Elli melangkah masuk ke kamar hotel dengan langkah berat, hatinya terasa campur aduk. Raquel berjalan di belakangnya, membawa tas kecil berisi barang-barang pribadi mereka.Kamar itu indah dan nyaman, sebuah hadiah dari Kai dan Sera yang berniat memberikan momen istimewa untuk pasangan baru. Namun, bagi Elli, keindahan itu terasa hambar.Dia berdiri di dekat jendela, menatap keluar tanpa fokus. Matanya kosong, seperti tenggelam dalam lautan pikirannya sendiri.Raquel memperhatikan dengan penuh perhatian. Dia tahu bahwa Elli bukanlah tipe wanita yang sering menunjukkan kelemahannya, tapi hari ini berbeda. Tanpa berkata-kata, Raquel mendekat dan memeluknya dari belakang. Pelukan itu lembut, tanpa tekanan, hanya menawarkan rasa aman. Elli tidak menolak, tubuhnya malah sedikit melemas di pelukan pria itu. "Ell, kita memang menikah sah di mata hukum. Jadi izinin aku buat bertindak selayaknya suami kamu. Kamu bisa percaya sama aku," bisik Raquel. "Meskipun kita nikah karena ada unsur p
Di kamar yang remang-remang, Kai bersandar di tempat tidur sambil merenggangkan tubuhnya. Ia menoleh ke arah Sera yang sedang duduk bersandar dengan bantal besar di belakang punggungnya, tampak sibuk memeriksa ponselnya. "Jadi, Elli jadi berangkat besok ke Belanda?" tanya Kai, suaranya terdengar santai namun ada sedikit rasa penasaran. Sera mengangguk kecil sambil tersenyum. Ia memutar layar ponselnya ke arah Kai, menunjukkan pesan terakhir dari Elli. "Iya, Kak Elli bilang sama aku, buat kasih pasti jadwalnya." Kai membaca pesan itu sekilas lalu tersenyum kecil. "keliatannya udah ada yang akur, nih. Sampe bales-balesan chat panjang gitu." Sera hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, merasa lega karena perlahan hubungan dengan kakaknya mulai membaik. Kai memindahkan posisinya, mendekat ke arah Sera dan mencoba memeluknya dari samping. Namun, belum sempat ia sepenuhnya mendekap istrinya, Sera tiba-tiba mengaduh pelan. Kai langsung panik. "Kenapa? Ada yang sakit? Bayinya baik
Jaden melangkah masuk ke ruangan Kai setelah dipersilakan. Pria berusia empat puluh enam tahun itu masih tampak bugar untuk usianya, namun raut wajahnya yang kusut menunjukkan beban berat yang tengah ia pikul. Kai memandang sepupu tertuanya itu dengan tatapan bingung, meletakkan pena di tangannya. "Ada apa, Kak Jaden? Kok tumben kelihatan seserius ini," tanya Kai, mencoba mencairkan suasana dengan nada santai. Jaden duduk di kursi di depan meja kerja Kai, menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. "Lukas sudah terbang ke Amerika dua hari lalu," ucapnya, langsung ke inti pembicaraan. Kai mengangkat alis, terkejut dengan informasi tersebut. "Ke Amerika? Jadi dia ke sana?"Jaden mengangguk. "Dia bilang ada yang perlu diselesaikan di New York. jadi sekarang posisi vice president kosong," Jaden menjelaskan, ekspresinya semakin suram. "Gantiin sementara ya, Kai. Sampai anak nakal itu balik. Gedeg banget gue! Anak itu ngambek kenapa lagi! Dulu di suruh nerusin sekolahnya ogah, se
Sesampainya di rumah, Kai disambut oleh pemandangan yang menyejukkan. Sera, berdiri di depan pintu dengan senyum manis mengenakan setelan baju rumah bermotif bunga. Wanita itu melangkah mendekat, menyambutnya dengan kelembutan yang akhir-akhir ini membuat Kai semakin jatuh cinta. “Hai, Mas,”** ucapnya seraya mencium tangan suaminya. Kai membalasnya dengan senyum lelah, tapi matanya memancarkan kebahagiaan. Sera mengambil tas kecil yang dibawa Kai, membuat pria itu merasa benar-benar diterima dan dimanjakan di rumah mereka. “Tasnya biar aku yang bawa, Mas,” katanya sambil mengantar suaminya masuk. Di ruang tengah, Diani yang duduk santai di sofa tersenyum melihat interaksi pasangan itu. Baginya, Sera dan Kai adalah keajaiban kecil dalam keluarganya. Hubungan yang awalnya diragukan kini justru tumbuh menjadi sesuatu yang indah. “Yang habis pulang kerja, Msera banget. Gak kasihan kalian sama janda ini,” goda Diani. Kai tertawa kecil, sementara Sera hanya tersenyum malu. “Namanya
Jam menunjukkan pukul tiga pagi ketika Sera terbangun dengan napas terengah. Perutnya terasa mengencang—bukan seperti keluhan biasa yang sering ia alami selama hamil, tapi lebih kuat, lebih dalam. Rasa nyeri itu datang dalam gelombang, membuat tubuhnya menegang. Sera mengerang pelan, mencoba membangunkan Kai yang masih terlelap di sampingnya. “Mas... Mas! Kayaknya ini waktunya deh. Aduh…” kata Sera dengan suara gemetar, menggoyang tubuh suaminya. Kai terbangun dengan mata yang masih berat, tetapi begitu melihat wajah pucat Sera, ia langsung siaga. “Gimana, Ra?! Kenapa?” tanyanya sambil mencoba memastikan. Tapi saat Sera menggenggam tangannya erat, ia tahu jawaban itu tanpa perlu ucapan. Dengan cepat, Kai melompat dari tempat tidur, membantu Sera berdiri, lalu meraih tas bersalin yang sudah mereka siapkan berminggu-minggu lalu. Dalam situasi seperti ini, Kai yang biasanya selalu tenang terlihat gugup. Tangannya gemetar saat mengunci pintu rumah, tetapi ia tetap mencoba terlihat
Satu tahun berlalu begitu cepat. Gadis kecil bernama Annalie kini tumbuh menjadi balita yang menggemaskan. Dengan pipi bulat dan dua gigi kelinci yang baru tumbuh, ia menjadi pusat perhatian keluarga besar. Senyum Annalie yang manis selalu berhasil mencairkan suasana, membuat siapa pun yang melihatnya ikut tersenyum. Annalie benar-benar menjadi favorit di antara sepupu-sepupunya. Jika ada Annalie, maka rumah sang nenek, selalu ramai. Anak-anak kecil berlarian, tertawa, dan berebutan ingin menggendong atau bermain dengannya. “Annaaa! Sini, sini, kita main boneka,” teriak Shena, salah satu dari si kembar anak Banyu dan Lila. Shena, yang berumur tujuh tahun, selalu bersemangat menyambut Annalie.Sementara itu, Shana, saudara kembarnya, tak mau kalah. “Enggak! Anna lebih suka main mobil-mobilan. Dia kan belum ngerti main boneka, Kak!”** katanya sambil menarik Annalie ke arah mainan mobil-mobilan. Shena merengut, “Tapi Anna itu perempuan, dia harus belajar main boneka. Nanti kita bis
Malam itu, Kai dan Sera duduk santai di kasur mereka, dengan monitor bayi di samping tempat tidur yang menampilkan putri kecil mereka, Annalie. Gadis kecil itu sedang asyik mengobrol dengan boneka kesayangannya di tempat tidur. Gumaman kecilnya terdengar lucu, membuat Kai tersenyum hangat. "Lihat deh, Ra," ucap Kai sambil menunjuk layar monitor. "Dia kayaknya lagi cerita sesuatu ke bonekanya."Sera tertawa kecil, menyandarkan kepalanya ke bahu Kai. "Iya, dia memang suka banget sama boneka itu. Aku gak nyangka Anna tumbuh secepat ini. Rasanya baru kemarin dia lahir."Kai mengangguk pelan. "Iya, waktu cepat banget berlalu. Tapi aku bersyukur dia gak banyak rewel. Gak kayak cerita orang-orang tentang bayi yang suka nangis tengah malam."“Iya, Mas. Aku bersyukur banget, dia tidur teratur, makan teratur, semua sesuai jamnya.” Kai mengangguk, lalu melirik jam di dinding. Sudah hampir pukul sembilan malam, waktu tidur Annalie. Mereka memperhatikan dari monitor saat Annalie merebahkan di
Pagi itu, apartemen Raquel dan Elli yang berlokasi di pusat kota Amsterdam terasa hangat meskipun udara luar cukup dingin. Matahari musim dingin mengintip dari balik tirai jendela besar di ruang tengah. Abel Chantrea, bayi berumur enam bulan, sedang duduk di kursi bayi, memandangi Raquel yang baru saja selesai membuat sarapan. "Lihat ini, Abel. Papa buat pancake hari ini," ucap Raquel dengan suara riang sambil mengangkat piring kecil berisi pancake mini. Abel tertawa kecil, giginya yang baru tumbuh hanya sepasang, tapi senyumnya cukup untuk membuat hari siapa pun cerah.Raquel menghampiri kursi bayi itu dan berjongkok. "Coba tebak, mau pancake atau main sama Papa dulu, hmm?" godanya. Abel terkekeh, tangannya yang mungil mencoba meraih wajah Raquel. Raquel tertawa pelan, lalu mencium telapak tangan kecil itu. Ia menatap bayi itu dalam-dalam, menyadari betapa wajah Abel sangat menyerupai Lukas. Bahkan ekspresi polos bayi itu pun sering kali mengingatkan Raquel pada pria itu. Ya, Ra
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.