Beranda / Rumah Tangga / Mari Berpisah, Aku Menyerah / 268. Menerimamu Apa Adanya

Share

268. Menerimamu Apa Adanya

Penulis: Putri Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-16 23:58:40

Lora melangkah dengan tenang dan mantap mendekati tiga perempuan muda yang tampak saling menyenggol itu.

Ia tersenyum tipis lantas berbelok ke arah wastafel di samping mereka dan mulai mencuci tangannya.

“Janda atau perawan, mereka sama-sama wanita. Zaman sekarang perawan rasa janda itu banyak.” Lora menatap lewat pantulan cermin.

Ketiganya terlihat pias tanpa mampu membalas dan menatap balik. Entah kemana keberanian mereka tadi kala menghina dirinya. Rupanya mereka hanya berani berbicara di belakang.

Lora mengambil tisu dan mengusap tangannya. Ia menghadapkan tubuhnya ke arah mereka. “Hati-hati dalam berkomentar, biasanya balik ke diri sendiri.”

Setelah mengatakan itu, Lora menyunggingkan senyum tipis dan berbalik badan. Tangannya membuang bekas tisu lalu mulai melangkahkan kaki keluar dari kamar mandi.

“Lora.”

Pemilik nama yang dipanggil itu terlonjak kaget dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Tak jauh dari posisinya, ada Grissham yang berdiri sambil memasukkan kedua tanganny
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rahman Nita
lanjut kak update malam ini jg... yukk bisa yukk lora grisham happy ending ...
goodnovel comment avatar
Zidan Kasan
grisham so sweet, gimana lora gak makin klepek" dan udah pasti dengan mudah lora akan jatuh cinta sama grisham, dafin????? terlupakan udah pasti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   269. Dinner Romantis

    Grissham menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman lebar melihat Lora yang tampak terpukau. Ia menuntun sang tunangan menuju meja makan di area tengah rooftop.Tiba di sana, tangannya menarik kursi hingga siap untuk diduduki oleh Lorai. “Silakan duduk, My Queen.”“Makasih, Kak.” Lora mendaratkan bobot tubuhnya di kursi itu. Ia sangat bahagia mendapatkan perlakuan istimewa yang belum pernah didapatkan sebelumnya.Grissham hanya mengangguk sebagai balasan lantas ikut duduk di kursi seberang. Ia memandang Lora mengedarkan pandangan ke sekeliling terlihat seolah-olah sedang menilai. “Bagaimana? Apa kau menyukainya?”Lora beralih menatap Grissham dan mengangguk antusias. “Bagus banget, Kak. Aku suka. Semua ini Kak Sham yang menyiapkan?”Grissham menganggukkan kepala masih dengan mempertahankan senyumnya. “Sure, spesial untukmu. Sebenarnya malam ini tujuan utamaku itu mengajakmu dinner.”“Oh ya? Terus kita yang ke acara tadi itu ngapain?” tanya Lora heran. Ia pikir Grissham mengajakny

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   270. Setelah Kita Menikah Nanti

    Lora kembali menatap ke depan dan menghela napas berat. “Di sana banyak banget kenanganku bersama Oma, Kak. Aku nggak tau apakah aku akan sanggup tinggal di sana atau nggak.”Dari jawaban itu, Grissham tahu bahwa Lora keberatan tinggal di sana lagi. “Aku mengerti perasaanmu, Lora. Namun, siapa lagi yang tinggal di sana kalau bukan kita?”“Ada Om Albern.”“Ayah sekarang memang lebih banyak tinggal di sana, tetapi sendirian. Tidak mungkin selamanya akan tinggal sendiri, bukan? Ayah membutuhkanku untuk menemani di hari tuanya.”Lora merenung membenarkan perkataan Grissham. Pak Albern saat ini hanya memiliki Grissham sebagai putra tunggalnya. Terkesan sangat jahat bila tidak menemani beliau dan malah mengikuti keinginan istri.“Sayang, dengarkan aku.” Grissham menepuk tangan Lora membuat sang empunya menoleh. “Rumah itu sudah sepenuhnya milik Ayah yang nantinya akan diwariskan kepadaku.”“Jika kita memilih tinggal di tempat lain, rumah itu akan kosong apalagi jika Ayah telah tiada. Aku ti

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   271. Telepon Genting

    Lora terdiam menatap jemari mereka yang saling bertautan. Grissham benar, waktunya memang lebih banyak dihabiskan untuk bekerja. Kalau saja tidak ada Bi Imah yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah dan Amina yang mengurus si kembar, sudah pasti ia akan sangat keteteran. Sejujurnya, Lora juga lelah dengan keadaan seperti itu. Inginnya memberikan waktu penuh untuk anak-anak. Namun, jika ia hanya di rumah saja, bagaimana untuk biaya hidup sehari-hari? Lora juga mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mengelola restoran peninggalan Oma Hira. Tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja tanpa di-handle langsung. “Tapi, Kak… kalau aku berhenti bekerja, bagaimana dengan restoran?” tanyanya. Grissham mengusap lengan Lora. “Masalah restoran, kau tak perlu khawatir. Kita bisa merekrut orang kepercayaan yang bisa dilimpahi tanggung jawab untuk mengelola restoran di masing-masing cabang.” “Tugasmu nanti hanya memantau dari rumah lewat laporan yang mereka berikan. Kau tak harus turun tangan la

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-18
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   272. Tidak Becus Jadi Ibu

    Suara langkah kaki yang beradu dengan lantai terdengar menggema di lorong rumah sakit yang sepi ini. Lora semakin mempercepat laju larinya menuju kamar inap Azhar. Ia bahkan mengangkat gaunnya tinggi-tinggi agar memudahkannya dalam melangkah. Napasnya tersengal dengan wajah yang dipenuhi kecemasan. Setelah mendapatkan kabar tentang putranya, tanpa pikir panjang ia langsung datang kemari bersama Grissham. Lora tidak akan tenang jika belum melihat anaknya secara langsung. Ya Tuhan… apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anaknya selama ia pergi?Tiba di sana, Lora melihat ibunya sedang duduk di kursi tunggu depan ruangan bersama Amina. Mereka langsung berdiri saat dirinya berjalan mendekat.Lora memegang tangan ibunya dengan napas terengah-engah. “Bun… Azhar….” Bu Radha mengusap punggung Lora lembut, mengerti akan kepanikan putrinya. “Tenangkan dirimu dulu, Nak.”Lora berusaha mengatur napasnya yang memburu akibat berlari dari parkiran rumah sakit hingga tiba di sini. Ia kembali memeg

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-19
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   273. Berkaca Dulu Sebelum Menyalahkan Orang

    Lora menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan bersalah dan amarah sekaligus. Namun, dirinya tidak ingin terlihat lemah di hadapan Dhafin yang membuatnya mudah ditindas sesuka hati.Ia menghela napas panjang, mengangkat dagunya–berani. “Aku baru melakukan satu kesalahan, tapi kamu udah semarah ini, Mas. Lalu bagaimana denganmu yang nggak pernah hadir di kehidupan si kembar?”“Dimana kamu saat Zora berjuang antara hidup dan mati di inkubator? Dimana kamu saat Zora berjuang keras melawan penyakitnya?”“Dimana kamu Zora harus bolak-balik masuk rumah sakit karena penyakit jantung bawaannya?” tanyanya pelan, tetapi disertai penekanan.Dhafin mengepalkan tangan kuat, rahangnya mengeras. Amarah belum sepenuhnya reda apalagi ditambah perkataan Lora itu. Ia tidak terima menjadi pihak yang disalahkan.“Bukan aku yang nggak peduli, tapi kamu yang nggak mengizinkan aku bertemu mereka. Kamu menutup semua akses sehingga sulit untukku menemukan kalian,” jawabnya dingin.Lora tertawa sarkas. “Buat

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-20
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   274. Berhentilah Berdebat!

    Seluruh pasang mata tertuju pada perempuan yang mengenakan baju khas baby sitter. Amina tampak menunduk dengan tangan saling meremas gelisah.“Ceritalah, Mbak. Bagaimana kejadian yang sebenarnya?” pinta Lora, melihat pengasuh si kembar yang tak kunjung bersuara.Amina memberanikan diri mengangkat kepala. Tatapan Dhafin yang menusuk itu membuatnya mengigil takut. Ia menarik napas dalam-dalam dan memusatkan perhatian pada Lora. “Sebelumnya saya minta maaf, Mbak, udah lalai menjaga si kembar. Awalnya si kembar bermain bersama pakai mainan mereka masing-masing.”“Di tengah-tengah bermain, saya tinggal sebentar ke kamar mandi karena udah nggak tahan banget. Cuma sebentar kok, Mbak.”“Waktu keluar kamar mandi, Dek Zora menghampiri saya sambil nangis dan bilang Azhar berdarah.”“Saya nggak tau bagaimana kejadiannya, tapi saat kembali Kak Azhar udah nangis kejer sambil memegangi dahinya yang berdarah banyak.”“Saya panik dan langsung menelepon Mbak Lora, tapi nggak diangkat. Tarus menelepon

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-21
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   275. Sudah Benar-benar Berubah?

    “Mama… mau pulang.”Lora menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil sesendok bubur, sarapan Azhar pagi ini. “Iya, Sayang, nanti Azhar akan pulang, tapi tunggu Om Dokter memeriksa dulu, ya.”“Mau pulang sekalang, Mama. Mau pulang… mau pulang…” rengek Azhar seraya menggeleng keras.Lora mengusap lengan kecil sang putra lembut, berusaha memberikan pengertian. “Azhar pasti pulang kok, tapi nggak sekarang. Dahinya biar diperiksa dulu sama Om Dokter, oke?”Ia mengambil sesendok bubur lalu menyodorkanya ke depan mulut Azhar. “Ayo, mamam lagi. Aaa….”“Ndak mau.” Azhar kembali menggeleng seraya menutup mulutnya menggunakan satu tangan. Sementara tangan satunya mendorong pelan tangan sang ibu yang memegang sendok.Lora menghela napas panjang dan meletakkan semangkuk bubur yang masih tersisa sedikit di atas nakas. Ia mengambil segelas air minum yang sudah dilengkapi sedotan lalu memberikannya pada Azhar. “Ini minum dulu, Nak.”Wanita itu mengusap bibir putranya setelah menyelesaikan s

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-22
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   276. Mau Pulang Bersama Papa?

    Lora mendelik kesal mendengar Dhafin yang seenaknya memutuskan sepihak. “Kamu pikir di rumah orang tuaku nggak aman? Aku nggak setuju! Azhar tetap akan pulang bersamaku,” tolaknya mentah-mentah.Bu Anita meraih tangan Lora untuk digenggamnya. “Dhafin benar, Lora. Biarkan Azhar pulang bersama kami. Kami akan merawatnya sampai benar-benar pulih.”“Kami merasa selama ini si kembar belum pernah main ke rumah. Mama ingin banget dekat sama cucu Mama. Nggak salah kan? Mama rasa mereka nggak terlalu dekat dengan keluarga kami,” timpalnya.Lora menarik tangannya pelan dan tersenyum miring. “Bukankah aku udah membebaskan kalian bertemu dengan si kembar kapanpun dan dimanapun?”“Iya, tapi belum pernah menginap. Kami cuma bertemu beberapa jam aja,” balas Bu Anita dengan sabar.“Kamu jangan egois, Lora. Aku juga ayahnya si kembar dan punya hak yang sama. Aku ingin ada pembagian waktu menginap di rumahku juga mulai sekarang,” ucap Dhafin yang terkesan memaksa.Lora menghela napas panjang dan mengal

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-23

Bab terbaru

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   303. Di Balik Senyum Grissham

    Pak Albern menyunggingkan senyum lebih lebar, bangga melihat kematangan yang mulai tumbuh dalam diri putranya. “Bagus itu,” ujarnya sembari mengangguk. “Kau boleh saja marah, cemburu, atau bahkan mendiamkan Lora. Tapi jangan terlalu lama.” Ia menyandarkan punggung ke sofa, kedua tangannya bertaut di atas paha, ekspresi wajahnya berubah serius namun tetap hangat. “Ingat, Grissham.” “Jagalah baik-baik hubunganmu dengan Lora. Jaga pula komunikasi di antara kalian, walau hanya lewat pesan singkat. Itu sangat penting dalam sebuah hubungan.” Nadanya mengendur, seolah mengajarkan sesuatu yang lahir dari pengalaman panjang hidupnya. “Kelak dalam kehidupan rumah tangga, sembilan puluh persen masalah bisa diselesaikan atau justru bertambah rumit karena komunikasi. Kalau dari awal sudah retak, bagaimana nanti kedepannya?” Pak Albern menoleh, menatap Grissham dengan mata penuh kebapakan. “Kalau ada yang mengganjal di hatimu, ungkapkan semuanya. Bicarakan baik-baik dan cari solusi bersama.”

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   302. Nasehat Seorang Ayah

    Mentari jingga tergelincir ke ufuk barat. Cahaya senja yang meredup memantulkan semburat keemasan di lantai marmer ketika Grissham menapakkan kaki di kediaman keluarga Steward. Langkahnya terlihat gontai, seolah ada beban tak kasat mata yang mengikat kedua kakinya. Gurat kelelahan tergambar jelas di wajahnya yang rupawan tanpa mampu disembunyikan. “Assalamu'alaikum,” ucapnya begitu memasuki rumah. Kebiasaan kecil itu sudah melekat dalam dirinya. Sebuah ajaran sederhana yang diwariskan Lora—katanya, dari almarhum sang nenek. Ia selalu melafalkannya, setiap kali melewati ambang pintu, entah ada orang di dalam atau tidak. Bahkan di kantornya, kebiasaan itu tetap ia lakukan. “Waalaikumsalam.” Grissham tersentak kaget. Langkahnya otomatis terhenti. Suara balasan itu terdengar jelas, membuatnya cepat menoleh ke arah sumbernya. Di sofa ruang tamu, di bawah cahaya temaram senja, seorang pria paruh baya duduk santai. Salah satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain, sementara kedua matany

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   301. Jangan Terlena

    Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   300. Cemburunya Grissham

    Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   299. Berubah

    Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   298. Keputusan yang Tak Bisa Diganggu Gugat

    Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   297. Perhatian yang Timpang

    Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   296. Permintaan Maaf

    “Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   295. Permintaan untuk Datang Kembali

    Grissham tak langsung menanggapi. Matanya tak lepas dari jalanan yang padat. Tampak di depan sana, mobil-mobil merayap, saling berebut celah di bawah langit sore yang mulai menguning.Lampu sein berdetak pelan, menyatu dengan musik dari radio yang mengalun lembut dari speaker mobil.Beberapa menit kemudian, ia memutar kemudi ke kanan, memasuki jalan menuju kawasan perumahan elit—tempat keluarga Brighton tinggal.Dering ponsel yang sejak tadi bersenandung akhirnya berhenti. Lora menatap layar yang kini berubah gelap, jemarinya masih menggenggam erat perangkat itu.Grissham melirik sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. Ia sempat mengira telepon itu tak akan datang lagi karena sang penelepon sudah menyerah. Namun hanya selang beberapa detik, getaran itu kembali menggema di dalam mobil. Nada dering yang sama, nama yang sama—masih bertahan di layar.Grissham menarik napas panjang, menahan jeda sebelum bersuara. “Angkat saja, siapa tahu penting,” ucapnya datar, tetapi lembut.Lora hanya me

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status