Amalfi Coast, Italia
Adrian dan Stella baru saja menginjakkan kaki mereka di salah satu Villa Treville. Villa yang berada tak jauh dari pesisir pantai, dan berada tepat di atas tebing pantai. Villa dengan 2 tingkat itu memiliki bangunan khas Italia dengan warna putih yang mendominasi.
Adrian dan Stella mendapatkan hadiah honeymoon spesial dari keluarga mereka, bahkan bukan hanya hotel yang di pesankan untuk mereka berdua melainkan sebuah Villa besar tetapi hanya memiliki satu kamar. Entah sudah di rencanakan sebelumnya atau memang villa ini khusus di rancang untuk pasangan pengantin baru.
Seorang pelayan dengan setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu sudah bersiaga menyambut mereka dan membawakan barang-baran
Adrian dan Stella sudah kembali ke aktivitas sehari-hari mereka. Kini mereka berdua telah tinggal di apartement milik Adrian yang cukup besar. Mereka juga sudah memutuskan untuk pisah kamar dan melakukan perjanjian yang sudah mereka sepakati bersama. Pagi itu Stella bersenandung kecil sambil megeringkan rambutnya dengan hairdyer. Tubuhnya masih terbalut dengan handuk, bahkan dia bernyanyi sambil menggoyangkan tubuhnya ke sana kemari menikmati alunan musik yang berputar dari media player. “Ck, kau sungguh gadis yang sangat berisik! Matikan musiknya,” tegur Adrian tetapi Stella tak mendengarnya dan tetap bernyanyi dan menari tanpa sadar kalau Adrian sudah memasuki kamarnya. “Eh?” Stella meno
Stella berjalan dengan kesulitan dan menggerutu karena Dokter Fanni, salah satu Dokter spesialis di AMI Hospital yang menurutnya sangat menyebalkan memintanya membawakan beberapa berkas medis ke dalam ruangannya. Selama perjalanan ia terus saja menggerutu sampai tak melihat jalanan yang ia pijak. “Whuaaaaa!” ia memekik kaget saat sebelah kakinya anjlok karena tak sadar itu undakan tangga membuat semua berkas yang dia bawa berhamburan ke bawah tangga dan tubuhnya hampir saja ikut jatuh ke bawah kalau saja tangan kekar seseorang tidak menarik pergelangan tangan Stella dan menariknya hingga kepala Stella mendarat mulus di dada bidang seseorang. Stella yang masih syock dan kaget hanya bisa mengatur nafasnya seraya memeluk erat tubuh ramping nan kekar di depannya. Tubuhnya mendadak panas dingin dan merinding, hampir saja ia terjatuh dari tangga dan entah
Adrian baru saja pulang dari rumah sakit, saat ini ia pulang ke rumah orangtuanya karena semua anak dari Pradhika menginap dan berkumpul di sana. Tadi ia mendapat pesan dari Stella kalau dia sudah di rumah orangtua Adrian. “Baru pulang Rian?” tanya Leonna yang berjalan menuju dapur. “Iya Kak, belum tidur?” tanya Adrian. “Kirana pengen susu, ya sudah sana ke kamar dan beristirahatlah. Kau terlihat lelah sekali,” ucap Leonna yang di angguki Adrian. Adrian berjalan menuju ke kamarnya. Ia melihat Stella tengah asik menonton drama korea sambil menikmati cemilannya. Stella hanya melirik ke arah Adrian sebentar dan kembali menikmati cemilannya dan fokus ke layar persegi di depannya. Adrian yang lelah pun malas menyapa Stella dan langsung menuju ke ka
“Stell,” seruan itu membuat Stella menoleh. “Bagaimana, sudah dapat yang pasword di facebook?” tanya Lenna. “Sudah, namanya Nicho anak Jakarta Selatan. Dia udah kerja katanya seorang manager di salah satu perusahaan makanan.” “Serius? seorang manager?” tanya Lenna yang di angguki Stella. “Wait!” Stella membuka Iphone nya dan membuka akun facebook miliknya. “Nah ini.” Lenna melihat picture dari Nicho. “Ini yah, kok berasa aneh.” “Anehnya?” tanya Stella. “Fotonya kok keliatan ganteng banget, kayak artis.”
“Stell,” seruan itu membuat Stella menoleh. “Bagaimana, sudah dapat yang pasword di facebook?” tanya Lenna. “Sudah, namanya Nicho anak Jakarta Selatan. Dia udah kerja katanya seorang manager di salah satu perusahaan makanan.” “Serius? seorang manager?” tanya Lenna yang di angguki Stella. “Wait!” Stella membuka Iphone nya dan membuka akun facebook miliknya. “Nah ini.” Lenna melihat picture dari Nicho. “Ini yah, kok berasa aneh.” “Anehnya?” tanya Stella. “Fotonya kok keliatan ganteng banget, kayak artis.”
“Stella, kerjakan laporannya sekarang. Akan aku bantu,” ucap Adrian masuk ke dalam kamar Stella. Stella yang awalnya tengah bermain handphone segera menyembunyikan handphone nya.“Nanti saja,” ucap Stella. “Ayo Pendek, tidak akan ada dosen yang mau membantu kamu seperti aku. Apalagi mengingatkan kamu untuk mengerjakan laporannya, cepat akan aku bantu.” Stella menghela nafasnya dan beranjak mengambil laptopnya, ia berjalan mengikuti Adrian ke ruang tengah. Stella duduk lesehan di lantai dengan alas karpet bulu tepat di depan laptop sambil mengetik sesuatu, dan Adrian duduk di sampingnya seraya memberi arahan dengan sebuah laporan di tangannya yang terbuka. Stella merasa lelah sekali karena semuanya harus di ketik ulang dan Adrian sangatlah detail. Dia ingin segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil bermain game di handphone nya, game yang baru tadi siang d
“Huacim!” Stella terus bersin sejak tadi, padahal ia sudah berganti pakaian, mandi air hangat. Kini Stella tengah rebahan di atas ranjang dengan selimut tebal membelit tubuhnya yang menggigil. Inikah karma karena kemarin dia membohongi dan mengerjai dosennya? pikir Stella. “Pendek,” panggil Adrian yang masuk ke dalam kamar Stella dan menyimpan nampan berisi segelas air dan kotak obat. Ia duduk di sisi ranjang dan memegang kening Stella. “Makin demam,” ucap Adrian. “Minum dulu obatnya.” “Hmmm,” gumam Stella merasa tak mampu membuka matanya yang terasa panas dan perih. Adrian mengangkat kepala Stella membuat Stella membuka matanya sedikit, Adrian menyuapkan obat ke mulut Stella dan memberiny
Nicho Kamu dimana?Me Sudah di tempat makan, kamu dimana dan pakai baju apa? Stella tengah mengintip di luar restaurant Jepang di salah satu mall. Ia sengaja belum masuk ke dalam dan ingin tau dulu bagaimana wajah teman kencannya itu hari ini. Saat mendengar suara pesan masuk, ia segera membukanya.Nicho Aku baru saja masuk, aku yang pakai hoddie warna biru. Mata awas Stella berpencar menyusuri seluruh penjuru restaurant untuk mengetahui dimana pria bernama Nicho itu berada. “Stella.” Panggilan itu mengagetkan Stella dari keterfokusannya. Ia langsung berbalik dengan sedikit meloncat dan mengusap dadanya sendiri karena kaget. “Pak Dosen TMII!” pekiknya.
“Pendek,” gumam Adrian meraba-raba kasur di bagian sisinya. Karena tak menemukan apapun, ia membuka matanya dan pandangannya langsung tertuju pada seseorang yang berdiri di hadapannya dengan memegang sesuatu. “Pendek,” gumamnya dengan suara serak khas baru bangun tidur. Ia mengucek matanya dan bangun dari rebahannya. “Ngapain kamu berdiri di sana? Kamu mau bersih-bersih?” tanya Adrian setelah matanya terbuka sempurna dan terlihat Stella sedang memegang peralatan bersih-bersih. “Pagi ini memang harus beres-beres, karena aku meliburkan ART yang suka membersihkan apartement kita.” Stella berucap dengan tenang. “Tetapi kenapa?” tanya Adrian. “Kamu ingin bersih-bersih sendiri?” “No, bukan aku y
Stella sengaja pulang cepat ke apartement sebelum Adrian. Ia hendak mengambil semua pakaian dan beberapa kebutuhannya. Ia masuk ke dalam kamar dirinya bersama Adrian. Memang setelah mereka kembali dari kegiatan Baksos itu, mereka memutuskan untuk menempati satu kamar bersama dan kamar yang dulu di tempati Stella, kini di jadikan ruang kerja. Stella menatap ranjang yang tampak rapi di depannya. Ranjang itu adalah saksi mereka berbagi cinta, saling bercumbu dan menyalurkan hasrat cinta mereka. Banyak kejadian lucu dan indah yang tak bisa Stella lupakan. Air mata itu kembali mengalir tanpa bisa di cegah lagi. Stella memalingkan wajahny dan mengusap air mata di pipinya. Ia berjalan menuju ruangan pakaian dirinya dan Adrian. Ia menatap deretan kemeja Adrian yang tertata rapi dalam lemari. Tak bisa ia pungkiri kalau ia sangat merindukan suaminya itu. Kini mereka seperti dua
“Stella!” seru Lenna dengan kernyitan di dahinya. Stella datang dengan isakan tangis dan badan yang menggigil karena basah kuyup. “Astaga Stell, lu kenapa?” Lenna segera menggiring Stella untuk masuk ke dalam dan mengambil handuk menyelimuti tubuh Stella. “Sebaiknya lu langsung bersih-bersih di kamar mandi, gue akan siapkan baju buat lu.” Stella bergegas masuk ke dalam kamar mandi di kostan Lenna. Lenna menyiapkan baju bersih untuk Stella. Setelah menyerahkannya ke Stella, ia membuatkan teh hangat. 5 menit berlalu, Stella keluar dengan wajah yang pucat dan begitu sembab. “Sini gue udah buatkan teh hangat buat lu,” ucap Lenna. Stella menurut dan duduk di kursi meja makan. Ia menggenggam mug
Semua Dokter bersama suster dan perawat kembali pulang ke Jakarta dan akan mulai bekerja di AMI Hospital. Setelah kembali ke Jakarta, anggota Khoas semakin sibuk bekerja di AMI Hospital tanpa libur seperti para Dokter yang juga bersama mereka. Walau Adrian libur, ia tetap ke rumah sakit untuk menemani Stella, mengantar jemputnya juga. “Hai,” sapa Adrian saat menjemput Stella dari rumah sakit. Stella duduk di kursi penumpang setelah di bukakan pintu mobilnya oleh Adrian. “Astaga lelah sekali rasanya,” keluh Stella menyandarkan kepalanya ke sandaran jok. “Sabar, sebentar lagi kamu akan melewati masa terberat ini,” ucap Adrian mengusap kepala Stella diiringi senyumannya. “Kapan sih UGD di sin
Stella perlahan membuka pintu kamar mandinya dan menjulurkan kepalanya ke arah ranjang. Adrian tampak asyik bermain game di atas ranjang. Ia kembali masuk ke kamar mandi dengan menghela nafasnya dan menatap ke bawahnya yang hanya menggunakan jubah handuk. Ia sungguh tidak mungkin tidur dengan pakaian yang sejak pagi ia gunakan beraktivitas, Stella mendengus dan merasa bodo amat, ia akhirnya keluar dari kamar mandi dan berpura-pura santai walau sebenarnya ia berdebar-debar dan merasa salting. Adrian melirik ke arah Stella yang terus membenarkan jubah handuk yang hanya sebatas paha itu. Ia hanya tersenyum kecil dan kembali fokus bermain game. Stella berjalan mendekati ranjang tetapi karena ia begitu canggung sampai ia tidak melihat kakinya menyandung karpet lantai dan ia tersungkur ke arah tubuh Adrian.&
Stella yang keras kepala memaksakan diri untuk bangun dari blangkar dan menenteng infusannya. Baru saja ia membuka pintu, tatapannya beradu dengan Adrian yang juga berdiri di sana dengan pakaian pasien dan sama-sama menenteng infusan. Keduanya saling bertatapan penuh arti. “Hai,” sapa Adrian “Eh, hai,” jawab Stella tersipu. “Boleh aku masuk,” ucap Adrian yang di angguki Stella. “Hai Lenna,” sapa Adrian saat sudah masuk ke dalam ruangan. “Hai pak Adrian,” jawab Lenna dengan sedikit canggung. Suasana di sana kini begitu hening dan canggung, membuat ketiganya kikuk. “Ah St
“Ngelamun aja, kenapa sih lu?” tanya Lenna berdiri di samping Stella yang sama sama sedang jaga malam di UGD. “Menurut lu gimana sih Dokter Dara itu?” tanya Stella. “Dokter Dara? Dia baik kok, memang kenapa?” tanya Lenna. “Dia juga cantik banget kan?” seru Stella. “Iya, dia memang cantik,” seru Lenna. “Tuh kan jelas banget gak ada apa-apaya di bandingkan gue, dan lagian lu kenapa gak ada gitu bikin hati gue seneng. Komentarnya jangan jujur banget kek,” ucap Stella dengan wajah cemberut. “Maksud lu apa sih?” tanya Lenna yang benar-benartidak paham.&nbs
“Gak tidur?” tanya Datan saat melihat Adrian hanya duduk termangu di atas ranjang dengan bersandar ke kepala ranjang. “Belum mengantuk,” jawab Adrian dengan malas. “Masalah Stella lagi?” tanya Datan yang kini duduk di samping Adrian. “Dia terlihat semakin dekat dengan Ivan, dan itu membuat gue sangat kesal.” Adrian tampak tersulut emosi karena itu. “Kenapa tidak lu coba untuk mengatakan kejujuran perasaan lu padanya, Rian.” “Entahlah, gue hanya takut dia akan menghindar dan malah mejauhi gue. Dan yang paling gue takutkan dia memilih mempercepat perceraian kami karena perasaan ini, sudah jelas dalam perjanjian yang dia buat, dia ingin bebas dari gue.”&nb
Hari ini mereka semua mulai bekerja di klinik, dan sejak pagi juga Stella tak melihat keberadaan Adrian. Stella terus saja di perintah oleh salah seorang perawat untuk mendata obat-obatan yang di suplier ke Klinik di sana. Stella sibuk dengan mencatat setiap obat yang berada di dalam kardus ke etalase kaca yang tersedia di sana. Tak jauh darinya terdapat seorang apoteker yang juga sibuk membaca daftar obat yang akan di butuhkan di sana. Tak lama masuklah Datan dan menyerahkan sebuah berkas ke apoteker perempuan itu dan ia tersenyum jahil saat melihat keberadaan Stella. Ia berjalan mendekati Stella yang sibuk menata obat obatan ke dalam etalase. “Kau di sini ternyata,” seru Datan membuat Stella menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Datan. “Do