Diani menyambut anak dan menantunya dengan antusias. Begitu melihat Sera, wanita itu langsung memeluk menantunya erat, bahkan tanpa melirik Kai terlebih dahulu. "Sera, kamu kelihatan tambah cantik! Gimana kabarnya?" tanya Diani dengan nada penuh perhatian, menggandeng tangan Sera masuk ke dalam rumah. Kai yang berdiri di belakang hanya bisa mendengus pelan. "Bu! Aku juga datang, lho. Anak Ibu yang paling ganteng dari pada yang lain!" ujarnya dengan nada pura-pura merajuk. Namun, Diani hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh. "Ah, masih ganteng Abang-abangmu!." Kai menggeleng tak percaya sambil mengikuti langkah ibunya dan istrinya masuk ke ruang tamu. Diani sudah sibuk memberi arahan kepada asisten rumah tangganya. "Tolong buatkan jus mangga segar, ya. Yang manis, jangan asam. Oh, dan kue cokelat yang tadi siang saya beli, keluarkan sekarang." Sera tersenyum, merasa senang dengan perhatian Diani. Tapi Kai kembali berkomentar dengan nada pura-pura tak suka. "Bu, aku juga m
Elli berjalan memasuki kantor dengan langkah yang tenang, meskipun pikirannya penuh kekacauan. Sejak audit internal diumumkan, ia sudah menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, itu tidak membuat situasi ini lebih mudah di terima oleh akalnya. Ketika ia membuka pintu ruangannya, bayangan sosok Herman, paman yang selalu berusaha menguasai segalanya, sudah menyambut. Tidak hanya Herman, dua sepupunya, Viola dan Adrian, juga ada di sana. Viola tersenyum sinis, sementara Adrian hanya menatap Elli dengan ekspresi datar. Elli berhenti sejenak di depan pintu, memperhatikan tiga orang yang sudah membuat ruangan itu seperti milik mereka. “Pagi yang cerah untuk kejutan seperti ini,” kata Elli sambil masuk dan menutup pintu. Herman tidak menjawab sapaan itu. Ia hanya melemparkan setumpuk dokumen ke meja Elli. “Baca ini,” katanya singkat. Elli melirik dokumen itu sejenak sebelum mengambilnya. Ia membuka halaman pertama dan mulai membaca laporan audit yang diberikan. Matanya berg
Elli memasuki rumah dengan langkah berat. Di ruang tengah, ia mendapati Kai, Sera, dan Mamanya sedang duduk santai.Suara tawa kecil Sera dan tanggapan hangat Fara seakan menyambut Elli dengan suasana yang kontras dengan hari suram yang baru saja ia lewati. Fara, yang melihat putri sulungnya memasuki ruangan, langsung memanggil, “Elli, sini, Nak. Gimana hari ini di kantor?” Elli menghampiri mereka dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan keletihan yang menggantung di wajahnya. “Biasa, Ma. Om Herman dan anak-anaknya lagi sibuk pamer kekuasaan. Mereka sudah memutuskan untuk ambil alih semuanya,” katanya, berusaha terdengar santai meski nada bicaranya mencerminkan kepahitan. Fara mengangguk pelan, mencoba memberi penghiburan. “Ya, sudah waktunya kita tinggalkan semua ini, Elli. Toh, kita masih punya tempat lain. Beruntungnya, Kai sudah menemukan rumah yang cocok untuk Mama.” Elli menatap Mamanya sejenak, lalu mengangguk kecil. “Kalau gitu, aku izin mau tinggal di apartemenku a
Matahari pagi menembus jendela kaca besar di ruang kerja Elli. Namun, sinar itu tidak membawa kehangatan pada wanita muda yang duduk diam di kursinya. Elli, dengan wajah pucat dan mata yang dipenuhi lingkaran gelap, menatap dokumen-dokumen di mejanya. Di sudut ruangan, sebuah laporan audit tergeletak dengan hasil yang sudah ia hapal di luar kepala.Pikirannya melayang pada peristiwa beberapa minggu terakhir, bagaimana Herman bersama Adrian dan Viola mulai menggerogoti kepercayaannya. Kini, mereka dengan terang-terangan menuntut dirinya mundur dari posisi direktur dan menyerahkan semuanya kepada Viola. Ketukan lembut di pintu menginterupsi lamunannya. Raquel yang kini menjadi tangan kanannya, masuk dengan wajah penuh keraguan. "Bu Elli, maaf mengganggu," ucapnya pelan sambil membawa sebuah tablet di tangannya. Elli mendongak, memaksakan senyum kecil. "Ada apa, Kel?" Raquel menghela napas sebelum menjawab. “Saya baru menerima kabar resmi dari pihak keluarga. Mulai Selasa depan, B
Elli melangkah masuk ke rumah dengan raut wajah yang sulit diterka. Tak lama, Kai menyusul dari belakang, menutup pintu dengan hati-hati. Fara, yang sedang duduk santai di ruang tengah bersama Sera, memandang keduanya dengan alis terangkat. “Lho, kok kalian pulang bareng? Ada apa?” tanyanya, cukup terkejut melihat dua orang yang tak mungkin akur itu datang bersamaan. Kai menanggapi lebih dulu sambil melangkah ke ruang tengah dan mengambil tempat duduk di samping istrinya. “Kami tadi habis meeting, Ma. Gak cuma aku, ada Om Jaden sama Lukas juga, Awalnya mau kerja sama soal makanan ringan dan minuman ringan buat suply perusahaan. Tapi, kayaknya gak jadi..” “Lho, kenapa?” tanya Fara ingin tahu.Kai mengusap tengkuknya, tanda ia sedang berusaha menata pikiran. “Aku baru tahu kalau perusahaan bakal dialihkan sepenuhnya ke keluarga Om Herman, Ma. Semua kendali mereka ambil alih dan...” Ia berhenti sejenak, sambil menghela nafas tak suka. “Dioper ke Viola.”Mendengar nama itu, Fara lan
Hari terakhir di kantor, Elli tidak melakukan banyak hal. Semua barang milik mendiang ayahnya telah dirapikan. Sebagian dikirim ke rumah Mamanya yang kini memutuskan untuk menetap di pinggiran kota Bandung, dan sebagian lagi sudah ia bawa ke apartemennya.Elli duduk termenung di meja kerjanya, membiarkan pikirannya melayang ke berbagai kenangan yang tersimpan di tempat itu. Di sudut ruangan, Raquel memperhatikan dalam diam. Wajah pria itu menunjukkan kesedihan yang sulit disembunyikan.Raquel sudah bekerja untuk Dani sejak Elli berusia lima belas tahun, sementara dirinya baru lulus kuliah saat itu. Ia menyaksikan tumbuh kembang Elli, bahkan menjadi sosok pengganti ketika Dani tidak bisa hadir dalam berbagai momen penting anaknya. Raquel-lah yang membelikan kado ulang tahun untuk Elli, memilih makanan favoritnya, hingga mengetahui apa yang disukai dan tidak disukainya.Ketika Elli menyadari kehadiran Raquel, ia memberi isyarat agar pria itu masuk. Raquel melangkah perlahan, lalu berdi
Di ruang periksa rumah sakit yang terasa hening, Elli berbaring dengan wajah penuh kebingungan sementara Raquel duduk di kursi di sampingnya, masih tampak tegang setelah kejadian di kantor. Seorang perawat masuk, membawa dokumen di tangan dan tersenyum hangat ke arah mereka. “Selamat, Ibu dan Bapak,” ucap perawat dengan nada riang. “Hasil pemeriksaannya menunjukkan bahwa Anda hamil.” Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Elli langsung membelalakkan matanya, sementara Raquel menatap perawat itu dengan ekspresi campuran antara terkejut dan bingung. “Hamil?” Elli akhirnya bersuara, suaranya terdengar serak karena masih sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Iya,” jawab perawat sambil tersenyum. “Kami juga sudah menjadwalkan janji dengan dokter kandungan untuk pemeriksaan lanjutan. Tapi sejauh ini, semuanya terlihat baik.” Elli menoleh perlahan ke arah Raquel, matanya mencari penjelasan, meskipun jelas pria itu sama terkejutnya. Raquel hanya bisa balas menatapny
Setelah selesai pemeriksaan, dokter menatap Elli dengan senyuman lembut. “Usia kandungan Anda saat ini memasuki empat minggu, Bu Elli. Untuk memastikan semuanya berjalan baik, saya sarankan Anda datang kembali dua minggu lagi untuk pemeriksaan lanjutan.” Elli mengangguk pelan, tanpa ekspresi berarti. “Baik, Dok.” Dokter mengangguk dan memberikan beberapa catatan tambahan sebelum meninggalkan ruangan. Elli berdiri perlahan dari tempat duduknya, diikuti oleh Raquel yang tetap memperhatikannya dengan seksama. Di luar ruangan, Raquel berjalan di samping Elli. Ia melirik wanita muda itu, mencoba membaca ekspresinya. Elli tampak datar, tapi matanya yang selalu sulit menyembunyikan rasa gugupnya. Raquel menghela napas kecil, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum bertanya apa pun. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Elli berbicara lebih dulu. “Kak Raquel,” ucapnya pelan, menatap ke depan tanpa menoleh. “Bisa antar aku ke apartemen?” Raquel menatapnya sejenak, lalu mengang
Abel duduk di bangku taman sekolah, jauh dari keramaian anak-anak yang sibuk bermain. Matanya tertuju pada Anna yang sedang asyik berlari-lari bersama seorang anak laki-laki. Tawanya begitu lepas, membuat Abel sejenak terpaku. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar foto kecil yang sudah mulai lusuh di tepinya. Dengan hati-hati, ia memandang gambar itu. Seolah terpanggil oleh ingatan masa lalu, pikirannya melayang pada sebuah momen beberapa tahun silam. FlashbackAbel kecil menangis tersedu-sedu di kamar tidurnya. Matanya sembab, wajahnya memerah. Lukas berdiri di samping tempat tidur, kebingungan harus melakukan apa. “Aku mau lihat Ibu,” rengek Abel sambil memeluk bantalnya erat. Lukas menghela napas panjang. Ia tahu tangis Abel ini berbeda dari biasanya, lebih menyayat hati. “Abel, Ibu nggak ada di sini...” katanya dengan lembut, meski ada kekesalan di dalam suaranya. “Aku mau lihat!” tuntut Abel dengan suara parau. Lukas akhirnya mengalah. Ia pergi ke ruang kerjan
Lukas membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat, menunjukkan keletihan yang terpancar dari wajahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam, namun rumah masih menyala terang. Di ruang tamu, Nana berdiri dengan senyum tipis menyambut majikannya yang baru pulang. Tanpa banyak bicara, Lukas melempar tas kerjanya ke sofa dan segera membuka dasi yang sedari tadi terasa menyesakkan lehernya. Sepatu kulit yang biasa ia rawat dengan baik kali ini dilepas begitu saja di dekat pintu. "Abel gimana?" tanyanya singkat, nada suaranya datar tetapi jelas memancarkan kekhawatiran yang selalu tersembunyi di balik sikapnya. "Apa yang dia lakukan di sekolah hari ini?" Nana mulai memunguti barang-barang Lukas yang berserakan dengan rapi. "Semua baik, Mas. Abel menyelesaikan tugas sekolahnya dengan baik, dan dia juga menggambar lagi hari ini." Sambil berbicara, Nana mengeluarkan buku gambar dari meja dapur dan membukanya di hadapan Lukas. "Ini beberapa yang dia buat. Oh, dan katanya ad
Sesampainya di rumah, Anna segera berlari dan mencari mamanya. Sementara itu, Raiden menempel erat pada Bu Dyah, babysitter yang setia menemani mereka. Bocah kecil itu menolak melepaskan pelukan dari wanita paruh baya yang sudah seperti nenek baginya. Begitu menemukan Sera sedang duduk bersantai di ruang keluarga, Anna langsung menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat. "Mama! Abel itu nyebelin banget!" keluh Anna, mendudukkan diri di sebelah mamanya dengan wajah cemberut. Sera yang sedang menikmati secangkir teh, tersenyum tipis mendengar keluhan putrinya. "Kenapa nyebelin? Ada apa lagi sama Abel, Ann?" tanyanya lembut, sambil membelai rambut Anna. "Dia itu, Ma, nggak mau jawab kalau aku ajak ngobrol. Ditanya ini, cuma bilang 'iya'. Ditanya itu, cuma bilang 'nggak'. Tapi sama perempuan yang jemput dia, Abel itu senyum-senyum. Bahkan ngomong duluan, protes lagi!" Anna menjelaskan dengan nada kesal. Sera tertegun. “Perempuan? Siapa Ann? Mbaknya mungkin,” tanyanya, kini
Di dalam ruang kelas yang mulai lengang, Anna duduk dengan tangan terlipat di atas meja, dagunya bertumpu pada lengannya. Raut wajahnya memancarkan kebosanan yang tak tersembunyikan. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu mengayun-ayunkan kakinya, menunggu jemputan yang baru saja berangkat dari sekolah adiknya. Suara dari pengeras suara tiba-tiba menggema, memecah keheningan. "Abel Adnan Candra, silakan menuju ruang tunggu." Anna mendongak, matanya berbinar seketika. Ia meraih tas sekolahnya dan berdiri, seolah sudah tahu apa yang akan dilakukannya. Dari sudut pandangnya, ia melihat anak lelaki dengan wajah datar berjalan perlahan menuju ruang tunggu. Itu Abel, anak yang beberapa hari lalu berkenalan dengannya di acara penyambutan murid baru. Tanpa ragu, Anna berlari kecil menghampirinya. "Hai, Abel!" Anna menyapa ceria, senyum lebarnya merekah. Abel berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar yang sama seperti sebelumnya. "Hai," jawabnya singkat, hampir tanpa nada. Anna memi
Malam itu, keheningan rumah Kai dan Sera hanya dipecahkan oleh suara lembut detak jam di dinding. Sera berbaring di pelukan Kai, tubuhnya bersandar nyaman di dada suaminya yang hangat. Kai sesekali mengecup puncak kepala Sera, memberikan rasa tenang di tengah kerisauan istrinya. Tangannya dengan lembut mengusap perut Sera yang kini tampak lebih besar dibanding kehamilan sebelumnya. "Kamu pasti masih mikirin Abel, ya?" Kai membuka percakapan, suaranya rendah dan lembut. Sera mengangguk pelan tanpa menoleh, matanya menerawang ke arah langit-langit. "Aku gak bisa berhenti mikirin dia, Mas. Wajahnya, caranya jalan, bahkan tatapan matanya... dia kayaknya tenang banget, Mas. Gak kayak anak-anak lain. Aku ngerasa dia kayak nyimpan sesuatu di dalam dirinya. Bukan sotoy nih ya, Mas. Tapi kalau Mas lihat Abel, Mas pasti tau maksud aku." Kai menghela napas panjang. "Itu kayaknya wajar, Ra. Setauku dari cerita Kak Ruby atau Kak Elle, Lukas ngebesarin Abel sendirian. Katanya dia di rawat c
Enam tahun berlalu begitu cepat, membawa banyak perubahan dalam kehidupan Sera dan keluarganya. Anna kini telah tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan ceria. Di usianya yang ketujuh, ia akan memasuki sekolah dasar. Hari itu adalah hari pertama Anna di sekolah barunya, dan pesta penyambutan murid baru terlihat begitu meriah. Sera, yang sedang mengandung anak ketiganya dengan usia kandungan enam bulan, menemani Anna seorang diri karena Kai sedang sibuk. Adik pertama Anna, seorang bocah laki-laki bernama Raiden yang kini berusia empat tahun, berada di taman kanak-kanak bersama dengan baby sitternya. Sera berusaha mengimbangi semangat Anna, meski jelas ia mulai kepayahan dengan perutnya yang semakin membesar. Anna berlari kecil ke arah panggung dekorasi yang penuh warna, meninggalkan Sera beberapa langkah di belakang. Saat Sera mencoba mempercepat langkahnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh ketika tiba-tiba sebuah tangan kokoh menopangnya dengan sigap. "A
Suasana bandara internasional London terasa sibuk seperti biasanya, tetapi perhatian Sera dan Kai hanya tertuju pada satu hal, Anna. Begitu melihat bayi kecil itu digendong Diani, mata Sera langsung berbinar, sementara Anna dengan ekspresi antusias mulai menggeliat, mengulurkan tangannya ke arah kedua orang tuanya. Kai dan Sera segera menghampiri Diani, menyambut Anna dengan pelukan hangat. Anna yang sudah lama tidak bertemu ayah dan ibunya tampak senang, bahkan mengoceh dengan suara kecil yang menggemaskan. “Aduh, anak cantik ini rindu sama Papa sama Mama, ya?” Kai menggoda sambil mencium pipi Anna. Diani tersenyum melihat kehangatan itu. “Nah, sekarang kalian sudah balik, Anna nggak bakal nangis lagi minta ketemu ayah ibunya.” Senyum Sera dan Kai pun mengembang, meskipun dalam hati mereka, ada rasa sakit yang juga untuk Elli. Bagaimana tidak, mereka pun tidak bisa membayangkan jika harus berpisah dengan Anna dalam keadaan seperti kemarin. Rasanya pasti menyesakkan.Setelah b
Saat Sera dan Kai tiba di rumah bersama Fara, suasana terasa berbeda. Pintu rumah tidak terkunci, dan udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang salah. Mereka mempercepat langkah kaki karena hati mereka mulai dipenuhi rasa cemas. “Ra, kayaknya ada yang nggak beres,” gumam Kai sambil melangkah ke ruang tamu. Begitu masuk, mereka terkejut melihat pemandangan yang ada di depan mata. Elli terduduk di lantai, wajahnya tertutup kedua tangannya, bahunya terguncang karena tangis yang tak henti. Raquel ada di sampingnya, mencoba menenangkannya, tetapi air mata Raquel sendiri juga mengalir deras. Sera mendekat dengan cepat, hatinya berdebar kencang. “Kak! Ada apa?! Kenapa?!” Namun, sebelum jawaban keluar dari bibir Raquel, Elli tiba-tiba ambruk ke lantai. Sera menjerit, langsung berlutut di samping adiknya. “Kak!” Sera mengguncang tubuh Elli yang sudah tidak sadarkan diri. Raquel segera mengambil alih, menggenggam tangan Elli dan memeriksa denyut nadinya. “Dia pi
Elli duduk di sofa apartemen kecil mereka, memeluk Abel erat di pangkuannya. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat lemah akibat kehamilan muda yang sedang ia jalani. Namun, matanya tetap waspada. Di sampingnya, Raquel berdiri dengan posisi tegang, matanya tak lepas dari pintu apartemen yang terkunci rapat. ‘Aku gak suka firasat ini, Ell,’ pikir Raquel. ‘Aku takut Lukas gak akan berhenti sampai dia ngedapetin apa yang dia mau. Maaf… kita harus relakan Abel. kamu lebih penting saat ini.’Elli mengusap kepala kecil Abel, mencoba menenangkan dirinya dan bayinya yang tak mengerti apa-apa. “Kak, Abel tidak akan ke mana-mana. Dia anakku. Aku gak akan nyerahin dia gitu saja.” Raquel hendak merespons ketika suara ketukan keras di pintu menggema, memecah keheningan ruangan. Ketukan itu berulang, semakin keras, seakan ingin merobohkan pintu. Raquel dan Elli saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. “Buka pintunya!” Suara Lukas terdengar dari balik pintu, dingin dan penuh ancaman.