Kai dan Sera duduk di bangku taman dengan es krim di tangan. Angin sepoi-sepoi menemani mereka, sementara Sera tampak menikmati setiap suapan dari wadah es krimnya yang berisi tiga scoop es krim rasa mangga, kelapa, dan cokelat. Wanita hamil itu sejak pagi sudah bersiap-siap untuk momen kecil ini, keinginan makannya benar-benar tak bisa ditunda. Kai tersenyum melihat wajah Sera yang berseri-seri sambil menjilat es krimnya. “Kamu suka?” tanyanya lembut, sambil memandang Sera penuh perhatian. Sera mengangguk antusias. “Suka banget, Mas. Ini bener-bener bikin aku keinget waktu SMA.” “Kenapa memangnya?” tanya Kai penasaran. Sera tersenyum kecil sambil memainkan sendok plastiknya. “Dulu aku sering banget makan es krim kayak gini. Aku sama temen-temenku suka keluyuran, mampir ke kedai es krim, terus ngobrol sampai lupa waktu.” Kai tertawa kecil. “Kedengarannya seru. Siapatemenmu?” Sera mendadak meringis. Ada sesuatu di wajahnya yang sulit diterjemahkan, seolah-olah kenangan itu
Sera melangkah tergesa-gesa di lorong rumah sakit, sepatu flat-nya beradu lembut dengan lantai keramik dingin. Bau antiseptik yang tajam menyeruak, membanjiri indranya dan mengingatkan bahwa ia sedang berada di tempat yang selalu ia hindari. Setiap langkahnya terasa berat, seolah membawa beban yang tak terlihat di pundaknya.Ketika ia mendorong pintu kamar rawat inap itu, pandangannya langsung tertuju pada Mamanya. Wanita itu duduk sendirian di sofa kecil di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk sedikit ke depan, kedua tangan saling menggenggam di pangkuannya. Wajahnya terlihat lelah, dengan lingkaran gelap di bawah matanya, tapi tidak ada air mata yang mengalir. Tidak ada tangisan histeris yang Sera bayangkan sebelumnya.“Mama...” Sera memanggil pelan, suaranya bergetar, seperti anak kecil yang memohon perlindungan.Fara tersentak kecil, menoleh ke arah putrinya. Tatapannya melembut saat melihat Sera, tapi senyum yang biasanya hangat kini terasa hambar, hampir kosong.Sera berjalan me
Sera melangkah pelan ke sisi ranjang ayahnya. Matanya menyapu wajah Dani yang pucat, nyaris tanpa ekspresi. Hanya suara mesin monitor yang terus berdetak pelan menandakan bahwa hidupnya masih bertahan. Dengan gemetar, ia duduk di kursi di samping ranjang dan menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan lemah."Papa..." bisik Sera, suaranya hampir tak terdengar. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan getar di dadanya. "Sera di sini, Pa. Papa nggak perlu khawatir lagi. AMas Kai bisa di andalkan. Terakhir kali Papa dan Mas Kai bersama memang gak mengenakkan. Tapi, Pa. Aku yakin sekarang.. Mas Kai bisa jaga aku."Air matanya jatuh, tapi ia tetap berusaha tersenyum. Dengan lembut, ia memindahkan tangan Dani yang lemas ke atas perutnya yang mulai membulat. Seolah mendengar panggilan itu, bayi yang ada di dalamnya bergerak, memberi tendangan kecil yang mengejutkan Sera."Papa... ini cucu Papa," lanjutnya, suaranya bergetar. "Papa kerasa, gak? Dia nyapa Papa. Dia kayaknya mau bilang Eyang, i
Para pelayat mulai berdatangan, memenuhi ruang duka dengan suasana yang tenang namun sarat kesedihan. Aroma bunga melati dan krisan memenuhi udara, bercampur dengan keheningan yang terasa berat. Beberapa pelayat berbisik, sementara yang lain hanya menunduk dalam doa, memberi penghormatan terakhir kepada Dani. Fara duduk di kursi dekat jasad suaminya yang terbaring tenang di dalam peti. Wajahnya tak menyiratkan kesedihan yang berlebihan, namun ada duka mendalam yang terpancar dari caranya mengusap lembut pipi Dani dan membelai alis tebal pria itu. Gestur kecil penuh kenangan yang hanya dimengerti oleh hati seorang istri. Sesekali, air matanya jatuh, namun Fara tak pernah meratap. Ia hanya menghela napas panjang, berusaha menerima kenyataan bahwa pria yang telah menemaninya lebih dari separuh hidup kini telah pergi. “Istirahatlah, Dan,” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Di sisi lain ruangan, Sera duduk bersandar di bahu Kai. Sesekali, ia menutup wajah dengan tangannya
Setelah pemakaman selesai, suasana perlahan mulai lengang. Para pelayat telah kembali ke kehidupan masing-masing, menyisakan keheningan yang terasa begitu mencekam.Hanya Kai dan Fara yang masih berdiri di dekat makam Dani, memandangi tanah basah yang kini menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.Udara sore terasa berat, seolah-olah ikut meresapi kesedihan yang menggantung di antara mereka. Kai menarik napas panjang, mencoba mencari kekuatan untuk memecah kesunyian. Ia menoleh ke arah Fara, yang sejak tadi hanya diam menatap batu nisan suaminya.“Ma…” Kai memanggil lembut, suaranya rendah tapi penuh perhatian. “Sudah sore. Yuk, kita pulang.”Fara tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada makam, seakan enggan meninggalkan tempat itu. Namun setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Mari kita pulang.”Kai melangkah pelan di sampingnya, berjalan menyusuri jalur pemakaman yang sunyi. Sesekali ia melirik Fara, mencoba membaca apa yang tengah dirasakan wanita itu. Meski
Kai tengah menyesap kopinya saat ia mengingat kejadian siang tadi di rumah Sera.Rumah keluarga Sera penuh sesak siang itu. Suara percakapan dan langkah-langkah kecil para tamu bergema di setiap sudut. Kehadiran keluarga besar Haryadi membuat suasana semakin ramai, menambah kesan megah pada rumah yang sudah besar itu.Di antara keramaian itu, Lukas berdiri agak di sudut, sedikit menjauh dari hiruk-pikuk. Matanya memindai sekeliling, mencari wajah-wajah yang familiar. Ia tidak menyapa siapa pun, bahkan Sera, seseorang yang pernah mengisi ruang penting di hidupnya.Begitu pandangannya menemukan Sera, ia melihat wanita itu tersedu di pelukan Kai. Lukas mendadak berhenti bergerak. Pemandangan itu, dulu, pasti akan menciptakan rasa tak nyaman yang menyayat hatinya. Tapi kali ini, tidak. Ada sesuatu yang lain yang menarik perhatiannya.Di dekat jendela besar ruang tamu, berdiri seorang wanita. Elli. Wajahnya menghadap keluar, tapi tubuhnya kaku, seolah sedang menanggung beban yang berat.
Dua hari setelah pemakaman, Elli sedang duduk di ruang kerjanya ketika ponselnya berdering. Nama Om Herman muncul di layar, membuatnya menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. Suara Herman terdengar tegas, langsung memberitahu bahwa akan ada audit internal di perusahaan yang Elli pimpin sekarang. Setelah itu, keluarga besar akan berkumpul untuk merapatkan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan perusahaan. Elli mendengarkan dengan tenang, tanpa menunjukkan perlawanan sedikit pun. “Baik, Om. Saya akan mengikuti semua prosedurnya,” jawab Elli dengan nada dingin, sebelum menutup telepon.Entah sejak kapan, Fara sudah berdiri di ambang pintu ruangan yang dulu menjadi ruang kerja suaminya. Wanita itu menghampiri anak sulungnya. Ia menepuk pundak Elli perlahan, membuat putrinya menoleh. “Elli... Kamu sudah siap ‘kan, Nak? Kamu benar mau ngelepas semua ini? Beberapa minggu lalu kamu malah masih keras kepala untuk meneruskan semuanya,” tanya Fara, suaranya lembut namun sarat
Saat Elli membuka mata, dari posisinya Lukas tampak gagah dengan postur tubuh yang kekar dan berotot bahkan kini dia dihiasi dengan kilauan yang memancar akibat keringat yang bercucuran. Elli dan Lukas sama-sama mengejar tujuan yang sama. Sebuah pelepasan yang melegakan dan sangat dinanti. Lukas berusaha untuk memuaskan Elli yang terus meminta lebih. Bosan dengan posisi yang pada umumnya, Elli berbisik di telinga Lukas saat pria itu meruntuhkan tubuhnya. “Sekarang giliranku,” pintanya dengan suara yang sangat menggoda. Wanita itu menaiki Lukas dengan penuh percaya diri. Membiarkan milik Lukas tertancap sempurna dan menusuk titik sensitifnya berkali-kali, membuatnya semakin tak karuan di atas sana. Lukas sangat menikmati cara Elli memberikan kenikmatan. Sehingga Lukas membantu wanitanya untuk naik turun dengan lebih lembut, menuntun pergerakannya agar lebih teratur dan memberikan sensasi luar biasa. Baik Elli dan Lukas merasakan kenikmatan dan menyebut nama satu sama lain dengan
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.