Sera tampak anggun dengan dress putih sederhana yang membalut tubuhnya. Perutnya yang mulai membesar justru menambah pesona lembut pada dirinya, membuat pipinya yang sedikit mengembang terlihat semakin menggemaskan. Kai, yang menemaninya hingga ke tempat pertemuan, hanya bisa memandangi istrinya dengan senyum penuh godaan. "Mas, kenapa lihat aku kayak gitu?" tanya Sera sambil mengerutkan alisnya, merasa geli dengan tatapan suaminya. “Kayaknya aku bakal bikin heboh kalau gigit pipimu sekarang,” goda Kai dengan seringai kecil. “Mas!” Sera mencubit lengannya pelan, membuat Kai terkekeh. Tak lama, sosok Elli muncul dari kejauhan, berjalan bersama pria yang begitu dikenali Sera. Raquel. Pria bertubuh tinggi dengan kulit putih bersih itu terlihat berbeda dari biasanya. Tidak ada setelan jas formal yang sering ia kenakan. Kali ini, penampilannya lebih santai dengan kemeja lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino. Meski lebih kasual, aura elegannya tetap terasa. M
Lukas sedang melangkah santai di tengah mall, pikirannya melayang entah ke mana. Hawa dingin dari pendingin udara sedikit menenangkan, namun kekosongan dalam hatinya tetap mengganjal. Pandangannya melintas ke toko-toko di sekitarnya tanpa banyak perhatian, hingga ia menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Sera dan Kai. Pasangan itu tampak berjalan masuk ke sebuah toko perhiasan. Tangan mereka bergandengan erat. Senyum lebar pun menghiasi wajah mereka. Sera terlihat ceria, sesekali tertawa kecil sambil menatap suaminya dengan mata yang penuh cinta.Lukas menatap sejenak keduanya, awalnya ragu, namun rasa penasaran menguasainya. Ia melangkah mendekat, bersembunyi di sudut untuk mengamati tanpa menarik perhatian. Pandangannya menyapu ruangan, mencari tahu apa yang sedang dilakukan pasangan itu. Namun yang membuatnya terhenti bukanlah Sera dan Kai. Melainkan suara lain yang tak asing di telinganya. “Udah selesai, Ra?”Lukas terkesiap. Itu suara Elli. Ia memicingkan mata dan mendapati
Elli menatap cermin besar di kamarnya, mematut penampilannya untuk kesekian kali. Gaun putih sederhana yang dikenakannya tampak membingkai tubuhnya dengan pas, tetapi tetap terasa asing.Pernikahan mendadak seperti ini tidak pernah ada dalam daftar keinginannya, begitulah pikir Elli sambil menarik napas panjang. Ia mengusap wajahnya perlahan, mencoba menenangkan debaran jantung yang tak beraturan. "Apa gue siap?" tanyanya pada pantulan dirinya sendiri. Namun, tak ada jawaban, hanya tatapan kosong yang ia terima. Pernikahan tak pernah masuk dalam rencananya, apalagi dalam kondisi seperti ini. Ia bahkan sempat yakin, hidup tanpa menikah adalah pilihannya. Namun, takdir berkata lain.Orang yang tak pernah ia duga datang begitu cepat, mengguncang keyakinannya, dan mengubah seluruh jalannya hidup yang ia rangkai.Elli mendesah pelan, berjanji pada dirinya sendiri. “Kalau gue gagal dalam pernikahan ini, Gue gak mau nikah lagi. Ini yang pertama dan terakhir. Kalau nggak berhasil, Gue bak
Pandangan Lukas dan Elli bertemu di tengah keramaian. Mata Elli memancarkan hal yang sulit diungkapkan, bibirnya pun tetap terkatup rapat. Wanita itu menghela napas panjang sebelum akhirnya mengalihkan tatapannya. Tanpa berkata apa-apa, Elli berjalan menjauh, menuju Raquel yang tengah berbicara dengan beberapa anggota keluarga Diani. Raquel menyadari kedatangan Elli dan dengan lembut merangkul pundaknya, ia seolah tahu apa yang terjadi dan diam-diam memberikan perhatian yang dibutuhkan istrinya. Sesekali Raquel tersenyum, mengobrol ringan dengan orang-orang di sekitarnya, seolah mengalihkan perhatian dari kegelisahan yang sepertinya dirasakan Elli. Sementara itu, tatapan Lukas menunduk perlahan. Hatinya terasa seperti dihimpit beban berat. Perasaan itu terasa familiar. Hatinya patah, untuk kedua kalinya.Lukas menggenggam erat ponselnya, di mana laporan dari detektif swasta yang ia sewa masih terbuka. Setiap kata dalam laporan itu menusuknya lebih dalam, "Elli dekat dengan Raquel
Elli melangkah masuk ke kamar hotel dengan langkah berat, hatinya terasa campur aduk. Raquel berjalan di belakangnya, membawa tas kecil berisi barang-barang pribadi mereka.Kamar itu indah dan nyaman, sebuah hadiah dari Kai dan Sera yang berniat memberikan momen istimewa untuk pasangan baru. Namun, bagi Elli, keindahan itu terasa hambar.Dia berdiri di dekat jendela, menatap keluar tanpa fokus. Matanya kosong, seperti tenggelam dalam lautan pikirannya sendiri.Raquel memperhatikan dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa Elli bukanlah tipe wanita yang sering menunjukkan kelemahannya, tapi hari ini berbeda. Tanpa berkata-kata, Raquel mendekat dan memeluknya dari belakang. Pelukan itu lembut, tanpa tekanan, hanya menawarkan rasa aman. Elli tidak menolak, tubuhnya malah sedikit melemas di pelukan pria itu. "Ell, kita memang menikah sah di mata hukum. Jadi izinin aku buat bertindak selayaknya suami kamu. Kamu bisa percaya sama aku," bisik Raquel. "Meskipun kita nikah karena ada unsur p
Di kamar yang remang-remang, Kai bersandar di tempat tidur sambil merenggangkan tubuhnya. Ia menoleh ke arah Sera yang sedang duduk bersandar dengan bantal besar di belakang punggungnya, tampak sibuk memeriksa ponselnya. "Jadi, Elli jadi berangkat besok ke Belanda?" tanya Kai, suaranya terdengar santai namun ada sedikit rasa penasaran. Sera mengangguk kecil sambil tersenyum. Ia memutar layar ponselnya ke arah Kai, menunjukkan pesan terakhir dari Elli. "Iya, Kak Elli bilang sama aku, buat kasih pasti jadwalnya." Kai membaca pesan itu sekilas lalu tersenyum kecil. "keliatannya udah ada yang akur, nih. Sampe bales-balesan chat panjang gitu." Sera hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, merasa lega karena perlahan hubungan dengan kakaknya mulai membaik. Kai memindahkan posisinya, mendekat ke arah Sera dan mencoba memeluknya dari samping. Namun, belum sempat ia sepenuhnya mendekap istrinya, Sera tiba-tiba mengaduh pelan. Kai langsung panik. "Kenapa? Ada yang sakit? Bayinya baik
Jaden melangkah masuk ke ruangan Kai setelah dipersilakan. Pria berusia empat puluh enam tahun itu masih tampak bugar untuk usianya, namun raut wajahnya yang kusut menunjukkan beban berat yang tengah ia pikul. Kai memandang sepupu tertuanya itu dengan tatapan bingung, meletakkan pena di tangannya. "Ada apa, Kak Jaden? Kok tumben kelihatan seserius ini," tanya Kai, mencoba mencairkan suasana dengan nada santai. Jaden duduk di kursi di depan meja kerja Kai, menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. "Lukas sudah terbang ke Amerika dua hari lalu," ucapnya, langsung ke inti pembicaraan. Kai mengangkat alis, terkejut dengan informasi tersebut. "Ke Amerika? Jadi dia ke sana?"Jaden mengangguk. "Dia bilang ada yang perlu diselesaikan di New York. jadi sekarang posisi vice president kosong," Jaden menjelaskan, ekspresinya semakin suram. "Gantiin sementara ya, Kai. Sampai anak nakal itu balik. Gedeg banget gue! Anak itu ngambek kenapa lagi! Dulu di suruh nerusin sekolahnya ogah, se
Sesampainya di rumah, Kai disambut oleh pemandangan yang menyejukkan. Sera, berdiri di depan pintu dengan senyum manis mengenakan setelan baju rumah bermotif bunga. Wanita itu melangkah mendekat, menyambutnya dengan kelembutan yang akhir-akhir ini membuat Kai semakin jatuh cinta. “Hai, Mas,”** ucapnya seraya mencium tangan suaminya. Kai membalasnya dengan senyum lelah, tapi matanya memancarkan kebahagiaan. Sera mengambil tas kecil yang dibawa Kai, membuat pria itu merasa benar-benar diterima dan dimanjakan di rumah mereka. “Tasnya biar aku yang bawa, Mas,” katanya sambil mengantar suaminya masuk. Di ruang tengah, Diani yang duduk santai di sofa tersenyum melihat interaksi pasangan itu. Baginya, Sera dan Kai adalah keajaiban kecil dalam keluarganya. Hubungan yang awalnya diragukan kini justru tumbuh menjadi sesuatu yang indah. “Yang habis pulang kerja, Msera banget. Gak kasihan kalian sama janda ini,” goda Diani. Kai tertawa kecil, sementara Sera hanya tersenyum malu. “Namanya
Langit biru cerah diiringi sinar matahari yang hangat menyinari taman besar tempat pernikahan Anna dan Eric berlangsung. Di tengah suasana yang dipenuhi tawa dan kebahagiaan, keluarga dan sahabat berkumpul untuk merayakan awal baru bagi dua hati yang akhirnya bersatu. Anna tampak anggun dalam gaun putih yang sederhana namun memikat, rambutnya ditata rapi dengan aksen bunga kecil. Eric, dengan setelan jas hitamnya, berdiri di samping Anna dengan senyum yang tidak pernah lepas sejak prosesi dimulai. Sera, dengan Kai di sampingnya, memandangi putri sulung mereka dengan mata berkaca-kaca. Dua anak laki-laki mereka, Raiden dan Leon, tampak gagah dalam setelan formal mereka. Leon bahkan sempat bercanda dengan Anna sebelum prosesi dimulai, mengingatkan kakaknya untuk tetap ceria di hari bahagianya. “Raiden, Leon, kalian akan menjaga Mama dan Papa ‘kan kalau Kak Anna sudah menikah,” ujar Sera dengan suara lembut. “Tenang aja, Ma,” jawab Leon sambil tersenyum lebar, sementara Raiden
Restoran kecil di pinggir kota itu dipenuhi dengan suasana yang hangat dan tenang. Cahaya lilin di setiap meja memantulkan bayangan lembut pada dinding bata ekspos. Anna duduk di meja pojok, matanya memperhatikan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Eric, dengan kemeja putih sederhana, duduk di depannya. Ada ketegangan yang tak biasa di wajahnya, meskipun senyumnya tetap menghiasi bibir.“Bang Eric serius pilih tempat ini?” tanya Anna sambil tersenyum. “Aku pikir kamu bakal pilih restoran mewah atau semacamnya.”Eric mengusap belakang lehernya, tampak gugup. “Saya hanya ingin suasananya nyaman. Lagipula, Saya ingin lebih fokus dengan kamu, bukan dengan tempatnya.”Anna tersenyum lebih lebar. Dia selalu menyukai sisi Eric yang apa adanya.“Jadi gimana hari ini? Suka di antar Papa?”“Antara suka dan gak suka.”“Kenapa?”“Suka karena akhirnya gak ada yang berani ngomongin dan gak suka karena aku masih ingin ngeliat betapa irinya orang dengan hidup orang lain. Kay
Anna berdiri di depan lobi kantor, menunggu mobil jemputannya seperti biasa. Sore itu, ia mengenakan blazer pastel yang membalut tubuhnya dengan rapi, rambutnya tergerai lembut. Namun, lamunannya terhenti ketika mendengar suara yang familiar. “Ann!” Ia menoleh dan melihat Eric melambaikan tangan dari mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu lobi. Tanpa ragu, Anna berjalan mendekat. “Masuk, saya antar,” ajak Eric sambil membuka pintu penumpang untuknya. Anna, yang belakangan merasa semakin nyaman dengan Eric, kali ini tidak menolak. Ia tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil, merasa hangat dengan perhatian pria itu. Namun, tanpa mereka sadari, beberapa orang yang berdiri di dekat pintu mulai berbisik-bisik. “Anak itu beneran murahan ya, tiap hari sama cowok beda-beda,” gumam salah satu dari mereka. Kai, yang kebetulan sedang menunggu Sera di lobi kantor, mendengar celaan itu. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah sekelompok orang tersebut. “Pantas saja dia dekat s
Malam itu, kediaman keluarga Adnan tampak hidup dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul indah di dinding-dinding mewah. Mischa berdiri di depan pintu masuk dengan gaun panjang yang membungkus tubuhnya. Udara malam di Jakarta memang tidak sedingin Inggris, namun rasa dingin di hatinya masih terasa menyesakkan.Eric berdiri di sampingnya, menatap adiknya dengan pandangan lembut. “Kita masuk, Mischa. Kamu nggak perlu takut,” ucap Eric sambil menyentuh bahunya ringan.Mischa menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, melangkahkan kakinya memasuki rumah besar itu. Interior megah di dalam mengingatkannya pada rumah masa kecil mereka di Inggris. Sebuah tempat yang pernah penuh tawa sebelum semuanya berubah menjadi kehancuran. Bayangan masa lalu melintas cepat di benaknya, membuat dadanya terasa sesak.Eric tampaknya menangkap kegelisahan itu. Ia menoleh ke adiknya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik aja, Mish?” tanyanya pelan.Mischa menatap Eric dan memaksakan sen
Malam itu, di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, Mischa duduk sambil mencuri dengar percakapan Eric di telepon. Sebagai adik kandung Eric, Mischa selalu punya kebiasaan memperhatikan tingkah kakaknya, dan malam ini tak ada bedanya. Eric, dengan kopi di tangan, terlihat santai, tapi sorot matanya menunjukkan senyum lebar yang jarang terlihat.“Anna, saya cuma ingin memastikan kamu tahu,” kata Eric sambil tersenyum kecil. “Saya serius soal ini. Saya nggak main-main.”Mischa mengernyitkan dahi, mencoba mencerna maksud kata-kata Eric. Telepon itu berlangsung beberapa menit lagi sebelum akhirnya Eric meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.“Jadi,” kata Mischa akhirnya, memecah keheningan. “Apa ini Anna yang sama dengan Anna sepupu Khalif?”Eric menatap adiknya dengan ekspresi tak terduga. “Kamu nguping, ya?”Mischa mengangkat bahu santai. “Nggak perlu nguping. Kamu terlalu jelas kalau lagi ngobrol soal dia. Kamu benar-benar suka sama Anna? Annalie A
Pagi itu, Anna berjalan dengan langkah cepat menuju pantry kantor. Matanya sedikit mengantuk karena malam sebelumnya ia terjaga hingga larut, menyelesaikan laporan magangnya. Setelah menuangkan kopi ke dalam gelas, ia berdiri di dekat jendela, menikmati pemandangan kota Jakarta yang sibuk. "Ann!" suara ceria Erica membuyarkan lamunannya. Anna menoleh, melihat sahabatnya itu berjalan ke arahnya dengan senyum lebar, membawa setumpuk dokumen di tangannya. “Pagi,” sapa Anna sambil menyeruput kopinya. “Lo sibuk banget kayaknya?” “Banget!” jawab Erica sambil menaruh dokumen-dokumen itu di meja dekat pantry. “Kepala Divisi lagi cuti, jadi semua tugasnya dilempar ke bawah. Gue pusing banget, Ann.” Anna menaikkan alisnya. “Kepala Divisi? Pak Eric?” “Iya, siapa lagi?” Erica menghela napas panjang sambil membuka kotak bekalnya. “Dia udah izin cuti seminggu, tapi nggak bilang mau ke mana. Katanya sih, urusan pribadi.”Anna terdiam, gelas kopinya berhenti di tengah jalan menuju bibirny
Eric membuka pintu apartemennya dan disambut oleh suasana yang sunyi. Apartemen itu kecil, hanya terdiri dari satu kamar tidur, ruang tengah yang menyatu dengan dapur, dan balkon kecil yang menghadap ke hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski ukurannya tak sebanding dengan rumah-rumah besar yang pernah ia tinggali di Inggris, Eric telah berusaha menyulap ruang sederhana ini menjadi tempat yang nyaman. Langkahnya membawa Eric ke dapur kecil di sudut ruangan. Ia membuka lemari pendingin, mengambil sebotol air dingin, lalu menuangnya ke dalam gelas. Pandangannya sesaat tertuju pada meja makan kecil di sudut dapur yang sering ia gunakan untuk membaca atau bekerja. Tapi malam ini, meja itu terasa kosong, seperti mencerminkan perasaannya yang sama. Eric berjalan ke ruang tengah, meletakkan gelas airnya di atas meja kopi. Ia merosot ke sofa, melemparkan dasinya ke sandaran kursi. "Hidup di sini memang berbeda," gumamnya, menatap langit-langit. Di Inggris, ia tinggal di rumah yang luas dengan
Anna berdiri di depan lobi kantor, tangan memegang ponsel sambil menunggu mobil jemputannya datang. Sore itu, gedung sudah mulai lengang, sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor. Ia sengaja ingin pulang sendiri hari ini, ingin menikmati waktu tanpa terlalu banyak interaksi. Namun, suasana hening itu terpecah oleh suara yang akrab. “Ann,” panggil seseorang dari belakang. Anna menoleh dan melihat Eric berdiri tak jauh darinya. Pria itu tampak rapi seperti biasa, dengan dasi yang sedikit longgar dan jaket di lengannya. Ada senyum tipis di wajahnya, meskipun matanya tampak lelah. “Kamu belum pulang?” tanya Eric sambil mendekat. Anna mengangguk kecil. “Iya, lagi nunggu mobil. Bapak nggak lembur?” Eric menyelipkan tangan ke dalam saku celananya, menatap Anna dengan tenang. “Saya pulang lebih awal hari ini. Mau makan di luar, tapi rasanya nggak enak makan sendiri. Mau menemani saya?” Anna terkejut dengan tawaran itu. “Makan? Kenapa nggak ajak Kak Khalif aja? Dia kayakn
Pagi itu, Anna turun dari kamarnya dengan rambut yang masih setengah basah, menandakan ia baru saja selesai mandi terburu-buru. Ketika memasuki ruang tamu, langkahnya terhenti saat melihat Khalif sedang berbincang akrab dengan Eric. Eric duduk santai di sofa dengan segelas kopi di tangannya. Khalif, yang duduk di sebelahnya, terlihat santai namun mata jenakanya langsung menangkap kehadiran Anna. “Selamat pagi, Ann,” sapa Khalif dengan senyum lebar. “Lo mau berangkat? Udah jam berapa nih? Kalau nggak berangkat sekarang, nanti telat loh.” Anna mengerutkan kening, bingung. “Iya, tapi masih nunggu Abel, Kak.” Khalif berdiri, menepuk bahu Eric dengan nada penuh kelakar. “Berangkat sama Eric aja, Ann. Kalian kan satu kantor. Jadi kalian bisa barengan.” Eric memandang ragu Khalif, “Gue kira Anna setiap pagi berangkat dengan Om Kai?” Khalif tertawa kecil, “Gue kira juga gitu awalnya, tapi nggak ada yang tahu Anna itu anak Om Kai. Selama ini dia terus-terusan berangkat bareng sama