Aku mengangguk menyetujui ajakan mereka dan mengikuti mobil mereka dari belakang hingga kami semua sampai di sebuah club malam yang ada di Jakarta. Mereka langsung memesan private room untuk kami semua.
Di dalam ruangan, beberapa minuman berjejer dan mereka meneguknya perlahan tanpa ingin mabuk dan sibuk berbincang dengan begitu khidmat. Intinya mereka mengeluh tentang istri mereka semua dan juga anak. Aku sampai ngeri mendengarnya, apa pernikahan semengerikan itu saat terkena masalah? Apalagi putra kak Datan yang sangat sangat ajaib itu.
Aku memilih pergi ke toilet meninggalkan mereka semua, hingga langkahku terhenti di dekat meja bartender. Pandanganku menangkap seseorang yang aku kenali. Dia Stella, sedang apa dia di tempat seperti ini. Aku berjalan mendekatinya.
"Stella!"
Dia menoleh dan seketika tubuhnya ambruk dan hampir jatuh dari tempatnya duduk membuatku dengan sigap menahan tubuhnya. "Ya Tuhan gadis ini," gumamku.
"Hai Pak Dosen TMII," gumamnya dengan kekehan kecil. Sepertinya dia mabuk. Aku celingak celinguk mencari temannya atau siapapun yang datang bersamanya tetapi tak ada seorangpun. Tiba-tiba saja Stella mendorong tubuhku dan dia berteriak bernyanyi lagu yang tak aku pahami. Lalu dia naik ke atas meja bartender dengan tetap bernyanyi dan menari bahkan sampai berteriak-teriak membuat beberapa orang menatap ke arahnya dan tertawa terbahak-bahak. Entah ide darimana, aku merekam aktivitasnya itu yang menari dan bernyanyi bagaikan Ariana grande dan berjalan ke sana kemari membuat semua orang bersorak-sorak bahkan ada yang melemparkan uang kepadanya. Musik di club juga mendadak di matikan dan semua terfokus pada sosok gadis cantik yang meliuk-liukan badannya di atas meja bartender. Astaga gadis ini, aku tak mampu menahan tawaku.
Setelah di rasa cukup, aku menarik tangannya membuat beberapa orang menggerutu dan aku tidak perduli itu. Aku menarik tubuhnya walau dia memakiku dengan bebagai hal.
"Lepaskan aku Dosen TMII, dosen tengil, idiot, menyebalkan, sok kecakepan, nyebelin. Lepasin aku!" teriaknya memberontak membuatku memangku tubuhnya ke atas pundakku seperti karung beras dan membawanya pergi dari club itu tak perduli beberapa orang melihat ke arah kami dan teriakan gadis ini.
Aku membawanya ke dalam mobilku dan sedikit bingung karena tidak tau harus mengantarnya kemana. Aku tidak tau alamatnya. Dan tidak mungkin aku membawanya ke rumahku. Bisa di amuk Mama kalau tau aku membawa gadis dalam keadaan mabuk. Apalagi gadis ini adalah putri teman mereka yang kemarin bertemu.
Karena gadis ini terus memukuli, menendang dan memakiku akhirnya aku membawanya ke sebuah hotel tak jauh dari sini, yang penting gadis ini diam. Aku terpaksa memesan hotel biasa karena tak ingin jadi sorotan. Pastilah mereka mengenalku, karena orangtuaku dan juga Papa brotherhood yang sudah terkenal di Indonesia.
Setelah melakukan cek in aku masuk ke dalam kamar dan merebahkan tubuh Stella yang masih memukuliku. Ah, punggungku terasa sakit sekali rasanya sejak tadi di gigit dan di pukuli. Gadis ini sungguh bar bar.
Stella kembali mengamuk dengan memukuliku dan aku langsung menindihnya dengan menahan kedua tangan dan kedua kakinya. Aku membiarkan dia kelelahan dan berhenti memakiku hingga akhirnya dia terlelap dengan nafas teratur. Akhirnya aku bisa bernafas dengan lega. Aku melepaskan peganganku dan menyelimuti tubuhnya dan seketika ide jahil kembali terlintas di otakku. Aku memposisikan handphoneku di atas mini bar yang cukup tinggi dan aku merebahkan tubuhku di sana dengan menutup seluruh tubuh kami dengan selimut dan mengambil foto dengan beberapa adegan.
Aku menyeringai menatap wajah Stella yang terlelap dengan rambut berantakannya. "Setelah ini ku pastikan kau tidak bisa berbuat apapun lagi, Stella Anindita."
Aku merasa puas dan senang sekali sudah memiliki kendali pada cewek bar bar ini yang berani menghinaku. Aku akan pastikan dia bertekuk lutut di depanku. Di hadapan Adrian Gaozan Adinata.
***
"Sial!" aku mengumpat kesal saat tubuhku di tendang seseorang hingga jatuh terjerambab ke lantai. Aku mengacak rambutku asal dan berdiri. Di atas ranjang Stella tengah menatapku dengan tatapan horor dan mencengkram selimut hingga menutupi dadanya, padahal jelas-jelas dia masih berpakaian lengkah. Oh come on, aku bukan pria brengsek!
"A-apa yang anda lakukan di kamarku?" tanyanya melotot tajam.
"Kamarmu?" tanyaku berusaha menampilkan wajah tenang, padahal aku sungguh tidak tahan melihat wajahnya yang sangat menggemaskan itu. Apalagi rambutnya yang berantakan dan wajahnya yang uchhh imut sekali.
Dia tampak menoleh ke kanan dan kiri, sepertinya dia mulai memahami dimana kami saat ini.
"Kau membawaku ke Hotel?" pekiknya nyaring membuat gendang telingaku hampir pecah. Astaga ada apa di dalam tenggorokannya. Apa ada terompet yang tersangkut di tenggorokannya.
"Kau tidak ingat sama sekali?" tanyaku berusaha sesantai mungkin. "Kau yang memaksaku ke Hotel dan memintaku menemanimu."
"What The Hell?"
"Ck, apa wanita selalu seperti ini? Berpura-pura mabuk dan saat pagi hari melupakan semuanya dan menuduh sang pria menjadi tersangkanya? Ck, sungguh skenario yang menarik," ucapku berjalan menuju ke kamar mandi.
"Aku tau itu tidak mungkin! Kau yang pasti memaksaku! Dasar pria mesum!" pekiknya.
Aku mendengar beberapa barang menghentakkan pintu kamar mandi saat aku sudah masuk. Sepertinya dia mengamuk dan melemparkan semua barang ke arah pintu.
Aku mencium kemeja yang ku gunakan, sungguh bau alkohol karena gadis itu, aku harus segera membersihkan diri dan meminta Malik mengantarkan pakaianku ke sini.
15 menit aku sudah selesai menyelesaikan ritual mandiku, aku hanya melilitkan handuk di pinggangku dan membiarkan tubuh bagian atasku tereskpos. Aku menatap cermin wastafel dan mengusap rambutku yang basah. Aku merasa ada yang aneh karena di luar begitu hening dan tenang. Apa wanita itu sudah kehabisan suaranya? Karena 10 menit yang lalu aku masih mampu mendengar makiannya.
Aku berjalan menuju ke arah pintu dan membuka pintu kamar mandi. Kamarnya kosong, kemana dia?
Aku tersentak saat ada seseorang yang hendak memukulku dari arah kananku, karena gerakan itu reflek aku menahan tangannya hingga benda yang dia pegang jatuh ke lantai. "Pass Bunga?" gumamku dan memojokkan dia ke dinding hingga dia tak bisa berkutik lagi.
Dia hendak menendangku tetapi aku sudah tau gerak geriknya, hingga dengan mudahnya aku memenjarakan pergerakannya hingga tubuh kami menempel seperti lem.
"Lepaskan aku!" sengitnya.
"Ck, kau sungguh gadis bar bar. Apa kau berniat membunuhku? Setelah memaksa dan merayu Dosenmu semalam, sekarang kau ingin membunuhku untuk menghilangkan jejak? Ck, sungguh kriminal," goda ku berpura-pura menuduhnya membuat wajahnya memerah. Entah karena merona atau menahan amarah yang jelas wajahnya seperti kepiting rebus. Ah, sepertinya ini jauh dari ekspresi merona. Andai ini dalam sebuah film kartun atau animasi, mungkin saat ini kedua telinga dan kepalanya mengeluarkan asap. Sungguh membahagiakan mengerjai gadis ini.
"Lepaskan aku! Aku tau kamu membohongiku? Mana mungkin aku merayumu!" sengitnya.
"Ck, baiklah akan aku berikan buktinya," ucapku melepaskan peganganku padanya.
"Ini-?"
***
Adrian tersenyum puas melihat ekspresi Stella yang melotot. “Ini tidak mungkin!” “Kau masih mau mengelak padahal jelas-jelas di foto itu kau yang memelukku,” ucap Adrian dengan santainya meneguk minuman yang ada di atas meja bar. “Itu gak mungkin,” tolak Stella menatap tajam Adrian yang melipat kedua tangannya di dada. “Ja-jadi apa semalam kita-“ “Ya,” ucap Adrian dan itu membuat Stella memekik kaget seraya menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap Adrian dengan horor. Sungguh saat ini Adrian ingin tertawa melihat wajah Stella yang terlihat bodoh. “Tidak tidak,” kekeh Adrian tak kuasa melihat wajah Stella. “Kita hanya tidur, aku tidak tertarik dengan tubuh krempengmu itu,” ucap Adrian masih dengan kekehannya dan seketika wajah Stella be
“Hallo Kirana,” “Uncle Rian!” teriak Kirana, gadis kecil berusia 5 tahun itu berlari menerjang tubuh Adrian yang baru saja datang. “Om bawa banyak boneka untukmu, Sayang.” Adrian memangku tubuh Kirana dan menyerahkan boneka ke Kirana. “Sebagian di bawa Bibi dari dalam mobil Om.” “Selalu saja memanjakannya, boneka di kamarnya sudah sangat banyak, bikin sumpek dan gak bisa gerak,” gerutu Leonna. “Mommy iri yah sama Kiran, karena Kiran dapat boneka banyak. Sedangkan Mommy nggak dapat,” ucap Kirana seraya meleletkan lidahnya ke arah Leonna membuat Leonna mendengus. “Aku dengar kau menerima perjodohan dengan anak teman Papa,” ucap Leonna menyuguhkan orange jus di atas meja untuk Adrian ya
Stella melempar semua boneka di dalam kamarnya karena kesal, tega sekali orangtuanya tetap menjalankan perjodohan ini dan sialnya ia tak mengetahui apapun. Pantas sejak pulang koas tadi sore, Ibu nya meminta dia diam di dalam kamar dan menyerahkan sebuah dress cantik berwarna pastel. Ini alasannya, karena keluarga dari Mr. Adrian akan datang dan sekarang sudah berada di bawah tengah berbincang-bincang. “Sial!” gerutu Stella terus mondar mandir di dalam kamarnya dengan mengepalkan kedua tangannya erat. Bahkan dosen itu tak menolak perjodohan ini. Stella yakin Adrian merencanakan sesuatu hingga dia mau menerima perjodohan ini dengan mudah. “Aku harus kabur dari sini,” gumam Stella langsung mencari sesuatu untuk meloncat dari jendela kamarnya dan turun ke bawah dimana kamarnya berada di lantai 2. “Kalau aku kabur dan membuat Mama khawatir, mereka pasti akan menuruti
“Sah!” Ucapan itu menggelegar hingga sampai ke kamar dimana Stella masih duduk gelisah dengan balutan kebaya pengantin putihnya. Mereka menikah di kediaman Stella, dan rencananya nanti malam akan mengadakan acara resepsi di salah satu hotel bintang 6 milik keluarga Mahya. “Selamat yah Stell, akhirnya lu gak single lagi,” seru Lenna begitu heboh memeluk Stella dari samping. “Harus yah mengucapkan kata itu?” cibir Stella dengan raut wajah kesal. “Eh pengantin gak boleh cemberut dan kesel, ingat lho nanti malam kalian akan aha ihi di kamar hotel,” bisik Lenna dengan nada menggoda. “Shut upLenong! Gue kagak mau ngelaku
Amalfi Coast, ItaliaAdrian dan Stella baru saja menginjakkan kaki mereka di salah satu Villa Treville. Villa yang berada tak jauh dari pesisir pantai, dan berada tepat di atas tebing pantai. Villa dengan 2 tingkat itu memiliki bangunan khas Italia dengan warna putih yang mendominasi. Adrian dan Stella mendapatkan hadiah honeymoon spesial dari keluarga mereka, bahkan bukan hanya hotel yang di pesankan untuk mereka berdua melainkan sebuah Villa besar tetapi hanya memiliki satu kamar. Entah sudah di rencanakan sebelumnya atau memang villa ini khusus di rancang untuk pasangan pengantin baru. Seorang pelayan dengan setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu sudah bersiaga menyambut mereka dan membawakan barang-baran
Adrian dan Stella sudah kembali ke aktivitas sehari-hari mereka. Kini mereka berdua telah tinggal di apartement milik Adrian yang cukup besar. Mereka juga sudah memutuskan untuk pisah kamar dan melakukan perjanjian yang sudah mereka sepakati bersama. Pagi itu Stella bersenandung kecil sambil megeringkan rambutnya dengan hairdyer. Tubuhnya masih terbalut dengan handuk, bahkan dia bernyanyi sambil menggoyangkan tubuhnya ke sana kemari menikmati alunan musik yang berputar dari media player. “Ck, kau sungguh gadis yang sangat berisik! Matikan musiknya,” tegur Adrian tetapi Stella tak mendengarnya dan tetap bernyanyi dan menari tanpa sadar kalau Adrian sudah memasuki kamarnya. “Eh?” Stella meno
Stella berjalan dengan kesulitan dan menggerutu karena Dokter Fanni, salah satu Dokter spesialis di AMI Hospital yang menurutnya sangat menyebalkan memintanya membawakan beberapa berkas medis ke dalam ruangannya. Selama perjalanan ia terus saja menggerutu sampai tak melihat jalanan yang ia pijak. “Whuaaaaa!” ia memekik kaget saat sebelah kakinya anjlok karena tak sadar itu undakan tangga membuat semua berkas yang dia bawa berhamburan ke bawah tangga dan tubuhnya hampir saja ikut jatuh ke bawah kalau saja tangan kekar seseorang tidak menarik pergelangan tangan Stella dan menariknya hingga kepala Stella mendarat mulus di dada bidang seseorang. Stella yang masih syock dan kaget hanya bisa mengatur nafasnya seraya memeluk erat tubuh ramping nan kekar di depannya. Tubuhnya mendadak panas dingin dan merinding, hampir saja ia terjatuh dari tangga dan entah
Adrian baru saja pulang dari rumah sakit, saat ini ia pulang ke rumah orangtuanya karena semua anak dari Pradhika menginap dan berkumpul di sana. Tadi ia mendapat pesan dari Stella kalau dia sudah di rumah orangtua Adrian. “Baru pulang Rian?” tanya Leonna yang berjalan menuju dapur. “Iya Kak, belum tidur?” tanya Adrian. “Kirana pengen susu, ya sudah sana ke kamar dan beristirahatlah. Kau terlihat lelah sekali,” ucap Leonna yang di angguki Adrian. Adrian berjalan menuju ke kamarnya. Ia melihat Stella tengah asik menonton drama korea sambil menikmati cemilannya. Stella hanya melirik ke arah Adrian sebentar dan kembali menikmati cemilannya dan fokus ke layar persegi di depannya. Adrian yang lelah pun malas menyapa Stella dan langsung menuju ke ka
“Pendek,” gumam Adrian meraba-raba kasur di bagian sisinya. Karena tak menemukan apapun, ia membuka matanya dan pandangannya langsung tertuju pada seseorang yang berdiri di hadapannya dengan memegang sesuatu. “Pendek,” gumamnya dengan suara serak khas baru bangun tidur. Ia mengucek matanya dan bangun dari rebahannya. “Ngapain kamu berdiri di sana? Kamu mau bersih-bersih?” tanya Adrian setelah matanya terbuka sempurna dan terlihat Stella sedang memegang peralatan bersih-bersih. “Pagi ini memang harus beres-beres, karena aku meliburkan ART yang suka membersihkan apartement kita.” Stella berucap dengan tenang. “Tetapi kenapa?” tanya Adrian. “Kamu ingin bersih-bersih sendiri?” “No, bukan aku y
Stella sengaja pulang cepat ke apartement sebelum Adrian. Ia hendak mengambil semua pakaian dan beberapa kebutuhannya. Ia masuk ke dalam kamar dirinya bersama Adrian. Memang setelah mereka kembali dari kegiatan Baksos itu, mereka memutuskan untuk menempati satu kamar bersama dan kamar yang dulu di tempati Stella, kini di jadikan ruang kerja. Stella menatap ranjang yang tampak rapi di depannya. Ranjang itu adalah saksi mereka berbagi cinta, saling bercumbu dan menyalurkan hasrat cinta mereka. Banyak kejadian lucu dan indah yang tak bisa Stella lupakan. Air mata itu kembali mengalir tanpa bisa di cegah lagi. Stella memalingkan wajahny dan mengusap air mata di pipinya. Ia berjalan menuju ruangan pakaian dirinya dan Adrian. Ia menatap deretan kemeja Adrian yang tertata rapi dalam lemari. Tak bisa ia pungkiri kalau ia sangat merindukan suaminya itu. Kini mereka seperti dua
“Stella!” seru Lenna dengan kernyitan di dahinya. Stella datang dengan isakan tangis dan badan yang menggigil karena basah kuyup. “Astaga Stell, lu kenapa?” Lenna segera menggiring Stella untuk masuk ke dalam dan mengambil handuk menyelimuti tubuh Stella. “Sebaiknya lu langsung bersih-bersih di kamar mandi, gue akan siapkan baju buat lu.” Stella bergegas masuk ke dalam kamar mandi di kostan Lenna. Lenna menyiapkan baju bersih untuk Stella. Setelah menyerahkannya ke Stella, ia membuatkan teh hangat. 5 menit berlalu, Stella keluar dengan wajah yang pucat dan begitu sembab. “Sini gue udah buatkan teh hangat buat lu,” ucap Lenna. Stella menurut dan duduk di kursi meja makan. Ia menggenggam mug
Semua Dokter bersama suster dan perawat kembali pulang ke Jakarta dan akan mulai bekerja di AMI Hospital. Setelah kembali ke Jakarta, anggota Khoas semakin sibuk bekerja di AMI Hospital tanpa libur seperti para Dokter yang juga bersama mereka. Walau Adrian libur, ia tetap ke rumah sakit untuk menemani Stella, mengantar jemputnya juga. “Hai,” sapa Adrian saat menjemput Stella dari rumah sakit. Stella duduk di kursi penumpang setelah di bukakan pintu mobilnya oleh Adrian. “Astaga lelah sekali rasanya,” keluh Stella menyandarkan kepalanya ke sandaran jok. “Sabar, sebentar lagi kamu akan melewati masa terberat ini,” ucap Adrian mengusap kepala Stella diiringi senyumannya. “Kapan sih UGD di sin
Stella perlahan membuka pintu kamar mandinya dan menjulurkan kepalanya ke arah ranjang. Adrian tampak asyik bermain game di atas ranjang. Ia kembali masuk ke kamar mandi dengan menghela nafasnya dan menatap ke bawahnya yang hanya menggunakan jubah handuk. Ia sungguh tidak mungkin tidur dengan pakaian yang sejak pagi ia gunakan beraktivitas, Stella mendengus dan merasa bodo amat, ia akhirnya keluar dari kamar mandi dan berpura-pura santai walau sebenarnya ia berdebar-debar dan merasa salting. Adrian melirik ke arah Stella yang terus membenarkan jubah handuk yang hanya sebatas paha itu. Ia hanya tersenyum kecil dan kembali fokus bermain game. Stella berjalan mendekati ranjang tetapi karena ia begitu canggung sampai ia tidak melihat kakinya menyandung karpet lantai dan ia tersungkur ke arah tubuh Adrian.&
Stella yang keras kepala memaksakan diri untuk bangun dari blangkar dan menenteng infusannya. Baru saja ia membuka pintu, tatapannya beradu dengan Adrian yang juga berdiri di sana dengan pakaian pasien dan sama-sama menenteng infusan. Keduanya saling bertatapan penuh arti. “Hai,” sapa Adrian “Eh, hai,” jawab Stella tersipu. “Boleh aku masuk,” ucap Adrian yang di angguki Stella. “Hai Lenna,” sapa Adrian saat sudah masuk ke dalam ruangan. “Hai pak Adrian,” jawab Lenna dengan sedikit canggung. Suasana di sana kini begitu hening dan canggung, membuat ketiganya kikuk. “Ah St
“Ngelamun aja, kenapa sih lu?” tanya Lenna berdiri di samping Stella yang sama sama sedang jaga malam di UGD. “Menurut lu gimana sih Dokter Dara itu?” tanya Stella. “Dokter Dara? Dia baik kok, memang kenapa?” tanya Lenna. “Dia juga cantik banget kan?” seru Stella. “Iya, dia memang cantik,” seru Lenna. “Tuh kan jelas banget gak ada apa-apaya di bandingkan gue, dan lagian lu kenapa gak ada gitu bikin hati gue seneng. Komentarnya jangan jujur banget kek,” ucap Stella dengan wajah cemberut. “Maksud lu apa sih?” tanya Lenna yang benar-benartidak paham.&nbs
“Gak tidur?” tanya Datan saat melihat Adrian hanya duduk termangu di atas ranjang dengan bersandar ke kepala ranjang. “Belum mengantuk,” jawab Adrian dengan malas. “Masalah Stella lagi?” tanya Datan yang kini duduk di samping Adrian. “Dia terlihat semakin dekat dengan Ivan, dan itu membuat gue sangat kesal.” Adrian tampak tersulut emosi karena itu. “Kenapa tidak lu coba untuk mengatakan kejujuran perasaan lu padanya, Rian.” “Entahlah, gue hanya takut dia akan menghindar dan malah mejauhi gue. Dan yang paling gue takutkan dia memilih mempercepat perceraian kami karena perasaan ini, sudah jelas dalam perjanjian yang dia buat, dia ingin bebas dari gue.”&nb
Hari ini mereka semua mulai bekerja di klinik, dan sejak pagi juga Stella tak melihat keberadaan Adrian. Stella terus saja di perintah oleh salah seorang perawat untuk mendata obat-obatan yang di suplier ke Klinik di sana. Stella sibuk dengan mencatat setiap obat yang berada di dalam kardus ke etalase kaca yang tersedia di sana. Tak jauh darinya terdapat seorang apoteker yang juga sibuk membaca daftar obat yang akan di butuhkan di sana. Tak lama masuklah Datan dan menyerahkan sebuah berkas ke apoteker perempuan itu dan ia tersenyum jahil saat melihat keberadaan Stella. Ia berjalan mendekati Stella yang sibuk menata obat obatan ke dalam etalase. “Kau di sini ternyata,” seru Datan membuat Stella menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Datan. “Do