Elli melangkah masuk ke rumah dengan raut wajah yang sulit diterka. Tak lama, Kai menyusul dari belakang, menutup pintu dengan hati-hati. Fara, yang sedang duduk santai di ruang tengah bersama Sera, memandang keduanya dengan alis terangkat. “Lho, kok kalian pulang bareng? Ada apa?” tanyanya, cukup terkejut melihat dua orang yang tak mungkin akur itu datang bersamaan. Kai menanggapi lebih dulu sambil melangkah ke ruang tengah dan mengambil tempat duduk di samping istrinya. “Kami tadi habis meeting, Ma. Gak cuma aku, ada Om Jaden sama Lukas juga, Awalnya mau kerja sama soal makanan ringan dan minuman ringan buat suply perusahaan. Tapi, kayaknya gak jadi..” “Lho, kenapa?” tanya Fara ingin tahu.Kai mengusap tengkuknya, tanda ia sedang berusaha menata pikiran. “Aku baru tahu kalau perusahaan bakal dialihkan sepenuhnya ke keluarga Om Herman, Ma. Semua kendali mereka ambil alih dan...” Ia berhenti sejenak, sambil menghela nafas tak suka. “Dioper ke Viola.”Mendengar nama itu, Fara lan
Hari terakhir di kantor, Elli tidak melakukan banyak hal. Semua barang milik mendiang ayahnya telah dirapikan. Sebagian dikirim ke rumah Mamanya yang kini memutuskan untuk menetap di pinggiran kota Bandung, dan sebagian lagi sudah ia bawa ke apartemennya.Elli duduk termenung di meja kerjanya, membiarkan pikirannya melayang ke berbagai kenangan yang tersimpan di tempat itu. Di sudut ruangan, Raquel memperhatikan dalam diam. Wajah pria itu menunjukkan kesedihan yang sulit disembunyikan.Raquel sudah bekerja untuk Dani sejak Elli berusia lima belas tahun, sementara dirinya baru lulus kuliah saat itu. Ia menyaksikan tumbuh kembang Elli, bahkan menjadi sosok pengganti ketika Dani tidak bisa hadir dalam berbagai momen penting anaknya. Raquel-lah yang membelikan kado ulang tahun untuk Elli, memilih makanan favoritnya, hingga mengetahui apa yang disukai dan tidak disukainya.Ketika Elli menyadari kehadiran Raquel, ia memberi isyarat agar pria itu masuk. Raquel melangkah perlahan, lalu berdi
Di ruang periksa rumah sakit yang terasa hening, Elli berbaring dengan wajah penuh kebingungan sementara Raquel duduk di kursi di sampingnya, masih tampak tegang setelah kejadian di kantor. Seorang perawat masuk, membawa dokumen di tangan dan tersenyum hangat ke arah mereka. “Selamat, Ibu dan Bapak,” ucap perawat dengan nada riang. “Hasil pemeriksaannya menunjukkan bahwa Anda hamil.” Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Elli langsung membelalakkan matanya, sementara Raquel menatap perawat itu dengan ekspresi campuran antara terkejut dan bingung. “Hamil?” Elli akhirnya bersuara, suaranya terdengar serak karena masih sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Iya,” jawab perawat sambil tersenyum. “Kami juga sudah menjadwalkan janji dengan dokter kandungan untuk pemeriksaan lanjutan. Tapi sejauh ini, semuanya terlihat baik.” Elli menoleh perlahan ke arah Raquel, matanya mencari penjelasan, meskipun jelas pria itu sama terkejutnya. Raquel hanya bisa balas menatapny
Setelah selesai pemeriksaan, dokter menatap Elli dengan senyuman lembut. “Usia kandungan Anda saat ini memasuki empat minggu, Bu Elli. Untuk memastikan semuanya berjalan baik, saya sarankan Anda datang kembali dua minggu lagi untuk pemeriksaan lanjutan.” Elli mengangguk pelan, tanpa ekspresi berarti. “Baik, Dok.” Dokter mengangguk dan memberikan beberapa catatan tambahan sebelum meninggalkan ruangan. Elli berdiri perlahan dari tempat duduknya, diikuti oleh Raquel yang tetap memperhatikannya dengan seksama. Di luar ruangan, Raquel berjalan di samping Elli. Ia melirik wanita muda itu, mencoba membaca ekspresinya. Elli tampak datar, tapi matanya yang selalu sulit menyembunyikan rasa gugupnya. Raquel menghela napas kecil, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum bertanya apa pun. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Elli berbicara lebih dulu. “Kak Raquel,” ucapnya pelan, menatap ke depan tanpa menoleh. “Bisa antar aku ke apartemen?” Raquel menatapnya sejenak, lalu mengang
Pagi itu, Lukas duduk di meja makan dengan pandangan kosong. Ia tidak menyentuh sarapannya sama sekali, hanya memutar-mutar sendok di atas piringnya. Citra, ibunya, yang tengah menuangkan teh, memperhatikan tingkah anaknya. "Lukas," panggil Citra pelan sambil duduk di depannya. "Kamu kenapa sih, sebenernya? Ada masalah di kantor?" Lukas mengangkat kepala sebentar, lalu menggeleng lemah. "Nggak, Ma. Aku cuma lagi nggak enak badan," jawabnya singkat, lalu berdiri dan mengambil tasnya. "Aku pergi dulu ya, Ma. Mungkin nanti pulang malam." Citra memandang anak sulungnya dengan alis berkerut. Ia menghela nafas panjang. Sudah beberapa waktu ini, Lukas tidak semangat seperti biasanya. Tapi, hari ini, ada yang jelas mengganggu pikiran Lukas, meski ia tidak mau berbagi. Wajahnya jauh lebih pucat dari biasanya.Begitu tiba di kantor, Lukas langsung menuju ruangan Kai tanpa menunda waktu. Setelah mengetuk pintu dan mendengar jawaban dari dalam, ia membuka pintu dan masuk. Kai yang sedang
Fara mengetuk pintu apartemen anak sulungnya dengan hati ringan, namun alisnya langsung berkerut saat pintu terbuka dan sosok yang muncul di hadapannya adalah Raquel. ‘Loh, kok… dia ada di sini?’ gumam Fara dalam hati, tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Raquel tampak berbeda dari biasanya, wajahnya lelah, dengan rambut sedikit berantakan. "Raquel? Kok kamu ada di sini?" tanya Fara, suaranya mencerminkan perasaan campur aduk antara kebingungan dan rasa ingin tahu. Sebelum Raquel sempat menjawab, suara Elli terdengar dari dalam. “Ma, masuk aja,” ujar Elli sambil berjalan mendekat. Penampilannya tak kalah mencemaskan, wajah pucat dan langkahnya tampak lemah. “Mama pikir kamu sendiri, Elli,” ucap Fara sambil melangkah masuk. Elli menghela napas, duduk perlahan di sofa. “Tadinya gitu, Ma. Tapi aku minta Raquel temani aku di sini. Badanku masih gak enak,” katanya sambil memijat pelipis. Fara melirik ke arah Raquel dengan pandangan penuh tanya. “Tapi kamu gak kerja, Raquel
Elli memandang Raquel dengan mata yang penuh kebimbangan. Tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah dingin. “Kak, aku ngerti kalau kamu mau jaga aku di sana,” ucap Elli, suaranya rendah namun tegas. “Tapi kalau untuk nikahin aku, gimana bisa? Kak... aku hamil anak orang lain, dan kamu gak perlu bertanggung jawab soal itu.” Raquel diam saja mendengarkan. Beberapa saat lalu, ia memang telah mengatakan pada Fara bahwa ia bersedia menikahi Elli. Tentu saja setelah kepergian Fara, keduanya kini terlibat dengan adu mulut yang sengit.Elli mengalihkan pandangannya, menatap keluar jendela apartemen yang menampilkan kota malam penuh lampu. “Aku pergi ke Belanda karena aku mau membesarkan anak ini dengan tenang. Aku gak minta bantuan siapa-siapa. Menurutku, anak ini nanti satu-satunya yang bakal nemenin aku. Sama keluarga sendiri aja aku masih canggung, Kak. Bahkan sama Mama…” Elli menarik napas panjang, menahan emosi yang hampir pecah. “Hubungan kami gak sebaik itu untuk bisa dibilang d
“Jadi Mas tahu kalau Kak Elli mau dinikahin?” tanya Sera tiba-tiba, suaranya pelan namun tegas, memecah keheningan di kamar mereka. Ia sedang berbaring dalam pelukan Kai, mencoba menikmati momen tenang sebelum tidur, tetapi pikirannya terusik sejak percakapan terakhir dengan ibunya. Kai mengangguk tanpa ragu. “Tahu. Mama sempat telepon aku juga, minta pendapat soal itu.” Sera menoleh, menatap wajah suaminya dengan sorot mata bingung. “Dan Mas setuju?” Kai menghela napas panjang, jemarinya dengan lembut membelai rambut Sera. “Aku pikir, ini keputusan yang nggak buruk, Sayang. Apalagi ada Om Herman di sini yang bisa jadi wali nikah. Kalau urusan surat-surat, bisa diurus belakangan. Yang penting Kak Elli nggak sendirian.” Sera mendesah pelan, melepaskan diri sedikit dari pelukan Kai. “Aku nggak habis pikir sama Mama, Mas. Aku kira tabiatnya sudah berubah. Buat berhenti mikirin omongan orang dan coba percaya ke anaknya. Dulu aku yang dipaksa menikah, sekarang Kak Elli. Bedanya, ak
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.