Share

Bab 87.

Penulis: Ahgisa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-26 21:10:51

Sera melangkah pelan ke sisi ranjang ayahnya. Matanya menyapu wajah Dani yang pucat, nyaris tanpa ekspresi.

Hanya suara mesin monitor yang terus berdetak pelan menandakan bahwa hidupnya masih bertahan. Dengan gemetar, ia duduk di kursi di samping ranjang dan menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan lemah.

"Papa..." bisik Sera, suaranya hampir tak terdengar. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan getar di dadanya. "Sera di sini, Pa. Papa nggak perlu khawatir lagi. AMas Kai bisa di andalkan. Terakhir kali Papa dan Mas Kai bersama memang gak mengenakkan. Tapi, Pa. Aku yakin sekarang.. Mas Kai bisa jaga aku."

Air matanya jatuh, tapi ia tetap berusaha tersenyum. Dengan lembut, ia memindahkan tangan Dani yang lemas ke atas perutnya yang mulai membulat.

Seolah mendengar panggilan itu, bayi yang ada di dalamnya bergerak, memberi tendangan kecil yang mengejutkan Sera.

"Papa... ini cucu Papa," lanjutnya, suaranya bergetar. "Papa kerasa, gak? Dia nyapa Papa. Dia kayaknya mau bilang Eyang, i
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 88.

    Para pelayat mulai berdatangan, memenuhi ruang duka dengan suasana yang tenang namun sarat kesedihan. Aroma bunga melati dan krisan memenuhi udara, bercampur dengan keheningan yang terasa berat. Beberapa pelayat berbisik, sementara yang lain hanya menunduk dalam doa, memberi penghormatan terakhir kepada Dani. Fara duduk di kursi dekat jasad suaminya yang terbaring tenang di dalam peti. Wajahnya tak menyiratkan kesedihan yang berlebihan, namun ada duka mendalam yang terpancar dari caranya mengusap lembut pipi Dani dan membelai alis tebal pria itu. Gestur kecil penuh kenangan yang hanya dimengerti oleh hati seorang istri. Sesekali, air matanya jatuh, namun Fara tak pernah meratap. Ia hanya menghela napas panjang, berusaha menerima kenyataan bahwa pria yang telah menemaninya lebih dari separuh hidup kini telah pergi. “Istirahatlah, Dan,” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Di sisi lain ruangan, Sera duduk bersandar di bahu Kai. Sesekali, ia menutup wajah dengan tangannya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 89.

    Setelah pemakaman selesai, suasana perlahan mulai lengang. Para pelayat telah kembali ke kehidupan masing-masing, menyisakan keheningan yang terasa begitu mencekam.Hanya Kai dan Fara yang masih berdiri di dekat makam Dani, memandangi tanah basah yang kini menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.Udara sore terasa berat, seolah-olah ikut meresapi kesedihan yang menggantung di antara mereka. Kai menarik napas panjang, mencoba mencari kekuatan untuk memecah kesunyian. Ia menoleh ke arah Fara, yang sejak tadi hanya diam menatap batu nisan suaminya.“Ma…” Kai memanggil lembut, suaranya rendah tapi penuh perhatian. “Sudah sore. Yuk, kita pulang.”Fara tidak langsung menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada makam, seakan enggan meninggalkan tempat itu. Namun setelah beberapa detik, ia mengangguk pelan. “Mari kita pulang.”Kai melangkah pelan di sampingnya, berjalan menyusuri jalur pemakaman yang sunyi. Sesekali ia melirik Fara, mencoba membaca apa yang tengah dirasakan wanita itu. Meski

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 90.

    Kai tengah menyesap kopinya saat ia mengingat kejadian siang tadi di rumah Sera.Rumah keluarga Sera penuh sesak siang itu. Suara percakapan dan langkah-langkah kecil para tamu bergema di setiap sudut. Kehadiran keluarga besar Haryadi membuat suasana semakin ramai, menambah kesan megah pada rumah yang sudah besar itu.Di antara keramaian itu, Lukas berdiri agak di sudut, sedikit menjauh dari hiruk-pikuk. Matanya memindai sekeliling, mencari wajah-wajah yang familiar. Ia tidak menyapa siapa pun, bahkan Sera, seseorang yang pernah mengisi ruang penting di hidupnya.Begitu pandangannya menemukan Sera, ia melihat wanita itu tersedu di pelukan Kai. Lukas mendadak berhenti bergerak. Pemandangan itu, dulu, pasti akan menciptakan rasa tak nyaman yang menyayat hatinya. Tapi kali ini, tidak. Ada sesuatu yang lain yang menarik perhatiannya.Di dekat jendela besar ruang tamu, berdiri seorang wanita. Elli. Wajahnya menghadap keluar, tapi tubuhnya kaku, seolah sedang menanggung beban yang berat.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 91.

    Dua hari setelah pemakaman, Elli sedang duduk di ruang kerjanya ketika ponselnya berdering. Nama Om Herman muncul di layar, membuatnya menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu. Suara Herman terdengar tegas, langsung memberitahu bahwa akan ada audit internal di perusahaan yang Elli pimpin sekarang. Setelah itu, keluarga besar akan berkumpul untuk merapatkan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan perusahaan. Elli mendengarkan dengan tenang, tanpa menunjukkan perlawanan sedikit pun. “Baik, Om. Saya akan mengikuti semua prosedurnya,” jawab Elli dengan nada dingin, sebelum menutup telepon.Entah sejak kapan, Fara sudah berdiri di ambang pintu ruangan yang dulu menjadi ruang kerja suaminya. Wanita itu menghampiri anak sulungnya. Ia menepuk pundak Elli perlahan, membuat putrinya menoleh. “Elli... Kamu sudah siap ‘kan, Nak? Kamu benar mau ngelepas semua ini? Beberapa minggu lalu kamu malah masih keras kepala untuk meneruskan semuanya,” tanya Fara, suaranya lembut namun sarat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 92.

    Saat Elli membuka mata, dari posisinya Lukas tampak gagah dengan postur tubuh yang kekar dan berotot bahkan kini dia dihiasi dengan kilauan yang memancar akibat keringat yang bercucuran. Elli dan Lukas sama-sama mengejar tujuan yang sama. Sebuah pelepasan yang melegakan dan sangat dinanti. Lukas berusaha untuk memuaskan Elli yang terus meminta lebih. Bosan dengan posisi yang pada umumnya, Elli berbisik di telinga Lukas saat pria itu meruntuhkan tubuhnya. “Sekarang giliranku,” pintanya dengan suara yang sangat menggoda. Wanita itu menaiki Lukas dengan penuh percaya diri. Membiarkan milik Lukas tertancap sempurna dan menusuk titik sensitifnya berkali-kali, membuatnya semakin tak karuan di atas sana. Lukas sangat menikmati cara Elli memberikan kenikmatan. Sehingga Lukas membantu wanitanya untuk naik turun dengan lebih lembut, menuntun pergerakannya agar lebih teratur dan memberikan sensasi luar biasa. Baik Elli dan Lukas merasakan kenikmatan dan menyebut nama satu sama lain dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 93.

    Elli terdiam sejenak, memandang Sera dengan ekspresi dingin. "Lo... lo kenal Lukas?" tanyanya singkat, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Sera belum sempat menjawab ketika Kai muncul dari balik punggung istrinya, sudah rapi dengan jas kantor. Pria itu menatap Elli sambil memasang wajah dingin."Tentu aja kenal, Elli. Lukas itu keponakan gue. Dan buat info tambahan, dia juga mantan gebetannya Sera," kata Kai santai, tapi kalimatnya cukup untuk membuat Elli terdiam dengan mata melebar.Elli menatap Sera sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Biasanya, mendengar hal seperti ini akan membuat amarahnya tersulut. Tapi kali ini, entah kenapa, dia hanya menghela napas panjang dan memilih untuk tidak menanggapi. "Gue ke kamar," gumam Elli sambil melangkah menaiki tangga.Namun, saat dia berpapasan dengan Kai di tangga, langkahnya terhenti. Pria itu, meski tidak menunjukkan nada marah, menatapnya dengan penuh arti. "Elli, gue cuma mau ngingetin satu hal. Lo nggak bisa sembarangan, apalagi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 94.

    Dalam perjalanan menuju kantor, suasana di dalam mobil sempat sunyi. Kai, yang terlihat sedikit kesal namun mencoba santai, akhirnya membuka suara. "Masih mikirin Lukas, ya, Ra?" tanyanya sambil melirik sekilas ke arah Sera yang duduk di sampingnya.Sera menoleh cepat, alisnya terangkat bingung. "Hah? Apa sih, Mas? Nggak, kok. Aku nggak mikirin dia," jawabnya dengan nada bingung bercampur geli.Kai menghela napas panjang, berusaha terlihat santai meskipun nada cemburu tersirat jelas dalam suaranya. "Tapi dari tadi kelihatannya kamu kepikiran sesuatu. Jangan-jangan kamu kangen sama Lukas?" godanya, meski ada nada serius yang terselip.Sera langsung tertawa kecil. "Mas, serius deh. Aku nggak mikirin Lukas. Nggak mungkin lah!" katanya sambil mencubit ringan lengan Kai.Kai berpura-pura meringis. "Ya siapa tahu. Kamu kan dulu sempat naksir dia. Kalau sekarang masih kebayang-bayang, wajar kan aku curiga?"Sera memutar bola matanya, lalu menggeleng sambil tersenyum lebar. "Bukan Lukas yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28
  • Mari Bercerai, Paman Kai!   Bab 95.

    Kai melangkah masuk ke ruang rapat dengan langkah tegas, pandangannya langsung tertuju pada Herman dan Adrian yang sudah duduk santai di kursi. Herman, dengan senyuman kecil yang sarat nada mengejek, menyambutnya dengan nada sarkas, "Wah, menantu keluarga Haryadi ini ternyata cukup berkuasa, ya? Membiarkan kami menunggu di ruang rapat seperti ini, padahal biasanya tamu penting disambut dengan lebih... hangat."Kai tersenyum tipis, sama sekali tidak terpengaruh oleh sindiran itu. "Selamat pagi, Om Herman, Adrian. Maaf kalau ada yang terasa kurang nyaman. Mari kita langsung ke inti pembicaraan saja." Ia memberi isyarat untuk mereka tetap duduk, lalu mengambil tempat di seberang meja.Herman, dengan sikap percaya diri, membuka percakapan. "Kami di sini membawa penawaran kerja sama yang menurut saya akan menguntungkan kedua pihak. Salah satunya adalah pembukaan gerai makanan milik keluarga kami di salah satu gedung milik keluarga Adnan. Lokasi strategis, tentu akan menarik banyak perhati

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29

Bab terbaru

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   190 - S3 - END

    Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   189 - S3

    Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   188 - S3

    Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   187 - S3

    Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   186 - S3

    Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   185 - S3

    Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   184 - S3

    Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   183 - S3

    Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn

  • Mari Bercerai, Paman Kai!   182 - S3

    Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status