Lukas berdiri di depan meja concierge, raut wajahnya serius. "Masih ada nggak wanita itu, Lana, yang suka datang ke sini?" tanyanya singkat, suaranya nyaris berbisik.Petugas concierge menggeleng sopan. "Sepertinya sudah hampir seminggu nggak kesini, Pak Lukas."Lukas hanya mengangguk pelan, wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun. Namun, sebelum ia sempat berbalik meninggalkan meja, sebuah suara menyapanya dari belakang.“Lukas,” panggil Ruby dengan nada tegas. “Kenapa kamu mencari wanita bernama Lana itu?”Lukas terdiam sejenak, lalu memilih membungkam dan berjalan pergi begitu saja, meninggalkan Ruby yang masih berdiri dengan tatapan penuh tanda tanya.Ruby tidak tinggal diam. Melihat keponakannya yang tampak tergesa dan mencurigakan, ia mengikuti Lukas dari belakang. Langkah kakinya ringan, namun sorot matanya penuh tekad. "Lukas," panggil Ruby sekali lagi, kini lebih keras, suaranya menggema di koridor. Lukas berhenti. Bahunya mengencang, tapi ia tak langsung menoleh. "Apa ur
Kai melangkah masuk ke ruangannya, dan pandangannya langsung tertuju pada sosok Sera yang duduk di sofa. Wanita dengan perut membuncit itu tenggelam dalam majalah yang memamerkan koleksi terbaru oleh grup Adnan. Dress bermotif bunga yang dikenakan Sera memancarkan kesan anggun yang memikat, membuat Kai berhenti sejenak di pintu, sekadar menikmati pemandangan itu. Ia tersenyum kecil, suasana hatinya yang sebelumnya penuh amarah berubah seketika. "Sayang," panggil Kai dengan suara lembut, nyaris seperti bisikan. Sera menoleh perlahan, kedua alisnya terangkat sedikit karena terkejut. Panggilan itu bukan sesuatu yang biasa keluar dari mulut suaminya, apalagi dengan nada seperti itu. "Sayang?" ulangnya dengan nada aneh, tapi rona merah tipis mulai terlihat di pipinya. Kai mendekat, duduk di tepi sofa di hadapannya, membuat jarak mereka hanya beberapa inci. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh lembut jemari Sera yang masih memegang majalah. "Kamu cantik banget pakai dress ini," ucapn
Lukas duduk di ujung bar, jari-jarinya mengetuk gelas whiskey yang hampir kosong. Matanya menatap lurus ke depan, fokusnya mengabur dalam keremangan ruangan. Lampu-lampu neon berwarna redup memantulkan bayangannya yang suram di permukaan meja kaca. Ia menarik napas panjang, kepalanya terasa berat. Akhir-akhir ini, hanya di tempat seperti inilah ia merasa sedikit tenang atau mungkin lebih tepatnya, menikmati perayaan mati rasa atas cintanya yang mungkin tidak bisa tumbuh untuk orang lain. Gelas kedua di depannya sudah lama habis, tapi ia belum memanggil bartender untuk mengisinya lagi. "Sera..." gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Hanya satu nama itu yang terus menghantui pikirannya. Dia punya segalanya. Uang, kekuasaan, dan nama besar keluarga Adnan-Candra. Tapi apa artinya semua itu kalau satu hal yang paling diinginkannya justru terasa mustahil digapai? Lukas mengepalkan tangan, rasa frustrasi dan kekosongan semakin dalam mencengkeram hatinya. Dia tahu, memikirkan Sera te
Entah bagaimana awalnya, Lukas dan Elli kini sudah berada di sebuah kamar junior suite yang mewah. Ia yang awalnya hanya ingin mencari tahu tentang topik pembicaraan yang mencatut nama Sera itu, saat ini malah terjebak di kamar mewah.Mati-matian Lukas berusaha untuk menahan dirinya, tetapi Elli terus menyerangnya. Lukas membiarkannya dan mulai mengikuti permainan Elli. Hingga Lukas akhirnya terus membalas kecupan singkat Elli, bahkan kini tangan Lukas sudah mengungkung pergerakan Elli di dinding. Lukas tidak menampik wajah Elli dan Sera yang hampir mirip. Kini Lukas malah dengan kurang ajar memposisikan Elli seolah adalah Sera dan membayangkan kini sedang mencumbuinya.Rasa kehilangan Sera dan alkohol yang ia minum berhasil memperdaya tubuh Lukas.Tak lama, tangan nakal Elli sudah membuka kemeja kerja Lukas. Dada bidang pria itu kini terbuka tepat di depan mata Elli. Wanita itu tampak sudah ahli, tanpa dikomando pun Elli segera mengecup dada bidang Lukas.Lukas tidak tahan lagi,
Kai dan Sera duduk di bangku taman dengan es krim di tangan. Angin sepoi-sepoi menemani mereka, sementara Sera tampak menikmati setiap suapan dari wadah es krimnya yang berisi tiga scoop es krim rasa mangga, kelapa, dan cokelat. Wanita hamil itu sejak pagi sudah bersiap-siap untuk momen kecil ini, keinginan makannya benar-benar tak bisa ditunda. Kai tersenyum melihat wajah Sera yang berseri-seri sambil menjilat es krimnya. “Kamu suka?” tanyanya lembut, sambil memandang Sera penuh perhatian. Sera mengangguk antusias. “Suka banget, Mas. Ini bener-bener bikin aku keinget waktu SMA.” “Kenapa memangnya?” tanya Kai penasaran. Sera tersenyum kecil sambil memainkan sendok plastiknya. “Dulu aku sering banget makan es krim kayak gini. Aku sama temen-temenku suka keluyuran, mampir ke kedai es krim, terus ngobrol sampai lupa waktu.” Kai tertawa kecil. “Kedengarannya seru. Siapatemenmu?” Sera mendadak meringis. Ada sesuatu di wajahnya yang sulit diterjemahkan, seolah-olah kenangan itu
Sera melangkah tergesa-gesa di lorong rumah sakit, sepatu flat-nya beradu lembut dengan lantai keramik dingin. Bau antiseptik yang tajam menyeruak, membanjiri indranya dan mengingatkan bahwa ia sedang berada di tempat yang selalu ia hindari. Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban yang tak terlihat di pundaknya.Ketika ia mendorong pintu kamar rawat inap itu, pandangannya langsung tertuju pada Mamanya. Wanita itu duduk sendirian di sofa kecil di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk sedikit ke depan, kedua tangan saling menggenggam di pangkuannya. Wajahnya terlihat lelah, dengan lingkaran gelap di bawah matanya, tapi tidak ada air mata yang mengalir. Tidak ada tangisan histeris yang Sera bayangkan sebelumnya.“Mama...” Sera memanggil pelan, suaranya bergetar, seperti anak kecil yang memohon perlindungan.Fara tersentak kecil, menoleh ke arah putrinya. Tatapannya melembut saat melihat Sera, tapi senyum yang biasanya hangat kini terasa hambar, hampir kosong.Sera berjalan me
Sera melangkah pelan ke sisi ranjang ayahnya. Matanya menyapu wajah Dani yang pucat, nyaris tanpa ekspresi. Hanya suara mesin monitor yang terus berdetak pelan menandakan bahwa hidupnya masih bertahan. Dengan gemetar, ia duduk di kursi di samping ranjang dan menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan lemah."Papa..." bisik Sera, suaranya hampir tak terdengar. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan getar di dadanya. "Sera di sini, Pa. Papa nggak perlu khawatir lagi. AMas Kai bisa di andalkan. Terakhir kali Papa dan Mas Kai bersama memang gak mengenakkan. Tapi, Pa. Aku yakin sekarang.. Mas Kai bisa jaga aku."Air matanya jatuh, tapi ia tetap berusaha tersenyum. Dengan lembut, ia memindahkan tangan Dani yang lemas ke atas perutnya yang mulai membulat. Seolah mendengar panggilan itu, bayi yang ada di dalamnya bergerak, memberi tendangan kecil yang mengejutkan Sera."Papa... ini cucu Papa," lanjutnya, suaranya bergetar. "Papa kerasa, gak? Dia nyapa Papa. Dia kayaknya mau bilang Eyang, i
Para pelayat mulai berdatangan, memenuhi ruang duka dengan suasana yang tenang namun sarat kesedihan. Aroma bunga melati dan krisan memenuhi udara, bercampur dengan keheningan yang terasa berat. Beberapa pelayat berbisik, sementara yang lain hanya menunduk dalam doa, memberi penghormatan terakhir kepada Dani. Fara duduk di kursi dekat jasad suaminya yang terbaring tenang di dalam peti. Wajahnya tak menyiratkan kesedihan yang berlebihan, namun ada duka mendalam yang terpancar dari caranya mengusap lembut pipi Dani dan membelai alis tebal pria itu. Gestur kecil penuh kenangan yang hanya dimengerti oleh hati seorang istri. Sesekali, air matanya jatuh, namun Fara tak pernah meratap. Ia hanya menghela napas panjang, berusaha menerima kenyataan bahwa pria yang telah menemaninya lebih dari separuh hidup kini telah pergi. “Istirahatlah, Dan,” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Di sisi lain ruangan, Sera duduk bersandar di bahu Kai. Sesekali, ia menutup wajah dengan tangannya
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama