Dosen TMII itu benar-benar gila!” keluh Stella.
∞
“Stel, tadi loe mau cerita apaan sih?” tanya Lenna saat mereka baru mendapatkan jatah untuk makan siang.
“Oh itu, ah ini sungguh kesialan,” keluh Stella menyandarkan keningnya ke atas meja.
“Kenapa sih? lu bikin gue khawatir,” ucap Lenna menatap heran pada Stella. Stella mengangkat kepalanya kembali menatap Lenna.
“Gue mau di jodohin sama bandot tua,” ucapnya dengan wajah sedih.
“What? Sumpeh loe?” tanya Lenna membuat Stella menyipitkan matanya karena kata-kata alay Lenna.
“Yah, menyedihkan banget hidup gue, rasanya gue ingin lari dari kenyataan.” Kali ini Lenna yang mencibir karena kelebayan Stella. Sebenarnya mereka berdua sangatlah cocok apalagi dalam hal lebay, tak salah mereka menjadi sahabat dari sejak SMP.
“Loe bilang nyokap bokap loe sayang banget sama loe, kok mereka tega sih mau nikahin loe sama bandot tua?” tanya Lenna.
“Mungkin mereka lelah menghadapi gue,” ucap Stella.
“Memang siapa sih? Bandot tua darimana? Rekan bisnis bokap loe?” tanya Lenna semakin penasaran, karena setaunya orangtua Stella adalah orangtua terbaik dan sangat memanjakan Stella, tidak mungkin kan mereka menyerahkan putri kesayangannya pada seorang bandot tua atau seorang gadun. Sungguh tak masuk di akal.
“Dia itu bukan rekan bisnis bokap gue, tetapi dia itu dosen kita,” ucapan Stella semakin membuat mata Lenna membelalak lebar.
“Do-dosen kita? Siapa?” tanyanya mengingat lagi dosen yang belum menikah di kampus ini, tidak mungkin kan dia di jodohkan dengan seorang pria beristri? Orang tua macam apa yang menjodohkan putri mereka pada pria beristri.
“Apa pak Tama?” tanya Lenna,
“Bukan ih, masa pak Tama.”
“Kalau begitu pak Kurnadi, pak Sulaeman?” tanya Lenna.
“Heh, apaan sih. Mereka tuh perjaka tua, usia gue aja udah seperti anaknya, loe kira-kira dong!” cibir Stella.
“Pan loe bilang bandot tua, yah gue pikir seperti gadun gitu. Usianya di atas 35tahunan dan belum menikah, di kampus kita siapa lagi selain mereka.” Lenna berucap dengan kesal karena Stella membuatnya bingung.
“Pak Adrian.”
“WHAT???????”
“Loe mau buat gue budek, hah?” pekik Stella mengusap telinganya.
Pletak
Lenna menggeplak kening Stella hingga membuatnya meringis.
“Wah beneran loe butuh dokter mata. Ya amsyong, cowok setampan, segagah, semuda dan seimut mister Adrian di bilang bandot tua. Loe bener-bener butuh psikiater Stell.”
“Apaan sih loe,” cibir Stella.
“Tapi ngomong-ngomong serius loe mau di jodohkan dengan Mr. Adrian? Wah beruntung banget, bakalan banyak wanita yang patah hati, termasuk gue,” ucap Lenna dengan raut wajah sedih.
Stella hanya mendengus kesal seraya memikirkan bagaimana caranya membatalkan perjodohan ini. Bisa gila kalau dia menikah dengan dosen TMII itu.
∞
Stella melempar semua boneka di dalam kamarnya karena kesal, tega sekali orangtuanya tetap menjalankan perjodohan ini dan sialnya ia tak mengetahui apapun. Pantas sejak pulang koas tadi sore, Ibu nya meminta dia diam di dalam kamar dan menyerahkan sebuah dress cantik berwarna pastel. Ini alasannya, karena keluarga dari Mr. Adrian akan datang dan sekarang sudah berada di bawah tengah berbincang-bincang. “Sial!” gerutu Stella terus mondar mandir di dalam kamarnya dengan mengepalkan kedua tangannya erat. Bahkan dosen itu tak menolak perjodohan ini. Stella yakin Adrian merencanakan sesuatu hingga dia mau menerima perjodohan ini dengan mudah. “Aku harus kabur dari sini,” gumam Stella langsung mencari sesuatu untuk meloncat dari jendela kamarnya dan turun ke bawah dimana kamarnya berada di lantai 2. “Kalau aku kabur dan membuat Mama khawatir, mereka pasti akan menuruti
“Sah!” Ucapan itu menggelegar hingga sampai ke kamar dimana Stella masih duduk gelisah dengan balutan kebaya pengantin putihnya. Mereka menikah di kediaman Stella, dan rencananya nanti malam akan mengadakan acara resepsi di salah satu hotel bintang 6 milik keluarga Mahya. “Selamat yah Stell, akhirnya lu gak single lagi,” seru Lenna begitu heboh memeluk Stella dari samping. “Harus yah mengucapkan kata itu?” cibir Stella dengan raut wajah kesal. “Eh pengantin gak boleh cemberut dan kesel, ingat lho nanti malam kalian akan aha ihi di kamar hotel,” bisik Lenna dengan nada menggoda. “Shut upLenong! Gue kagak mau ngelaku
Amalfi Coast, ItaliaAdrian dan Stella baru saja menginjakkan kaki mereka di salah satu Villa Treville. Villa yang berada tak jauh dari pesisir pantai, dan berada tepat di atas tebing pantai. Villa dengan 2 tingkat itu memiliki bangunan khas Italia dengan warna putih yang mendominasi. Adrian dan Stella mendapatkan hadiah honeymoon spesial dari keluarga mereka, bahkan bukan hanya hotel yang di pesankan untuk mereka berdua melainkan sebuah Villa besar tetapi hanya memiliki satu kamar. Entah sudah di rencanakan sebelumnya atau memang villa ini khusus di rancang untuk pasangan pengantin baru. Seorang pelayan dengan setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu sudah bersiaga menyambut mereka dan membawakan barang-baran
Adrian dan Stella sudah kembali ke aktivitas sehari-hari mereka. Kini mereka berdua telah tinggal di apartement milik Adrian yang cukup besar. Mereka juga sudah memutuskan untuk pisah kamar dan melakukan perjanjian yang sudah mereka sepakati bersama. Pagi itu Stella bersenandung kecil sambil megeringkan rambutnya dengan hairdyer. Tubuhnya masih terbalut dengan handuk, bahkan dia bernyanyi sambil menggoyangkan tubuhnya ke sana kemari menikmati alunan musik yang berputar dari media player. “Ck, kau sungguh gadis yang sangat berisik! Matikan musiknya,” tegur Adrian tetapi Stella tak mendengarnya dan tetap bernyanyi dan menari tanpa sadar kalau Adrian sudah memasuki kamarnya. “Eh?” Stella meno
Stella berjalan dengan kesulitan dan menggerutu karena Dokter Fanni, salah satu Dokter spesialis di AMI Hospital yang menurutnya sangat menyebalkan memintanya membawakan beberapa berkas medis ke dalam ruangannya. Selama perjalanan ia terus saja menggerutu sampai tak melihat jalanan yang ia pijak. “Whuaaaaa!” ia memekik kaget saat sebelah kakinya anjlok karena tak sadar itu undakan tangga membuat semua berkas yang dia bawa berhamburan ke bawah tangga dan tubuhnya hampir saja ikut jatuh ke bawah kalau saja tangan kekar seseorang tidak menarik pergelangan tangan Stella dan menariknya hingga kepala Stella mendarat mulus di dada bidang seseorang. Stella yang masih syock dan kaget hanya bisa mengatur nafasnya seraya memeluk erat tubuh ramping nan kekar di depannya. Tubuhnya mendadak panas dingin dan merinding, hampir saja ia terjatuh dari tangga dan entah
Adrian baru saja pulang dari rumah sakit, saat ini ia pulang ke rumah orangtuanya karena semua anak dari Pradhika menginap dan berkumpul di sana. Tadi ia mendapat pesan dari Stella kalau dia sudah di rumah orangtua Adrian. “Baru pulang Rian?” tanya Leonna yang berjalan menuju dapur. “Iya Kak, belum tidur?” tanya Adrian. “Kirana pengen susu, ya sudah sana ke kamar dan beristirahatlah. Kau terlihat lelah sekali,” ucap Leonna yang di angguki Adrian. Adrian berjalan menuju ke kamarnya. Ia melihat Stella tengah asik menonton drama korea sambil menikmati cemilannya. Stella hanya melirik ke arah Adrian sebentar dan kembali menikmati cemilannya dan fokus ke layar persegi di depannya. Adrian yang lelah pun malas menyapa Stella dan langsung menuju ke ka
“Stell,” seruan itu membuat Stella menoleh. “Bagaimana, sudah dapat yang pasword di facebook?” tanya Lenna. “Sudah, namanya Nicho anak Jakarta Selatan. Dia udah kerja katanya seorang manager di salah satu perusahaan makanan.” “Serius? seorang manager?” tanya Lenna yang di angguki Stella. “Wait!” Stella membuka Iphone nya dan membuka akun facebook miliknya. “Nah ini.” Lenna melihat picture dari Nicho. “Ini yah, kok berasa aneh.” “Anehnya?” tanya Stella. “Fotonya kok keliatan ganteng banget, kayak artis.”
“Stell,” seruan itu membuat Stella menoleh. “Bagaimana, sudah dapat yang pasword di facebook?” tanya Lenna. “Sudah, namanya Nicho anak Jakarta Selatan. Dia udah kerja katanya seorang manager di salah satu perusahaan makanan.” “Serius? seorang manager?” tanya Lenna yang di angguki Stella. “Wait!” Stella membuka Iphone nya dan membuka akun facebook miliknya. “Nah ini.” Lenna melihat picture dari Nicho. “Ini yah, kok berasa aneh.” “Anehnya?” tanya Stella. “Fotonya kok keliatan ganteng banget, kayak artis.”
“Pendek,” gumam Adrian meraba-raba kasur di bagian sisinya. Karena tak menemukan apapun, ia membuka matanya dan pandangannya langsung tertuju pada seseorang yang berdiri di hadapannya dengan memegang sesuatu. “Pendek,” gumamnya dengan suara serak khas baru bangun tidur. Ia mengucek matanya dan bangun dari rebahannya. “Ngapain kamu berdiri di sana? Kamu mau bersih-bersih?” tanya Adrian setelah matanya terbuka sempurna dan terlihat Stella sedang memegang peralatan bersih-bersih. “Pagi ini memang harus beres-beres, karena aku meliburkan ART yang suka membersihkan apartement kita.” Stella berucap dengan tenang. “Tetapi kenapa?” tanya Adrian. “Kamu ingin bersih-bersih sendiri?” “No, bukan aku y
Stella sengaja pulang cepat ke apartement sebelum Adrian. Ia hendak mengambil semua pakaian dan beberapa kebutuhannya. Ia masuk ke dalam kamar dirinya bersama Adrian. Memang setelah mereka kembali dari kegiatan Baksos itu, mereka memutuskan untuk menempati satu kamar bersama dan kamar yang dulu di tempati Stella, kini di jadikan ruang kerja. Stella menatap ranjang yang tampak rapi di depannya. Ranjang itu adalah saksi mereka berbagi cinta, saling bercumbu dan menyalurkan hasrat cinta mereka. Banyak kejadian lucu dan indah yang tak bisa Stella lupakan. Air mata itu kembali mengalir tanpa bisa di cegah lagi. Stella memalingkan wajahny dan mengusap air mata di pipinya. Ia berjalan menuju ruangan pakaian dirinya dan Adrian. Ia menatap deretan kemeja Adrian yang tertata rapi dalam lemari. Tak bisa ia pungkiri kalau ia sangat merindukan suaminya itu. Kini mereka seperti dua
“Stella!” seru Lenna dengan kernyitan di dahinya. Stella datang dengan isakan tangis dan badan yang menggigil karena basah kuyup. “Astaga Stell, lu kenapa?” Lenna segera menggiring Stella untuk masuk ke dalam dan mengambil handuk menyelimuti tubuh Stella. “Sebaiknya lu langsung bersih-bersih di kamar mandi, gue akan siapkan baju buat lu.” Stella bergegas masuk ke dalam kamar mandi di kostan Lenna. Lenna menyiapkan baju bersih untuk Stella. Setelah menyerahkannya ke Stella, ia membuatkan teh hangat. 5 menit berlalu, Stella keluar dengan wajah yang pucat dan begitu sembab. “Sini gue udah buatkan teh hangat buat lu,” ucap Lenna. Stella menurut dan duduk di kursi meja makan. Ia menggenggam mug
Semua Dokter bersama suster dan perawat kembali pulang ke Jakarta dan akan mulai bekerja di AMI Hospital. Setelah kembali ke Jakarta, anggota Khoas semakin sibuk bekerja di AMI Hospital tanpa libur seperti para Dokter yang juga bersama mereka. Walau Adrian libur, ia tetap ke rumah sakit untuk menemani Stella, mengantar jemputnya juga. “Hai,” sapa Adrian saat menjemput Stella dari rumah sakit. Stella duduk di kursi penumpang setelah di bukakan pintu mobilnya oleh Adrian. “Astaga lelah sekali rasanya,” keluh Stella menyandarkan kepalanya ke sandaran jok. “Sabar, sebentar lagi kamu akan melewati masa terberat ini,” ucap Adrian mengusap kepala Stella diiringi senyumannya. “Kapan sih UGD di sin
Stella perlahan membuka pintu kamar mandinya dan menjulurkan kepalanya ke arah ranjang. Adrian tampak asyik bermain game di atas ranjang. Ia kembali masuk ke kamar mandi dengan menghela nafasnya dan menatap ke bawahnya yang hanya menggunakan jubah handuk. Ia sungguh tidak mungkin tidur dengan pakaian yang sejak pagi ia gunakan beraktivitas, Stella mendengus dan merasa bodo amat, ia akhirnya keluar dari kamar mandi dan berpura-pura santai walau sebenarnya ia berdebar-debar dan merasa salting. Adrian melirik ke arah Stella yang terus membenarkan jubah handuk yang hanya sebatas paha itu. Ia hanya tersenyum kecil dan kembali fokus bermain game. Stella berjalan mendekati ranjang tetapi karena ia begitu canggung sampai ia tidak melihat kakinya menyandung karpet lantai dan ia tersungkur ke arah tubuh Adrian.&
Stella yang keras kepala memaksakan diri untuk bangun dari blangkar dan menenteng infusannya. Baru saja ia membuka pintu, tatapannya beradu dengan Adrian yang juga berdiri di sana dengan pakaian pasien dan sama-sama menenteng infusan. Keduanya saling bertatapan penuh arti. “Hai,” sapa Adrian “Eh, hai,” jawab Stella tersipu. “Boleh aku masuk,” ucap Adrian yang di angguki Stella. “Hai Lenna,” sapa Adrian saat sudah masuk ke dalam ruangan. “Hai pak Adrian,” jawab Lenna dengan sedikit canggung. Suasana di sana kini begitu hening dan canggung, membuat ketiganya kikuk. “Ah St
“Ngelamun aja, kenapa sih lu?” tanya Lenna berdiri di samping Stella yang sama sama sedang jaga malam di UGD. “Menurut lu gimana sih Dokter Dara itu?” tanya Stella. “Dokter Dara? Dia baik kok, memang kenapa?” tanya Lenna. “Dia juga cantik banget kan?” seru Stella. “Iya, dia memang cantik,” seru Lenna. “Tuh kan jelas banget gak ada apa-apaya di bandingkan gue, dan lagian lu kenapa gak ada gitu bikin hati gue seneng. Komentarnya jangan jujur banget kek,” ucap Stella dengan wajah cemberut. “Maksud lu apa sih?” tanya Lenna yang benar-benartidak paham.&nbs
“Gak tidur?” tanya Datan saat melihat Adrian hanya duduk termangu di atas ranjang dengan bersandar ke kepala ranjang. “Belum mengantuk,” jawab Adrian dengan malas. “Masalah Stella lagi?” tanya Datan yang kini duduk di samping Adrian. “Dia terlihat semakin dekat dengan Ivan, dan itu membuat gue sangat kesal.” Adrian tampak tersulut emosi karena itu. “Kenapa tidak lu coba untuk mengatakan kejujuran perasaan lu padanya, Rian.” “Entahlah, gue hanya takut dia akan menghindar dan malah mejauhi gue. Dan yang paling gue takutkan dia memilih mempercepat perceraian kami karena perasaan ini, sudah jelas dalam perjanjian yang dia buat, dia ingin bebas dari gue.”&nb
Hari ini mereka semua mulai bekerja di klinik, dan sejak pagi juga Stella tak melihat keberadaan Adrian. Stella terus saja di perintah oleh salah seorang perawat untuk mendata obat-obatan yang di suplier ke Klinik di sana. Stella sibuk dengan mencatat setiap obat yang berada di dalam kardus ke etalase kaca yang tersedia di sana. Tak jauh darinya terdapat seorang apoteker yang juga sibuk membaca daftar obat yang akan di butuhkan di sana. Tak lama masuklah Datan dan menyerahkan sebuah berkas ke apoteker perempuan itu dan ia tersenyum jahil saat melihat keberadaan Stella. Ia berjalan mendekati Stella yang sibuk menata obat obatan ke dalam etalase. “Kau di sini ternyata,” seru Datan membuat Stella menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Datan. “Do