Home / Rumah Tangga / Mari Berpisah, Aku Menyerah / 275. Sudah Benar-benar Berubah?

Share

275. Sudah Benar-benar Berubah?

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2025-03-22 23:52:09

“Mama… mau pulang.”

Lora menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil sesendok bubur, sarapan Azhar pagi ini. “Iya, Sayang, nanti Azhar akan pulang, tapi tunggu Om Dokter memeriksa dulu, ya.”

“Mau pulang sekalang, Mama. Mau pulang… mau pulang…” rengek Azhar seraya menggeleng keras.

Lora mengusap lengan kecil sang putra lembut, berusaha memberikan pengertian. “Azhar pasti pulang kok, tapi nggak sekarang. Dahinya biar diperiksa dulu sama Om Dokter, oke?”

Ia mengambil sesendok bubur lalu menyodorkanya ke depan mulut Azhar. “Ayo, mamam lagi. Aaa….”

“Ndak mau.” Azhar kembali menggeleng seraya menutup mulutnya menggunakan satu tangan. Sementara tangan satunya mendorong pelan tangan sang ibu yang memegang sendok.

Lora menghela napas panjang dan meletakkan semangkuk bubur yang masih tersisa sedikit di atas nakas.

Ia mengambil segelas air minum yang sudah dilengkapi sedotan lalu memberikannya pada Azhar. “Ini minum dulu, Nak.”

Wanita itu mengusap bibir putranya setelah menyelesaikan s
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Zidan Kasan
dafin gak ada kapoknya dan gak bisa introspeksi diri ya, ajakan rujuk di tolak Lo mau banyak lagak ya
goodnovel comment avatar
Rahman Nita
gak usah bertingkah yee lu dhafin-_- blg aja lu mau deketin lora lg, gak azhar gak blh dirmh lu, tuh kembar gak bisa dipidahin soalnya. pokoknya kembar sm ibunya aja!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   276. Mau Pulang Bersama Papa?

    Lora mendelik kesal mendengar Dhafin yang seenaknya memutuskan sepihak. “Kamu pikir di rumah orang tuaku nggak aman? Aku nggak setuju! Azhar tetap akan pulang bersamaku,” tolaknya mentah-mentah.Bu Anita meraih tangan Lora untuk digenggamnya. “Dhafin benar, Lora. Biarkan Azhar pulang bersama kami. Kami akan merawatnya sampai benar-benar pulih.”“Kami merasa selama ini si kembar belum pernah main ke rumah. Mama ingin banget dekat sama cucu Mama. Nggak salah kan? Mama rasa mereka nggak terlalu dekat dengan keluarga kami,” timpalnya.Lora menarik tangannya pelan dan tersenyum miring. “Bukankah aku udah membebaskan kalian bertemu dengan si kembar kapanpun dan dimanapun?”“Iya, tapi belum pernah menginap. Kami cuma bertemu beberapa jam aja,” balas Bu Anita dengan sabar.“Kamu jangan egois, Lora. Aku juga ayahnya si kembar dan punya hak yang sama. Aku ingin ada pembagian waktu menginap di rumahku juga mulai sekarang,” ucap Dhafin yang terkesan memaksa.Lora menghela napas panjang dan mengal

    Last Updated : 2025-03-23
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   277. Ikutlah Bersama Kami

    “Udah siap.” Lora telah selesai merapikan penampilan si kembar yang hendak diajak jalan-jalan oleh Dhafin di hari Sabtu ini. Ia mengamati penampilan mereka dari atas sampai bawah sekali lagi. “Anak-anak Mama udah cantik sama udah ganteng. Sekarang kita tunggu Papa menjemput, ya.” Setelah mendapatkan anggukan, Lora bangkit berdiri dan menghampiri Amina yang tengah bersiap. “Udah siap semuanya, Mbak Mina?” Amina memperbaiki letak tas punggung kecil yang berisi keperluan si kembar. “Udah, Mbak.” Lora maju satu langkah, menatap serius pengasuh si kembar ini. “Mbak, nanti kalau Mas Dhafin mengajak si kembar menginap, jangan izinkan. Pokoknya nggak boleh. Mbak Mina harus tolak dengan tegas.” “Nggak usah takut dipecat. Mbak itu kerja sama saya. Jadi, saya yang memutuskan apakah Mbak berhenti atau tetap lanjut kerja. Mereka sama sekali nggak punya hak,” titahnya memberikan briefing. Amina mengacungkan jempolnya. “Siap, Mbak Lora, tenang aja. Kalau udah dikasih tau begini, saya jad

    Last Updated : 2025-03-24
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   278. Datang Menjemput

    Lora paling lemah jika sudah bersangkutan dengan anak-anaknya. Ia tidak sanggup melihat mereka yang rewel seperti sekarang bahkan menangis kejer. Namun, tentu saja tidak semua keinginan mereka harus terpenuhi. Mereka harus belajar bahwa tidak semua hal di dunia ini berjalan sesuai kemauannya. Ada kalanya harus mengalah dengan keadaan. “Mama, ayo.” Si kembar terus mendesak Lora agar ikut jalan-jalan bersama mereka. Lora kembali memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam. Baiklah, mungkin kali ini dirinya mengalah dulu. Kedepannya, ia akan bersikap lebih tegas lagi pada mereka. “Oke, Mama ikut,” putusnya dengan tangan mengusap kepala sang anak. “Yeayyy…!” Si kembar langsung bersorak senang lantas menghampiri sang ayah. “Ayo, Papa, kita belangkat.” Dhafin menatap sejenak Lora yang menampilkan wajah yang terkesan tidak ikhlas. “Ayo, Lora,” ajaknya sebelum menggandeng tangan si kembar dan menggiring ke mobil. Di dalam mobil, Lora memilih duduk di kursi belakang bersama Amina

    Last Updated : 2025-03-25
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   279. Sakit Parah?

    Dhafin mendaratkan tubuhnya di kursi tunggu depan kamar inap setelah kepergian dokter. Kakinya terasa lemas hingga tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya.Matanya yang tajam itu menatap kosong ke lantai rumah sakit. Apa yang baru saja disampaikan oleh dokter membuatnya seketika terkejut sekaligus syok.Dunianya seakan runtuh mengetahui fakta tak terduga yang selama ini disembunyikan oleh sang ibu.Kata-kata tentang penyakit parah yang diderita sang ibu menggema di kepalanya, berulang-ulang, seolah menolak untuk diterima. Dadanya terasa sesak, napasnya pendek dan berat. Tangannya yang bertumpu di pahanya mengepal gemetar tanpa disadari.Dhafin merasa marah pada kenyataan yang begitu kejam. Kenapa ibunya harus menghadapi ini sendirian? Kenapa ia tidak diberi tahu sejak awal?Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyergapnya, menghantam dirinya tanpa ampun. Seharusnya Dhafin lebih peka, seharusnya ia menyadari ada sesuatu yang disembunyikan ibunya selama ini.Pria itu menjambak rambutnya fr

    Last Updated : 2025-03-27
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   280. Berhak Menolak

    [Lora, Mama sedang sakit dan sangat ingin bertemu denganmu. Bisakah kau menemui Mama?]Lora hanya membaca pesan yang dikirimkan oleh Dhafin beberapa menit lalu tanpa ada niatan untuk membalas.Raut wajah dan tatapannya datar terkesan jengah. Dalam hati, ia merasa jengkel dengan Dhafin yang tak berhenti mengusiknya.Bukannya Lora tidak percaya bila ibunya Dhafin sedang sakit. Hanya saja dari sekian banyaknya orang, kenapa Bu Anita ingin bertemu dengannya? Apa yang sebenarnya beliau inginkan?“Sayang….”Panggilan dengan suara lembut itu berhasil membuat Lora sedikit tersentak. Ia mengangkat kepala, mengalihkan tatapannya pada Grissham yang duduk di hadapannya.“Ada apa? Kenapa wajahmu cemberut begitu?” Grissham menyadari perubahan ekspresi Lora sesaat setelah membaca sesuatu dalam ponselnya.Lora keluar dari ruang obrolan bersama Dhafin dan langsung menutup aplikasi pesan. “Ini Mas Dhafin ngechat katanya Mama sakit dan ingin menemuiku. Dia minta aku menemui Mama.”“Lalu kau menjawab apa

    Last Updated : 2025-03-28
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   281. Tak Berhak Cemburu

    Grissham mengangkat bahunya dengan gerakan yang ringan, seakan tak terlalu memperdulikan topik yang sedang dibicarakan. Ia menghembuskan napas pelan sebelum kembali menatap Lora dengan sorot mata yang tenang namun dalam. “Karena aku sadar, Twins butuh ayah kandungnya, begitu pula sebaliknya. Aku tidak bisa egois hanya karena perasaan pribadiku.” Laki-laki itu meraih gelas jus di depannya, mengaduk isinya dengan sedotan tanpa benar-benar berniat meminumnya. Ada sedikit ketegangan di wajahnya, tetapi senyumnya tetap terukir tipis. “Aku ingin menjadi bagian dari mereka, tapi bukan dengan menghalangi hubungan mereka dengan Dhafin,” lanjutnya dengan suara lembut. Lora terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Ia menggenggam tangan Grissham di atas meja, meremasnya lembut. “MasyaAllah... Kak Sham baik banget,” ucapnya dengan suara penuh ketulusan. Grissham tersenyum kecil, ibu jarinya mengusap punggung tangan Lora dengan lembut. “Bagiku, kebahagiaanmu dan anak-anak adalah yang paling u

    Last Updated : 2025-03-28
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   282. Wanita yang Luar Biasa

    Lora menelan ludah, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu dalam suara Dhafin yang membuatnya tak bisa menolak. Dengan langkah ragu, ia mengikuti Dhafin yang membuka pintu. Aroma khas rumah sakit langsung menyergap hidung begitu dirinya memasuki ruangan. Ruangan itu diterangi cahaya lampu temaram, memberikan kesan tenang namun juga penuh dengan kenangan yang menyesakkan. Di tengah ruangan, Bu Anita terbaring dengan tubuh lemah, selang infus masih terpasang di tangannya. Matanya terpejam, napasnya teratur meski tampak sedikit berat. Lora melangkah lebih dekat hingga berdiri di samping tempat tidur. Matanya menatap lekat wajah pucat Bu Anita—wanita yang dulu pernah bersikap semena-mena padanya, kini tampak begitu rapuh dan tak berdaya. Ada perasaan aneh yang menyeruak di dadanya. Bukan kebencian, bukan pula kepuasan melihat keadaan mantan mertuanya seperti ini. Yang ada justru sesak yang sulit dijelaskan. Ini adalah sisi lain dari Bu Anita, yang tak pernah ia

    Last Updated : 2025-03-29
  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   283. Kembali Minta Maaf Sebelum Terlambat

    Suasana dalam ruangan tiba-tiba terasa begitu berat. Seolah udara mendadak menipis, meninggalkan mereka dalam keheningan yang menyesakkan. Lora menatap Bu Anita dengan perasaan campur aduk. Wanita itu masih berusaha tersenyum, meski jelas terlihat ada kepedihan yang berusaha ia sembunyikan. “Iya, Lora, aku bahkan baru mengetahuinya.” Dhafin akhirnya bersuara setelah beberapa menit terdiam. Suaranya terdengar lelah. Ia menundukkan kepala, menatap jemarinya yang saling bertaut di pangkuan. “Mama begitu rapi menyembunyikan penyakit itu dari kita semua.” Pria itu menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Kata orang rumah, beberapa hari terakhir Mama sering mengeluh sakit perut. Aku sempat mengira itu hanya gangguan pencernaan biasa.” Tatapannya kemudian mengabur seakan-akan mengingat kejadian yang masih terekam jelas dalam benaknya. “Tapi saat jalan-jalan sama si kembar kemarin, aku mendapat telepon mendadak. Katanya Mama pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit.” Rahangnya

    Last Updated : 2025-04-01

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   304. Kolaborasi yang Berbuah Manis

    Waktu terus bergerak ke depan, tak bisa diulang walau hanya satu detik. Hari-hari melaju cepat seolah-olah tak mengenal lelah, membiarkan matahari terbit dan tenggelam tanpa jeda.Hubungan Grissham dan Lora perlahan kembali ke titik terang. Tak ada lagi salah paham yang menyesakkan, tak ada lagi diam-diaman yang mendinginkan hati. Kalimat-kalimat yang sempat tersendat, kini telah mengalir kembali, jujur dan penuh pemahaman. Keduanya saling belajar menurunkan ego dan lebih memilih tenang daripada menang.Grissham mulai menerapkan satu per satu nasihat dari sang ayah. Ia menyampaikan isi hatinya pada Lora dalam sebuah percakapan yang tenang dan terbuka. Lora mendengarkan, lalu mengangguk pelan, seolah mengamini langkah baru mereka.Keduanya pun sepakat untuk lebih fokus pada pekerjaan masing-masing agar bisa mengambil cuti panjang menjelang hari bahagia mereka.Hari-hari selanjutnya dipenuhi oleh kesibukan. Jadwal mereka mulai tumpang tindih, membuat pertemuan menjadi hal yang langka.

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   303. Di Balik Senyum Grissham

    Pak Albern menyunggingkan senyum lebih lebar, bangga melihat kematangan yang mulai tumbuh dalam diri putranya. “Bagus itu,” ujarnya sembari mengangguk. “Kau boleh saja marah, cemburu, atau bahkan mendiamkan Lora. Tapi jangan terlalu lama.” Ia menyandarkan punggung ke sofa, kedua tangannya bertaut di atas paha, ekspresi wajahnya berubah serius namun tetap hangat. “Ingat, Grissham.” “Jagalah baik-baik hubunganmu dengan Lora. Jaga pula komunikasi di antara kalian, walau hanya lewat pesan singkat. Itu sangat penting dalam sebuah hubungan.” Nadanya mengendur, seolah mengajarkan sesuatu yang lahir dari pengalaman panjang hidupnya. “Kelak dalam kehidupan rumah tangga, sembilan puluh persen masalah bisa diselesaikan atau justru bertambah rumit karena komunikasi. Kalau dari awal sudah retak, bagaimana nanti kedepannya?” Pak Albern menoleh, menatap Grissham dengan mata penuh kebapakan. “Kalau ada yang mengganjal di hatimu, ungkapkan semuanya. Bicarakan baik-baik dan cari solusi bersama.”

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   302. Nasehat Seorang Ayah

    Mentari jingga tergelincir ke ufuk barat. Cahaya senja yang meredup memantulkan semburat keemasan di lantai marmer ketika Grissham menapakkan kaki di kediaman keluarga Steward. Langkahnya terlihat gontai, seolah ada beban tak kasat mata yang mengikat kedua kakinya. Gurat kelelahan tergambar jelas di wajahnya yang rupawan tanpa mampu disembunyikan. “Assalamu'alaikum,” ucapnya begitu memasuki rumah. Kebiasaan kecil itu sudah melekat dalam dirinya. Sebuah ajaran sederhana yang diwariskan Lora—katanya, dari almarhum sang nenek. Ia selalu melafalkannya, setiap kali melewati ambang pintu, entah ada orang di dalam atau tidak. Bahkan di kantornya, kebiasaan itu tetap ia lakukan. “Waalaikumsalam.” Grissham tersentak kaget. Langkahnya otomatis terhenti. Suara balasan itu terdengar jelas, membuatnya cepat menoleh ke arah sumbernya. Di sofa ruang tamu, di bawah cahaya temaram senja, seorang pria paruh baya duduk santai. Salah satu kakinya bertumpu pada kaki yang lain, sementara kedua matany

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   301. Jangan Terlena

    Grissham mengangkat kepala perlahan. Tatapannya bertemu dengan Lora, masih dengan wajah yang sedikit mengerut, seperti anak kecil yang baru saja mengakui kesalahan tapi tetap ingin dimengerti.Katakanlah ia kekanak-kanakan. Hanya karena cemburu, dirinya memilih mendiamkan Lora selama tiga hari.Namun... apakah salah jika ia merasa seperti itu? Lora miliknya walaupun belum sepenuhnya. Ia pun punya hak untuk cemburu.Selama ini, Grissham menahan. Selalu berusaha mengalah. Ia memang mengizinkan Lora tetap berhubungan baik dengan mantan suaminya demi anak-anak. Namun, bukan berarti ia tak terluka. Ada bagian dari hatinya yang terasa diabaikan setiap kali melihat Lora tersenyum bersama pria itu.Lora tampak terlalu menikmati kebersamaan mereka seakan lupa bahwa ada hati yang harus dijaga.Karena itulah Grissham memilih bersikap seperti itu, membiarkan jarak terbentang agar Lora menyadari sendiri. Dan nyatanya, wanita itu datang. Tiga hari cukup untuk membuat Lora bertanya-tanya dan akhir

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   300. Cemburunya Grissham

    Ruangan luas nan mewah itu terdiam bisu, seolah ikut menahan napas. Hembusan lembut dari pendingin ruangan menyusup ke sela-sela, membuat udara di dalamnya terasa membeku. Detik demi detik terdengar jelas dari dentingan jarum jam di dinding, mengisi keheningan yang seakan menanti sang pemilik ruangan untuk angkat bicara. Lora duduk diam. Matanya tak berkedip, menatap Grissham lekat-lekat. Tatapan itu menyimpan rasa penasaran yang terus menggelembung di dalam dada. Jemarinya saling menggenggam, mengguratkan kegelisahan yang coba ia redam lewat kehangatan dari dirinya sendiri. Grissham menghembuskan napas panjang. Matanya tak menoleh, tetap terpaku ke satu titik di hadapan, seolah dinding polos itu lebih pantas ia tatap daripada wanita yang duduk di sampingnya. Kedua tangannya bertumpu di lutut, jari-jarinya mengepal lalu mengendur, seirama dengan napas yang berat. “Aku sedang banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan dalam waktu dekat ini,” ucapnya datar, seperti seda

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   299. Berubah

    Beberapa hari berlalu tanpa terasa. Kini, hanya tersisa dua bulan lagi menuju hari pernikahan Lora dan Grissham.Segala persiapan nyaris rampung, dibantu penuh oleh keluarga besar yang turut antusias menyambut hari bahagia mereka.Gedung hotel megah milik keluarga Kusuma telah dipastikan dan dijadwalkan menjadi tempat berlangsungnya momen sakral itu.Gaun pengantin berpotongan anggun tergantung rapi di balik tirai kaca LaCia Boutique, menanti hari di mana Lora akan mengenakannya. Seragam keluarga pun telah selesai dijahit, lengkap dalam berbagai ukuran. MUA ternama yang menjadi incaran para pengantin sudah dibooking sejak beberapa bulan lalu. Jadwalnya dikunci, tak bisa diganggu gugat.Dan yang tak kalah penting, mereka memutuskan untuk mempercayakan seluruh rangkaian acara kepada wedding organizer profesional. Mulai dari acara siraman hingga resepsi, semua diserahkan kepada tangan-tangan berpengalaman.Rapat demi rapat digelar. Lora dan Grissham selalu hadir, duduk berdampingan den

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   298. Keputusan yang Tak Bisa Diganggu Gugat

    Wajah Bu Anita seketika berubah. Ada gurat kecewa yang perlahan menyusup. Sorot matanya tampak meredup, senyum yang tadi sempat mengembang perlahan menghilang. “Kamu udah memikirkan keputusan ini matang-matang, Nak?” tanyanya pelan dengan mata yang menatap lurus. “Udah, Ma,” jawab Lora dengan lirih tapi tegas. “Bahkan sejak awal aku memilih Kak Sham.” Ia menunduk sejenak, menahan tarikan emosi yang bergolak di dadanya. “Sekali lagi, aku minta maaf, Ma.” Keheningan menggantung beberapa saat. Lora menanti, menebak-nebak reaksi yang akan keluar. Raut datar di wajah Bu Anita membuat pikirannya mulai liar, mencari-cari makna dari setiap helaan napas wanita itu. Ia tahu betul watak ibunya Dhafin. Kini, muncul satu pertanyaan. Apakah keputusan ini akan diterima… atau akan menjadi awal dari jarak yang semakin renggang? Lora menunggu tanggapan Bu Anita dengan sedikit cemas. Melihat dari ekspresinya, sudah pasti beliau akan sangat marah, lalu memaksa agar permintaannya dipenuhi.

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   297. Perhatian yang Timpang

    Pertanyaan itu menggantung di udara. Dhafin tak langsung menjawab, dan dari keheningannya itu saja Lora sudah tahu jawabannya.“Aku nggak menyangkal,” akhirnya Dhafin bicara, suaranya tenang tapi berat. “Tapi itu juga bukan alasan utama. Aku beneran kangen anak-anak. Bukan cuma karena kamu, tapi karena aku ayah mereka.” Ia menarik napas lagi, lalu memalingkan wajah, menatap ke arah rumah tempat tawa si kembar kini terdengar samar. “Kejadian kemarin… bikin aku sadar. Aku nggak cuma kehilangan kamu, tapi juga mereka. Rasanya hampa banget.”Dhafin kembali menatap Lora, sorot matanya kali ini serius dan penuh harap. “Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu izinkan aku tetap ada di hidup mereka. Walau kamu udah punya kehidupan sendiri.”Lora terkekeh pelan, suara tawanya lirih namun mengandung makna. Sudut bibirnya terangkat, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar geli.“Aku dari awal udah membebaskanmu bertemu anak-anak. Aku nggak pernah membatasi,” ujarnya

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   296. Permintaan Maaf

    “Papa!”Dua bocah kembar itu melesat turun dari mobil. Kaki-kaki mungil mereka menapak cepat di jalan setapak.Suara langkah kecil berpadu dengan teriakan riang, menciptakan simfoni rindu yang tak terbendung.Mereka langsung menghambur ke dalam pelukan ayahnya yang berdiri di teras dengan tangan terbuka dan mata yang tampak sedikit berembun.Begitu tubuh kecil itu memeluknya, Dhafin menunduk dan mendekap mereka erat seolah tak ingin melepaskan.Tangannya membelai rambut keduanya, mencium pipi mereka satu per satu dengan tawa kecil yang tertahan. Hatinya mencelos, penuh sesak oleh rasa bersalah yang belum juga reda. Terakhir ia melihat wajah mereka adalah di rumah sakit saat menjenguk ibunya.Sejak pertengkaran panas itu, Lora benar-benar menjauh. Dan ia... hanya bisa menyesali semuanya dalam diam.“Papa kangen banget sama kalian.” Suaranya bergetar, tetapi hangat.Ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi di wajah mereka, membuat anak-anak itu tertawa geli sambil memegangi pipi mereka. “Kal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status