Dalam perjalanan menuju kantor, suasana di dalam mobil sempat sunyi. Kai, yang terlihat sedikit kesal namun mencoba santai, akhirnya membuka suara. "Masih mikirin Lukas, ya, Ra?" tanyanya sambil melirik sekilas ke arah Sera yang duduk di sampingnya.Sera menoleh cepat, alisnya terangkat bingung. "Hah? Apa sih, Mas? Nggak, kok. Aku nggak mikirin dia," jawabnya dengan nada bingung bercampur geli.Kai menghela napas panjang, berusaha terlihat santai meskipun nada cemburu tersirat jelas dalam suaranya. "Tapi dari tadi kelihatannya kamu kepikiran sesuatu. Jangan-jangan kamu kangen sama Lukas?" godanya, meski ada nada serius yang terselip.Sera langsung tertawa kecil. "Mas, serius deh. Aku nggak mikirin Lukas. Nggak mungkin lah!" katanya sambil mencubit ringan lengan Kai.Kai berpura-pura meringis. "Ya siapa tahu. Kamu kan dulu sempat naksir dia. Kalau sekarang masih kebayang-bayang, wajar kan aku curiga?"Sera memutar bola matanya, lalu menggeleng sambil tersenyum lebar. "Bukan Lukas yang
Kai melangkah masuk ke ruang rapat dengan langkah tegas, pandangannya langsung tertuju pada Herman dan Adrian yang sudah duduk santai di kursi. Herman, dengan senyuman kecil yang sarat nada mengejek, menyambutnya dengan nada sarkas, "Wah, menantu keluarga Haryadi ini ternyata cukup berkuasa, ya? Membiarkan kami menunggu di ruang rapat seperti ini, padahal biasanya tamu penting disambut dengan lebih... hangat."Kai tersenyum tipis, sama sekali tidak terpengaruh oleh sindiran itu. "Selamat pagi, Om Herman, Adrian. Maaf kalau ada yang terasa kurang nyaman. Mari kita langsung ke inti pembicaraan saja." Ia memberi isyarat untuk mereka tetap duduk, lalu mengambil tempat di seberang meja.Herman, dengan sikap percaya diri, membuka percakapan. "Kami di sini membawa penawaran kerja sama yang menurut saya akan menguntungkan kedua pihak. Salah satunya adalah pembukaan gerai makanan milik keluarga kami di salah satu gedung milik keluarga Adnan. Lokasi strategis, tentu akan menarik banyak perhati
Diani menyambut anak dan menantunya dengan antusias. Begitu melihat Sera, wanita itu langsung memeluk menantunya erat, bahkan tanpa melirik Kai terlebih dahulu. "Sera, kamu kelihatan tambah cantik! Gimana kabarnya?" tanya Diani dengan nada penuh perhatian, menggandeng tangan Sera masuk ke dalam rumah. Kai yang berdiri di belakang hanya bisa mendengus pelan. "Bu! Aku juga datang, lho. Anak Ibu yang paling ganteng dari pada yang lain!" ujarnya dengan nada pura-pura merajuk. Namun, Diani hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh. "Ah, masih ganteng Abang-abangmu!." Kai menggeleng tak percaya sambil mengikuti langkah ibunya dan istrinya masuk ke ruang tamu. Diani sudah sibuk memberi arahan kepada asisten rumah tangganya. "Tolong buatkan jus mangga segar, ya. Yang manis, jangan asam. Oh, dan kue cokelat yang tadi siang saya beli, keluarkan sekarang." Sera tersenyum, merasa senang dengan perhatian Diani. Tapi Kai kembali berkomentar dengan nada pura-pura tak suka. "Bu, aku juga m
Elli berjalan memasuki kantor dengan langkah yang tenang, meskipun pikirannya penuh kekacauan. Sejak audit internal diumumkan, ia sudah menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, itu tidak membuat situasi ini lebih mudah di terima oleh akalnya. Ketika ia membuka pintu ruangannya, bayangan sosok Herman, paman yang selalu berusaha menguasai segalanya, sudah menyambut. Tidak hanya Herman, dua sepupunya, Viola dan Adrian, juga ada di sana. Viola tersenyum sinis, sementara Adrian hanya menatap Elli dengan ekspresi datar. Elli berhenti sejenak di depan pintu, memperhatikan tiga orang yang sudah membuat ruangan itu seperti milik mereka. “Pagi yang cerah untuk kejutan seperti ini,” kata Elli sambil masuk dan menutup pintu. Herman tidak menjawab sapaan itu. Ia hanya melemparkan setumpuk dokumen ke meja Elli. “Baca ini,” katanya singkat. Elli melirik dokumen itu sejenak sebelum mengambilnya. Ia membuka halaman pertama dan mulai membaca laporan audit yang diberikan. Matanya berg
Elli memasuki rumah dengan langkah berat. Di ruang tengah, ia mendapati Kai, Sera, dan Mamanya sedang duduk santai.Suara tawa kecil Sera dan tanggapan hangat Fara seakan menyambut Elli dengan suasana yang kontras dengan hari suram yang baru saja ia lewati. Fara, yang melihat putri sulungnya memasuki ruangan, langsung memanggil, “Elli, sini, Nak. Gimana hari ini di kantor?” Elli menghampiri mereka dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan keletihan yang menggantung di wajahnya. “Biasa, Ma. Om Herman dan anak-anaknya lagi sibuk pamer kekuasaan. Mereka sudah memutuskan untuk ambil alih semuanya,” katanya, berusaha terdengar santai meski nada bicaranya mencerminkan kepahitan. Fara mengangguk pelan, mencoba memberi penghiburan. “Ya, sudah waktunya kita tinggalkan semua ini, Elli. Toh, kita masih punya tempat lain. Beruntungnya, Kai sudah menemukan rumah yang cocok untuk Mama.” Elli menatap Mamanya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Kalau gitu, aku izin mau tinggal di apartemenku a
Matahari pagi menembus jendela kaca besar di ruang kerja Elli. Namun, sinar itu tidak membawa kehangatan pada wanita muda yang duduk diam di kursinya. Elli, dengan wajah pucat dan mata yang dipenuhi lingkaran gelap, menatap dokumen-dokumen di mejanya. Di sudut ruangan, sebuah laporan audit tergeletak dengan hasil yang sudah ia hapal di luar kepala.Pikirannya melayang pada peristiwa beberapa minggu terakhir, bagaimana Herman bersama Adrian dan Viola mulai menggerogoti kepercayaannya. Kini, mereka dengan terang-terangan menuntut dirinya mundur dari posisi direktur dan menyerahkan semuanya kepada Viola. Ketukan lembut di pintu menginterupsi lamunannya. Raquel yang kini menjadi tangan kanannya, masuk dengan wajah penuh keraguan. "Bu Elli, maaf mengganggu," ucapnya pelan sambil membawa sebuah tablet di tangannya. Elli mendongak, memaksakan senyum kecil. "Ada apa, Kel?" Raquel menghela napas sebelum menjawab. “Saya baru menerima kabar resmi dari pihak keluarga. Mulai Selasa depan, B
Elli melangkah masuk ke rumah dengan raut wajah yang sulit diterka. Tak lama, Kai menyusul dari belakang, menutup pintu dengan hati-hati. Fara, yang sedang duduk santai di ruang tengah bersama Sera, memandang keduanya dengan alis terangkat. “Lho, kok kalian pulang bareng? Ada apa?” tanyanya, cukup terkejut melihat dua orang yang tak mungkin akur itu datang bersamaan. Kai menanggapi lebih dulu sambil melangkah ke ruang tengah dan mengambil tempat duduk di samping istrinya. “Kami tadi habis meeting, Ma. Gak cuma aku, ada Om Jaden sama Lukas juga, Awalnya mau kerja sama soal makanan ringan dan minuman ringan buat suply perusahaan. Tapi, kayaknya gak jadi..” “Lho, kenapa?” tanya Fara ingin tahu.Kai mengusap tengkuknya, tanda ia sedang berusaha menata pikiran. “Aku baru tahu kalau perusahaan bakal dialihkan sepenuhnya ke keluarga Om Herman, Ma. Semua kendali mereka ambil alih dan...” Ia berhenti sejenak, sambil menghela nafas tak suka. “Dioper ke Viola.”Mendengar nama itu, Fara lan
Hari terakhir di kantor, Elli tidak melakukan banyak hal. Semua barang milik mendiang ayahnya telah dirapikan. Sebagian dikirim ke rumah Mamanya yang kini memutuskan untuk menetap di pinggiran kota Bandung, dan sebagian lagi sudah ia bawa ke apartemennya.Elli duduk termenung di meja kerjanya, membiarkan pikirannya melayang ke berbagai kenangan yang tersimpan di tempat itu. Di sudut ruangan, Raquel memperhatikan dalam diam. Wajah pria itu menunjukkan kesedihan yang sulit disembunyikan.Raquel sudah bekerja untuk Dani sejak Elli berusia lima belas tahun, sementara dirinya baru lulus kuliah saat itu. Ia menyaksikan tumbuh kembang Elli, bahkan menjadi sosok pengganti ketika Dani tidak bisa hadir dalam berbagai momen penting anaknya. Raquel-lah yang membelikan kado ulang tahun untuk Elli, memilih makanan favoritnya, hingga mengetahui apa yang disukai dan tidak disukainya.Ketika Elli menyadari kehadiran Raquel, ia memberi isyarat agar pria itu masuk. Raquel melangkah perlahan, lalu berdi
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama