Lora mendelik kesal mendengar Dhafin yang seenaknya memutuskan sepihak. “Kamu pikir di rumah orang tuaku nggak aman? Aku nggak setuju! Azhar tetap akan pulang bersamaku,” tolaknya mentah-mentah.Bu Anita meraih tangan Lora untuk digenggamnya. “Dhafin benar, Lora. Biarkan Azhar pulang bersama kami. Kami akan merawatnya sampai benar-benar pulih.”“Kami merasa selama ini si kembar belum pernah main ke rumah. Mama ingin banget dekat sama cucu Mama. Nggak salah kan? Mama rasa mereka nggak terlalu dekat dengan keluarga kami,” timpalnya.Lora menarik tangannya pelan dan tersenyum miring. “Bukankah aku udah membebaskan kalian bertemu dengan si kembar kapanpun dan dimanapun?”“Iya, tapi belum pernah menginap. Kami cuma bertemu beberapa jam aja,” balas Bu Anita dengan sabar.“Kamu jangan egois, Lora. Aku juga ayahnya si kembar dan punya hak yang sama. Aku ingin ada pembagian waktu menginap di rumahku juga mulai sekarang,” ucap Dhafin yang terkesan memaksa.Lora menghela napas panjang dan mengal
“Udah siap.” Lora telah selesai merapikan penampilan si kembar yang hendak diajak jalan-jalan oleh Dhafin di hari Sabtu ini. Ia mengamati penampilan mereka dari atas sampai bawah sekali lagi. “Anak-anak Mama udah cantik sama udah ganteng. Sekarang kita tunggu Papa menjemput, ya.” Setelah mendapatkan anggukan, Lora bangkit berdiri dan menghampiri Amina yang tengah bersiap. “Udah siap semuanya, Mbak Mina?” Amina memperbaiki letak tas punggung kecil yang berisi keperluan si kembar. “Udah, Mbak.” Lora maju satu langkah, menatap serius pengasuh si kembar ini. “Mbak, nanti kalau Mas Dhafin mengajak si kembar menginap, jangan izinkan. Pokoknya nggak boleh. Mbak Mina harus tolak dengan tegas.” “Nggak usah takut dipecat. Mbak itu kerja sama saya. Jadi, saya yang memutuskan apakah Mbak berhenti atau tetap lanjut kerja. Mereka sama sekali nggak punya hak,” titahnya memberikan briefing. Amina mengacungkan jempolnya. “Siap, Mbak Lora, tenang aja. Kalau udah dikasih tau begini, saya jad
Lora paling lemah jika sudah bersangkutan dengan anak-anaknya. Ia tidak sanggup melihat mereka yang rewel seperti sekarang bahkan menangis kejer. Namun, tentu saja tidak semua keinginan mereka harus terpenuhi. Mereka harus belajar bahwa tidak semua hal di dunia ini berjalan sesuai kemauannya. Ada kalanya harus mengalah dengan keadaan. “Mama, ayo.” Si kembar terus mendesak Lora agar ikut jalan-jalan bersama mereka. Lora kembali memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam. Baiklah, mungkin kali ini dirinya mengalah dulu. Kedepannya, ia akan bersikap lebih tegas lagi pada mereka. “Oke, Mama ikut,” putusnya dengan tangan mengusap kepala sang anak. “Yeayyy…!” Si kembar langsung bersorak senang lantas menghampiri sang ayah. “Ayo, Papa, kita belangkat.” Dhafin menatap sejenak Lora yang menampilkan wajah yang terkesan tidak ikhlas. “Ayo, Lora,” ajaknya sebelum menggandeng tangan si kembar dan menggiring ke mobil. Di dalam mobil, Lora memilih duduk di kursi belakang bersama Amina
Dhafin mendaratkan tubuhnya di kursi tunggu depan kamar inap setelah kepergian dokter. Kakinya terasa lemas hingga tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya.Matanya yang tajam itu menatap kosong ke lantai rumah sakit. Apa yang baru saja disampaikan oleh dokter membuatnya seketika terkejut sekaligus syok.Dunianya seakan runtuh mengetahui fakta tak terduga yang selama ini disembunyikan oleh sang ibu.Kata-kata tentang penyakit parah yang diderita sang ibu menggema di kepalanya, berulang-ulang, seolah menolak untuk diterima. Dadanya terasa sesak, napasnya pendek dan berat. Tangannya yang bertumpu di pahanya mengepal gemetar tanpa disadari.Dhafin merasa marah pada kenyataan yang begitu kejam. Kenapa ibunya harus menghadapi ini sendirian? Kenapa ia tidak diberi tahu sejak awal?Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyergapnya, menghantam dirinya tanpa ampun. Seharusnya Dhafin lebih peka, seharusnya ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan ibunya selama ini.Pria itu menjambak rambutnya fr
[Lora, Mama sedang sakit dan sangat ingin bertemu denganmu. Bisakah kau menemui Mama?]Lora hanya membaca pesan yang dikirimkan oleh Dhafin beberapa menit lalu tanpa ada niatan untuk membalas.Raut wajah dan tatapannya datar terkesan jengah. Dalam hati, ia merasa jengkel dengan Dhafin yang tak berhenti mengusiknya.Bukannya Lora tidak percaya bila ibunya Dhafin sedang sakit. Hanya saja dari sekian banyaknya orang, kenapa Bu Anita ingin bertemu dengannya? Apa yang sebenarnya beliau inginkan?“Sayang….”Panggilan dengan suara lembut itu berhasil membuat Lora sedikit tersentak. Ia mengangkat kepala, mengalihkan tatapannya pada Grissham yang duduk di hadapannya.“Ada apa? Kenapa wajahmu cemberut begitu?” Grissham menyadari perubahan ekspresi Lora sesaat setelah membaca sesuatu dalam ponselnya.Lora keluar dari ruang obrolan bersama Dhafin dan langsung menutup aplikasi pesan. “Ini Mas Dhafin ngechat katanya Mama sakit dan ingin menemuiku. Dia minta aku menemui Mama.”“Lalu kau menjawab apa
Grissham mengangkat bahunya dengan gerakan yang ringan, seakan tak terlalu memperdulikan topik yang sedang dibicarakan. Ia menghembuskan napas pelan sebelum kembali menatap Lora dengan sorot mata yang tenang namun dalam.“Karena aku sadar, Twins butuh ayah kandungnya, begitu pula sebaliknya. Aku tidak bisa egois hanya karena perasaan pribadiku.”Laki-laki itu meraih gelas jus di depannya, mengaduk isinya dengan sedotan tanpa benar-benar berniat meminumnya. Ada sedikit ketegangan di wajahnya, tetapi senyumnya tetap terukir tipis.“Aku ingin menjadi bagian dari mereka, tapi bukan dengan menghalangi hubungan mereka dengan Dhafin,” lanjutnya dengan suara lembut.Lora terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Ia menggenggam tangan Grissham di atas meja, meremasnya lembut. “MasyaAllah... Kak Sham baik banget,” ucapnya dengan suara penuh ketulusan.Grissham tersenyum kecil, ibu jarinya mengusap punggung tangan Lora dengan lembut. “Bagiku, kebahagiaanmu dan anak-anak adalah yang paling utama.
Plak!“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.Sayangnya, ia justru didorong menjauh.Bugh!“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ib
“Aku yang akan menggugat cerai.”“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” Naina menyimak denga
Grissham mengangkat bahunya dengan gerakan yang ringan, seakan tak terlalu memperdulikan topik yang sedang dibicarakan. Ia menghembuskan napas pelan sebelum kembali menatap Lora dengan sorot mata yang tenang namun dalam.“Karena aku sadar, Twins butuh ayah kandungnya, begitu pula sebaliknya. Aku tidak bisa egois hanya karena perasaan pribadiku.”Laki-laki itu meraih gelas jus di depannya, mengaduk isinya dengan sedotan tanpa benar-benar berniat meminumnya. Ada sedikit ketegangan di wajahnya, tetapi senyumnya tetap terukir tipis.“Aku ingin menjadi bagian dari mereka, tapi bukan dengan menghalangi hubungan mereka dengan Dhafin,” lanjutnya dengan suara lembut.Lora terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Ia menggenggam tangan Grissham di atas meja, meremasnya lembut. “MasyaAllah... Kak Sham baik banget,” ucapnya dengan suara penuh ketulusan.Grissham tersenyum kecil, ibu jarinya mengusap punggung tangan Lora dengan lembut. “Bagiku, kebahagiaanmu dan anak-anak adalah yang paling utama.
[Lora, Mama sedang sakit dan sangat ingin bertemu denganmu. Bisakah kau menemui Mama?]Lora hanya membaca pesan yang dikirimkan oleh Dhafin beberapa menit lalu tanpa ada niatan untuk membalas.Raut wajah dan tatapannya datar terkesan jengah. Dalam hati, ia merasa jengkel dengan Dhafin yang tak berhenti mengusiknya.Bukannya Lora tidak percaya bila ibunya Dhafin sedang sakit. Hanya saja dari sekian banyaknya orang, kenapa Bu Anita ingin bertemu dengannya? Apa yang sebenarnya beliau inginkan?“Sayang….”Panggilan dengan suara lembut itu berhasil membuat Lora sedikit tersentak. Ia mengangkat kepala, mengalihkan tatapannya pada Grissham yang duduk di hadapannya.“Ada apa? Kenapa wajahmu cemberut begitu?” Grissham menyadari perubahan ekspresi Lora sesaat setelah membaca sesuatu dalam ponselnya.Lora keluar dari ruang obrolan bersama Dhafin dan langsung menutup aplikasi pesan. “Ini Mas Dhafin ngechat katanya Mama sakit dan ingin menemuiku. Dia minta aku menemui Mama.”“Lalu kau menjawab apa
Dhafin mendaratkan tubuhnya di kursi tunggu depan kamar inap setelah kepergian dokter. Kakinya terasa lemas hingga tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya.Matanya yang tajam itu menatap kosong ke lantai rumah sakit. Apa yang baru saja disampaikan oleh dokter membuatnya seketika terkejut sekaligus syok.Dunianya seakan runtuh mengetahui fakta tak terduga yang selama ini disembunyikan oleh sang ibu.Kata-kata tentang penyakit parah yang diderita sang ibu menggema di kepalanya, berulang-ulang, seolah menolak untuk diterima. Dadanya terasa sesak, napasnya pendek dan berat. Tangannya yang bertumpu di pahanya mengepal gemetar tanpa disadari.Dhafin merasa marah pada kenyataan yang begitu kejam. Kenapa ibunya harus menghadapi ini sendirian? Kenapa ia tidak diberi tahu sejak awal?Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyergapnya, menghantam dirinya tanpa ampun. Seharusnya Dhafin lebih peka, seharusnya ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan ibunya selama ini.Pria itu menjambak rambutnya fr
Lora paling lemah jika sudah bersangkutan dengan anak-anaknya. Ia tidak sanggup melihat mereka yang rewel seperti sekarang bahkan menangis kejer. Namun, tentu saja tidak semua keinginan mereka harus terpenuhi. Mereka harus belajar bahwa tidak semua hal di dunia ini berjalan sesuai kemauannya. Ada kalanya harus mengalah dengan keadaan. “Mama, ayo.” Si kembar terus mendesak Lora agar ikut jalan-jalan bersama mereka. Lora kembali memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam. Baiklah, mungkin kali ini dirinya mengalah dulu. Kedepannya, ia akan bersikap lebih tegas lagi pada mereka. “Oke, Mama ikut,” putusnya dengan tangan mengusap kepala sang anak. “Yeayyy…!” Si kembar langsung bersorak senang lantas menghampiri sang ayah. “Ayo, Papa, kita belangkat.” Dhafin menatap sejenak Lora yang menampilkan wajah yang terkesan tidak ikhlas. “Ayo, Lora,” ajaknya sebelum menggandeng tangan si kembar dan menggiring ke mobil. Di dalam mobil, Lora memilih duduk di kursi belakang bersama Amina
“Udah siap.” Lora telah selesai merapikan penampilan si kembar yang hendak diajak jalan-jalan oleh Dhafin di hari Sabtu ini. Ia mengamati penampilan mereka dari atas sampai bawah sekali lagi. “Anak-anak Mama udah cantik sama udah ganteng. Sekarang kita tunggu Papa menjemput, ya.” Setelah mendapatkan anggukan, Lora bangkit berdiri dan menghampiri Amina yang tengah bersiap. “Udah siap semuanya, Mbak Mina?” Amina memperbaiki letak tas punggung kecil yang berisi keperluan si kembar. “Udah, Mbak.” Lora maju satu langkah, menatap serius pengasuh si kembar ini. “Mbak, nanti kalau Mas Dhafin mengajak si kembar menginap, jangan izinkan. Pokoknya nggak boleh. Mbak Mina harus tolak dengan tegas.” “Nggak usah takut dipecat. Mbak itu kerja sama saya. Jadi, saya yang memutuskan apakah Mbak berhenti atau tetap lanjut kerja. Mereka sama sekali nggak punya hak,” titahnya memberikan briefing. Amina mengacungkan jempolnya. “Siap, Mbak Lora, tenang aja. Kalau udah dikasih tau begini, saya jad
Lora mendelik kesal mendengar Dhafin yang seenaknya memutuskan sepihak. “Kamu pikir di rumah orang tuaku nggak aman? Aku nggak setuju! Azhar tetap akan pulang bersamaku,” tolaknya mentah-mentah.Bu Anita meraih tangan Lora untuk digenggamnya. “Dhafin benar, Lora. Biarkan Azhar pulang bersama kami. Kami akan merawatnya sampai benar-benar pulih.”“Kami merasa selama ini si kembar belum pernah main ke rumah. Mama ingin banget dekat sama cucu Mama. Nggak salah kan? Mama rasa mereka nggak terlalu dekat dengan keluarga kami,” timpalnya.Lora menarik tangannya pelan dan tersenyum miring. “Bukankah aku udah membebaskan kalian bertemu dengan si kembar kapanpun dan dimanapun?”“Iya, tapi belum pernah menginap. Kami cuma bertemu beberapa jam aja,” balas Bu Anita dengan sabar.“Kamu jangan egois, Lora. Aku juga ayahnya si kembar dan punya hak yang sama. Aku ingin ada pembagian waktu menginap di rumahku juga mulai sekarang,” ucap Dhafin yang terkesan memaksa.Lora menghela napas panjang dan mengal
“Mama… mau pulang.”Lora menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil sesendok bubur, sarapan Azhar pagi ini. “Iya, Sayang, nanti Azhar akan pulang, tapi tunggu Om Dokter memeriksa dulu, ya.”“Mau pulang sekalang, Mama. Mau pulang… mau pulang…” rengek Azhar seraya menggeleng keras.Lora mengusap lengan kecil sang putra lembut, berusaha memberikan pengertian. “Azhar pasti pulang kok, tapi nggak sekarang. Dahinya biar diperiksa dulu sama Om Dokter, oke?”Ia mengambil sesendok bubur lalu menyodorkanya ke depan mulut Azhar. “Ayo, mamam lagi. Aaa….”“Ndak mau.” Azhar kembali menggeleng seraya menutup mulutnya menggunakan satu tangan. Sementara tangan satunya mendorong pelan tangan sang ibu yang memegang sendok.Lora menghela napas panjang dan meletakkan semangkuk bubur yang masih tersisa sedikit di atas nakas. Ia mengambil segelas air minum yang sudah dilengkapi sedotan lalu memberikannya pada Azhar. “Ini minum dulu, Nak.”Wanita itu mengusap bibir putranya setelah menyelesaikan s
Seluruh pasang mata tertuju pada perempuan yang mengenakan baju khas baby sitter. Amina tampak menunduk dengan tangan saling meremas gelisah.“Ceritalah, Mbak. Bagaimana kejadian yang sebenarnya?” pinta Lora, melihat pengasuh si kembar yang tak kunjung bersuara.Amina memberanikan diri mengangkat kepala. Tatapan Dhafin yang menusuk itu membuatnya mengigil takut. Ia menarik napas dalam-dalam dan memusatkan perhatian pada Lora. “Sebelumnya saya minta maaf, Mbak, udah lalai menjaga si kembar. Awalnya si kembar bermain bersama pakai mainan mereka masing-masing.”“Di tengah-tengah bermain, saya tinggal sebentar ke kamar mandi karena udah nggak tahan banget. Cuma sebentar kok, Mbak.”“Waktu keluar kamar mandi, Dek Zora menghampiri saya sambil nangis dan bilang Azhar berdarah.”“Saya nggak tau bagaimana kejadiannya, tapi saat kembali Kak Azhar udah nangis kejer sambil memegangi dahinya yang berdarah banyak.”“Saya panik dan langsung menelepon Mbak Lora, tapi nggak diangkat. Tarus menelepon
Lora menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan bersalah dan amarah sekaligus. Namun, dirinya tidak ingin terlihat lemah di hadapan Dhafin yang membuatnya mudah ditindas sesuka hati.Ia menghela napas panjang, mengangkat dagunya–berani. “Aku baru melakukan satu kesalahan, tapi kamu udah semarah ini, Mas. Lalu bagaimana denganmu yang nggak pernah hadir di kehidupan si kembar?”“Dimana kamu saat Zora berjuang antara hidup dan mati di inkubator? Dimana kamu saat Zora berjuang keras melawan penyakitnya?”“Dimana kamu Zora harus bolak-balik masuk rumah sakit karena penyakit jantung bawaannya?” tanyanya pelan, tetapi disertai penekanan.Dhafin mengepalkan tangan kuat, rahangnya mengeras. Amarah belum sepenuhnya reda apalagi ditambah perkataan Lora itu. Ia tidak terima menjadi pihak yang disalahkan.“Bukan aku yang nggak peduli, tapi kamu yang nggak mengizinkan aku bertemu mereka. Kamu menutup semua akses sehingga sulit untukku menemukan kalian,” jawabnya dingin.Lora tertawa sarkas. “Buat